20 Tahun Berjalan The Upstairs Mempersembahkan Sekuntum Matraman
Sebelum berbicara soal album The Upstairs, Matraman yang kini memasuki usia 20 tahun kita kembali ke tahun 1990an akhir.
“Kubil bikin band new wave,” vokalis band hardcore Secret Agent, Jimmy Wulur, bilang ke saya, circa 1998.
Segera tertarik, saya meminta nomer telepon rumah Andre “Kubil” Idris ke Jimmy. Dia punya, saya salin.
Selang tak lama, saya angkat gagang dan pencet angka-angka itu. “Halo, bisa bicara dengan Andre?” Singkatnya, saya main ke rumahnya.
Andre “Kubil” Idris adalah gitaris band hardcore Frontside. Mengobrol ke mana-mana di kamar Andre, dia cerita tentang band baru bentukannya bersama Wawan “Wance” pada drum, Rendy “Black” pada gitar (keduanya saat itu personil band hardcore punk Antiseptic—almarhum Rendy bermain bas di sana), dan Ucok, teman SMA Andre, pada keyboard. Andre sendiri bertindak sebagai vokalis merangkap pemain bas.
Jimi Multhazam, dengan rambut jambul, mengenakan kaos dan celana ketat (pada hari-hari itu, kaos Jimi terkadang kutung dan celananya bisa bermotif garis-garis putih-hitam atau kotak-kotak), melontarkan lirik-lirik deskriptif-naratif sekaligus puitis-eksentrik pada berbagai situasi menarik
Andre menulis lagu dan lirik untuk band baru itu. Ada sekitar empat lagu. Gelap dan romantik. Nama band: Halusinasi.
Di hari kemudian, saya ikut Andre ke rumah Ucok. Halusinasi ada jadwal berlatih. Ketika mereka mulai bermain di studio, mungkin mendekati bila kita hadir di sesi Joy Division meramu musiknya, tapi kadang bassline lebih terang. Wawan memainkan hi-hat untuk hentak nuansa dingin. Keyboard dari Ucok yang membungkus rangkaian bunga yang ditebar. Andre seperti telah tenggelam dalam lamun liriknya. Sampai sekarang, saya masih teringang refrain dari dua buah lagunya. Ada kaset rekaman latihan mereka—agak samar, kasar, dan bergema—namun menyimpan rasanya.
Saya tidak tahu kabar Halusinasi berikutnya. Tapi di kamar Andre, suasana kegiatan masih serupa. Ada hari-hari Andre melukis tak kunjung kelar, kanvas di hadapannya selalu mendapat sentuhan, sembari memutar di antaranya Camouflage dan Clan of Xymox. Ada hari-hari Andre memotret hitam putih—dengan variasi siasat cahaya—
kebanyakan obyeknya adalah teman-temannya. Ada hari-hari Andre menulis skenario, menggunakan pulpen dan kertas-kertas HVS dicoret-coret, untuk calon film pendek yang dia beri judul “Black Wedding”. Ada hari-hari Andre terus terusan menggambar wajah yang sama, terduga ia adalah Winona Ryder.
Beni di balik drum memelihara stabilitas goyang sambil membuat colongan-colongan pukulan—hampir seperti Stephen Morris dan Stewart Copeland berbagi lengan dan tapak kaki duduk bersama
Banyak hari gitar dipegangnya, kadang bersama kehadiran Wawan “Wance” duduk menepuk-nepuk pahanya sebagai banyangan drum.
Banyak hari kaset Depeche Mode dipasang.
Kegiatan semacam itu bergulir beberapa tahun. Dari Andre kelas 3 SMA, lulus sekolah dan kuliah di ITKP, lalu tahun berikutnya pindah ke IKJ pada 1999. Suatu hari pada 2001, saya main ke rumah Andre. Kamarnya penuh teman. Rupanya dia ada band baru. Sore itu mereka akan berlatih.
Saya turut berangkat ke studio latihan di Tebet. Beni pada drum, Wawan—
teman kuliah Andre—pada bas, Andi “Hans” Sabarudin pada keyboard, Andre pada gitar, dan Jimi Multhazam pada vokal. Ketika mereka mulai memainkan lagu demi lagu, saya duduk menonton di studio sambil merasakan ekstalasi “pecah habis-habisan”.
Bunyi mereka sangat keren!
Jimi Multhazam, dengan rambut jambul, mengenakan kaos dan celana ketat (pada hari-hari itu, kaos Jimi terkadang kutung dan celananya bisa bermotif garis-garis putih-hitam atau kotak-kotak), beserta jaket denim di tubuh maupun di pundak, melontarkan lirik-lirik deskriptif-naratif sekaligus puitis-eksentrik pada berbagai situasi menarik, dengan penghayatan laksana paduan Iggy Pop dan Ian Curtis, muncul pula naluri repetan Johnny Rotten di lagu “Nilai Nilai Nilai”.
Sementara Andi “Hans” Sabarudin, bila suara keyboard mulai masuk mengikuti lagu, paling kentara saat mereka melatih refrain “Modern Bob”, sangat memberi gelombang baru
Beni di balik drum memelihara stabilitas goyang sambil membuat colongan-colongan pukulan—hampir seperti Stephen Morris dan Stewart Copeland berbagi lengan dan tapak kaki duduk bersama. Wawan di bas menemaninya. Andre, penghayatannya melayang untuk nada-nada simpel gitarnya di fret-fret bawah, atau pun bersuara kasar bila memainkan tenaga chord.
Sementara Andi “Hans” Sabarudin, bila suara keyboard mulai masuk mengikuti lagu, paling kentara saat mereka melatih refrain “Modern Bob”, sangat memberi gelombang baru. Sebegitu kuatnya nuansa, sekilas saya teringat adegan Ray Manzarek ketika membubuhi “Light My Fire” pada film biografis The Doors (Oliver Stone, 1991).
Dekat dari setelah latihan sore itu, saya justru diajak bergabung bersama The Upstairs, terutama untuk memainkan sound “rave bass” pada keyboard. Supaya atmosfer musik The Upstairs semakin padan. Jadilah The Upstairs berformasi dua pemain keyboard.
Mini album Antahberantah direkam di studio Tanggamus, dalam gang di Jakarta. Terkumpul lima lagu: “Mosque of Love”, “Antahberantah”, “Lompat”, “Modern Bob”, dan “Nilai Nilai Nilai”.
Saya mulai ikut berlatih, bermain, dan mengisi untuk mini album The Upstairs yang sedang dalam proses rekaman. Mini album Antahberantah direkam di studio Tanggamus, dalam gang di Jakarta. Terkumpul lima lagu: “Mosque of Love”, “Antahberantah”, “Lompat”, “Modern Bob”, dan “Nilai Nilai Nilai”.
Berencana dirilis dalam format kaset dengan sisi A dan B memuat urutan lagu yang sama, ternyata pita kaset masih punya sisa durasi sekitar tujuh menit.
“Gimana caranya pitanya pas satu side habis dibalik langsung lagu pertama lagi. Repeat both side. Akhirnya kita bikin lagu yang eksperimental. Gue terinspirasi lagu-lagu elektronik, new wave, yang hanya satu progresi chord,” kenang Jimi akan terciptanya “Anarki”, lagu penutup mini album Antahberantah.
Lagu “Anarki” menampilkan hanya tiga nada pada keyboard: dua nada rendah dengan tuts berdekatan diikuti satu nada tinggi yang letaknya agak jauh dari jangkauan posisi jari awal bermain. Karena lagu baru saja dibikin, belum sempat latihan, sementara keahlian praktik juga rendah, maka pada sesi rekaman Jimi dan saya berdiri bersama di hadapan keyboard. Jimi memainkan dua na da rendah, sementara saya memencet nada tingginya. Direkam selama beberapa menit, lalu di-loop sepanjang tujuh menit.
“Biar tujuh menit ini tidak seperti progressive rock, akhirnya gue bikin gimana caranya isinya adalah rekaman orang-orang menyebut ‘anarki’ aja deh, biar punk, asek. Tapi kalau teman-teman kita sodorin Walkman recorder, ‘Eh, ngomong ‘anarki’ dong’, pasti dikeren-kerenin (Jimi menirukan meneriakan ‘anarki”), pasti deh. Akhirnya gue menitipkan recorderini sama kawan gue yang fotografer tabloid gosip, ‘Coba lo cari nih pemain-pemain sinetron, siapa yang lagi lo foto, suruh sebut ‘anarki’, ” jelas Jimi.
Hasilnya, kita mendengar rekaman orang-orang menyebut ‘anarki’ dengan beragam gaya, termasuk kalimat dari seseorang, “Maksudnya apa, nih?”
“Itu oke. Menurut gue, itu asoy,” tambah Jimi.
Pada lagu “Anarki”, Jimi juga menyertakan potongan dialog sebuah film Iran, Children of Heaven (1997).
“Di situ ada scene anak kecil yang sepatunya hanyut, dia heboh banget mengejar sepatunya. Dia ngomong, menurut gue ngomongnya itu lucu banget, walaupun yang gue lihat sebenarnya dia sedih sekali waktu itu. Film itu memang sampai sekarang masih membuat gue terharu, kadang-kadang menitikkan air mata. Jadi, gue akhirnya: harus ada potongan film ini di situ,” kata Jimi.
Di muka lagu “Anarki, terdapat potongan dialog dari film Trainspottng (1996).
“Yang gue suka karena di situ terasa gap generasi banget. Yang cewek sotoy, ‘berubahlah kayak gini, hidup itu gak selamanya… Ziggy Pop..’, diselak ‘Iggy Pop’, lalu cewek itu bilang, ’gak tau lah, dia sudah meninggal juga kan?’. Nah, ada dialog yang menarik buat gue; Iggy, Ziggy. Antara itu ingin mengkritisi Iggy Pop yang diproduseri sama Bowie atau apalah… ahaha… Tapi buat gue itu dalam banget, sih… Gue ketawa-ketawa, sih. Ini harus jadi pertama, nih.” tambah Jimi.
Di bagian akhir “Anarki”, Jimi memilih cuplikan dialog dari film
The Thin Red Line (1998).
“Ini, sih, film propaganda. Film sisi Amerika banget. Tapi, ya, sudah, nggak apa-apa. Itu yang menurut gue bikin keren, dan sangat rock,” ujar Jimi.
Mini album Antahberantah dirilis secara DIY, distribusi tangan ke tangan dan distro-distro. Selain bermain dari panggung ke panggung, The Upstairs juga mulai diperkenalkan oleh media-media; penulisnya adalah teman-teman di scene, atau direkomendasikan oleh teman. Rekaman Antahberantah juga menyusup ke beberapa radio; diajak ngobrol dan lagu dipasang melalui tangan teman-teman.
Henry Foundation, kawan karib Jimi dari semasa masuk kuliah, membesut video musik “Antahberantah”. Video menampilkan Jimi Multhazam berdansa dan aktivitas lainnya dengan gerakan dan fashion-nya khas itu, ajaib, dihiasi Henry dengan segala tumpah ruah efek visual editing, menyerang mata. Produksi tampak jelas berbiaya rendah, menjadi shocking dan baru, mulai diputar pada lepas tengah malam atau “jam-jam kecil” MTV Indonesia. Peminat The Upstairs dari lingkaran-lingkaran kecil mulai menyebar, dengan latar belakang pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda penyuka macam-macam seni. Meskipun belum betul-betul luas, tapi nama The Upstairs mulai dikenal sebagai “band mengejutkan yang berbeda”. The Upstairs merampok perhatian di kancah musik independen, juga beririsan dengan seni rupa.
