Wawancara Pendiri Grimloc, Herry “Ucok” Sutresna

Jan 1, 2022
Grimloc Ucok

Pria ini memberi makna baru pada nama panggilan “Ucok”. Nama yang sebelumnya biasa menjadi panggilan orang tua untuk anak lelaki di Sumatra Utara, dalam skena musik arus samping hanya berarti satu sosok, yaitu Herry “Ucok” Sutresna, rapper eks Homicide, kini dengan moniker, Morgue Vanguard. Sosok berbahaya di skena hip hop bawah tanah, yang dikenal dengan lirik tajam dan musik berbobot, yang juga aktif dalam sosial politik di Bandung. Di 2010, Ucok kemudian membentuk label rekaman Grimloc Records bersama Febby Herlambang (Kidsway, ex Balcony) serta Juni dan Iwan. 

Grimloc Records di 2020 kemarin berusia genap 10 tahun dan menjadi salah satu label yang paling produktif di Bandung, dan mungkin juga di Indonesia. Dan seolah peduli setan dengan pertanyaan yang sempat menggema soal, ke mana band Bandung sekarang ini? Bahkan ketika pandemi menghadang sekalipun di paruh waktu kedua ini di 2021, Grimloc telah merils 17 rilisan album musisi-musisi Bandung. Itu belum termasuk beberapa rilisan vinyl yang terpaksa diundur karena faktor penyanyi Adele merilis vinyl album barunya.  Selain musik dan kualitas rilisan fisiknya yang terkurasi dengan baik, investasi terbaru Grimloc berupa webstore barunya juga hadir dengan fitur semakin lengkap dan mudah.

Ucok sendiri selain disibukkan dengan menjalankan Grimloc bersama rekan-rekannya, dan juga menjadi produser untuk beberapa musisi, belakangan sempat duduk menjadi dewan kurator Bandung Design Bienalle 2021 kemarin bersama Prananda L Malasan dan Krishnamurti Suparka. Ini tidak mengherankan jika melihat latar belakangnya sebagai pekerja desain grafis profesional yang bersama design house-nya, TYP:O, telah membuat berbagai karya, di antaranya logo Peterpan dan Noah, serta yang terbaru, logo MBloc. 

Simak obrolan Pophariini seputar kiprah label Grimloc yang kini genap 10 tahun, tentang Spotify dan hak musisi, tentang generasi jaman sekarang, dan anak pertamanya yang baru tahu siapa Ucok Homicide itu.


Halo Cok, jadi gimana Bandung Design Bienalle 2021 kemarin? 

Responnya luar biasa, spektrumnya jadi luas. Berbekal teks kuratorial dari kami yang sudah disebar sebelumnya, submission yang masuk total 140 lebih dari multi disiplin. Ke depannya karena teks kuratorialnya soal pemetaan, maka akan jadi modal. Bahwa di Bandung ada ini-itu, dan dengan modal itu bisa mengerjakan macam-macam.

Okey, latar belakang elo desain grafis ya?

Sebenernya Desain Produk, FSRD ITB, bareng sama Arian dan Khemod (Seringai). Minatnya masuk Seni Murni, malah masuk Desain Produk. Mau Desain Komunikasi Visual tapi ternyata IPK nya harus tinggi (tertawa). Jadinya pas kuliah curi-curi kuliah DKV, termasuk tipografi. Makanya pas keluar jadi kerja desain grafis. Bahkan sempat membuat design graphic house, TYP:O Workspace. Tapi bubar di 2017.

Grimloc hampir bangkrut di 2015. Ketika Febby gabung itu jadi penyelamat. Langsung membaik bahkan grafiknya Grimloc juga mulai naik.

 

Terus cerita bikin Grimloc gimana?

Awalnya gue dan Gaya (Eyefeelsix) bikin Grimloc itu karena Eyefeelsix mau rilis album di 2010. Karena butuh label, jadi bikin saja. Setelah itu diseriusin ke rilisan berikutnya. Terus Gaya keluar, masuk teman-teman yang lain, salah satunya Febby yang tadinya di manajemen Noah. Terus karena manajemennya bubar, Febby yang ternyata punya modal yang dibutuhkan Grimloc akhirnya gabung, yaitu mengurus keuangan dan tetek bengeknya. Yang mana sempat jadi masalah serius di Grimloc yang hampir bangkrut di 2015. Ketika Febby gabung itu jadi penyelamat. Langsung membaik bahkan grafiknya Grimloc juga mulai naik. 

Apa yang lo janjiin sama Febby sampai dia tertarik?

Enggak janjiin apa-apa. Dulu kan gue sama Febby sempat kerja bareng di Harder Records (label independen Bandung 90an), ya jadi kaya nostalgiaan saja. Terus momennya juga pas Febby cabut dari manajemen fansnya Noah. Saat itu juga graphic house gue juga tutup. Ya sudah akhirnya kita sepakat fokus ke Grimloc.

Febby memang bisa ngeliat ide-ide gue itu visible, ditambah memang dia juga pengen bikin label lagi. Dan justru beberapa pengalaman di Noah itu yang diterapin di Grimloc. 

Ketika Grimloc bangkit lagi di 2015 ada investor?

Enggak ada. Benar-benar patungan saja ngumpulin aset-aset kita. Untuk diputar di merchandise dan segala macam. Dan ngandelin rencana yang dibikin Febby kita jalanin saja. Benar-benar enggak ada investor.

Terus momennya juga pas Febby cabut dari manajemen fansnya Noah dan akhirnya sepakat fokus ke Grimloc. Justru pengalaman di Noah itu yang diterapin di Grimloc. 

