Wawancara Khusus Xaqhala: Perjalanan Menggugurkan Dosa
Makin maraknya orang-orang yang gemar bersepeda selama masa pandemi ini, namun tidak ada yang bisa mengalahkan niatan gila dari seorang Gerry Konaedi aka Xaqhala. Rapper tanah air ini baru saja menyelesaikan perjalanan bersepeda dalam judul Xaqhala Go-West OsBMX Jogja – Jakarta yang dimulai sejak tanggal 26 Oktober 2020.
Xaqhala memang bukan orang pertama yang pernah melakukan perjalanan bersepeda antar kota. Pesepeda lain sudah lebih dulu beraksi, salah satu rute yang ditempuh Jakarta – Bali.
Hal yang berbeda, ia mengayuh jenis sepeda yang umum kita tahu biasa digunakan untuk keperluan freestyle. Xaqhala mengendalikan BMX single speed-nya melewati sekian kota dengan cuaca yang tak bisa diprediksi, seketika panas dan hujan. Ia pun menyebut perjalanan bersepedanya menjadi pengalaman spiritual dalam ikhtiar menggugurkan dosa.
Mengenal kembali Xaqhala, perskenaan hip hop empat tahun lalu sempat dihebohkan dengan “Young Weck” sebagai diss track untuk menyilet ocehan Young Lex. Ocehan yang diambil dari rekaman wawancara awak media (konon tanpa izin publikasi).
Jauh sebelum fasilitas bernama layanan musik streaming yang kini sangat membantu para artis memperkenalkan karya, sepuluh nama berkumpul di Pesta Rap yang terpajang di rak toko kaset. Xaqhala, adalah salah satu jebolan di album kompilasi tersebut. Ia mengoceh bareng Alphonso Parulian ‘Rulli’ Sagala dalam jasad Boyz Got No Brain untuk menelurkan “Nyamuk”.
Boyz Got No Brain juga hadir menyumbangkan nomor “Aku Ingin Pergi” di Pesta Rap volume 3. Album yang turut menampilkan “Tididit” Sweet Martabak, “Sakaw” Black Skin, dan lainnya.
Dalam karier solonya, Xaqhala sudah menelurkan single “Cewek Rusak” (2000), satu album perdana S/T (2004), single “World War”, serta “Young Weck” yang disebutkan tadi. Dan terakhir “Baja” hasil kolaborasinya dengan penyanyi reggae asal Jerman keturunan Indonesia, Toke.
Pop Hari Ini menghubungi Xaqhala hari Jumat (30/10) saat ia baru mendarat dari perjalanan Xaqhala Go-West OsBMX Jogja – Jakarta untuk menanyakan seputar perjalanan bersepedanya, hingga pendapat tentang hip hop Indonesia hari ini. Mari disimak:
Apa saja kegiatan loe selama pandemi?
Selama pandemi sih, asli, gue ‘kan punya konveksi ya. Gue punya produk produsen sablon di rumah, mati lah itu. Jadi gue bingung, dari Februari, Maret, April gue bingung. Akhirnya, Juni itu gue mulai main sepeda lagi, BMX, cari kesibukan. Gue punya sepeda low rider kan. Low rider lama gue simpan sudah dari tahun 2010 kayaknya. Gue bangun lagi buat anak gue, gue jadiin BMX gitu.
Jadi loe benar-benar sendiri berangkat dari Jogja ke Jakarta?
Gue benar-benar sendiri. Gue nggak bawa tukang potret untuk mendokumentasikan. Benar-benar sendiri, dan ada teman yang malah ngirimin gue GoPro “Loe musti dokumentasiin sih nih. Nih gue pinjemin GoPro”. Sampai ada yang minjemin tongsis. Tongsisnya nggak kepake sama sekali, gila [tertawa]. Tapi ternyata ya gue pakai GoPro juga jarang. Gue jarang banget gitu. Nggak yang sepanjang jalan apa ya karena mungkin gue juga karena ini baru kan. Jadi gue beradaptasi gitu sama sesuatu yang baru. Gue beradaptasi sendiri gitu. Ya, benar-benar sendiri.
