Weda Mauve – Denial
Menjadi artist baru yang digaet oleh sebuah perusahaan rekaman yang empunya adalah musisi yang sudah makan asam garam di musik juga seorang pecinta rekaman fisik yang akut adalah sebuah keuntungan, dan ini ada di Weda Mauve, debutan baru yang mencoba menapaki karier musiknya lewat album debut, Denial di bawah label Semesta Records milik Rian Ekky Pradipta, vokalis DMasiv.
Sebagai musisi baru, Weda Mauve memiliki keistimewaan dibandingkan dari debutan lain yang ada di label rekaman umumnya yang hanya merilis album via streaming service. Di tangan Rian dan labelnya, rekaman ini dirayakan dalam format fisik, dari kaset yang sedang saya pegang ini, sampai nantinya piringan hitam kabarnya akan hadir untuk melirik pasar internasional.
Di tengah format rekaman fisik yang hari ini ditinggalkan oleh semua label kebanyakan label rekaman di Indonesia, rekaman ini justru merayakan kehadirannya dalam bentuk fisik, dari sini kita bisa melihat musisi secara lebih menyeluruh, dari gesturnya, lirik-lirik lagunya, sampai hal-hal umum yang berkaitan dengan teknis rekaman yang ini mustahil ditemui di rilisan digital.
Hal lain yang menjadi keistimewaan Weda lainnya adalah sebagai musisi baru, ia diberikan kekebasan secara kreatif untuk menulis dan memproduseri lagu-lagu yang ia tulis yang kesemuanya dalam bahasa Inggris. Hal ini menarik, untuk pasar Indonesia yang notabene sangat dicecoki lagu-lagu berbahasa Indonesia, namun keputusan Rian dengan Semesta Recordsnya mempercayakan Weda menulis dan menghadirkan semua lagu berbahasa Inggris ke dalam sebuah album, bukan sebuah keputusan yang bijak di mata para label executive di tanah air.
Atau mungkin Weda memang diatur untuk pasar Internasional? Saya tak tahu menahu soal ini, namun dari menyimak track-track di album ini dengan mata tertutup, saya mendadak lupa jika rekaman ini ditulis oleh seorang musisi Indonesia. Saya melihat ada banyak melodi-melodi yang catchy, namun bukan dalam kelas yang sama seperti Rizky Febian atau Afgan. Ini sesuatu yang berbeda, yang lahir dari irisan Troye Sivan sampai Billie Eilish di sini. Sesuatu yang sangat sophisticated, sangat internasional.
Balada nampaknya menjadi kekuatan Weda dalam album ini. Kita melihat beberapa nomor balada seperti “a phase”, “wish we never met”, “white cars”, “ur arms”, “matter of time” yang semua hadir dengan penulisan dan dihantarkan dengan emosi dan dinamika yang baik. Meski demikian, eksplorasi gaya lain tetap dilakukannya sebagai upaya dan unjuk gigi sebagai musisi yang haus akan banyak hal. Nomor-nomor rock (“like hell”, “game of pretend”, “gold digger”) dan dance (“forever mad”) juga disajikan dengan baik, meski menurut saya, tidak sekuat dan se-emosional nomor-nomor baladanya.
Kekuatan penulisan seorang Weda Mauve patut diacungi jempol. Bagaimana ia menghadirkan problematika usia yang di sana terletak amarah, patah hati, pertanyaan besar, kemampuan menyikapi dan memotret setiap inci situasi yang ada di sekitaran pergaulannya menjadi sebuah kegelisahan yang besar yang ditumpahkan dalam gaya penulisan yang baik, bukan sebuah hal yang wajar untuk penyanyi yang bahkan masih berusia 15 tahun ini.
Agak prematur atau apakah selayaknya seorang Weda Mauve disebut sebagai prodigy? Saya tak ingin memberikan cap tersebut, namun dari kemampuan lebihnya dari menulis, menyanyi, memproduseri sampai menjadi sutradara dari seorang remaja berusia 15 tahun? Bukan sesuatu yang datang setahun atau 2 dekade sekalipun. Dari sini saja kita bisa tahu bahwa Weda adalah sesuatu yang layak diandalkan, kelak di masa depan.
___
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …