Wawancara Khusus Rayhan Noor: Musik Satu-satunya yang Diinginkan

Aug 6, 2021

Masa pandemi menjadi bagian sejarah hidup bagi kita semua, tentang bagaimana caranya untuk bertahan dengan cara apapun. Tak pandang siapa, dan musisi salah satu sosok yang bisa dikategorikan pahlawan di tengah sikon ini. Mereka tetap bersemangat menghasilkan karya musik, menemani suka dan duka orang-orang. Maka, patut diberikan terima kasih. 

Wawancara khusus kali ini, kami berdialog dengan Rayhan Noor. Satu di antara sekian musisi yang tak mau kehabisan akal. Walaupun ia sempat merenungi nasib bermusiknya, “Apakah masih ada yang mau dengerin gue, dan proyek-proyek lainnya. Masih mungkin nggak ya gue manggung lagi, gue ngerasain tur lagi? Dan itu sering banget menghambat gue untuk berkarya karena ketakutan itu.”

Rayhan kembali menengok ke belakang, menepis segala keraguannya untuk tetap di musik. Cerita perjalanannya, ia tuliskan melalui single terbaru “Ragu?” yang seminggu lalu rilis. Saat penggarapan lagu, Rayhan juga menyiapkan album solo perdana yang sudah mencapai 60-70 % prosesnya. 

Kali ini gue mau mengambil jalan yang agak panjang. Maksudnya, biasanya kan gue melakukan segalanya relatif cepat ya. Even menurut gue, kayak di Lomba Sihir kemarin gue bikin album cuma sebulan, atau kayak Martials pun juga, sebulan dua bulan. Glaskaca pun dulu begitu. Tapi di proyek gue yang ini, gue pengin takes time sih,” kata Rayhan.

Sejak mengeluarkan single solo perdana “House of Cards”, hingga memproduksi lagu untuk orang lain. Rayhan mengaku, ia mendapatkan banyak sekali pengetahuan. Kini apa yang dilakukan merupakan hasil dari apa yang ia pelajari selama ini. 

“Ternyata, kuncinya adalah dari kesederhanaannya. Ternyata, itu yang susah banget dalam membuat musik yang sederhana karena gue masih merasa gue ada di early phase sebagai musisi,” ungkapnya.

Single “Ragu?” juga mewakili keinginan Rayhan untuk melepaskan segala ke-sophisticated-an produksi musik zaman sekarang. Seperti dulu era Sheila On 7 yang ia jadikan contoh. Rayhan ingin kembali ke akar, yaitu songwriting yang sebenarnya bagian terpenting dalam bermusik.

Berikut isi wawancara khusus kami bersama Rayhan Noor. Mulai dari keluarga, perkenalannya dengan gitar, sosok yang memengaruhi selera bermusiknya, hingga tips bagi band atau musisi di awal karier.


Ceritakan tentang perjalanan hidup kamu! 

Gue tumbuh di keluarga yang sederhana. Nyokap gue tipikal perempuan Jawa yang sangat family women, bokap gue somehow seperti itu. Tapi dia juga punya sisi bebasnya somehow di dalam dirinya. Jadi itu dua kombinasi nyokap bokap gue tuh akhirnya membentuk gue di saat gue tumbuh besar. Gue sekolah di sekolah swasta, gue anak pertama. Gue punya dua adik, laki-laki dan perempuan. Gue tuh enggak pernah punya interest yang spesifik, sampai gue menemukan gitar di kelas 4 SD karena pada saat itu kan anak-anak ada yang suka main game, ada yang suka olahraga, ada yang berprestasi di akamedis. Gue tuh enggak sama sekali.

Sampai akhirnya gue nemu gitar di kelas 4 SD karena gue tertarik sama Queen specifically waktu itu karena track pertama di CD-nya ada “Bohemian Rhapsody”, sama kayak ada satu iklan gitu yang ada gitarnya. Gue tertarik akhirnya gue dibelikan gitar. Gue menekuni gitar sambil gue sekolah. Gue juga enggak pernah jadi “A” student. Enggak pernah mentereng banget akademisnya. Cuma somehow, waktu SMA gue punya ketertarikan juga di Biologi karena tiba-tiba Biologi gue, gue enggak tau gimana caranya tiba-tiba bagus. Ya sudah seperti kebanyakan orang, di SMA tuh lu sudah di persimpangan jalan pertama tuh sebenarnya.

Lu kayak, lu mau kuliah apa habis ini, atau bahkan way back lah lu mau IPS atau IPA. Itu sudah satu hal yang sangat sulit untuk anak SMA waktu itu. Kalau hubungannya ke bokap nyokap gue tadi, ini nih gue dapat pengaruh dari nyokap bokap gue. Nyokap gue adalah orang yang kayak, “sudah lah IPA saja. IPA tuh nanti kamu lebih gampang dapat pekerjaannya. Kamu tuh bisa milih kuliah di apa saja loh, enggak harus yang IPA saja, IPS bisa masuk juga kalau kamu masuk jurusan IPA.”

Bokap gue lebih, ya sudah kamu terserah saja kamu mau apa. Tapi officially nyokap gue menang. Ya sudah gue masuk IPA. Gue mencoba mencari interest yang dalam di IPA. Akhirnya, gue sekitar setahun setelah masuk kedokteran. Oh, gue masuk Kedokteran Gigi. Kayaknya waktu itu kan. Tibalah kelas 3 SMA gue harus milih, gue mau kuliah apa. Gue bimbang nih antara Kedokteran dan interest gue yang masih kuat juga di musik. Gue bilang sama bokap nyokap gue, “aku mau kuliah di musik.” Nyokap gue jelas menentang (tapi menentangnya bukan yang kayak kasar gitu ya), sudah lah kamu enggak usah. Tapi bokap gue yang dengan ke-open-minded-annya itu, kebebasannya dia, karena dia terbuka pikirannya walaupun dia juga tipikal Jawa. 

Dia bilang, sudah kamu audisi saja deh, kita liat nih kamu masuk apa enggak. Itu kayaknya cara dia untuk meng-afford keinginan gue ya. Gue audisi musik, gue keterima di satu Universitas di Indonesia dan dapat beasiswa. Gue kayak “wah anj** jalan gue di sini nih”. Sudah keterima, gue diskusi sama nyokap bokap gue. Ternyata benar itu caranya bokap gue untuk meng-afford keinginan gue karena ternyata ya mungkin nggak tau, diskusi mereka ya. Kayaknya musik hobi saja deh. Terus habis itu, pendidikannya tetap Kedokteran supaya kariernya tetap bagus. Gue berpikir, ya sudah lepas saja deh musiknya.

Akhirnya gue masuk Kedokteran Gigi salah satu Universitas di Jakarta. Gue tipe yang kalau misalkan sudah memutuskan sesuatu ya gue enggak akan liat lagi ke belakang. Oh ya sudah gue sudah ambil ini, sudah lah jalanin saja. Siapa tau memang jalannya di sini. Akhirnya gue masuk Kedokteran Gigi. Kedokteran Gigi kan ada dua, ada S1, ada pendidikan profesi kan, KoAs. Gue selama S1 malah mentereng untuk pertama kalinya di akademis. Gue dapat nilai yang bagus segala macam dan kegiatan ekstrakurikuler kayak BEM gitu-gitu gue pun juga aktif. Musiknya gue tinggalin waktu itu. Habis itu, S1 (2014) sudah selesai karena gue benar-benar enggak punya kerjaan dan interest lain kecuali Kedokteran Gigi pada saat itu. Gue benar-benar fokus di situ.

Akhirnya, gue masuk Pendidikan Profesi. Pendidikan Profesi kan gue melihat banyak hal, turun langsung ke lapangan. Lihat kulturnya segala macam. Gue kok merasa yang kayak, ada yang enggak cocok nih sama gue. Gue melihat banyak hal, nih gue bisa enggak ya survive di kultur seperti ini. Ini kayaknya enggak cocok deh buat gue. Cuma kan gue berpikir, gue sudah sejauh ini. At the same time, pada saat itu interest gue tuh di musik kayak tumbuh lagi karena gue melihat di tahun 2014-an tuh environment musiknya itu kan lagi bertumbuh lagi kan waktu itu. Lagi zamannya Barasuara, Scaller, Elephant Kind, Kelompok Penerbang Roket. Itu tuh somehow kayak di sekitar gue tuh kayak ada apinya lagi.

Entah karena gue enggak ngikutin di medio 2011 – 2014, atau gimana gue enggak tau. Tapi at least di around tahun segitu tuh kayak lagi berapi-api lagi scene musiknya. Gue akhirnya di situ membentuk Glaskaca bareng Dias (Tradeto – RED), sambil tuh gue merasa gue harus ngelanjutin lagi musiknya. Santai saja. Itu jalan berbarengan kan, keraguan gue akan bertahan di Kedokteran Gigi apa enggak sama new found interest-nya gue lagi di musik. Ya sudah gue jalani bareng-bareng saja. Yang Kedokteran Gigi nih lama-lama makin kayak, “hmm enggak-enggak gue enggak bisa nih di sini.” Tapi ya gue tau, kalau misalnya gue emang mau enggak di sini lagi, gue harus punya escape plan yang bagus. Gue harus punya back-up career, gue di mana lagi yah. Dan pada saat itu ya cuma musik. Ya karena gue enggak pernah punya interest spesifik kecuali musik tadi sama pada saat itu Kedokteran Gigi.

Gue mulai bingung di situ kan ke mana ya nih. Ya sudah akhirnya the rest is history. Gue pelan-pelan melepaskan si Kedokteran Giginya. Musiknya gue bangun pelan-pelan sampai ke sekarang. Akhirnya, gue memutuskan “OK jalan gue di sini deh”. Itu keputusan yang enggak gampang.

Rayhan Noor, 2021. / Foto oleh Deby Sucha.

 

Akhirnya, orang tua merestui kamu menjadi musisi?

Pertamanya jelas tidak setuju yah. Tapi mereka bukan tipe orang tua yang keras, yang kayak gue akhirnya diusir dari rumah. Enggak sama sekali. Tapi mereka berusaha selalu men-challenge apa yang gue propose. Selalu yang mereka ini-in, kayak, “eh kamu tinggal satu langkah lagi lho jadi dokter. Kamu nanti kalau sudah jadi dokter, kamu bisa sambil main musik.” That kind of things-lah. Tapi ya gue juga berusaha memberitahu mereka, yang kayak “aku enggak di sini nih tempatnya. Aku bisa selesaiin, tapi aku enggak akan selesaiin ini pakai hati. Dan aku enggak mau kalau misalnya aku ngejalanin karier yang aku enggak pengin.” Nah, tapi kan sebenarnya semua orang tua itu kan cuma pengin safety buat anak-anaknya kan. 

Anak-anaknya harus aman dulu. Yang penting mereka tahu, anak-anaknya tuh bisa survive dengan apa yang mereka putuskan. Jadi ya karena gue paham itu gue juga harus membuktikan ke mereka, bahwa gue bisa survive di sini. Gue bisa bertanggung jawab lah paling enggak. Gue bisa hidup dengan biaya gue sendiri dan segala macam. Ya, itu proses yang lumayan panjang sampai akhirnya 2 – 3 tahun lalu bokap nyokap gue melihat apa yang gue lakukan tuh real gitu. Akhirnya setelah itu ya gue, mereka pelan-pelan memberikan approval-nya ke gue. “OK kalau misalnya memang kamu maunya di situ ya sudah. Tapi kamu tanggung jawab ya atas pilihan kamu. Yang penting kamu happy,” menurut bokap nyokap gue gitu. Dan gue beruntung banget itu dapat nyokap bokap yang kayak gitu ya karena kan enggak jarang gitu. Teman-teman gue yang berusaha pursue kariernya di musik yang konflik keluarganya besar banget karena mereka memilih karier di sini. 

Suatu hari nanti kamu kepikiran buat melanjutkan kuliah Kedokteran enggak?

Yang enggak akan gue lanjutin adalah gue menjadi Dokter Giginya. Tapi, gue masih punya interest di Ilmu Kesehatan. Gue enggak bisa ngomong kayak gitu juga karena sampai sekarang pun gue masih baca-baca juga, banyak hal. Satu hal yang masih mungkin yang nanti gue pursue enggak tau kapan, mungkin juga enggak adalah ya gue pengin belajar kesehatan masyarakat. Itu pun kalau misalnya pun gue punya interest yang kuat banget, gue pengin banget kuliah nih. Kalau enggak pun, I’m happy this way and this path. Gue enggak liat ke belakang lagi sih.  

Bagaimana awal karier bermusik kamu? 

Kalau pertama kali banget gue waktu SMA. Gue punya band “pop jazz” gitu, karena waktu itu kan tahun 2007 – 2010 lah itu kan satu genre yang sedang digandrungi anak-anak muda pada waktu itu ya. Pop jazz macam Ecoutez terus Soulvibe, dan segala macam. Gue juga punya band yang cukup serius waktu itu namanya VNS (Voiceless & Soulastic). Itu adalah first stage gue di dunia musik ya.

Gue manggung di berbagai Pensi yang cukup reputable di Jakarta dan di beberapa kota besar. Terus gue juga merasakan si band itu punya ‘popularitas’. Band itu juga punya popularitas yang cukup OK di MySpace waktu itu. Habis itu juga, lagu-lagunya tuh bertebaran di HP-HP anak-anak SMA via 4shared dan link Wire, dan segala macam.

Waktu itu sudah single, single, single. Single-nya udah cukup banyak lah, jadi orang-orang juga sudah mulai pada tau. Makanya, manggung di Pensi. Waktu itu, itu band sudah sempat ditawarin bikin album sama satu label major yang besar lah di Indonesia. Pada saat sudah lagi “OK nih bikin album”, gue cabut karena gue banyak merasakan ketidaknyamanan dan ketidakcocokkan untuk bekerja dengan orang-orang dari label itu gitu, waktu itu. Ya, biasa lah anak-anak muda, yang kayak “oh gue harus begini nih”. Sebenarnya gue belum ngerti work flow-nya saja waktu itu sih sebenarnya kalau dipikir-pikir. Akhirnya gue memutuskan cabut karena ketidaknyamanan, ketidakcocokkan itu.

Membekas di gue gitu karena gue jadi agak trauma berurusan dengan tetek bengeknya music business gitu. Akhirnya, gue memutuskan untuk enggak bermusik lagi. Makanya waktu itu gue fokus banget di Kedokteran Gigi. Akhirnya ya sudah gue enggak bermusik. Pas gue kelar S1, gue bikin Glaskaca bareng Dias. Glaskaca tuh band kedua gue berarti. Gue benar-benar dari bottom sama Glaskaca karena gimana ya. Gue sama Dias waktu itu belum kenal banyak orang yang ada di skena waktu itu. Jadi, gue sudah lah bikin-bikin saja. Gue ngerekam di kamar lah apa segala macam. Akhirnya lama-lama naik level jadi rekaman live di studio, terus habis itu rekaman tracking dan segala macam. Kayak anak-anak baru ngerintis saja sebenarnya.

Gue sama Dias dan teman-teman Glaskaca waktu itu ya benar-benar datang ke Pensi, atau ke gig. Kayak gue bawa CD demo Glaskaca, “eh gue punya band nih, mau enggak lu dengerin nih”. Bahkan ke musisi-musisi idola gue. Gue ingat ngasih ke Rekti dan Farri (The SIGIT). Even gue ngasih ke Iga Massardi, terus habis itu ngasih ke Reney (Scaller). Itu gue benar-benar, ya sudah kayak karena gue enggak kenal siapa-siapa kan. Akhirnya, dari situ mulai terbentuklah.

Gue kenal dengan anak-anak sepantaran gue yang sedang merintis. Waktu itu ada Anomalyst, ada .Feast. Siapa lagi ya, ya sepantaran gue itu lah, Panturas dan segala macam. Akhirnya kami tumbuh bareng di generasi yang itu. “OK, bikin tur yuk, bikin gig. Manggungnya bareng dan segala macam, rekamannya di satu studio”. Akhirnya di situ gue banyak belajar. OK gue kenal ini, kalau lu mau melakukan ini caranya begini dan lain-lain.

Cuma Glaskaca nih kayaknya menurut gue enggak seberuntung, satu. Enggak seberuntung band-band sepantaran gue yang mentereng sekarang, dan kedua ya mungkin it’s just not meant to be saja. Takdirnya memang segitu saja. Di proses gue menyadari itu, bahwa ini band emang ya sudah not meant to be saja adalah momen yang bertepatan dengan gue ragu itu tadi. Gue enggak tau ke mana nih, karena Glaskaca enggak jalan. Tapi gue sambil ngeliat teman-teman gue mulai naik satu-satu. Itu kan sulit banget tuh buat anak-anak umur segitu. Tapi on the other hand gue juga enggak, Kedokteran Gigi gue berantakan.

Itu adalah satu titik yang krusial, yang critical buat gue. Akhirnya gue mengambil keputusan besar. Sudah lah gue tinggalin aja Kedokteran Giginya. Walaupun sekarang ini musiknya sekarang ini enggak mentereng-mentereng banget. Sudah sikat saja. Dari situ gue memberanikan diri untuk gue main sama band ini, main sama artis ini, gue coba nge-produced orang dan segala macam. Akhirnya gue ngeluarin single solo pertama kalinya (House of Cards, 2019). Ya sudah akhirnya gue berproses dengan natural aja sampai di titik yang sekarang.

Apa kabar Glaskaca?

Glaskaca sih gimana ya ngomongnya. Inactived mungkin ya. Tapi gue enggak tau bakal aktif lagi atau enggak, atau kapan aktifnya lagi karena kayaknya sekarang semua sudah punya jalannya masing-masing ya. Gue sekarang sudah di jalan yang sekarang. Dias juga sekarang udah punya solo sendiri dengan Tradeto-nya. Tama juga sangat fokus di bidangnya, di sound engineering. Gue sudah lama lah menyadari gitu bahwa, enggak ini memang sudah takdirnya saja begini. Jadi gue sekarang pun enggak berharap apa-apa dari Glaskaca.

Tapi ini bukan berarti gue menihilkan peran Glaskaca di karier gue ya. Gue sangat bersyukur ada Glaskaca yang sudah membawa gue ke sini, dan membuat gue belajar banyak hal. Tapi ya sudah Glaskaca mungkin sampai di situ saja. Memang masih bisa dibilang open end juga kali yah. Kalau misalnya nanti gue tiba-tiba “oh gue punya interest lagi nih di Glaskaca” atau Dias juga pas lagi ada waktunya, Tama pun lagi punya fire yang sama. Kita lanjutin saja, kita rilis album kek atau apa karena sebenarnya kemarin pas kita rilis double single (awal 2020) itu kita lagi on the way mengerjakan album, dan albumnya sebenarnya udah kelar. Sudah tinggal poles-poles 1 – 2 bulan bisa langsung dirilis. Cuma kayak enggak deh. Kita memutuskan kita drop saja. Karena sebenarnya menurut gue kan kalau lu merilis sesuatu, ngerilis single atau album, karya apapun. Faktornya cuma dua kalau dari musisi, lu sudah suka sama karyanya sama lu sudah siap merilisnya. Kalau misalnya salah satunya enggak ada. Ya lu ngapain ngerilis karya.

Dan Glaskaca kebetulan adalah bukan proyek dengan deadline atau KPI atau tuntutan lu harus merilis album ini di bulan ini. Enggak. Glaskaca memang benar-benar, once your sure ur going release that work ya sudah be it. Tapi kita enggak mempunyai salah satunya, yaitu yakin merilisnya. Kalau suka sih suka tapi kita enggak yakin merilisnya. Ya sudah ngapain dirilis. 

Apakah Glaskaca sempat mempersiapkan materi? 

Full album kedua Glaskaca harusnya. Kayaknya sih faktor pandemi juga sih kayaknya sebenarnya. Itu kan double single-nya tahun 2020 awal Januari akhir. Sebenarnya kita sudah punya plan, OK kita merilis double single, habis ini kita manggung-manggung dulu sambil ngerjain. Nanti di akhir 2020, kita merilis album gas lagi nih. Tapi ternyata pandemi, ya banyak hal yang berubah kan. Semuanya harus mikirin dirinya masing-masing dulu. Gimana survive di keadaan ini. Akhirnya Glaskaca-nya nomor sekian. 

Apa yang meyakinkan kamu untuk merilis single sebagai penyanyi solo? 

Jadi gue merilis single solo pertama, “House of Cards” kan 2019. Kalau misalnya kita tarik balik mundur, gue mulau menyadari bahwa Glaskaca tidak ke mana-mana itu sekitar akhir 2017 awal 2018-an. Ini somethings not working. Itu gue mulai pusing kan. “Wah anj** gimana ya, kalau gue pengin survive di sini, gue enggak bisa-bisa.”

Akhirnya gue stres sendiri di tahun-tahun itu. Tapi gue merasa kayak ada satu fuel di dalam diri gue yang gue enggak tau gimana cara nyalurinnya. Akhirnya gue bikin musik saja, yang gue enggak tau bisa dinyanyiin sama Glaskaca apa enggak. Sekarang musik-musiknya musik-musik pop gitu, kayak “House of Cards” gitu. Gue tau ini enggak bakal bisa dinyanyiin sama Glaskaca. Gue simpan saja tuh. Lagu-lagu tersebut gue simpan saja.

Gue sambil mencoba menjalankan Glaskaca, gue sambil nulis-nulis lagu dan segala macam. Di tahun 2019 awal, gue yang kayak enggak sih. Ini gue harus memikirkan sesuatu yang lebih besar nih untuk diri gue karena waktu itu kan gue sambil jadi session player untuk beberapa musisi dan band. Sambil Glaskacanya nih enggak ke mana-mana sama sekali. Gue manggung saja tuh jarang banget. Sampai gue stress sendiri. “Anj** gimana ya, gue enggak ada duit.” Apa namanya, kayak enggak ada hilalnya gitu nih Glaskaca akan ke mana. Gue enggak ada chance buat tur segala macam, enggak ada sama sekali. Ya sudah akhirnya, gue sambil memikirkan itu selama beberapa bulan.

Akhirnya gue sambil berkonsultasi dengan teman-teman gue. Gue bilang eh ini gimana ya. Tapi sebenarnya gue punya beberapa lagu sih, tapi kayaknya lagunya cuma bisa gue yang nyanyiin nih. Ya sudah lu rilis saja kata teman-teman gue, salah satunya si Anggra (Melina Anggraini – RED) yang bilang waktu itu. “Hah, bikin solo project nih?”. Iya bikin solo project saja. “Hah, enggak ah. Enggak mau gue”. Gue ragu banget waktu itu. Akhirnya tapi entah gimana, gue ya sudah lah sok atuh rilis saja deh. Nothing to lose juga kok gitu mungkin ini bisa. Kalau misalnya enggak ada yang dengerin ya sudah. Kalau misalnya jadi, ya ini bisa jadi pintu ke banyak hal. 