Tapi Alhamdulillah gue sampai Magelang, dari Jogja sampai Magelang, ada teman gue yang ngawal gue naik motor sampai, karena gue jalan ke Temanggung dan Parakan jalannya tuh naik. Jadi gue dikawal, tas gue dibawain. Tas pannier gue yang lumayan berat ya karena gue touring gue bawa tas pannier dua. Itu sepeda ditambahin rak, rak buat touring kan. Itu aja besi beratnya udah sekitar 2 1/2 kg. Bawaan gue ada 15 kg. Jadi ya sekitar, hampir 20 kg lah beban sepeda itu.
Beban sepeda sebelum gue naikin tuh mungkin nambah 20 kg, dan sepedanya kan sepeda besi juga berat. Jadi gue dikawal, gue sampai Parakan, sampai gue di Muntung gue dikawal. Sampai Muntung gue nginap di sana sehari. Berangkat ke Sukorejo itu kan nanjak juga gunung. Nah, gue juga dikawal tuh sampai titik tertinggi gue dikawal.
Tas gue dibawa. Kalau sampai tanjakan yang sudah tinggi banget, gue nggak bisa gowes, gue masih dibantuin, dituntunin sama dia. Tapi gue nggak boncengan sama dia, gue tetap di sepeda gue. terus sepeda gue di push, itu saja sih Alhamdulillah-nya.
Ada target waktu sampainya nggak?
Alhamdulillah, kalau target, nyampe sesuai target. Jumat gue nyampe. Semua nanya, kapan kira-kira nyampe. Jumat nyampe, sesuai target gitu. Tadinya target gue 4 hari 3 malam, tapi jadinya 4 hari 4 malam. Karena waktu di Cirebon itu, jadi pertama kan gue ke Muntung, Muntung itu 82 km lah. Dari Muntung, besoknya lagi gue ke Pekalongan. Itu sekitar 85 km.
Gue istirahat, nyampe malam gue tidur di sana. Dan dari Pekalongan ke Cirebon tuh 156 km, gue nyampe tengah malam jam 12. Ah, rencananya kan Shubuh gue jalan lagi, tapi gue pikir enggak deh. Gue recovery dulu deh. Nyampe jam 12, gue tidur. Gue seharian di Cirebon, malah ketemu malam lagi. Jam 5 Shubuh gue baru jalan. Gue recovery. Tapi jadinya, 4 hari 4 malam. Targetnya 4 hari 3 malam.
Apa saja kendala (rintangan) selama perjalanan bersepeda dari Jogja ke Jakarta?
Alhamdulillah ya, untuk pemula kayak gue, gue sendirian, cuaca juga musim hujan, Alhamdulillah, gue nggak ada kendala.
Kendalanya cuma panas matahari saja tuh. Panasnya di Weleri sampai Pekalongan itu gue disikat panas. Hampir dehidrasi lah. Gue tuh sehari bisa minum 7-8 botol air mineral yang kecil gitu. Es kelapa lah, es teh manis. Weh pokoknya tukang dagang bingung gue kalau mesen es teh manis 2, langsung 2 gelas dan langsung habis [tertawa].
Terus nyampe dari Cirebon ke Jakarta itu kendalanya gue memang dari pagi. Dari jam 8 itu, jam 9 gue dikasih gerimis, hujan pelan-pelan. Jadi kendalanya gue cuma “Ah, gerimis nih”. Gue ganti baju mantel, kan terus dirapihin lagi, Entar “Duh panas gerah kan”, gue lepas lagi. Tahunya agak hujan lagi sedikit, gue pakai lagi. Entar nanti siangan, lepas lagi.
Tapi Alhamdulillah itu cuma sampai jam 12-an, jam 1, jam 2-an. Habis itu gue dikasih mendung sampai masuk Jakarta. Alhamdulillah. Kendalanya ya cuma karena ini pertama kali, kendalanya ngalahin mental sih, mental kaki gue. Kalau nafaskan gue bukan pakai road bike yang ngebut, ‘bas bus bas bus’ gitu. Enggak. Kaki sih, dengkul sama kaki. Kendalanya itu. Tapi, it was fun. Maksudnya, menyenangkan kok. Gue ketemu banyak orang, orang-orang baru, teman-teman lama, teman-teman baru. Asik kok.
Pasti ada semacam pengalaman spiritual yang loe dapetin di perjalanan ini …
Memang ya, salah satu niat gue. gue kan orang Islam ya. Kalau gue, berdoa melakukan perjalanan jauh itu hampir 560 km. Jadiin perjalanan gue ini perjalanan yang memupuskan atau menggugurkan dosa-dosa gue sebagian, dan memang tadinya gue pengin sekalian suwunan lewati Rak’atan gitu. Tapi entah kenapa, ya gue sempat ke Habib Luthfi gue nggak ketemu. Terus gue ziarah di alas roban, gue mau masuk ke makam Kiai Abdurrahman Subki atau Kiai Subuh itu kan masuk dari jalan utama itu masuk sekitar 300 meter kan ke dalam hutan, dan gue sendiri itu lewat tebing gitu.
