10 Tahun Album Telisik: Danilla Itu Telisik atau Hanya Sebuah Konsep?

Oct 20, 2024

Lagu-lagu Danilla dari album Telisik (2014) terus berputar. Adem juga, batinku.

Terjebak di lintasan waktu/Terbujur aku dan membatu

Aku terdiam. Temanku masih saja bertanya, “Gimana? Enak kan? Yuk nonton temenin gue”.  Saat itu, tahun 2015 atau 2016, entah. Lupa juga. Akhirnya aku mengiyakan ajakan temanku untuk menonton Danilla secara live. Waktu itu acaranya di Tebet. Acara udud.

Cukup terkesima dengan Danilla saat melihatnya langsung. Cantik sekali. Hari itu ia pakai atasan putih dan bawahan biru (?), tidak yakin. Rambutnya digerai. Tangannya seingatku belum dirias tato seperti sekarang. Terdengar sedikit malu-malu ia bernyanyi. Aku menikmatinya, sesekali mengambil gambar dengan kameraku. Pulang dari acara, album kembali ku putar, ditaruh berkasnya oleh temanku ke komputer jinjing milikku.

Cukup terkesima dengan Danilla saat melihatnya langsung ketika promosi album Telisik. Cantik sekali. Hari itu ia pakai atasan putih dan bawahan biru (?), tidak yakin. Rambutnya digerai. Tangannya seingatku belum dirias tato seperti sekarang.

Tapi sejujurnya, aku hanya mendengarkan Danilla sampai Lintasan Waktu (2017). Waktu itu mencoba memutar “Aaa” dan “Kalapuna”. Sisanya tidak didengarkan karena ternyata, buatku Danilla berubah. Seperti ada imaji dan persona lain yang ingin ia bangun. Lantas makin hari ku lihat makin banyak tatonya pula. Dulu aku masih moralis. Jadi ku pikir, orang yang merajah tubuhnya tuh selalu berubah menjadi orang yang tidak baik. Judgemental? Tentu. Inilah dampak dari ‘salah pergaulan’, holier than thou.

Kenapa Danilla harus berubah?

Telisik adalah album musik perdana Danilla. Lucunya, album ini ternyata dirilis pada tanggal 3 Maret, pas sekali dengan hari ulang tahunku. Ternyata Telisik zodiaknya Pisces. Telisik punya dampak yang cukup besar (dan sedikit membuat risih) baginya. Banyak sekali penggemar yang meminta Danilla untuk kembali ke gaya bermusik saat periode Telisik. Sedangkan, ia sendiri ingin mengembangkan warna musiknya serta gaya bertuturnya. Salah satu keresahan ini digambarkan Danilla lewat lirik lagunya, “MPV”:

Gue boleh nggak sih bikin sesuatu yang baru/Tanpa lo bawa-bawa embel-embel yang lama

Aku sempat menyangka bahwa lirik “MPV” soal ‘mudah dicerna’ mengacu ke keresahan Danilla terhadap keinginan pendengarnya agar Ia kembali membuat musik seperti yang ada di Telisik saja, alias Telisik lebih mudah dicerna daripada rilisan yang lain. Danilla menjelaskan melalui chat WhatsApp, bagian lirik “MPV” di frase ‘mudah dicerna’ tidak spesifik mengacu ke lirik-lirik atau lagunya di Telisik. ‘Mudah dicerna’ di sini punya makna yang lebih luas dari itu.

Banyak sekali penggemar yang meminta Danilla untuk kembali ke gaya bermusik saat periode Telisik. Sedangkan, ia sendiri ingin mengembangkan warna musiknya serta gaya bertuturnya.

Sebelum masuk ke pandangan Danilla pribadi soal segala hal di Telisik, mari mencoba memahami sudut pandang fans-nya, Adinda Khalisha dan Made. Pertanyaanku lebih ditekankan pada bagaimana mereka memandang perubahan dan perkembangan Danilla sejak awal hingga sekarang. Kita mulai dari pandangan Khalisha dulu, ya.

Khalisha pertama kali mengenal Danilla melalui reposting di SoundCloud. Lagu-lagu yang didengarnya dari awal adalah “Sangkakala Kalbu” dan “Terpaut Oleh Waktu”. Khalisha masih setia mendengarkan Danilla hingga saat ini. Khalisha juga melihat perubahan positif dalam dirinya selama berkarya. Ia merasa Danilla semakin berani menunjukkan jati dirinya dan tidak ragu untuk bereksperimen dengan musiknya. Khalisha tidak mempermasalahkan dan bahkan menyukai perubahan imaji Danilla dari kalem menjadi lebih ‘gahar urakan’.

