Wawancara Khusus Lafa Pratomo: Bermusik sampai Enggak Bunyi Lagi

Dec 31, 2022

Tak terasa apa yang selama ini ditempuh Lafa Pratomo dalam bermusik sudah memasuki usia ke-11 tahun dengan sederet karya yang ia hasilkan, baik berupa single dan album sebagai musisi, pencipta lagu, dan produser.

Setelah menjadi produser musik untuk album-albumnya Danilla, beberapa tahun ini Lafa Pratomo juga bekerja sama dengan nama-nama lain seperti Polka Wars, Sal Priadi, The Panturas, dan Iwan Fals.

Terakhir, ia sudah menyelesaikan album penuh perdana milik trio indie pop, Grrrl Gang yang belum dipastikan kapan beredar. Selain itu, Lafa mengisi gitar untuk dua lagu kolaborasi Agatha Priscilla dan Mondo Gascaro, “Cipta di Batas Rasa / Lepas Berdansa” yang rilis awal Desember lalu.

 

Perjalanan bermusik Lafa sendiri secara profesional dimulai saat ia mengerjakan musik untuk iklan, buat jingle, soundtrack, dan scoring bersama sahabatnya, Aldi Nada Permana yang juga berprofesi sebagai produser musik.

Menutup tahun 2022, kami berkesempatan untuk mewawancarai Lafa. Bagaimana pribadinya, cita-cita waktu kecil hingga ia berkomentar soal apa yang membanggakan menjadi seorang produser musik. Simak langsung di bawah ini.


Apa sih cita-cita kamu dulu kecil?

Sebenarnya, enggak pernah tau pengin jadi apa. Tapi, waktu SMA aku cukup serius dengan dunia teater. Aku sempat berambisi ingin jadi aktor. Cuma di detik aku lulus, aku urungkan niat itu karena aku enggak nyaman dengan perasaan memiliki ambisi yang berlebihan. Perasaan ambisius itu enggak nyaman, karena aku tahu ketika ini tidak terwujud, aku akan kecewa. Alhasil, aku bunuh semua yang aku tau tentang dunia teater, dunia seni peran, dan sebagainya.

Dulu aku tertarik sama teater karena kayak menemukan satu dunia yang membuat aku merasa bisa berekspresi, karena aku orangnya cenderung tidak ekspresif dari kecil sampai tumbuh dewasa. Di teater, aku menemukan medium untuk mengekspresikan semua perasaan-perasaan yang enggak pernah aku ekspresikan di rumah dan kehidupan sehari-hari.

 

Kapan mulai belajar alat musik?

Tepatnya dari SD. Sebelum berangkat kerja, Bapak aku pasti putar kaset. Koleksi kaset beliau tersusun di lemari. Setiap pagi selalu ada musik di rumahku. Bapak biasanya setel The Beatles, Led Zeppelin, Queen, The Police, Toto dan musik-musik besar dari zamannya. Dari semua cekokan Bapak, tumbuh rasa di diriku kalau, “eh, lagu-lagu ini keren ya”. Aku nanya sama bapak, “ini suara apa”. “Oh, itu suara gitar”, jawabnya. Lalu aku ingin belajar gitar dan, diajari lah kunci-kunci dasar sama Bapak, sampai bisa mainin lagu ini dan itu, bisa belajar The Beatles utamanya.

 

Kapan tepatnya karier bermusikmu dimulai?

Setelah kuliah aku sempat kerja di media. Jadi wartawan kontributor sekitar tahun 2009 – 2010 di Bandung. Pekerjaan ini aku jalani karena aku suka nulis saja, dan saat itu hanya cukup untuk menyambung hidup, biarpun pas-pasan, walau seringnya kurang.

Ini ada kaitannya, kenapa aku memilih musik jadi jalan hidup. Aku menemukan bahwa musik adalah satu-satunya hal yang aku jalani tanpa ambisi. Aku ngeband ya ngeband saja. Enggak pernah punya ambisi jadi rock star, frontman atau apa. Musik, saat itu adalah sesuatu yang aku kerjakan buat aku sendiri. Di kamar, belajar software musik, bikin karya, dikonsumsi sendiri. Kasih dengar teman-teman, lalu seneng. Selesai sampai di situ.

Sampai di pertengahan 2011, aku diajak kerja ke Jakarta oleh sahabatku, Aldi Nada Permana, yang juga produser musik sekarang ini. Saat itu kondisi hidupku juga cukup sekarat secara finansial.

Aku diajak kerja di satu rumah produksi, untuk jadi in house music arranger. Saat itu aku pikir, apa yang selama ini aku kerjakan di kamar, iseng-iseng bikin musik itu memang bisa menghasilkan. Rupanya, di Jakarta, jasa ini dibutuhkan, dan bisa menghidupiku lebih layak ketimbang aku menetap di Bandung.

Jadi 2011 adalah awal karier bermusik aku secara profesional. Sebelum itu mungkin aku rasa masa inkubasi. Masa di mana aku secara tidak sadar sedang mempersiapkan diri, belajar musik ini, musik itu, belajar software komputer, lewat iseng-iseng.

Aku resign tahun 2014, Aldi juga resign. Lalu, kita berdua bikin rumah produksi musik sendiri. Jadi lah studio Ruang Waktu Musik, mulai 2015 sampai hari ini.

Di tengah perjalanan, aku dan Aldi juga sempat membentuk sebuah project bernama Suave. Band ini sebenarnya diinisiasi sama bos kita di rumah produksi waktu itu, Richard Buntario. Dia minta aku dan Aldi bikin satu project yang musiknya terserah kita bagaimana. Ya sudah lah, eksperimen saja isinya. Basic-nya mungkin masih enggak jauh-jauh dari jazz dan elektronik. Jadilah si Suave tahun 2012.

Sebetulnya, dulu pernah rilis album, tapi karena enggak begitu diurus, ditarik lagi albumnya dari digital. Sejauh ini arsipnya sih masih ada di SoundCloud beberapa lagu. Ya, ini jadi project kenang-kenanganku saja sama Aldi.

 

Jadi berawal dari Suave baru Danilla?

Danilla itu teman kerja di rumah produksi itu juga. Kami sering ngobrol perihal musik dan kesukaan kita saat itu. Awalnya sama juga, nih. Richard melihat bakatnya si Danilla, dan minta aku buat jadi produsernya dan Richard sebagai Executive. Waktu itu dia bikin record label namanya Orion Records. Sampai akhirnya, Orion jadi label produksi saja.

Aku melihat Orion tidak mampu untuk mendistribusikan musik, pada saat itu. Sampai akhirnya, entah lewat mana, album Telisik itu dipertemukan dengan David Karto (Co-Founder Demajors) dan David Tarigan. Mereka suka, lalu perjalanannya banyak dibantu oleh Demajors.

 

Kamu juga bermusik bareng Mondo Gascaro. Ceritakan awal pertemuan kalian!

Kalau enggak salah, waktu itu di Earhouse tahun 2015. Aku main sama Danilla di sana. Terus Mondo sama istrinya, Sarah nonton. Pas beres manggung, kita ngobrol. Ya, ngebahas banyak hal sih, terutama musik. Sampai ternyata aku dan Mondo bertemu pada kecintaan kami yang sama akan musik Brazil. Setelah itu aku diajak Mondo manggung dan mengisi rekaman album Rajakelana. Alhamdulillah, sampai hari ini Mondo masih mempercayakan posisi itu padaku. Intinya, musik Brazil mempersatukan aku dan Mondo.

 

Bagaimana awal perjalanan kamu menjadi produser musik?

Jadi produser independen tahun 2015 setelah aku bikin Ruang Waktu Musik sama Aldi. Aku merasa awalnya mungkin dari itu. Terhitung album Telisik waktu masih di Orion Records. Album Lintasan Waktu adalah album pertama yang pertama aku garap di Ruang Waktu. Setelah itu ada Polka Wars, The Panturas, dan Iwan Fals. Aku banyak bekerja sama juga dengan beberapa musisi lain. Sempat produksi album Sal Priadi. Terus, garap kolaborasinya Danilla, Ramengvrl, dan Marion Jola “Don’t Touch Me”. Kemudian, ada mengerjakan beberapa soundtrack untuk layar lebar, seperti The Returning, Losmen Bu Broto, KKN Di Desa Penari. Terakhir, menyelesaikan rekaman full album pertamanya Grrrl Gang, ambil bagian juga di album Bilal Indrajaya dan lainnya.

 

Mengenai Iwan Fals. Apakah beliau musisi panutanmu?