Lo full time di Grimloc sekarang?

Iya. Sebenarnya gue masih ngerjain grafis, tapi tanpa embel-embel institusi. Full time nya tetap di Grimloc. Selain gue juga rekaman dan nge-produserin. Dari dulu sebenernya gue bisa melihat Grimloc kayak ada di posisi sekarang. Sebelumnya gue juga serius sama Grimloc, tapi enggak terlalu fokus. Karena kerjaan gue desain grafis saat itu. Saat ini kantor gue Grimloc. Full time, desainer grafis cuma proyekan saja. 

Kok bisa seyakin itu?

Sebenarnya memang visible sih dari dulu. Cuma karena enggak punya bussiness plan saja, jadi enggak ngerti jalaninnya. Gue selama ini cuma ada di balik laboratorium ide, ngedesain, bikin ide-ide kreatif, campaign, promo. Kekurangannya cuma butuh orang paham bisnis untuk jadiin ini visible. Makanya begitu ada Febby, kita langsung bikin webstore, bebenah dari mulai beresin inventori sampai ngurus payment gateway yang mudah banget. 

Ide-ide itu termasuk ngejalanin Homicide sampai sekarang? 

Itu beda. Semenjak Homicide bubar itu sebenarnya gue malas diterusin jadi merchandise karena band-nya juga sudah bubar. Merchandise Homicide sendiri diproduksi ulang cuma untuk penggalangan dana aktifitas sosial politik di lapangan saja. Awalnya gue iseng coba dilacurin, ternyata sukses. Jadi diterusin pun sesuai kebutuhan di lapangan saja. 

Jadi bukan rilis terbatas karena sengaja bikin supaya jadi rare. Kan sekarang orang-orang mikirnya gitu. Gue bikin sesuai kebutuhan saja. Untuk dana dapur umum, butuh ruang komunitas, dana solidaritas perjuangan di titik-titik api konflik dan seterusnya. Begitu butuh penggalangan dana, gue akan bikin merchandise Homicide. Kalau enggak ada, ya enggak usah. Sesimpel itu saja.

Semenjak Homicide bubar itu sebenarnya gue malas terus diduitin. Merchandise Homicide sendiri diproduksi ulang cuma untuk penggalangan dana aktifitas sosial politik di lapangan saja.

 

Grimloc sekarang juga jadi brand clothing juga?

Tepatnya ngeseriusin merch band-nya saja sih. Jadi, untuk jadi label rekaman sepenuhnya dan cuma ngandelin jualan rilisan fisik saja ternyata enggak bisa. Harus ada bisnis model lain yang menopang. Karena rekaman itu mutarnya lama. Bisa balik modal, tapi lama. Jual 500 kopi hari ini itu balik modal butuh waktu setahun dua tahun.

Ketika Febby masuk, atas ide dia, merchandise itu kita seriusin. Yang tadinya lima bulan sekali, sekarang per dua bulan bikin. Karena memang itu yang menopang Grimloc. Enggak bisa bohong juga. Cuma mengharap dari bisnis rekaman saja susah. Bahkan yang marjinnya gede, seperti vinyl sekalipun balik modalnya lama. 

Apa rilisan dengan penjualan terbaik Grimloc di tahun awal berdirinya?

Di luar Homicide? Di tahun-tahun awal ada SSSLOTHHH – Phenomenon (2013), Taring – Nazar Palagan (2014), album gue, Morgue Vanguard x Still – Fateh (2014), Eyefeelsick – Immortality (2013), Flukeminimix  Between Spaces Into Space (2015).

Kalau yang sekarang agak susah dilacak. Karena sudah banyak banget sampai gue lupa (tertawa). Album Anjing Tanah, (Probably) The Most Complete Discography (2021) itu nyumbang pemasukan gede banget. Yang enggak nyangka banyak distro luar negeri yang beli putus album Domesticrust, Rahuru Sonik Tanah Koloni (2021). Awalnya gue rilis karena alasan suka saja. Gambling juga sih. Dan sempat diragukan sama Febby (tertawa). Tapi ternyata laku-laku saja.

Menurut gue, kita memang harus merilis yang kita suka saja. Enggak usah peduli pasar. Kalau penjualannya enggak bagus, ya sudah, enggak disesalin. Karena tujuannya karena memang suka bandnya. Cuma tetap harus dipromoin maksimal, biar jangkauannya luas semaksimal yang kita bisa. 

Menurut gue memang harus merilis yang kita suka saja. Enggak usah peduli pasar. Kalau penjualannya enggak bagus, enggak perlu disesalin. Karena tujuannya karena memang suka bandnya.

 

Kenapa Grimloc memilih merilis rilisan fisik?

Karena itu yang kita pahamin. Rilisan fisik album itu masih penting. Selain perkara apresiasi karya musiknya, album penuh itu episentrumnya merchandise. Kalau enggak ada album ya enggak bisa bikin merchandisenya. Itu umum berlaku di mana-mana sih. Itu juga kenapa gue enggak pernah nganggap enteng artwork album, karena akan diaplikasiin di merchandise.

Lagian kenapa fisik? Karena kita nyaris enggak dapat apa-apa di streaming. Bayangin saja, musisi yang paling sering diputar di katalognya Grimloc di Spotify itu rilisan-rilisan gue. Dari Homicide, album solo gue sampai album Demi Masa. Dan tiga tahun enggak diambil cuma dapat tujuh juta. Bayangin nasib band-band lain di bawahnya Homicide. Enggak signifikan banget. Bayangin, keuntungan menjual satu CD sama dengan berapa ribu play di Spotify. Enggak fair kan. Buat musisi moddelan kita sih platform digital itu nyaris enggak ada gunanya dari sisi pendapatan.

Oke, jadi royalti dan hak musisi itu fundamental buat Grimloc ya?

Iya dong. Gue bisa bilang hal itu fundamental di Grimloc karena kita semua di sini itu musisi pelaku, anak band juga. Dari Iwan, Febby, gue, kita semua pemusik. Jadi buat kita itu signifikan banget. Karena juga di Grimloc itu kita semua sama gajinya. Bedanya cuma kalau ada tambahan royalti album musik kita sendiri. 

Karena juga di Grimloc itu kita semua sama gajinya. Bedanya cuma kalau ada tambahan royalti album musik kita sendiri. 

 

Lalu gimana soal pembagian fair royaltinya, apakah detail seperti di peraturan mendasar yang selama ini berlaku? 

Kita enggak sedetail itu. Kita ngebaginya: band ini royaltinya segini, ya sudah masuk ke kas bandnya. Terserah gimana pembagiannya. Enggak sedetail kayak Sun Eater ngatur royalti sih. Bahkan gue dan Iwan, ngeproduserin si Krowbar, ya sudah saja royalti full-nya masuk buat Krowbar. Enggak ngitung gue dapat duit dari situ. Bantuin teman bikin album saja. Intinya ketika ada penjualan album, artisnya harus dapat bagian yang fair

Kabarnya Grimloc menarik semua katalognya di Spotify, tapi kok masih ada?

Karena prosesnya itu lama. Nyebelin. Masukin lama, nariknya juga lama. T*i memang (tertawa). Tapi sebagian sudah ada yang ditarik kok. Dulu si 2017 kita masukin ke DSP (Digital Streaming Provider) karena dipikir ada potensi ngembangin pasar. Lalu sudah dicoba dan dievaluasi ternyata hasil pendapatannya enggak masuk akal sama sekali. Jadinya kita tarik saja.

Rilisan Grimloc itu ada di semua DSP. Spotify, Apple Music, YouTube Music dan sebagainya. Tapi anehnya yang diputar paling banyak di Spotify malah pendapatannya paling sedikit. Kalah sama pendapatan Grimloc di  YouTube. Aneh. Padahal playnya jelas lebih banyak di Spotify.

Di Grimloc itu ada dua rilisan, regular dan arsip. Yang arsip ini adalah album-album reissue yang dianggap penting. Biasanya lengkap dengan buklet berisi liner notes, artikel, perspektif teman-teman dan dokumentasi foto.

Terus belakangan baru ngerti mereka tujuannya memang bukan soal fair payment ke musisinya. Lebih ke menyediakan musik legal saja. Itu pengakuan mereka lho. Lalu kalau tujuannya legal sih ngapain masukin situ? Gue enggak peduli sih kalau soal itu (tertawa). Dari dulu bodo amat musik gue dibajak kek, bootleg kek, upload di mana kek. Kalau memang kemudian ada yang bikin itu ‘legal’ terus pertanyaannya kita dapat apa sih di situ? Fair-nya apa? Karena enggak fair, kita tarik. sesimpel itu. Bukan cuma narik, tapi kita juga dukung siapapun yang niat bikin alternatif dari Spotify. Makanya pas kemarin ada The Store Front, kita dukung itu. Kita langsung kerjasama.

Gimana soal kerja sama Grimloc dengan The Store Front? 

Buat gue sebenarnya bisnis musik harus gitu. Dibalikin ke desentralisasi. Enggak musti Spotify. Dulu kan enggak bisa masukin ke Aquarius (toko musik konvensional), ya kemudian kita bikin Reverse, Harder, kalau enggak setuju sama Spotify ya harus berjejaring. Kita bikin jejaringnya. Dan buat gue itu yang paling visible dan mendekati itu Storefront. Meskipun infrastrukturnya sangat awal, itu wajar banget. Justru harus didukung, supaya mereka bisa ngembangin lagi infrastrukturnya.

Jadi produk Grimloc itu album rilisan fisik dan merchandise?

Tadinya gitu. Sampai ada kejadian aneh di 2020 pas pandemi diundang pameran arsip oleh Ardo di Grammars. Selama pameran dikasih slot tiga hari. Karena bingung mau apa, kami bikin screen print, nyablon artprint-artprint kami. Sablon poster di tempat dan dijual. Dan ternyata laku banget. Dalam tiga hari itu keuntungan yang didapat sama dengan bikin vinyl 6 bulan (tertawa). Jadi sekarang ada divisi baru di Grimloc yaitu art print, dan itu lumayan banget. Tapi art print nya tetap harus artwork band-band rilisan Grimloc ya.

Showcase Grimloc Records. Foto: https://arenaexperience.com

Apakah CD itu pada akhirnya sekedar merchandise saja yang bisa di-rip didengarkan digital?

Enggak juga sih. Orang pada beli kaset, vinyl juga kok. Kan itu enggak bisa di-rip juga. Jadi pada akhirnya jadi ngebiasain mereka punya player juga. Lagian ya penjualan vinyl di Grimloc itu signifikan banget. Album Blacklight, Koil kemarin laris manis. Laku 400 kopi, Dan itu double vinyl lho. Dengan harga lumayan, 600 ribu.

Buat gue, mau jadi merchandise, koleksi yang valuable buat mereka, itu terserah sih. Yang jelas sensasi rilisan fisik itu beda. Ada artworknya, ada sesuatu yang mereka pegang, juga credits album musisi yang terlibat. Yang susah banget diakses di Spotify.