Jadi sebenarnya karya solo gue, itu lahir dari ke-yaudah-an itu, ke nothing to lose-an itu. Sudah lah gue bikin buat diri gue sendiri aja. Sudah enggak apa-apa, pede saja lah. Bahkan buat nyanyi saja gue enggak pede sama sekali. Ya sudah mulai dari situ gue belajar banyak hal dari karya solo gue karena gue enggak tau ya

Mungkin orang-orang juga melihat gue ada portfolio yang lebih baik, mungkin dibandingkan. Atau portfolio yang bertambah gitu dibandingkan karya-karya gue di Glaskaca. “Oh, ternyata Rayhan juga bisa bikin lagu seperti ini toh. OK, lu mau produced ini enggak Ray. Oh, ya sudah boleh.” Akhirnya pintunya kebuka-buka mulai dari sejak gue memberanikan diri merilis karya gue.

Rayhan Noor dan Lomba Sihir. / Foto oleh Melina Anggraini.

 

Apa yang kamu pikirkan saat merilis single perdana?

Gue enggak ada mikirin apa-apa. Asli. Gue jalani saja. Pada saat itu gue sering banget cerita sama Iga Massardi. Iga kan dulu bantuin ngeproduserin album Glaskaca kan. Mulai dari situ gue punya hubungan yang dekat lah sama Iga. Gue sering konsultasi juga. “Aduh gue mesti gimana ya. Gue pengin ada di sini, pengin ada di musik.” Tapi faktanya waktu itu kan tidak in my favour gitu loh keadaannya. Gue enggak manggung dan segala macam. Salah satunya gue cerita sama Iga. Gue mesti ngapain. Ya sudah lu bikin saja, bikin sebanyak-banyaknya saja Ray. Entah di Glaskaca, entah lu bikin band sendiri, atau bikin solo project. Waktu itu dia bilang. 

Gue inget banget. Hmm akhirnya gue jadi mikir kan. Ya sudah lah gue bikin saja semuanya. Jadi pas gue ngerilis solo project itu gue enggak mikir, “wah ini nanti akan jadi proyek yang berkepanjangan. Habis rilis single satu, rilis single dua, tiga, lu album. Nanti lu promonya seperti ini, seperti ini.” Gue enggak mikirin sama sekali. Gue benar-benar cuma kayak nebar jala. OK, dapatnya yang mana.  

Sejak awal kamu menentukan arah bermusik untuk karier solomu ini enggak?

Enggak sama sekali. Ini nih solo project gue benar-benar tidak di-plan gitu pada awalnya. Karena yaitu tadi. Gue benar-benar nebar jala saja. Gue bikin sebanyak-banyaknya. Gue liat mana yang memberikan gue chance yang baik. 

Bahkan kalau pun gue enggak dapat chance yang baik, at least gue bermusik saja karena itu satu-satunya hal yang gue inginkan yang ingin gue lakukan. Mungkin baru saat-saat sekarang ini yah saat gue menyadari “OK ini kayaknya main project gue”. Gue baru mulai memikirkan banyak hal. “OK, promonya gimana segala macam.” Gue baru seriusin di saat karier gue sudah terbentuk.

Apa kepuasan kamu dalam menciptakan lirik/musik?

Kepuasan gue adalah gue bisa mengutarakan itu dengan jelas di musik ya karena gue tuh orang yang cukup berlibet ya kayaknya pikirannya menurut gue. Gue tuh dulu sangat punya kesulitan untuk bilang, misalnya gue marah nih, atau gue enggak suka akan satu hal gitu. Gue tuh enggak akan bilang, kayak gue enggak suka. Pasti gue akan bilang, kayak “eh iya nih, gimana ya gue, ini sebenarnya bagus sih ini, cuma gue, kayaknya kalau misalnya kita bikin yang lain lagi gimana.” Jadi, gue tuh agak berlibet kalau untuk menyampaikan sesuatu.

Somehow itu tercermin di lagu-lagu yang gue tulis di Glaskaca, di album pertama Glaskaca. Album pertama Glaskaca tuh. Gue tuh sedang berusaha untuk melepaskan keribetan pikiran gue. Jadi kalau lu dengerin album Glaskaca yang pertama, si Adendum tuh sebenarnya enggak jelas liriknya. Yang kayak lu mau ngomong apa sih. Sebenarnya kalau misalnya lu liat dari jauh. Lu tuh sebenarnya tau nih. Ini orang lagi galau nih. Ini orang lagi mempertahankan dirinya sendiri. Tapi gue enggak bisa articulate dalam menyampaikan itu karena pikiran gue tuh sudah ribet duluan.

Jadi misalkan gue mau ngomong. Bahkan gue mau ngomong kayak gue sayang sama lu gitu ke orang. Di lagu tuh gue enggak akan ngomong, aku sayang kamu. Gue akan ngebungkus itu dengan banyak hal. Kayak sugar coating gitu lah. Nah itu tuh pada akhirnya bikin gue stres kan. “Anj** enggak jelas ya lagu gue”. Karena gimana ya. Karena sebenarnya kan main musik tuh selain menumpahkan perasaan lu dan pikiran lu. Itu kan one way of reaching out to other people. Lu sebenarnya lagi merasakan ini nih.

Nah, gue merasa waktu Glaskaca tuh. Gue merasa lagi reaching out ke orang-orang. “Eh, gue lagi enggak baik-baik aja loh di periode ini. Lu dengerin lagu gue deh.” Tapi orang-orang enggak ada yang ngerti karena guenya juga enggak jelas nulisnya. Akhirnya itu berusaha gue kikis perlahan-lahan secara tidak langsung melalui solo project gue. Gue nulis kayak “House of Cards”, “I’ll Be Around”, dan segala macam. Itu tuh kayak “oh lu bisa articulate kok ngomongnya.” Ternyata once pikiran gue sudah enggak ribet. Gue sudah bisa melepaskan banyak hal. Ternyata itu tercermin di lagu gue. Oh ternyata orang ngerti kok, apa yang gue tulis di “I’ll Be Around.”

Atau bahkan kayak sekarang gitu, saat gue kasih dengar teman-teman gue. Gue kasih dengar demo-nya “Ragu?”. Oh lu ngomong ini. Gue tuh jadi kayak, “wah anj** gue udah lebih jelas nih ngomongnya”. Jadi, itu kepuasan terbesar gue ya. Saat gue bisa reach out ke people, dan orang ngerti gitu loh apa yang gue rasain melalui apa yang gue tulis. Gue merasa main musik atau membuat karya tuh sebenarnya adalah one way untuk lu melepaskan ke-insecure-an lu terhadap diri lu sendiri sih karena kan banyak banget yang lu pikirin saat lu main musik sebenarnya. “Aduh, main gitar gue bener enggak ya. Aduh, lirik yang ini cringe enggak ya”. Tapi pada saat lu sudah ngelepasin itu semua, lu bisa ungkapin semuanya dengan jelas.

Setelah merilis dua single solo berbahasa Inggris, tahun ini kembali dengan single “Ragu?” berbahasa Indonesia. Apa kamu pengin mengeksplorasi hal baru?

Satu, iya itu benar. Kedua, gue sudah yakin gue sudah bisa menuliskan sesuatu dalam Bahasa Indonesia tanpa sugar coating. Kayak yang gue lakukan di Glaskaca. Karena saat gue nulis di Glaskaca, gue nulisnya enggak jelas. Ternyata pas gue coba sekarang, “oh anj** sudah banyak hal yang kebuka di diri gue. Akhirnya gue udah enggak sugar coat banyak hal lagi”. Gue yes it is saja ngomongnya. Itu kan kesulitan yang banyak ditemukan oleh banyak orang ya kayaknya sekarang.

Bahkan di teman-teman gue, “ah nanti gue kalau nulis Bahasa Indonesia cringe”. Ya gue enggak bisa memungkiri itu benar adanya. Kadang-kadang, maksudnya pada awal kalau lu belum mencoba. Sekarang pas gue sudah mencoba menulis lirik itu, ternyata gue lebih gampang untuk meng-articulate-kan apa yang pengin gue sampaikan dan juga ternyata Bahasa Indonesia enak banget buat di-explore. Jadi ini hal yang cukup baru untuk project solo gue.

 

Selama membuat lirik atau aransemen, apa yang selalu menjadi tantangan buat kamu?

Kalau musik tuh tadi, gue di awal-awal gue belajar memproduksi sendiri gue punya tendesi menumpahkan semua ingredient bahkan ingredient yang enggak perlu. 

Kayak misalkan lu mau bikin nasi goreng, ya sudah gue kadang-kadang masukin saja semua. Teri, pete, daging sapi, ayam, segala macam. For the sake of kayak “eh ini kalau misalkan rasanya banyak, ini jadi berkali-kali lipat lebih enak.” Tapi ternyata enggak. Ternyata itu yang sulit gue lakukan, stripped everything down to the backbone. Akhirnya itu berhasil gue lakukan di sekarang, di rilisan-rilisan gue yang sekarang dan akan datang ini via di “Ragu?” dan single-single selanjutnya. Gue menemukan lah celahnya. Kalau lirik ya tadi, gue kesulitannya kadang-kadang suka susah untuk mengartikulasikan apa yang pengin gue sampaikan. 

Apa saja yang menjadi pertimbangan kamu saat memilih kolaborator atau menerima tawaran berkolaborasi? 

Kalau kenal sih sudah jelas ya. Gue mesti kenal dulu. Maksudnya gue harus ngobrol at least. Orangnya pun juga nyambung ya sama gue at least. Nggak harus dekat, tapi at least kita satu visi. Akhirnya yang paling penting gue harus suka dulu sama visi project tersebut. Walaupun belum jadi apa-apa ya. Belum jadi demo apa segala macam. Tapi gue harus suka dulu sama visinya. Yang kayak Somewhere Somewhere, itu sebenarnya project besar. Itu project album dan gue produserin satu album isinya 9 lagu. Ya, gue harus tau dulu. Mereka tuh mau ngomongin apa di album ini. Akhirnya mereka jelasin, kayak konsepnya seperti ini. Ceritanya gini-gini, gue merasa bisa connect dengan cerita tersebut dan visi musiknya. Habis itu gue tanya sama mereka, gue bisa bantu apa. Di saat gue sudah klop dari hal-hal tersebut. Itu yang bikin gue memutuskan “OK, go”.

Pun sama juga halnya dengan albumnya Denisa gitu. Denisa kan gue juga nge-produced albumnya yang belum keluar tuh. Mungkin bentar lagi kayaknya keluar. Gue harus ngobrol dulu sama Denisa. “Lu mau ngomong apaan Den, terus visi lu gimana. Lu ngebawa musik lu ke arah mana. Memang gue bisa bantu apaan”. Kalau itu semua udah jelas, dan gue merasa kayak “OK, gue kayaknya bisa menambah added value di project lu ini.” Gue OK ayo lanjut jalan.

Pun sama halnya dengan Lomba Sihir, atau band gue lainnya kayak Martials. Orang-orangnya harus, ya itu tadi satu visi, satu frekuensi sama gue dan project-nya juga mesti satu visi sama gue. Itu tuh sudah paling kunci lah untuk menentukan gue mau atau enggak terlibat di project tersebut.

Pernah menolak tawaran kolaborasi?

Gue pernah, sebenarnya bukan menolak ya. Gue merasa kayak ini project enggak cocok di gue. Gue bilang kayak, “gue kayaknya enggak bisa bantu deh yang ini. Lu mau enggak gue oper saja ke teman gue yang bisa ngerjain ini. Kayaknya bisa lebih bagus ngerjainnya”.

Karena kan sebenarnya gitu kan misalnya project-project gitu yang kayak misalnya ada band death metal. “Eh lu produced dong atau isiin gitar di sini. Gue suka banget solo lu di ‘House of Cards’ gitu misalkan.” “Wah gue enggak bisa coy. Kayaknya nih enggak cocok deh. Coba lu sama Tama saja. Tama kayaknya dia memang sering dengerin itu.” Gitu sih sebenarnya, gue kadang-kadang. Lebih kecocokan tadi itu.

Siapa sosok yang mempengaruhi selera musik kamu sampai hari ini yang membuat kamu mencintai musik? 

Bokap. Itu sudah nomor satu ya karena gue menyadari ada hal yang namanya musik di dunia ini ya dari bokap. Bokap gue mengoleksi kaset gitu dan banyak CD. Jadi, waktu kecil gue ingat. Maksudnya yang masih vivid ya di memori gue adalah CD-nya Queen Greatest Hits. Itu lumayan bikin gue hook gitu. “Wah anj** musik seru ya”.

Dan bokap gue mendengarkan banyak sekali jenis musik gitu lho. Dia dengerin waktu itu ya yang gue ingat nih. Dia dengerin Queen, dia dengerin New Kids on The Block juga. Tapi dia juga dengerin U2, dengerin Radiohead di awal-awal dulu. Tapi dia juga dengerin penyanyi-penyanyi Melayu. Oh, ternyata broad ya. Musik ini tuh banyak banget jenisnya. Bahkan bokap gue aja bisa dengerin sebegitu banyak musiknya tanpa judgement apapun terhadap suatu genre. Itu yang gue contoh banget sih. Jadi sampai sekarang pun gue playlist-nya pun lumayan abstrak kali ya.

Rayhan Noor bersama Martials. / Foto oleh Juan.

 

Bokap bisa main musik?

Bokap gue enggak. Bokap gue benar-benar penikmat musik saja. Di keluarga gue enggak ada yang musik by the way. Cuma gue doang.

Kamu setuju enggak apa yang dulu kita dengarkan waktu kecil membentuk selera musik pas dewasa?

Bikin musik pun juga gitu sebenarnya. Ya kayak gue baru nyadar, pas di tengah-tengah gue bikin lagu. Yang kayak, “lah kenapa gue bikinnya kayak gini banget ya. Oh, iya gue kan suka Sheila On 7”. Ya, itu sesuatu yang sangat manusiawi dan wajar. Ya gue dengarkan itu, sukanya itu. Itu pasti yang tercermin di selera lu dan referensi lu kalau bikin apapun. 

Seperti orang suka hip hop pengin nge-rap tapi enggak bisa dan tetap bisa nikmatin lagunya?

Percis banyak teman-teman gue juga yang heran gitu. “Anj** musik lu kayak ‘I’ll Be Around’ gitu yang 80s pop.’ Yang kayak lu bisa dengerin di Brava Radio mungkin kalau gue lebih tua lagi. Tapi di playlist gue tuh ya ada Gojira, ada Converge, atau bahkan siapa lagi. Ada Napalm Death. Ya memang gue dengerin. Gue dengerin semuanya. Menurut gue itu normal. Tapi mungkin banyak orang yang apa ya, masih linear dengerin musiknya.

Sesuatu yang membuat kamu susah untuk berhenti main musik? 

Gue merasa andil gue di dunia ini untuk bikin musik. Kayak role, gue merasa kayak role yang sudah ditakdirin itu tuh itu, main musik. Sebenarnya kan ini menurut gue ya. Lu harus menemukan satu tempat di mana lu tuh harus useful buat orang. Idealnya ya. Dan gue merasa useful buat orang via musik. Gue mungkin enggak directly nolong orang kayak misalnya bisa gue lakukan di Kedokteran. Gue bisa menyelamatkan nyawa orang. Tapi via musik gue bisa melakukan itu dengan cara yang berbeda.

Gue enggak tau, musik gue tuh mungkin bisa connect sama orang yang sedang susah gitu di suatu tempat atau di suatu waktu nanti. Gue merasa itu guna yang terselubung. Ya, mungkin orang-orang enggak akan liat langsung. Dan gue merasa guna gue di situ. Jadi, kapan pun gue sedang merasa stuck atau gue merasa kayak “anj** gue lagi enggak pengin main musik”. Tapi gue tetap, on the back of my mind. Gue tetap yang kayak, “enggak, tempat gue di sini. Guna lu di dunia ini, adalah ini”. Jadi, itu yang membuat gue tetap melanjutkan hidup gue di sini.

Apakah selama ini kamu udah merasa sudah berada di titik kesuksesan? 

Gue tidak mengejar kesuksesan materi atau kayak level apa ya. Orang bisa bilang popularitas gitu let’s say. Kesuksesan buat gue itu cuma gue bisa menulis musik sampai, ya sepanjang umur gue. Jadi kalau misalkan nanti sampai hari gue sudah enggak ada, gue masih main musik atau bikin musik atau berkecimpung di dunia ini dengan peran apapun. Ya, itu sukses buat gue. 

Jika harus memilih mana yang sebenarnya ingin kamu fokuskan: karier solo atau nge-band? 

Dua-duanya. Gue enggak akan milih karena menurut gue di zaman sekarang ini. Salah satu privilege yang bisa didapatkan oleh musisi atau orang-orang yang pengin bikin musik adalah lu bisa menjalankan banyak hal dalam satu waktu, Menurut gue, gue tidak terikat dengan satu identity. Yang kayak “wah Rayhan tuh solois, oh mellow banget ya”. Atau “Rayhan tuh bikin lagunya kayak gini banget ya”.

Nggak. Tapi gue punya the other side di Martials gitu. Dan itu menurut gue somehow, sesuatu. Itu flex yang bisa gue pamerkan gitu di zaman sekarang. Karena kan kalau zaman dulu kan kayaknya kanalnya masih terbatas. Terus habis itu mediumnya pun juga terbatas. Jadi orang-orang mungkin banyak yang cuma punya satu project di seumur hidupnya. Tapi di era sekarang ini itu satu privilege yang enggak akan gue sia-siakan. Gue bisa punya project dalam satu waktu dan itu enggak akan gue pilih. 

Dari perjalanan bermusik, kamu banyak belajar tentang apa selain musik?

Kayaknya gue banyak belajar tentang membantu orang. Membantu orang bukan as in membantu orang kayak menyelamatkan dia. Tapi kayak, surroundings lu tuh harus lu pick up bareng-bareng lu juga karena gue merasa di-pick up sama orang-orang yang lebih senior dari gue.

Kayak contoh, Iga tuh sangat membantu gue di karier gue. Kayak dia nyemangatin gue tentang banyak hal. Dia nge-guide gue, “Ray lu gini saja, lu gini saja” segala macam. Waktu gue usdah mulai nemuin kaki gue, gue ketemu sama teman-teman gue. Kayak Anggra, Baskara (Putra – RED), Dias. Ya, banyak lagi. Mereka juga “Ray ayo jalan bareng-bareng yuk” dan gue intend to do the same untuk siapapun yang gue temuin di tengah jalan hidup gue nanti.

Somehow itu yang gue berusaha coba lakukan sama semua yang kerja sama gue. Yang bekerja sama bareng gue. Kayak misalnya ada Somewhere Somewhere, kerja sama gue. Gue bantuin. “OK, lu kayaknya bisa gini-gini deh. Menurut gue, lu gini saja promosinya dan segala macam”. Karena menurut gue, kayaknya tuh karier gue kalau misalkan gue jalan sendirian ya gue akan tetap merasa lonely gitu. Jadi pada akhirnya lu harus ngejalanin ini bareng orang-orang. Dan ya itu gue selalu ingat, kayak ada satu saying kayak, happiness is only real when shared.

Pertimbangan manusia selalu merasa bisa tapi ternyata butuh orang lain? 

Bahkan maksud gue kalau dalam konteks yang waktu pas gue masih merangkak di musik. Gue merasa cara kerjanya adalah sudah lu ngeband saja. Habis itu lu tawarin musik lu ke orang-orang penting. Terus suatu saat lu akan di-pick up lah sama mereka. Nanti ada label yang nawarin lu rekaman. Terus habis itu lu sukses, ujug-ujug saja. Ternyata di era kita tumbuh sekarang caranya enggak kayak gitu. Lu harus tumbuh bareng-bareng. Gue enggak akan sampai sini kalau gue enggak ketemu anak-anak Glaskaca, .Feast, Anomalyst dan band-band yang sepantaran sama gue karena kita geraknya bareng-bareng.

Sekarang eranya beda. Anak kelahiran sekarang, mereka nanti cerita tentang apa kalau rilisan fisik enggak ada karena semua dari layanan streaming musik. Pendapatmu?

Tapi mungkin kita tuh cuma belum ngerti saja sebenarnya. Kayak gue yakin di era sebelum ada rilisan, ada piringan hitam dan segala macam. Orang-orang tuh tau musik tuh dari mulut ke mulut. Kayak nanti dinyanyiin sama kuli bangunan yang sana. Nanti dinyanyiin sama ini. Mereka kayak, lah ngapain sih lu ngoleksi rekaman. Ya mungkin aja sekarang kayak kita enggak tau, cuma enggak tau saja gimana cara generasi setelah kita mengingat-ingat itu.

Menurut kamu apa yang harus dilakukan band atau musisi di awal karier bermusiknya? 

Satu, harus yakin sama yang dilakukan. Dilakukan itu as in kayak yakin sama karyanya. Yakin sama jalan hidupnya. Itu sudah paling penting. Dan itu includes banyak hal ya. Keberanian, keyakinan, dan segala macam karena kalau misalkan lu sudah yakin sama apa yang lu pengin lakukan atau lu karyakan. Everything will go the right way saja. Yang kedua, find your friends sih sebenarnya karena itu sangat akan membantu lu di banyak hal dan di banyak waktu. Kolega-kolega lu dan teman-teman lu yang memang benar tulus bergerak bareng-bareng itu akan sangat berguna.

 

Foto Rayhan Noor oleh Davian Akbar.


 

Penulis
Pohan
Suka kamu, ngopi, motret, ngetik, dan hari semakin tua bagi jiwa yang sepi.
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
trackback

[…] “Orangnya harus satu visi, satu frekuensi sama gue dan project-nya juga mesti satu visi sama gue. Itu tuh sudah paling kunci lah untuk menentukan gue mau atau nggak terlibat di project tersebut,” jelas Rayhan dalam artikel Wawancara Khusus Pophariini. […]

Eksplor konten lain Pophariini

Nuansa Musik 80-an Hiasi Single Baru Tiara Andini Berjudul Kupu-Kupu

Berselang satu bulan dari perilisan album mini hasil kolaborasi bersama Arsy Widianto, solois Tiara Andini kembali lagi dengan single baru bertajuk “Kupu-Kupu” hari Kamis (18/04).   Jika beberapa single yang sebelumnya kerap mengadaptasi gaya …

Kahitna Mengenang Satu Tahun Kepergian Carlo Saba dengan Sejauh Dua Dunia

Tak terasa sudah setahun kepergian Carlo Saba. Kahitna akhirnya kembali merilis single anyar berjudul “Sejauh Dua Benua” hari Jumat (19/04) sebagai bentuk penghargaan dan tanda kasih untuk mendiang sang sahabat.   Yovie Widianto mengatakan …