“Aku suka banget Danilla jadi apa adanya diri dia. Dan aku rasa kayaknya di fase ini adalah sebenar-benarnya Danilla yang sekarang. Tapi orang ‘kan berubah… kalau ternyata nanti Danilla mau jadi cewek coquette pun, akan tetap Danilla”, pungkas Khalisha.

Ada lagi ceritanya dari Made. Made-lah yang justru membuatku punya ide buat mewawancarai penggemar Danilla di tulisan ini (thanks, Made!). Made, seorang penggemar sejak lama, pertama kali mengenal Danilla melalui lagu “Terpaut Oleh Waktu” di SoundCloud sekitar tahun 2013-2014. Ia langsung jatuh cinta dengan suaranya yang indah dan romantis, serta gayanya yang sederhana dan minimalis.

Made mengetahui bahwa Danilla memulai karirnya di SoundCloud, dan ia menyukai karya-karyanya sebelum album Telisik dirilis, seperti lagu cover “Gloomy Sunday” yang menghantui dan penuh penjiwaan. Ia juga menyukai kolaborasi Danilla dengan Lafa dalam lagu “Sangkakala Kalbu”.

Hingga saat ini, Made masih mendengarkan lagu-lagu Danilla, termasuk album terbarunya Pop Seblay dan album EP Fingers. Ia senang melihat perkembangan musiknya yang semakin beragam, meskipun ia tetap lebih menyukai gaya Danilla yang minimalis dan menonjolkan vokalnya. Tidak lebih dari itu.

“Aku suka banget Danilla jadi apa adanya diri dia. Aku rasa di fase ini adalah sebenar-benarnya Danilla yang sekarang. Tapi orang ‘kan berubah… kalau ternyata nanti Danilla mau jadi cewek coquette pun, akan tetap Danilla”, pungkas Khalisha, fans yang mengikuti Danilla sejak era SoundCloud.

Setelah mengetahui pandangan fans, aku berkesempatan ngobrol langsung dan Danilla bercerita panjang lebar mengenai urusan Telisik ini. 

Album pertama Danilla, Telisik, lahir dari proses pencarian jati diri yang panjang. Awalnya, Richard Buntario melihat potensi Danilla dan ingin menaunginya di bawah label Orion Records dengan konsep jazz dan sosok musisi yang meng-cover lagu. Namun, Danilla menolak dan ingin bermusik dengan gaya sendiri. Setelah beberapa pertimbangan, Danilla akhirnya memilih bekerja sama dengan Lafa Pratomo yang menawarkan lagu “Terpaut oleh Waktu”. Keduanya kemudian sepakat untuk berkolaborasi, dan Richard Buntario akhirnya melibatkan Demajors untuk mendistribusikan album Telisik. Richard Buntario tidak hanya menjadi produser Danilla, tetapi juga menjadi mentornya, memberikan nasihat dan arahan di luar bidang produksi musik.

Pertemuan Danilla dengan Lafa Pratomo menjadi titik balik untuk proses pengkaryaan Danilla. Danilla jatuh cinta dengan lagu “Terpaut oleh Waktu” ciptaan Lafa dan memutuskan untuk memulai projek Telisik berdasarkan lagu tersebut. Di awal proses produksi album, sebetulnya Telisik dikerjakan dan penyusunannya dilakukan di studio kecil bernama BDI (Broadcast Design Indonesia), di Kuningan, sebelah kantor Jamsostek dengan keterbatasan dana dan teknologi. Lafa seringkali berkirim voice note melalui BlackBerry Messenger ke Danilla sebelum akhirnya memproses lagu tersebut sesuai kebutuhan mereka.

Lagu “My Favorite Things” dan “Reste Avec Moi” memiliki cerita unik tersendiri.

“Waktu itu kita pernah cover, bukan lagu bossanova, tapi salah satu lagu yang akhirnya disuruh masukin ke album, judulnya “My Favorite Things”. Nah si Pak Richard ini suka. Akhirnya dia bilang coba urusin lisensinya, biar kita bisa masukin ini ke album. Cuman memang keterbatasan dari penggunaan lagu itu, hanya bisa sampai di CD. Gak bisa di DSP,” jelas Danilla.

Meskipun terbilang amatir dan segalanya dikerjakan dengan sistem, do it yourself, Danilla dan Lafa berusaha semaksimal mungkin untuk menghasilkan rekaman yang berkualitas. Termasuk ketika harus merekam ulang lagu “My Favorite Things secara full band, termasuk drum, di studio kecil milik musisi, Tesla Manaf yang tinggal di Bandung.

Ada pula tentang “Reste Avec Moi”. Lagu ini adalah ciptaan ibu Danilla, Ika Ratih Poespa. Ika Ratih memang bersikeras agar Danilla menjadi penyanyi mengikuti jejaknya. Danilla bercerita sambil sesekali tertawa bingung, “Ada satu lagu ciptaan ibu aku, judulnya, aduh pake bahasa Perancis, “Reste Avec Moi”. Itu lagu dia dari tahun berapa ya? Dari gue SD kayaknya. Kenapa ada lagu itu? Karena BM-nya mama sih waktu itu. Kayak, ‘masukin dong’. “Ini kan album pertama kamu nih, mama kan pengen banget kamu jadi penyanyi, masukin dong lagu mama satu”. 

“Oke, tapi di aransemen ulang ya. Satu lagu itu yang gue juga gak ngerti artinya apa, karena gue gak bisa bahasa Perancis. Sebenarnya yang bikin liriknya tuh om aku, karena dia memang sempet sekolah di sana. Cuman pas dicari-cari lagi, oh ternyata grammar-nya salah. Oh ya udah, fuck that shit bro. Sudah terlanjur”, jelas Danilla sambil tertawa.

Lantas, adakah perasaan “kayaknya gue kurang pantas ditawari kesempatan untuk membuat karya ini’ di hatinya?

Danilla menjawab lugas, “Ada, karena aku sadar lah, apalagi waktu dulu, 10 tahun lalu teknik vokalku tuh katro banget. Nafasku tuh bahkan mungkin kalau boleh dibilang, justru semakin naik umurku, ini adalah nafas primaku, bener gak Ta? [bertanya ke Otta Tarrega]. Waktu itu tuh nafas aku tuh kayak anjing jelek banget, nyanyi jelek, terus kalau misalnya sudah diintervensi misalnya lagi take vokal, terus kayak Lafa “Ci kayaknya kurang deh, kau nyanyi lagi deh”.  Ketiga kalinya tuh udah langsung “Bertegur sapa [dengan nada datar]. Ah gak mau ah, besok aja”, gitu. Mood-nya tuh hancur banget, gitu.”

Lanjutnya, “terus dulu Lafa ada ide, ‘saya masukin ke SoundCloud ya’”. Di sini Danilla merasa gaptek. Lalu di SoundCloud, Danilla melihat komen positif, “Dan mereka tuh kayak seneng denger suaraku, aku jadi merasa, apa iya kali ya, mungkin suara gue ini tetap memberikan efek gitu ke mereka? Jadi dari situ aku jadi merasa yang tadinya gitu lama-lama tuh naik [kepercayaan dirinya], gitu”

Yang tadinya minder, kayak gue gak cocok nih, gue gak bisa, public speaking gue jelek, lama-lama kelatih justru karena ada penonton juga sih, yang nge-push aku untuk, bodo amat, situasinya kayak gini, lu harus bisa handle ini”, tegas Danilla. Awalnya tak berekspektasi, Danilla malah dikejutkan dengan sambutan positif terhadap Telisik. Pertunjukan live yang disambut dengan baik oleh penontonnya akhirnya memperkuat kepercayaan dirinya pada vokalnya yang unik, selain dari komentar di SoundCloud.

Bagaimana Danilla kemudian mendeskripsikan evolusi musiknya dari album Telisik ini ke album setelahnya? Danilla tampak pucat dan bingung sebelum menjawab, dan aku jadi tidak enak hati. Haha.

“Gimana ya Ta ya?” Danilla tertawa keras sembari bingung menjawab pertanyaanku dan memohon bantuan Otta untuk menjawab.

“Susah ya pertanyaannya ya?” tanyaku.

“Iya, soalnya, itu Telisik sama Lintasan Waktu tuh kayak beda banget, kan, sebenernya. Jadi, mungkin Telisik itu banyak intervensi dari Pak Richard yang memang nge-build Danilla tuh semanis Bernadya. Nah, tadinya tuh aku mau di-set seperti itu, intinya gitu lah. Cuman, pada kenyataannya, kayaknya enggak semanis itu, gitu.” Akhirnya, pelan-pelan Danilla menjawab soal evolusinya. Album “Lintasan Waktu” menandai era baru dalam perjalanan musik Danilla dan Lafa Pratomo. Terlepas dari Orion Records, mereka berdua bebas bereksplorasi dan menuangkan ide-ide kreatifnya tanpa intervensi pihak luar. Berangkat dari situ lah evolusinya.