Terus karena gue keringetan terus gue mungkin berhadas kecil. Gue mutusin untuk di tengah jalan gitu. Ya baru jalan, “Ah sudah, gue ke luar lagi saja deh” gitu karena gue takut nggak ketemu air di sana kan. Gue mau sembahyang atau mau berdoa. Ah udah lah ngapain. Seputaran itu.
Mungkin kalau pas mau hujan gue berdoa, biar nggak hujan. Akhirnya nggak dikasih hujan. Kaki sudah lemes banget, trus gue yang dzikir, dzikir, dzikir. Oh, tiba-tiba ‘teng enteng’ aja gitu kaki. Ya mungkin begitu sih, ya mungkin perasaan gue tapi Alhamdulillah itu yang gue rasain sih spiritualnya.
Dan gue sempat juga ke makam, tadinya mau ke makam Sunan Gunungjati tapi kan sudah ditutup kan, ke atasnya sudah ditutup. Jadi, nggak jadi. Gue jadinya ziarah ke makan Kuwu Sangkan alias Pangeran Cakrabuana anaknya Prabu Siliwangi. Dia salah satu Kiai yang babat alas Cirebon jadi yang pertama bikin kerajaan Cirebon, yang bersihin hutan Cirebon itu untuk bisa dihuni, dan yang menyebarkan agama Islam di tanah Cirebon sekitar abad 14, 1400 tahun masehi gitu lah. Itu doang sih.
Pulang ke Jogja naik sepeda lagi?
Sebenarnya, gue tuh maunya ke Bandung sih. Gue mau ke Bandung naik sepeda sama teman-teman gue. Ada yang mau nemenin dan dari Bandung gue keretain, karena gue bosan kalau pulang lewat Pantura, gue bosan.
Gue pengin lewat Selatan. Tapi kendalanya lewat Selatan itu adalah loe tau sendiri jalannya. Mungkin kalau sudah di pesisir pantai Selatan mungkin sudah OK ya, sudah sampai Daendels atau sampai mana. Tapi kan arahnya mau lewat Sukabumi kek, mau lewat Pelabuhan Ratu kek, itu sih bunuh diri ya naik BMX ya. Parah gitu.
Sebenarnya gue bisa saja, kan gue pakai gear 44-16 standar. Standar sepeda pabrikan BMX tuh 44-16 kalau nggak salah. Bisa saja gear nya gue ganti, gear depan 36, belakang berapa gitu, belakang 18 atau 22, atau 21 gitu pokoknya enteng.
Cuma entar nggak bisa ngebut, ngicik, ckckck. Gitu. Terlalu slow, jadi perjalanan agak lama. Jadi kayaknya gue lebih memillih untuk Jogja-Bali sih untuk next project, Jogja ke Bali. Xaqhala Go East gitu, atau sampai Lombok, far east, iya kan. Keren [tertawa].
Gimana awal tercetusnya Xaqhala Go-West?
Sebenarnya gini, sebenarnya gue punya toko di Jakarta. Terus semenjak covid, vakum. Tanahnya sama yang punya tanah mau dijadiin, apalah nggak ngerti. Jadi gue musti bongkar, gue punya ramp disitu kan, ramp buat main skate sama BMX juga di toko gue itu, di brand gue, PUMP di Cilandak, dan lagi bongkar.
Dan semua teman-teman gue yang ikut bareng disitu, owner, lagi pada sibuk. Gue doang kan yang nggak sibuk. Nah sekalian lah gue cobain, gue mau gowes daripada gue nggak ada kerjaan kan. Waktu gue ngomong sih, banyak teman gue yang “Serius? serius?” gitu dukung.
Ada juga teman gue yang, ‘Loe gila apa ya?’ ragu juga bisa nggak. Tapi gue ya, gue nggak tau kenapa ya. Gue pengin buktiin gitu. Gue main sepeda baru dari bulan Juli. Gue pengin buktiin pakai BMX tuh bisa jalan ratusan kilometer dan nyaman.
Maksudnya kan, BMX bukan sepeda favorit untuk perjalanan jauh. Tapi gue pengin kasih liat bahwa BMX juga sebenarnya enak dengan ban 24” ya. Tapi mungkin suatu saat gue mau cobain pakai ban 20” yang standar BMX untuk jalan jauh. Mungkin pasti lebih berat, karena apa, bannya lebih kecil. Pasti gerakan dengkulnya untuk memutar ban itu lebih banyak daripada menggerakkan ban yang lebih gede.
Yang kedua, riding position– nya juga kalau ban 20” kan lebih agresif gitu karena dia frame– nya kecil, fork– nya kecil. Kalau loe mau enak, pasti joknya loe tinggiin. Ketika joknya loe tinggiin, pasti itu stangnya ada di dengkul loe. Itu jadi lebih yang, gitu lah. Tapi pasti ada banyak perbedaannya, gowes pakai ban 20” sama ban 24”.
Inget kapan pertama kali bisa naik sepeda?
Ingatlah. Pertama kali gue naik sepeda waktu itu, mungkin gue kelas berapa ya, kelas 1 SD, atau kelas 2. Jadi, pakai sepeda teman gue, BMX. Nggak diajarin juga sama dia. Gue belajar sendiri di lapangan dulu, gue masih di Bintaro itu kalau nggak salah di komplek IKPN. Di lapangan gue muter, muter, muter, muter sampai akhirnya bisa gitu nggak ada yang megangin.
Gue pakai kaki, gue muter, gue muter, gue muterin. Mungkin kayak dulu, kalau sekarang strider ya. Tapi gue sudah gede, udah kelas 1 SD, atau kelas 2 SD gitu. Jadi kayak balance bike, cuma ini bukan balance bike, BMX teman gue sampai gue bisa. Terus gue inget gue dibeliin bokap, sepeda balap sih pertama. Adek gue sepeda mini, gue sepeda balap. Sepeda balap yang drop bar gitu, yang kumis (stangnya). Ada giginya di tengah. Itu sih sepeda balap, malah bukan BMX.
Apa sepeda yang loe gunakan saat ini?
Sepeda merk Oyama sekitar tahun 80an tapi 24”. Sebenarnya itu sepeda bini gue. Itu sepeda yang gue pakai buat gowes dari Jogja ke Jakarta.
Ada BMX Cruiser Oyama. Jadi, gue pakai itu. Tapi kalau di rumah gue pakai BMX buatan Bandung itu dikasih teman gue, bukan BMX branded juga. Gue lagi bangun sepeda, gue beli di rongsokan. Gue baru dapat frame Mongoose, mid school juga bukan old school. Kayaknya gue mau bangun itu. Tapi kalau anak gue yang gue bangunin itu ya style-nya style Stingray gitu, zaman era sebelum ada BMX. Sebelum ada BMX kan mereka pakai Schwinn Stingray, cuma dimodif agar bisa kayak anak Motocross. Jadi lah BMX, gitu kan. Ada itu di rumah, sering gue pake riding.
Di Jogja, kemana-mana naik sepeda?
Kalau kemana-mana gue sekarang sudah naik sepeda sih. Maksudnya, karena memang jarang, anak-anak sekolah daring, nggak pernah antar jemput lagi, jadi ya kerjaan gue naik sepeda gitu, dan ke rumah teman gue pasti naik sepeda. Ke mana-mana naik sepeda lah.
Hampir setiap hari lah naik sepeda. Jadi bukan hanya dekat ke warung saja, bisa 35 km pun ke rumah teman gue, gue naik sepeda. Pulang pergi 70 km atau paling nggak setidaknya itu sekitar 20 km-an sehari. Paling minim gitu. Tapi pernah sehari itu sekitar 75 km pernah. Tapi memang ke mana-mana setiap hari sudah naik sepeda gue. Kalau bini gue, kalau lagi nggak sibuk, dia kan bikin kue, dia suka ikut, suka ikut riding.
Entah pagi, entah malam. Tapi kalau kegiatan gue, gue ke bengkel, gue ke mana, gue pasti naik sepeda sekarang.
Gimana loe melihat tren sepeda tahun ini sampai harga jualnya bisa dibilang goks banget tapi tetap ada saja yang beli?