Koleksi Bapakku yang paling banyak salah satunya Iwan Fals. Aku cukup dekat sama karya beliau dari kecil termasuk juga Dian Pramana Poetra dan Yockie Suryoprayogo. Referensi aku ya kaset-kaset Bapakku saja. Jadi, ya, iwan Fals adalah panutanku sampai kapanpun.

 

Cerita dapat tawaran kolaborasi dengan Iwan Fals?

Bukan mimpi jadi kenyataan. Malah, masih terasa mimpi sampai sekarang. Ini sangat personal mungkin. Buatku mendengarkan Iwan Fals itu pasti ada hubungan emosional aku dengan Bapakku. Sampai akhirnya aku diberikan kesempatan, dipercaya untuk kerja sama dengan Iwan Fals, tapi sayangnya Bapak aku sudah tidak ada. Rasanya personal banget. Kayak pengin ngomong, “gue produced Iwan Fals nih, Pak!”. Satu-satunya orang yang pengin aku pamer, Bapakku. Pasti dia bangga sekali dengan, aku yakin. Jadi, aku masih merasa ini masih mimpi, intinya.

 

Proses bisa kerja sama dengan beliau?

Berawal dari kolaborasi Danilla, Jason Ranti lalu ada tamu rahasia, Iwan Fals. Di pertunjukan tersebut enggak ada music director-nya. Waktu itu, mungkin aku enggak bermaksud menunjuk diri. Tapi lebih ke inisiatif aja untuk nge-direct musiknya akan seperti apa. Mengaransemen di tempat. Kami semua persiapkan itu di studio, sebelum Pak Iwan datang.

Beberapa jam kemudian Pak Iwan datang, musiknya sudah ready. Cikal sebagai manajernya Pak Iwan, mungkin impressed dengan kesiapan kita semua.

Ya, dari momen itu aku berteman baik sama Cikal. Aku juga enggak pernah berpikir pertemanan kami akan membawaku menuju Iwan Fals. Berteman ya berteman aja. Sampai pada akhirnya di suatu malam, Cikal tiba-tiba WhatsApp, “tahun depan Papa mau bikin album”. Weh mantap, aku pikir dia cuma cerita saja. Dengan polosnya aku cuma balas, “wahh, mantap, Good luck ya! Pasti menyenangkan!”, dan dia balas dengan sebuah kalimat sakti, “kamu dan aku yang akan mengerjakan”.

Kemudian aku hanya read pesan itu, lalu aku tinggal tidur. Dalam hati, “mimpi kali ya”. Saat bangun, sudah ada pesan terbaru dari Cikal, “gimana, mau enggak?”. Dalam hatiku cuma, “anjing beneran lah ini!”. Sontak aku telepon Cikal untuk jawaban iya tanpa ragu.

Pertanyaanku saat itu adalah adalah, kenapa aku orangnya. Banyak produser di Indonesia menurutku kapabilitasnya jauh lebih baik secara level pemahaman, dan banyak banyak produser senior. Salah satu yang lumayan menjadi fakta menarik, jawabannya karena Lafa Virgo, Pak Iwan juga Virgo. Dia bilang begitu, walau tentu itu bukan alasan satu-satunya.

Dan pada kenyataannya enggak susah kerja sama dengan Iwan Fals. Menurutku, beliau musisi yang easy to please, terbuka dengan segala macam bentuk masukan, dan sangat membuka ruang untuk berkolaborasi dengan musisi yang jauh lebih muda darinya.

 

Apa yang menjadi pertimbangan kamu saat menerima tawaran sebagai produser musik?

Ada dua hal sih, satu uang, yang kedua aku suka musiknya. Variabelnya ada dua, kalau aku enggak suka musiknya, aku lihat dulu ada duitnya apa enggak. Kalau ada duitnya, ok aku sikat. Misalkan, ok nih enggak ada duitnya tapi suka musiknya enggak? Enggak suka, ya enggak akan aku ambil. Ya, realistis untukku yang sekarang punya cicilan rumah yang cukup panjang [tertawa]. Tapi, suka dengan lagu dan karakter musisinya pasti jadi pertimbangan pertamaku, perihal uang menyusul kemudian.

 

Pernah menolak tawaran jadi produser?

Nolak pernah. Ada yang memang karena waktunya enggak dapat. Ada juga akunya enggak bergetar. “Kayaknya ini bukan sama gue deh. Gue enggak merasa bergetar saja sama karya ini”. Salah satu lagu yang aku “tolak” adalah lagu Bilal yang judulnya “Niscaya”.

Bilal kasih dengar lagu itu awal 2020. Datang ke studio, “A, aku mau kasih dengar lagu dong”. Dia kasih dengar dua lagu, salah satunya “Niscaya” yang sekarang jadi hit terbaiknya dia. Aku enggak vibing dengan lagu itu awalnya. “Bil, aku enggak mau lagu yang itu. Aku mau yang satunya lagi,” yang akhirnya aku kerjakan sekarang.

Akhirnya, “Niscaya” itu dikerjakan oleh Laleilmanino, dan meledak menjadi lagu yang anthemic di setiap panggung. Aku merasa bersyukur justru, lagu itu enggak aku ambil, karena kalau aku yang ambil malah sangat mungkin enggak menjadi bentuk terbaiknya seperti saat ini.

Intinya prinsipku, enggak semua project harus aku yang kerjakan. Aku tetap mengutamakan rasaku terhadap karyanya dulu.

 

Apa tantangan dalam setiap mengerjakan musik band atau musisi lain?

Mengatur waktu itu menantang sekali. Juggling beberapa kerjaan di dalam satu kurun waktu itu menantang karena kerjaanku selain produksi, aku manggung juga. Terus jadi mixing engineer juga.

 

Proses yang paling berkesan?

Waktu mengerjakan album Polka Wars. Proses itu sangat penuh dengan drama, yang enggak bisa aku ceritakan detilnya seperti apa. Tapi, itu salah satu album yang bikin aku melakukan nazar. Nazarku saat itu adalah mematikan media sosial sampai albumnya selesai. Jadi, saat itu, aku jauh dari informasi-informasi yang biasanya berseliweran di genggaman tangan. Menyenangkan sih bisa jauh dari media sosial, terasa lebih enteng dan mengurangi pikiran-pikiran yang kontra produktif.

Kamu mendapatkan yang kamu inginkan?

Enggak juga, karena niat nazar itu kan bukan untuk mencapai sesuatu, atau lagi ingin sesuatu. Sesederhana melakukan ini karena untuk belajar menepati janji terhadap diriku sendiri aja sih.

 

Apa yang membuat kamu memutuskan untuk tetap menjalani karier bersama Danilla sampai hari ini?

Banyak hal, namun tentunya karena Danilla berprogres dengan sangat baik sebagai manusia dan sebagai musisi. Terlebih susah dan senangnya di musik, cukup banyak kuhabiskan dengan dia.

Danilla juga yang membuka jalan ke tempat-tempat yang lain. Aku bisa ketemu Polka Wars. Polka Wars mau diproduseri aku karena mereka dengar Lintasan Waktu dan berentet juga. Setelah Polka Wars, The Panturas mau diproduseri aku karena dengar Bani Bumi. 

 

Peran kamu di karier Danilla tampak begitu penting. Apakah selama ini juga Danilla berpengaruh besar untuk karier bermusikmu sendiri?

Banyak berpengaruh besar pasti, karena sesederhana aku jadi punya duit buat nabung, buat sustain, buat hidup, beli alat, dan sebagainya. Secara hubungan pertemanan, aku ketemu banyak teman juga. Jadi kayak punya tempat ngumpul lah. Utamanya itu sih. Punya teman. Ternyata punya teman itu seru. 

 

Semenjak Pop Seblay, konsep panggung Danilla berbeda, lebih fresh. Bisa ceritakan keterlibatanmu dalam hal ini?

Berawal dari sebelum pandemi. Dulu kita manggung, Istilahnya take it for granted. Sekadar datang, manggung, dapat duit, selesai. Buat aku kayaknya dosa deh kalau kayak begitu terus. Kita perlu membenahi banyak hal.

Aku mencontoh banyak sekali band. Band apa yang menarik untuk dilihat. Salah satunya sepanjang aku ketemu satu event, aku mencontoh MALIQ & D’Essentials. Aku melihat mereka hari ini bawain “Untitled”, minggu depan mereka bawain “Untitled” lagi tetap seru. Kayaknya kita harus punya energi ini deh.

Pada akhirnya kita manggung bukan buat diri sendiri lagi, melainkan buat orang lain. Karena kita dibayar untuk itu. Mungkin alasannya dari situ, kita membenahi banyak hal. Dari segi musikalitas, cara kita tampil, wardrobe diperbaiki, visual, lighting, dan sebagainya, semua kita benahi. Lebih total saja sih intinya. Jadi enggak cuma sekadar datang ke panggung lalu dibayar.

Tapi memaksimalkan semua yang kita bisa, sebagai bentuk rasa syukur juga atas rejeki yang masih selalu datang ke kita. Yang penting, semua ini tidak mengurangi rasa bersenang-senangnya. Namanya aja main musik. Main ya harus senang. Kalau gak senang, ya gak usah sama sekali.

 

Kalau melihat kemajuan bermusik kamu sendiri?

Sebetulnya setiap aku bertemu dengan orang baru atau band baru. Aku enggak bisa sebut dengan siapa yang paling berprogres. Buatku, misalnya waktu aku mengerjakan Danilla Lintasan Waktu, aku punya kemajuanku sendiri dan begitu pun Danilla. Setiap album ada pembelajarannya. Ketemu sama Polka Wars, aku belajar sesuatu yang baru lagi. Jadi kayak upgrade terus sih setiap aku mengerjakan album baru.

Ketemu anak-anak Grrrl Gang, ketemu The Panturas, ketemu Iwan Fals, pembelajarannya lain lagi. Semakin banyak pembelajaran, semakin aku sadar aku tuh enggak tau apa-apa. Semakin merasa bodoh sih sebenarnya, dan itu bagus. Aku senang merasa kecil, karena sejatinya kita ini kecil. Sesuatu yang kecil itu tandanya dia tidak besar [tertawa].

Siapa sosok yang memengaruhi karier bermusikmu selama ini?

Semua keputusan aku buat dengan sadar. Jadi buatku yang paling berpengaruh dalam karier musik ya aku sendiri. Aku cukup aware dengan hal itu. Kenapa aku sampai di titik ini karena memang aku mengizinkan diri aku sampai ke titik ini. Sampai di hari ini. Tapi kalau mesti disebut, ya Bapak.

 

Apakah kamu akan menjadi musisi selamanya?

Kalau selamanya kan enggak tau sampai kapan. Ya, intinya bermusik sampai enggak bunyi lagi. Kalau kasusnya Beethoven mungkin dia tuli. Sampai mati mungkin. Kalau mati kan enggak bunyi lagi. Musik kan harus ada bunyi. Kalau enggak ada bunyinya kan berarti ya enggak bisa lagi dong.

 

Perbedaan yang kamu rasakan saat dulu memulai karier dan sekarang berada di era streaming ini?

Aku merasa sekarang semakin berdesak-desakan. Semua orang rasanya berlomba pengin merilis karyanya setiap saat, dan ini lumayan berisik. Sampai aku enggak tahu mau dengar yang mana. Alhasil, aku dengar yang aku tau saja, yang aku suka selama ini. Atau yang menurutku menarik di 15 detik pertama. Selebihnya, aku dengarkan rilisan teman-teman yang aku kenal dekat.

Aku sudah jarang banget dengar musik yang baru. Biasanya, pasti balik ke lagu-lagu lama lagi, kembali ke masa-masa kecilku, karena aku tumbuh dengan musik-musik yang dikasih dengar sama Bapakku. Kembali ke Beatles, The Police, Toto, dan lain-lain.

 

Era streaming enggak terlalu memengaruhi proses kreatif kamu?

Sejauh ini, enggak terlalu. Semenjak informasi sekarang lebih cepat, referensi musik juga mudah digapai dalam hitungan detik lewat layanan streaming. Buat aku, bisa bikin musik yang bagus tidak perlu berdasarkan referensi. Tapi, berdasarkan imajinasi saja, karena lebih menyenangkan. Ya, streaming cuma sebatas kemudahan akses saja, sebagai pengguna. 

 

Apa pendapat kamu tentang musisi baru yang pengin banyak manggung dan terkenal. Mereka harus ngapain?

Sejujurnya aku enggak pernah bisa jawab ini. Pertanyaan ini juga banyak masuk ke aku kalau aku ke luar kota ketemu band-band. Banyak dari mereka yang nanya, “gimana sih caranya karier gue bisa naik?”, “gimana caranya terkenal”, dsb. Pertanyaannya semua senada. Sejak hari itu sampai hari ini, aku enggak pernah bisa jawab.

Karena aku orang dapur. Aku cuma tukang masak. Bahkan aku juga enggak pernah bisa tahu kalau Danilla bisa di titik sekarang. Aku cuma tahu caranya bikin musik, yang baik, yang asyik, yang bagus. Kalau aku tetap harus jawab, ya cuma, “bikin musik sebagus-bagusnya aja dulu, setelah itu berusaha dan berdoa”.

 

Kamu pernah enggak berada di titik itu?

Alhamdulillah, aku gak pernah merasa ingin terkenal atau beken. seperti kataku, buatku, musik enggak perlu pakai ambisi. Jadi, apapun yang terjadi sekarang ini syukuri aja. Nanti pasti ada jalannya kalau mengerjakannya ikhlas dan seindah mungkin.

 

Dulu pemodal dibilang produser. Sekarang produser musik lebih dihargai keberadaannya. Bagaimana kamu melihat hal ini?

Sebetulnya, ini hanya pemahaman istilah dan penamaan saja. Produser eksekutif itu yang mendanai sebuah rekaman, dan produser yang mengerjakannya. Apakah aku melihat ini sebagai pencerahan? Ya, mungkin. Paling tidak, menjadi produser sekarang ini adalah suatu bidang profesi yang dipertimbangkan. Artinya, siapapun saat ini dan ke depannya bisa bercita-cita menjadi produser musik dan bisa melihat masa depannya di situ. 

 

Artinya profesi produser saat ini kan udah lebih tepat ketimbang dulu. Menurut kamu sejak kapan ini terjadi dan siapa sosok yang berperan penting di dalam pengoreksian definisi produser ini?

Yang pasti, semua ini erat kaitannya dengan kecepatan informasi dan dengan segala keterbukaannya. Mungkin, menurut pandanganku, perubahan ini terjadi secara signifikan semenjak internet. Kalau, sosok yang berperan penting akan perubahan pemahaman ini tepatnya, menurutku, tentu tidak mengacu pada satu orang saja. Buatku, sosok-sosok seperti Yockie Suryoprayogo atau Erwin Gutawa, dan produser atau komposer ternama di zamannya tentu memberikan legasi ini ke generasiku dan legasi ini tentu mesti dilestarikan agar kemudian bisa diteruskan lagi ke generasi setelahku. 

 

Siapa band atau musisi yang pengin kamu produseri karena kamu merasa bisa membuat karyanya lebih bagus?

Aku memilih konteksnya bukan agar karya mereka lebih bagus. Justru karena karyanya sudah bagus dan karakternya menarik, maka aku sangat ingin bekerja sama dengan mereka. Saat ini ini aku suka dengan solois Dere, Noni, Agatha Priscilla, Samo Rafael, Brian Rahmattio, Basboi, atau band The Jansen, Space Cubs, Soulfood, Thee Marloes. 

 

Pertanyaan terakhir, sesuatu yang paling membanggakan menjadi seorang produser musik?

Bisa terkoneksi dengan banyak manusia-manusia istimewa itu membanggakan. Aku bisa belajar banyak dari mereka yang bekerja sama denganku. Dengan pengalaman hidup, usia dan cara pandang yang berbeda-beda.

Setiap aku mengerjakan musik dengan mereka, aku jadi punya sudut pandang yang baru lagi dan pembelajaran yang berharga. Bahkan, hampir di setiap kesempatan aku selalu menyampaikan kalau produksi musik bukan sekadar ilmu merekam bunyi dan suara. Tapi, ia adalah ilmu merekam buah pikir dan fase hidup.

Untuk mencapai itu, kita mesti terkoneksi secara batin dengan setiap partner kerja kita. Produksi musik, buatku lebih jauh lagi melibatkan pemahaman antropologis dan kecakapan sosial di dalamnya.


 

Penulis
Pohan
Suka kamu, ngopi, motret, ngetik, dan hari semakin tua bagi jiwa yang sepi.

Eksplor konten lain Pophariini

Farrel Hilal Gabung Sony Music Entertainment Indonesia

Menambah katalog perjalanan musiknya, Farrel Hilal kembali dengan single baru berjudul “Di Selatan Jakarta”. Perilisan ini menandai kerja samanya dengan label musik Sony Music Entertainment Indonesia.   Dalam meramu aransemen musik “Di Selatan Jakarta”, …

Lirik Lagu Rayakan Pemenang Morfem untuk Kemenangan Timnas

Teringat single Morfem “Rayakan Pemenang” dalam album mini SneakerFuzz yang rilis 10 tahun lalu. Kami memutuskan untuk membuat artikel lirik lagu ini bertepatan dengan momen kemenangan Tim Nasional (Timnas) Indonesia atas Korea Selatan di …