Di Grimloc itu ada dua rilisan, rilisan regular dan arsip. Yang arsip ini adalah album-album reissue (rilis ulang) yang dianggap penting. Biasanya lengkap dengan buklet. Berisi liner notes, artikel, perspektif teman-teman dan dokumentasi foto. Itu yang dilakukan dengan ngerilis ulang boxset album Homicide, Forgotten dan Balcony. Untuk ngasih perspektif seberapa pentingnya album itu.

Kenapa fisik? Karena kita enggak dapat apa-apa di streaming. Musisi yang paling sering diputar di katalognya Grimloc di Spotify itu, Homicide. Dan tiga tahun enggak diambil cuma dapet tujuh juta. Keuntungan menjual satu CD sama dengan berapa ribu play di Spotify. Enggak fair kan.

 

Bicara reissue, ada rencana rilis ulang album apa lagi?

Banyak sih. Paling dekat rilis ulang album Balcony, Metafora Komposisi Imajinar. Ada beberapa wishlist yang mustahil untuk dirilis ulang. Seperti album perdana Pure Saturday, dan diskografi, Puppen. Tapi yang jelas di Grimloc sudah ada beberapa catatan rilisan penting Bandung yang layak dan akan dirilis ulang. Rilisan penting yang bukan penting buat generasi gue, tapi juga buat generasi selanjutnya. Tunggu saja.

Sekarang di 10 tahun Grimloc terasa lebih solid?

Enggak tahu gimana definisi solid kayak gimana, seperti apa. Tapi kita berusaha kalau misalnya ada pekerjaan ada penanggung jawabnya. Ada beberapa pos yang sudah spesifik dan berusaha fokus ke tugas masing-masing. Toh, pada akhirnya kita digajinya sama. 

Apa yang dipelajari dari 10 tahun perjalanan Grimloc?

Sebenernya dari dulu kepikiran kalau Grimloc bisa seperti sekarang. Tapi memang harus ada orang yang bikin itu sustainable, dan bukan cuma ide-ide saja. Memang ada orang-orang yang megang pos-pos yang vital. Termasuk yang utama, praktek bisnisnya juga. Passion jalan, bisnis juga jalan. Harus serius sih. Dulu belum terlalu serius. Grimloc dulu masih jadi kerjaan kedua. 

Yang jelas kita tuh enggak nerima demo, meski banyak banget yang kirim. Dulu sih email masih gue balesin satu-satu. Sekarang seminggu bisa 10. Habis juga waktu kalau harus ngebalesin satu-satu.

 

Elo itu bertindak juga sebagai A&R nya Grimloc?

Koordinatornya memang gue, tapi setiap rilisan kita diskusiin bareng. Ada yang masuk via Febby, Iwan, tapi lewat gue lebih banyak. Tapi intinya kita diskusiin bareng. Kayak kemarin kasih dengar Kuntari, kita listening session, ceritain konsepnya. Ya tapi sambil nangkring santai saja sih. Kayak nongkrong bareng dengerin musik teman. Enggak beneran ada A&R juga sih. Prosesnya kita suka, terus usahain nonton live-nya. Beres acara kita ajak ngobrol, nongkrong, tanyain ke depan mau ngapain. Ada juga yang suka nongkrong di Grimloc, ngobrol-ngobrol, akhirnya ada obrolan bikin sesuatu bareng.

Gimana cara Grimloc memilih band dan musisi yang akan dirilis?

Yang jelas kita tuh enggak nerima demo. Meski banyak banget yang kirim. Dulu sih masih gue balesin satu-satu. Sekarang seminggu bisa 10. Habis juga waktu kalau harus ngebalesin satu-satu. Belum lagi direct message di Instagram dan Twitter. Gila sih.

Rencananya nanti mau jelasin di Frequently Asked Question di website kita, kalau kita enggak terima demo. Cara kita bukan gitu. Kita bukan label musik konvensional, kita mah label musik tangkringan. Makannya juga kita punya keputusan ngerilis 99% katalog band Grimloc itu band Bandung, bukan karena gimana-gimana. Kita memang cuma pengen bikin ekosistem yang intim saja. Barudak Bandung semua.

Bukan sok eksklusif?

Enggak kok. Bukan sok eksklusif. Memang sistem kita, cara kerja kita gitu, desentralis. Enggak harus band Bandung juga. Kan dibilang 99% band Bandung. 1 % bisa band non Bandung, tapi dibatasin. Cuma karena kebenaran kaki kita ada di Bandung. Dan kami enggak ngerti skena kota lain seperti Jakarta, Bogor, Cirebon dan Surabaya. Ya itu tugas kawan-kawan di kotanya sendiri. Tugas kami cuma mengekspos kawan-kawan di Bandung, yang kita suka tentunya. Makanya rilisan Grimloc itu variatif banget. Dari post rock Flukeminimix, post metal, SSSLOTHHH, Kuntari, Morgue Vanguard x Doyz, Demi Masa, albumnya Krowbar, Domesticrust, punk, hip hop, variatif banget.

Kita punya keputusan ngerilis 99% katalog band Grimloc itu band Bandung, bukan karena sok eksklusif. Kita memang cuma pengen bikin ekosistem yang intim saja. Barudak Bandung semua.

 

Riisan paling pop di Grimloc apa?

Paling ringan mungkin Krowbar. Tapi buat gue sama-sama saja sih. Paling ketebalannya yang berbeda. Gue enggak mau musik yang generik, di apapun. mau di hip hop atau metal. Pengennya tebel. Ada yang lebih. 