Ketika diminta untuk menjelaskan dan mendeskripsikan soundscape dan atmosfer yang ingin diciptakan di album Telisik (2014), Danilla menjelaskan secara rinci. “Apa ya? Kalau dari sound sih yang pasti aku selalu pesan sama Lafa. Lafa, satu, tolong bassnya bass jalan-jalan gitu yang di Jepang kan gitu biasanya kan jalan-jalan kayak keren gitu. Atau paling gak Radiohead deh soundnya. Karena low banget. Satu itu, terus yang kedua Lafa, tolong masukin gitar-gitar yang reverb atau delay karena apapun lagunya menurutku kayaknya suara aku tuh kawin dengan instrumen-instrumen yang panjang gitu, release-nya tuh panjang.

Yang terakhir adalah Lafa, buat suara saya itu juga ada reverbnya. Karena kalau gak ada reverb tuh kayak gak nyanyi gitu. Soalnya banyak yang bilang Danilla ngomong sama nyanyi sebenarnya tone-nya mirip gitu. Jadi ketika gue gak ada reverb, dia kayak lagi ngomong aja gitu. Kalau ngomong kayak agak-agak kampung ya, gue kan agak gimana jadi kayaknya kasih reverb dikit deh gitu. Itu sih lebih ke, aku pinginnya soundnya tuh tetap mengawang-awang sebenernya. Cuman si Lafa itu membuat balance dengan tetap ini kita harus sesuaikan dengan si porsi lagunya maunya kayak gimana. Karena gak bisa semuanya mengawang-awang”.

Telisik itu banyak intervensi dari Pak Richard yang memang nge-build Danilla tuh semanis Bernadya. Nah, tadinya tuh aku mau di-set seperti itu, intinya gitu lah. Cuman, pada kenyataannya, kayaknya aku enggak semanis itu, gitu.” Ungkap Danilla.

Dari sekian lagu di album Telisik, aku paling suka dengan “Oh No! (Trembling Theory)”.  Ini merupakan lagu kedua yang diciptakan Danilla dalam proses penggarapan album Telisik. Ia terinspirasi menciptakan lagu ini dari ketertarikannya pada pria yang memiliki banyak kemampuan. Ia mengamati teman-teman band laki-lakinya yang terlihat semakin menarik saat menunjukkan bakat mereka. Danilla ingin menunjukkan bahwa daya tarik seseorang tidak hanya datang dari penampilan fisik, tetapi juga dari bakat dan kemampuan yang mereka miliki.

Setelah bertanya tentang semua hal dari sisi produksi, aku ingin membahas dirinya secara personal. Danilla sebagai Danilla, apakah sama dengan yang kita lihat selama ini?

Ia mengakui bahwa citranya di awal karir melalui album Telisik memang sengaja dibuat untuk menyesuaikan dengan ekspektasi industri musik pada saat itu. Ia tampil dengan persona yang manis, feminin, dan sesuai dengan standar kecantikan yang umum.

Keputusan ini didasari oleh saran dari Richard Buntario yang menyarankan Danilla untuk mengikuti gaya penyanyi pop perempuan. Danilla mengikuti saran ini karena pada saat itu dia masih belum yakin dengan diri sendiri dan belum tahu bagaimana harus berperilaku di atas panggung. Namun, seiring berjalannya waktu, Danilla mulai merasa tidak nyaman.

Setelahnya, Danilla tidak lagi ragu untuk menunjukkan tato, merokok, dan bahkan mabuk di depan publik. Danilla sadar bahwa perubahan ini mungkin membuat beberapa orang kecewa, terutama mereka yang menyukai citranya di Telisik. Namun, dia lebih memilih untuk menjadi diri sendiri daripada hidup dalam kepura-puraan.

Telisik itu banyak intervensi dari Pak Richard yang memang nge-build Danilla tuh semanis Bernadya. Nah, tadinya tuh aku mau di-set seperti itu, intinya gitu lah. Cuman, pada kenyataannya, kayaknya aku enggak semanis itu, gitu.” Ungkap Danilla.

Kejadian soal citra rebel ini sebenarnya dimulai oleh hal remeh. Video teaser “Kalapuna” tidak sengaja menunjukkan Danilla sedang merokok. Diceritakan oleh Ananda Suryo, suatu malam, sebelum rilis single “Kalapuna”. Sekitar jam 10 malam, Danilla sedang bermain gitar di lantai bawah. Muncul ide membuat video teaser -yang saat itu belum hype jadi strategi marketing. Mereka tidak memikirkan bahwa saat itu Danilla sedang memegang rokok. Videonya hitam putih. Setelah menambahkan hashtag, handphone diletakkan.

Ternyata yang ramai dibahas orang-orang bukan lagunya, tapi rokoknya. 