Kalau sepeda-sepeda mahal sih gue sudah tau dari zaman dulu sih ya ada sepeda-sepeda mahal karena gue kan, teman-teman gue di kampus tuh dari tahun berapa ya di IKJ dari tahun 2005, sudah main sepeda. Gue udah tau, sepeda beli di rongsok, dibeli orang 16 juta gue sudah tau.
Cuma kalau masalah sepeda Brompton, gue nggak terlalu ngerti ya. Sepeda balap memang kayaknya mahal deh dari dulu juga. Adik gue juga kan punya Specialized tuh. Ya, itu kan sepeda mahal juga kayaknya. Tapi kalau sepeda BMX yang gue tau harganya mahal-mahal, mungkin karena apa ya, lagi nge- tren harganya naik.
Ya mungkin ya sama saja sih loe waktu zaman batu, zaman batu apa tuh maksudnya lagi musim batu cincin kan gila juga harganya. Maksudnya bacan dulu sampai berapa harganya. Sekarang nggak ada harganya. Ya, mungkin sama aja. Namanya, lagi ‘anget-anget’ pasti digoreng harga. Tapi kalau ada orang yang mau beli, ya bagus lah kalau dia punya duit.
Kalau gue sih ogah beli BMX 20 juta, 15 juta gitu. Malah gue ada project nih, gue ada project di Fresh Coast BMX. Jadi gue bikin IG baru, namanya Fresh Coast BMX. Kerjaan gue hunting di tukang loak, gue cari part-part nya. Gue bangun. Dan tagline gue berangkat dari Jogja, bukan sepedanya tapi siapa yang gerakinnya.
Mungkin itu salah satu menjawab pertanyaan loe, gimana tuh yang mahal-mahal. Ya, kalau emang loe suka sepeda, kalau memang dia mampu, ya nggak apa-apa sih, gue nggak ada masalah. Tapi kalau loe kurang-kurang duit, trus loe malu karena sepeda teman-teman loe mahal-mahal. Ya, jangan juga. Makanya tagline gue gitu, bukan sepedanya tapi siapa yang gerakinnya.
Gimana kabar permusikan sekarang?
Gue terakhir ngerilis single Januari. Sebenarnya pengin buat album solo. Tapi ya Hellhouse Records sendiri juga sudah nungguin gitu karena memang jadwalnya gue masuk setelah Mario Zwinkle. Tapi lagi kondisi kayak begini.
Gue nggak tau ya. Musik buat gue kan dari dulu udah bukan sebuah prioritas. Gue yang penting anak istri secure dulu, baru gue mikirin musik. Tapi gue pengin punya album, pengin. Ya mungkin karena gue belum merasa bahwa anak istri secure. Jadi bukan jadi prioritas gue. Tapi gue pengin punya album solo terakhir sih dari Xaqhala.
Terakhir, bagaimana kabar hip hop hari ini?
Gue senang banget sih, ramai. Banyak regenerasi yang keren-keren. Maksud gue, yang keren-keren yang gue suka banyak. Senang sih gue. Mau yang dikomersil, maksudnya yang di industri ada yang keren. Walaupun banyak yang nggak kerennya, yang sok masuk industri tapi nggak keren. Tapi ada yang keren gitu gue suka. Ada yang di underground juga keren banget [tertawa].
Senang sih gue. Keren kok. Ada yang keren. Maksud gue skenanya mungkin lagi agak nggak ada suaranya, karena COVID begini kan. Tapi mudah-mudahan setelah COVID selesai skenanya bisa meriah lagi, menggeliat lagi, bisa menyala kalau anak sekarang ya. Di jalur industri dan di jalur underground gitu. Kayak dua tahun belakangan, dua tahun lalu kan, di industrinya bagus, di underground nya juga rame. Senang sih gue sama masa depan musik hip hop di Indonesia ini.
______
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Dirty Racer Buktikan Cinta Sejati Itu Ada Lewat Single Vespa Merah
Setelah merilis single “Percaya” dan “Untitled” pada 2015, unit pop punk asal Lampung, Dirty Racer kembali dengan yang terbaru dalam tajuk “Vespa Merah” (08/11). Dirty Racer adalah Galang Rambu Anarki (vokal, bas) …
Circle Path Memaknai Candaan Jadi Hal yang Serius di Single Teranyar
Setelah merilis single “Down In The Dumps” tahun lalu, Circle Path melanjutkan perjalanan mereka lewat peluncuran single anyar “Take This As A Joke” hari Senin (11/11). Pengerjaan single ini dilakukan secara independen dan mereka …