Apa roster Grimloc yang paling menarik, produksi dan responnya? 

Ini menarik, karena tiap rilisan itu pengalamannya selalu baru dan beda-beda. Ketika menggarap si Kidsway, kayak hardcore 90-an. Gue merasa nostalgia lagi. Bahkan waktu garap album baru Forgotten juga itu pengalaman baru. Padahal itu band lama banget, juga teman lama banget, tapi baru kemarin kerja bareng. Itu juga jadi pengalaman baru.

Kalau ngerjain band baru, sudah pasti pengalaman baru. Rounder, Ametis, Sacred Witch, meskipun ada orang lama tetap kerasa pengalaman baru. Jadi tiap album tuh pasti pengalaman baru. Bahkan di hip hop sekalipun, karena gue yang produserin. Kayak Krowbar, Eyefeelsix. Tetap saja pengalamannya baru.

Siapa roster Grimloc yang paling muda?

Yang baru rilis EP-nya, Rounder. Itu umurnya cuma terpaut tiga, empat taun sama anak gue (tertawa). Dan gue baru tau pas nangkring bareng. Pas lagi nangkring ngobrol, ngomongin referensi hardcore yang basic dengerin apa saja. Pas gue cerita soal album Shape of Punk, Refused contohnya. Ternyata mereka belum lahir lah. “An***g!”, gue kaget. Dan di situ gue merasa tua (tertawa). 

Kaset Mini Album Rounder, Mausoleum.

 

Dengan ngerilis Rounder, apa yang lo pelajarin dari mereka? 

Cepat banget kecepatan belajarnya. Kemauannya mereka juga kuat banget. Mungkin karena akses juga ya. Mungkin kayak pertanyaan, yang mana duluan ayam dulu atau telor dulu? Antara akses mudah bikin mereka jadi belajar lebih cepat, atau karena mereka kemauannya kuat ditunjang internet jadi lebih cepat lagi.

Dulu gue dan teman-teman umur 20-an itu belum sekaya mereka. Rounder itu sampai mixing album sendiri. Gila kan. Pengetahuan produksinya jauh banget di atas gue waktu muda.

Katakanlah mereka umurnya lahir 2004, sekarang 25-an mungkin. Dulu gue umur segitu belum paham betul produksi hip hop sepenuhnya. Sekarang mereka sudah jago. Apalagi anak-anak hip hop. Bisa bikin studio kamar sendiri, ngulik di situ, belajar tutorial YouTube, beli sampler murah dan bagus terus bisa jadi musik bagus. Bisa begitu. Jaman dulu enggak bisa itu. 

Anak jaman sekarang cepat banget kecepatan belajarnya. Kemauannya mereka juga kuat banget. Antara akses mudah bikin mereka jadi belajar lebih cepat, atau karena mereka kemauannya kuat ditunjang internet jadi lebih cepat lagi.

 

Gimana lo ngeliat cara generasi sekarang eksplorasi musik?

Nah ini menarik. Mereka mungkin enggak runut dengarnya karena semua informasi sudah ada. Tapi sebenarnya polanya sama. Akan begitu terus. Ketika nemu pintu/gerbang band atau album yang disuka, mereka bakal nelusurin terowongan itu dengan senang hati. Sama saja kayak kita dulu. Seperti waktu gue dengar Black Sabbath, Vol. 4 punya bokap gue. Terus ya gue jadi ekslplor ke mana-mana. 

Karena pas gue refleksi lagi, gue juga ternyata enggak runut. Bahkan ketika gue dengerin hip hop itu gue juga enggak runut. Gue dengerin RUN DMC, LL Cool J itu dulu kan new school. Sama anak sekarang dibilang old skool. Old skool era gue itu Grandmaster Flash, Marley Marl, The Fat Boys. Terus juga kan kita dengerin soul kayak Marvin Gaye, rock macam Led Zeppelin itu kan di 90an. Bukan di 70an juga. Sama saja sih sebenarnya.

Gue juga suka metal itu baru setelah Slayer dan Anthrax. Tapi gue terus nyari ke belakang kaya Celtic Frost, Venom, Motorhead. Gitu saja sih. DNA musik kan bisa dicari. Si anu ternyata dengerin itu, si itu dengerin anu, ya begitu saja terus.

Anak sekarang mungkin enggak runut dengarnya karena semua informasi sudah ada. Tapi sebenarnya polanya sama. Ketika nemu gerbang lewat band atau album yang disuka, mereka bakal nelusurin terowongan itu dengan senang hati.

 

Gimana lo ngeliat genre metal, hardcore di Bandung?

Lima tahun terakhir itu lebih beragam. Banyak musik-musik yang keluar dari tradisinya di Bandung. Kemarin 10 tahun lalu, di 2010 pas mulai Grimloc, kayanya susah nemuin band band Asylum Uniform bandnya atau post punk kayak Succubus. Sebelumnya kalau di Bandung ada band punk itu sudah pasti punknya, punk banget. Yang sekarang ini lebih variatif. Gue pribadi sih senang. Sebelumnya sempat sih ada di titik bosan, seperti yang kita tahu. Enggak tahu gue yang enggak ngulik, kurang jauh mainnya. Bukannya enggak bagus, tapi penasaran sama yang mereka yang berani keluar dari tradisi lama abang-abangannya. Meskipun kayak trash metal, mereka mainin trash metal 90an tapi lebih bagus. 

Di skena hip hop juga sama? 

Sama saja, sebenarnya hip hop di Bandung itu kecil banget. Kedengerannya saja kayak gimana gitu. Tapi kalau ngomongin demografi itu kecil banget. Apalagi kalau dibandingin sama skena punk, metal, hardcore. Minor banget. Cuma kebetulan saja ada dari Bandung yang banyak didengar orang. Ini juga yang seru. Main hip hop ya enggak usah yang dulu, 90an, 2000an gitu. Bikin baru saja.

Apakah Grimloc sudah punya dan berhasil menciptakan pasar?

Mungkin bisa dibilang gitu. Ada beberapa kawan yang ngasih testi, apapun yang Grimloc rilis pasti dibeli. Buat gue itu komplimen banget. Dia sudah enggak lihat lagi musiknya apa, apapun yang kita rilis dia percaya. Dan bukan cuma orang Bandung yang ngomong gitu. Sekali lagi, gue memang ekosistemnya di Bandung, tapi yang dengerin Grimloc bukan cuma orang Bandung saja.

Sebelumnya sempat sih ada di titik bosan. Enggak tahu gue yang enggak ngulik, kurang jauh mainnya. Bukannya enggak bagus, tapi penasaran sama yang metal, punk, hardcore yang berani keluar dari tradisi lama abang-abangannya.

Jadi kalau ngomongin pasar, sudah ada ekosistemnya lah. Meski kuenya kecil. Contohnya banyak rilisan standar Grimloc itu cuma dicetak 500 kopi, ya enggak apa-apa. Sementara yang lain bisa sampe 1.000 atau 5.000 kopi. Tapi paling enggak dari yang paling sedikit 500 kopi itu bisa habis. Itu cukup meyakinkan gue kalau kita sudah ada pasarnya. 

Apa band dengan penjualan terbaik selama ini?

Nomor satu pasti Homicide. Kalau ditotal sudah sampai 10.000 kopi. Kolaborasi gue dengan Doyz, Demi Masa, Swagton Nirojim-nya Krowbar, dan album Forgotten juga bagus banget. Terus kompilasi-kompilasi rilisan Grimloc juga itu kenceng penjualannya, jangan salah. Organized, Satu Dasawarsa Kebisingan. Tanpa sadar bikin 1.500- 2.000 tau-tau habis. Taring album kedua. Mesin Tempur, sudah jelas ini mah. Bars of Death, proyek-proyek gue. Fateh juga, Fateh Remix juga habis. Ada beberapa lagi yang signifikan, tapi karena bikinnya dikit jadi ya sudah, 500 habis tapi enggak rilis lagi. Fateh Remix sudah sold out. Yang OG nya malah sebenarnya penjualannya tertinggi pas Demi Masa rilis, itu lebih tinggi Demi Masa. Baru pas rilis Bars of Death baru dia menang di atas. Kaya Domesticrust kita bikin cuma 500 dan habis enggak bikin lagi.

Ceritain soal Krowbar, roster fenomel buat Grimloc?

(Tertawa) Ya memang dia brengsek saja kali ya. Dari sananya sudah kayak gitu. Tugas gue cuma ngemas saja. Ngeproduserin, pilihin artwork sampul albumnya, bikin musiknya, ngarahin kalau nge-rap jangan cepat-cepat. Coba lebih lambat. Gitu saja sih. Selain itu sudah gitu, memang brengsek saja sih dia. Secara skill edan. Multisilabel nya luar biasa, kosakatanya oke, diksi-diksi ngehe nya, plus manggungnya bagus. Komplit deh.

Ada beberapa kawan yang ngasih testi, apapun yang Grimloc rilis pasti dibeli. Buat gue itu komplimen banget. Dia udah ga liat lagi musiknya apa, apapun yang kita rilis dia percaya. Dan bukan cuma orang Bandung yang ngomong gitu.

Makanya album Swagton Nirojim bisa terjual 1000 kopi itu luar biasa. Apalagi buat label gembel kayak Grimloc (tertawa). Dan itu belum termasuk vinyl, ya. Terus bikin vinyl-nya juga laku saja. Kenapa vinyl bisa jadi patokan? Karena ada orang yang rela ngeluarin 300.000-500.000 untuk beli. Harus niat kan. Enggak mungkin iseng, kayak beli CD. Kasus Krowbar ini sudah musiknya niche, jual vinyl, laku juga. 

Kalau penjualan vinyl terbaik di Grimloc?

Homicide pasti masih nomor satu. Setelah itu Blacklight Koil, Demi Masa, Mesin Tempur, Krowbar, dan Forgotten. Sisanya format 7inch lah, Krowbar, Eyefeelsix.

Grimloc merilis tshirt bergambar album perdana Koil, ada rencana rilis ulang?

Sebenarnya dalam rangka mau rilis single “Hujan” versi vinyl 7 inch dari album pertama Koil. Tapi gue lumayan kaget banyak yang nanya ini. Tapi itu kayanya enggak mungkin, karena master debut album mereka itu sudah bukan punya Koil. Kalau pun mau ya mereka harus rekam ulang lagu-lagunya. Sempat ada pembicaraan juga sih sama Otong dan Adam.

Tapi hasil rekam ulang lagu “Hujan” itu jadi bagus banget. Pakai backing vocal segala. Kan jagoan tuh Adam dan Otong manipulasi suara. Mirip banget hasilnya sama yang dulu. Gue yakin lo enggak akan tau kalau enggak dikasih tau ini rekaman ulang (tertawa). Kecuali kalau lo ngeuh backing vocalnya ya. Dari satu lagu itu gue yakin kalau album pertama direkam ulang pasti bisa sih. Jagoan memang soalnya mereka itu. Brengsek memang (tertawa).

Album Swagton Nirojim nya Krowbar bisa terjual 1000 kopi itu luar biasa. Apalagi buat label gembel kaya Grimloc (tertawa). Dan itu belum termasuk vinyl, ya. Terus bikin vinyl-nya juga laku aja.

 

Orang-orang bilang visual artwork Grimloc itu kuat banget, komentar lo?

Gue juga bingung sih ya. Orang-orang komen “Sampulnya Grimloc banget”. Gue enggak ngerti karena sampulnya misal, Krowbar, Randslam, Bars of Death itu kan beda-beda. Mungkin keseriusan kita garap visualnya kali ya? Meski itu kan bukan benang merah juga.

Lucunya memang bukan cuma satu-dua yang bilang gitu sih. Banyak, salah satunya Eka Annash. Kemarin bahkan 7” nya Krowbar itu gambarnya t*i, dibuat ala baroque/renaissance gitu. Tanpa ada judul/nama artisnya. Yang mana rata-rata juga memang enggak pernah ada juga di kover rilisan Grimloc. Benang merahnya gimana coba? (tertawa).

Tapi kalau dari sisi humornya ya mungkin juga. Terus mungkin juga karena sepaket dengan liner notes, katalog/buklet dan packaging nya. Jadi itu muncul kekhasan, “Grimloc banget”. Ya sudah, take it as a compliment saja sih itu.

Iya sisi humor itu kan kuat banget di sampul Swagton Nirojimnya Krowbar?

(Tertawa) itu mah bercandaan anak-anak. Itu jokes internal saja, hal-hal bercandaan keseharian. Banyak sampul album gue yang memang seru-seruan saja. Kayak yang menang Extreme Moshpit Awards, favoritnya, si Randslam bergambar dipukuli polisi. Itu beneran bukan rekayasa. Dan gue sebagai art director akan memudahkan itu. Pas kejadian dipukulin itu di Taman Sari (Bandung) gue juga mengalami, ada di situ. Bedanya dia ketangkep dan masuk live story polisi, dan dijejerin kaya maling ayam (tertawa). Jadi pas enggak lama dia mau rilis album, ya kenapa ngga fotonya dijadiin cover? 

Enggak ada itu bikin dulu moodboard atau apa. Sikat-sikat saja. Juga pas sampul album Anjing Tanah gambar digebukin badut itu jokes anak-anak. Di internal teman-teman sih pasti paham jokes nya. Cuma gue makin ke sini emang lebih jadi creative director saja sih. Dulu kan beneran garap jadi desainer grafis nya. Kaya Bars of Death, gue minta Riandi ngerjain ilustrasinya. Juga Forgotten minta tolong Morgan. Gue paling nge layout saja. Ada satu dua yang masih gue kerjain personal sih, dari hulu ke hilir.

CD Album Swagton Nirojim, Krowbar rilisan Grimloc.

 

Gimana efek pandemi untuk Grimloc?

Pandemi bikin kami jadi refleksi ulang. Makanya kita berani investasi lebih untuk bikin webstore. Karena lumayan mahal itu. Terus kita jadi punya waktu untuk bikin ulang rencana macam-macam setelah sebelumnya rencana 2020 semuanya gagal. Tadinya mau bikin Grimloc Fest, dalam rangka ulang taun ke 10. Akhirnya malah bikin kompilasi. Terus bikin aktivasi yang Grammars itu. Dari situ malah nemu potensi baru yang bisa dilakuin. Enggak punya pintu di sini, bukan berarti jalan tertutup. Tinggal cari jalan lain. Itu efek pandemi. Dan bukan cuma buat Grimloc saja sih. Buat kita semuanya juga. 

Memang sebelum webstore jalan, penjualan langsung di toko efektif?

Iya. Sebelumnya transaksi lebih banyak di toko, saat lokasi masih di Kartini. Mungkin karena online-nya juga belum serius. Jadi orang-orang sekalian main ke toko. Kita pindah ke Suryalaya juga pas mulai pandemi kan. Kaget juga sih, karena pas kehajar Maret – April, kita pas pindahan toko, enggak bisa aktivasi apa-apa. Sementara lokasi lama mau dijual. 

Sekarang toko sudah buka lagi. Semenjak Oktober lah. Anak-anak sempat kena Covid semua. Cuma gue, Iwan, sama Yadi. Tadinya sempet vakum dua bulan.

Di webstore ada semacam member eksklusif Grimloc?

Iya. semacam club saja sih. Dari webstore kita bisa manage teman-teman yang selama ini loyal belanja di Grimloc. Namanya, Balad Barudak. Mereka dapat milis, info terbaru produk limited nya Grimloc, Homicide atau lainnya. Gabungnya gampang saja, tinggal donasi saja, seikhlasnya. Mau seribu perak boleh, via Gopay juga boleh. Nanti uangnya akan diteruskan donasi ke pos-pos yang membutuhkan. Ini penting, karena buat gue Grimloc bisa hidup karena loyalitas dari teman-teman juga. Jadi kita ngasih feedback balik buat mereka. 

17 Rilisan Grimloc Records di 2021

Homicide kenapa masih bisa relevan sama banyak orang?

Enggak tau ya. Kalau buat gue pribadi babak Homicide itu sudah selesai di 2007. Semenjak bubar. Gue sudah bikin macam-macam setelahnya. Morgue Vanguard dengan album Fateh dan Fateh Remix, album Demi Masa, juga sama Bars of Death. 

Kalau orang-orang masih dengerin dan suka Homicide sih enggak apa-apa. Tapi kalau dari sisi finansial sih gue malas dapat duit dari band yang sudah bubar. Harus ngebagi-bagi sama yang lain. Kalau ada miskom, potensinya besar jadi ribut sama teman yang lain. Enggak lucu banget ribut gara-gara duit. Makanya Homicide dijadikan penggalangan dana saja untuk kegiatan sosial politik.

Tapi kalau dari sisi apresiasinya ya enggak apa-apa. Enggak tau telat dan baru tau sekarang, atau memang baru disukai anak-anak generasi sekarang yang baru tau, ya enggak apa-apa. Gue senang-senang saja. Effort gue di dua dekade yang lalu berarti masih diapresiasi dihargai orang. Tapi gue sendiri ngerasa sudah selesai sama Homicide. Itu babak lama gue. Dan enggak mau bikin yang sama lagi.

Kenapa bisa relevan, enggak tau juga. Mungkin karena isunya relevan. Kayak kemarin ada anak Solo, ada yang buku ngebedah Homicide secara semiotik dan semantik. Kemarin juga ada anak S3 mau mengkaji liriknya Homicide pakai hermeneutika. Lucu juga, apresiasinya enggak berhenti di musik saja. Ya mungkin ada sesuatu yang lebih kali buat mereka. Yang bisa jawab cuma mereka yang dengerin.

Kalau orang-orang masih suka Homicide sih enggak apa-apa. Tapi kalau dari sisi finansial gue malas dapat duit dari band yang sudah bubar. Makannya Homicide dijadikan penggalangan dana saja untuk kegiatan sosial politik.

Mungkin dulu pas eranya cuma gue yang bikin kaya gitu, ya enggak tau lah. Setelah Homicide soalnya gue bikin yang lebih advanced di banyak projek. Mau dari musik, rima eksplorasi teknik rap gue bikin yang lebih dari Homicide. Mungkin dulu pas eranya cuma gue yang bikin kayak gitu ya enggak tau lah. Tapi tiap tahun ada saja orang-orang yang mau bikin penelitian datang ke gue mau ngebedah Homicide. Enggak cuma sastra, ada juga Antropologi, HI. Lucu kan, kok bisa? (tertawa). Tapi ya itu mungkin efek dari Homicide yang terdokumentasikan dengan baik arsip-arsipnya. Di internet, juga karena sempat ngerilis komplit diskografi boxset plus 200 halaman buklet.

Ngomongin anak jaman sekarang, anak-anak lo tahu apa yang dikerjakan bapaknya?

Ini lucu. Anak gue yang paling gede itu sekarang kan kuliah di ISI (Institut Seni Indonesia, Yogyakarta). Ada temannya yang dengerin Homicide terus nanya, “Bokap lo dulu Homicide ya?” (tertawa). Ya gue jadi harus ceritain deh. Awalnya tadinya anak gue enggak tau. Mungkin juga dia sudah googling sendiri atau gimana, gue enggak tau. Gue sendiri dari dulu sih enggak pernah cerita juga. Ngapain? Gue cuma cerita yang mereka tanya saja.

Anak gue yang paling gede itu kan kuliah di ISI. Ada temannya dengerin Homicide terus nanya, “Bokap lo dulu Homicide ya?” (tertawa). Ya gue jadi harus ceritain deh. Awalnya tadinya anak gue ngga tau.

 

Oke pertanyaan terakhir: dengan latar belakang lo sebagai desainer grafis profesional, seberapa besar peran hal itu ngebentuk Homicide dan Grimloc sebagai brand?

Lucunya gue sama sekali enggak berusaha bikin branding-an gitu. Mau Homicide atau Grimloc, enggak ada treatment khusus, atau brand campaign spesifik. Rilis album, ya rilis saja. Gitu juga Homicide. Bahkan sampe bubarnya Homicide juga gitu saja. Dulu show terakhir Homicide juga cuma ditonton 30 orang. 

Enggak berusaha kemudian dirawat jadi brand kayak gimana gitu. Kayak merchandise Homicide itu gue bukan sengaja bikin rare, cuma memang buat sesuai kebutuhan penggalangan dana saja. Dibutuhkannya segitu ya sudah. Ada beberapa hal yang effort-nya bukan berdasar brand method. Gue dibesarkan di era Profane Existencce dan Dischord Records yang enggak perlu pake branding-brandingan. Dan gue yakin dengan itu. Meskipun gue sempat dan masih kerja di desain grafis yang gue lakukan itu sama sekali enggak menggunakan “metodologi branding” kayak gimana. Juga di Grimloc, gue sama sekali enggak nerapin metodologi branding yang sudah gue pelajarin di komunikasi visual. Kickin’ it for the fuck of it!


 

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Firman Angga
Firman Angga
2 years ago

Edan euy

Eksplor konten lain Pophariini

Persembahan Terbaru Modern Guns, I Tore Apart Everything I Ever Miss

Setelah menjadi kolaborator Goodenough dalam single “distant” tahun lalu, band melodic hardcore/punk asal Depok, Modern Guns melanjutkan perjalanan dengan karya musik baru dalam judul I Tore Apart Everything I Ever Miss hari Selasa (09/04). Modern …

Metzdub Dubyouth Bentuk Mackerel Bareng Jimi Seek Six Sick

Label rekaman milik Shaggydog, DoggyHouse Records mengumumkan proyek kolaborasi baru, Mackerel yang dihuni dua musisi kugiran Yogyakarta, Metzdub (Dubyouth) dan Jimi Mahardikka (Seek Six Sick). Mackerel akan merilis single perdana berjudul “Aku Ingin Seperti …