Danilla juga merasa bahwa dia sejak dahulu memang emotionally unstable. Ia juga mengakui bahwa ‘mencela’ adalah middle name-nya dan sesungguhnya sangat wajar. Karena ia manusia biasa, sama seperti kita semua.

Danilla menambahkan, “Aku jadi kayak, yaudah lah Danilla. Lu juga udah gak kerja di situ. Udah bukan bayang-bayang label lagi. Lu sekarang berdiri sendiri. Orang udah tau lu ngerokok. Lu jadi diri lu sendiri aja. Kayaknya gak apa-apa deh”.

Lalu aku bertanya, adakah hal paling menyebalkan yang pernah terjadi atau komentar terburuk yang pernah diterima Danilla. Jawabannya menggebu-gebu, “Paling waktu itu pernah ada yang rasis dan body shaming. Dilontarkan di kolom komen yang gak ada hubungannya dengan apa yang dia komen. Dia tuh cuma komen, “CINA GENDUT”  tapi pake caps lock. Gue kayak; What the fuck bro. Kenapa? Ngapain sih?”.

Danilla menceritakan semua hal yang tidak menyenangkan dimana dia dianggap sebagai ibu peri di Telisik dan down bad setelahnya. Tidak cukup untuk diketik karena sangat banyak sekali stigma yang ditempelkan orang-orang terhadap Danilla.

“Gue tuh cuma orang yang sama kayak kalian. Nongkrongnya juga sama. Di emperan, apa segala macem sama aja”, lanjut Danilla dengan menggebu-gebu.

Danilla bertanya padaku apakah aku kenal Shindu [aku asumsikan Shindu Alpito], aku jawab kenal, lalu Danilla melanjutkan ceritanya. “Shindu tuh sempet bilang ke gue, Ci secara musik lo tuh dark tapi personal lo tuh tidak. Apa gitu ya, lo emang sengaja bikin itu jadi cross [personality] kah?” 

Gue jawab, “Enggak, gak tau, gue kalo udah ngomong emang ceplas-ceplos tapi kalo udah nyanyi gue ngerasanya itu hal yang sakral jadi gue pasti mengeluarkan semua emosi-emosi gue yang terpendam”. 

Pada akhirnya, Danilla ingin agar para pendengarnya dapat menerima dirinya apa adanya dan menghargai musiknya tanpa terpaku pada citranya. Danilla yang kini adalah Danilla yang ekspresif, ‘berisik’, memperjuangkan apa yang menurutnya penting. Aku cukup ingat beberapa kali Danilla tergerak menanggapi isu soal kucing, perundungan dan body image. Hal-hal yang aku juga concern. Dari sekian perubahan secara penampilan (yang sejujurnya malah lebih keren sekarang—what a shame to Puti’s past moral value), Danilla yang lebih berani bersuara menggunakan platform-nya juga patut diacungi jempol.

Telisik tahun 2014 adalah  Danilla yang tertunda dan clueless. Mari kini kita hargai saja ekspresi dan emosi dirinya. Kita bisa menikmati karya Danilla tanpa harus mencampur adukkan kepribadiannya sebagai sebuah konsep di kepala kita.

Kini, setelah sekian tahun, Danilla berhasil survive. Ia bahkan menjadi ‘ratu indie’ di kalangan pecinta musik arus pinggir, karena album Telisik.

Gelar ini walaupun cringe, namun tetap harus disyukuri, menurutku. Jadi, menurut kamu, gimana? Sosok sesungguhnya Danilla tuh ada di rilisan yang mana, sih? Atau sebenarnya Danilla hanyalah sebuah konsep per album di pikiran kita masing-masing?

 


 

Penulis
Puti Cinintya
Puti Cinintya Arie Safitri, bisa dipanggil Puti, sangat menyukai musik dan tidak pernah berhenti membicarakannya. Temukan Puti di Instagram/ X: @kuntilawak
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Eksplor konten lain Pophariini

Di Balik Panggung Jazz Goes To Campus 2024

Hujan deras di Minggu siang tak menghalangi saya menuju gelaran Jazz Goes To Campus (JGTC) edisi ke-47 yang digelar di FEB UI Campus Ground, Depok pada Minggu (17/11).  Bermodalkan mengendarai motor serta jas hujan …

Ndarboy Genk Rilis Anthem Patah Hati Berjudul Bajirut

Penyanyi dan penulis lagu pop Jawa, Ndarboy Genk, secara resmi merilis single terbaru berjudul “Bajirut” (15/11). Lagu ini mengangkat tema patah hati dan kekecewaan yang mendalam, serta menggambarkan perjalanan emosional seseorang yang ditinggalkan oleh …