****
The Upstairs dimulai dari kemungkinan Jimi Multhazam untuk melanjutkan Morvoids, duo thrash punk yang dibentuknya pada 1998 bersama almarhum Peter Ganesha. Berbeda dengan Be Quiet di mana Jimi bergabung pada 1996 sebagai pemain drum (band membawakan the Cranberries yang berubah haluan menjadi akar hardcore punk Beastie Boys), pada Morvoids, Jimi juga berperan sebagai vokalis utama.
Jimi menghubungi Andre “Kubil”, karena Andre juga dikenal mengisi posisi gitaris band hardcore Youth Against Fascism. Andre malah lekas menerka, menembak Jimi mengajaknya membuat band untuk memainkan classic punk.
Jimi memikirkan sejenak, boleh juga. Jadilah mereka membentuk band; mencoba latihan di studio, memainkan di antaranya nomor-nomor dari The Damned dan Anti Nowhere League.
Kelar latihan pertama, sebelum mereka berdua pulang, Jimi langsung mengajak Andre untuk menggeser arah band. Bagaimana kalau new wave?
Lahir di Jakarta pada 11 Januari 1974, sejak kecil Jimi sudah jatuh hati dengan musik bergoyang, dekat dengan new wave yang memang sedang merekah pada era 1980an. Dari Gazebo sampai DEVO. Atau pada sebuah kaset kompilasi yang dipegangnya kala SD sekalipun, selera Jimi langsung memilih The Police dan Men At Work (sambil tahu bahwa Toto bukan untuknya).
Beberapa nama acuan dibicarakan untuk musik band baru itu, termasuk A Flock of Seagulls, yang nantinya segera terasa pula pengaruhnya pada musik The Upstairs. Andre menyambutnya.
Debut duo penulisan lagu Jimi-Andre terjadi pada lagu “Mosque of Love”. Andre mengeluarkan sejurus intro, Jimi kemudian menulis lirik tentang seorang kawan yang mengincar gebetan di masjid kampus.
Sitting here in the mosque / Drawing with a bore / Suddenly you come along / You call my name like a song // Oh, no, I’m falling to the ground / I like the way you laughing // Waving in my skull / Have you ever send me a song / Vertical Horizon / Oh, no, I’m falling to the ground // Walking down to the mosque / Waiting her after pray / Walking down to the mosque // I love you so / We’ll sing about that
Lagu “Mosque of Love” kemudian pernah direkam oleh the Adams dalam suasana melodius power pop, di masa Beni tergabung menjadi pemain bas band itu.
Segera setelah “Mosque of Love”, Andre menulis bassline “Antahberantah”. Di kamarnya, Jimi diminta oleh Andre untuk terus-menerus memainkan bassline karangannya, lama sekali diulang-ulang, sambil Andre dengan jiwa yang dalam mengeluarkan melodi signature lagu itu dari gitarnya.
Tema lirik “Antahberantah” didapat Jimi dari peristiwa nongkrong di depan kampus pada dini hari. Di cuaca sangat dingin, jaket sudah dirapatkan, datang seorang cewek junkie dengan pakaian minim penghangat mengambil sebotol soft drink dingin untuk ditegak.
Seseorang menanyakan, “Dari mana, tuh?”
Teman lainnya menimpali, “Tau, dari antah berantah, kali.”
Dar! Jimi dapat inspirasi. Lirik lagu bertema junkie belum pernah ditulis seperti ini.
Berwajah tirus / Lengan berlubang / Tanpa alas kaki /Mantel penahan dingin // Menahan kantuk / Terus terjaga / Luka serius / Sekujur badan // Engkau berdarah-darah dari antah berantah / Terus berjalan / Kehilangan /Alamat pulang // Atas nama baru / Beban di pundak / Tanpa alas kaki / Lengan berlubang // Engkau berdarah-darah dari antah berantah
Untuk band baru itu, yang kemudian diberi nama The Upstairs, kemungkinan pemain drum memang dekat sekali pada nama Wawan “Wance”, teman dekat Andre yang juga rekannya saat membentuk Halusinasi. Pada bas, Andre mengajak teman kuliahnya, juga bernama Wawan.
Membentuk formula musik mereka, kehadiran pemain keyboard terasa mutlak. Andre “Kubil” menghubungi Andi “Hans” untuk mengisinya. Andi adalah teman SMA Andre. Sebenarnya, ia seorang gitaris, larut dengan musik indiepop/shoegaze. Saat SMA, Andre sempat satu kali nge-band bersama Andi bermain gitar, membawakan Sex Pistols dan Ramones. Andre ingat, Andi punya keyboard dan pernah memainkannya.
“Kubil SMS, diajak latihan langsung. Hari itu belum yakin akan menjadi member, mau coba dulu aja,” ingat Andi “Hans” saat diajak bergabung dengan The Upstairs.
Andi menanyakan tentang seperti apa musik band baru ini. Andre menjawab dengan menyebut A Flock of Seagulls dan band-band new wave lainnya.
Saat latihan pertama di sebuah studio di kawasan Manggarai, bagi Andi, rasanya aneh.
“Personilnya aneh, musiknya aneh,” kata Andi. “Ini mah bukan A Flock of Seagulls, bukan New Order, belum pernah ada yang gue dengar kayak gini,” Andi menggambarkan.
Melihat tampilan sosok Jimi Multhazam hari itu memang mengejutkan. Sementara lagu-lagu seperti “Mosque of Love” dan “Antahberantah” dirasa aneh bagi Andi.
“Setelah latihan, masih bimbang, masih bingung, mau ngapain gue di sini? Tapi karena nggak enakan, susah nolak, akhirnya kecebur di The Upstairs,” kenang Andi.
Andi “Hans” memang bukan seorang pemain keyboard ‘beneran”. Dia belajar bermain musik sejak sekitar kelas 5 SD, dimulai dengan kiprah naik bus sendirian ke Blok M untuk membeli buku belajar chord gitar. Kakaknya memiliki gitar akustik, gitar elektrik, dan keyboard.
Belajar musik Andi diawali dengan mencari nada bas lagu-lagu the Beatles. Bermain keyboard juga otodidak.
“Kakak gue doyan Genesis, album Invisible Touch, itu paling masuk,” ingat Andi tentang referensi keyboard.
“Karena terbiasa main bas, jadilah main keyboard dengan cara satu nada-satu nada, nggak bisa nge-block, gak afal kunci,” tambah Andi.
Menjadi pemain keyboard The Upstairs, Andi menggunakan Casio CT 2000 milik kakaknya. Seri keyboard itu dirancang untuk belajar pemula, bukan penampil profesional. Bagaimanapun, permainan dan akal-akalan Andi “Hans” memberi warna pada musik The Upstairs. Siasat sound Andi adalah “Dari keyboard, colok ke efek gitar BOSS, baru masuk ke ampli,” jelasnya.
Wawan “Wance” tak bertahan lama mengisi posisi drummer. The Upstairs butuh penggantinya.
“Gue ngajak Beni karena gue suka permainannya. Dia bisa memainkan musik apa saja dengan baik dan benar. Awalnya dia mau masuk The Upstairs karena ingin membantu gue. Buat Beni, musik the Upstairs silly banget, dia cerita ke krunya begitu,” Jimi bernostalgia.
Beni memperdengarkan musik The Upstairs kepada krunya. “Jangan diketawain, ya, musik The Upstairs seperti ini,” Jimi mendeskripsikannya.
“Kata krunya waktu itu, si Aie, ‘Ini mah keren, Ben’. ‘Ah, masa, sih?’ kata Beni. Cuma ketika kita manggung di gig yang berbeda dan banyak cewek yang nonton, Beni langsung sepakat, ‘Oke, deh, gue join’. Biasanya dia main di depan cowok-cowok beringas gitu kan,” tambah Jimi.
Beni memang banyak disebut di scene sebegai salah satu drummer andalan. Di antaranya dia bermain bersama Sixtols, the End, kemudian Straight Out, belakangan turut membentuk Sentimental Moods.
“Modern Bob merupakan eksperimen gue bikin notasi diluar kebiasaan gue. Gue biasa bikin lagu punk rock, hardcore punk. Nah, ini gue mencoba untuk groove, ‘bergoys-goys’ gitu. Gue minta sama Beni untuk bikin pattern drum baru. Nah, dia ngerti tuh maksud gue,” tutur Jimi.
Dari sana tercipta ketukan ritmik drum ‘patah-patah’ Beni pada intro dan verse lagu “Modern Bob”.
Secara lirik, inspirasi Jimi datang dari hasrat tegangan tinggi seorang temannya melihat seorang cewek cantik berambut bob. Jimi menyelaminya, sambil memasukkan “Down Town” dari Petula Clark yang sedang didengarkannya ke dalam lirik, juga intepretasi model rambut cewek itu dengan sosok pop Cindy Louper.
Sementara Wawan, seorang penggemar Nirvana, dengan basnya, juga turut menyumbang penulisan lagu bersama the Upstairs. Lagu “Lompat” pada awalnya dibikin oleh Wawan dengan gaya “menyeret” a la Krist Novoselic. Jimi menyarankan agar bassline itu “diratakan” saja. Wawan memainkannya. Lalu Jimi menimpali bassline itu dengan tiga power chord, yang nantinya kita dengar sebagai intro.
“Pas lagi bikin lagu itu sama Wawan, gue habis nonton Million Dollar Hotel (Wim Wenders, 2000). Opening-nya ada orang bunuh diri karena dipisahkan sama ceweknya. Norak, sih. Cuma pas bunuh diri, menuju dia ke lantai, dia menyesal. Itu aja, ah, gue pakai. Gue comot aja langsung. Ini lagu negatif banget kan akhirnya. Cuma gue berusaha menulis ulang film Million Dollar Hotel itu. Yang main, ceweknya, si Milla Jovovich. Kece berat,” kata Jimi.
Sementara lagu “Nilai Nilai Nilai” ditulis Jimi dari pengalamannya tiga kali disangka copet di bus kota. Jimi merefleksikannya: hal ini terjadi karena selalu memakai kaos garis-garis hitam dan jaket jeans, rambut jambul, lusuh. Menumbuhkan kecurigaan di benak orang-orang karena pada film-film Indonesia 1980an penjahat selalu digambarkan memakai kaos garis-garis. Maksud fashion jadi mencong: citra yang didapat kriminal. Pada liriknya, Jimi memasukkan kaos band Brisik.
Blue jeans dengan debu di denim / T-shirt Brisik Love You / Berkurang hingga 108 stop / Begundal dan engkau kriminal // Nilai nilai nilai // Tanpa dapat berbicara / Vandal merk kau semata / Terendah hingga kerak dunia / Hingga tiada bermoral // Nilai nilai nilai
***
Awal 2002, setelah merilis mini album Antahberantah, jadwal panggung The Upstairs semakin padat. Formasi pentas The Upstairs juga diperkuat dua vokalis latar wanita: Acid dan Rebecca. Lagu-lagu baru juga bermunculan: “Matraman”, “Amatir”, “Apakah Aku di Mars Atau Mereka Mengundang Orang Mars?”, dan “Pesta Pora” (belakangan “Pesta Pora” terus berproses bentuk lagunya, lirik awal hanya “pesta pora”, “kau tak diundang”, “tak diundang”, judul berganti jadi “Hanya Aku, Musik, dan Lantai”, termuat dalam album Energy, dirilis Warner Music, 2006).
Wawan cabut dari The Upstairs. Posisi pemain bas sempat tak lama diisi oleh Kimung, seorang skinhead kawan Beni, bisa jadi hanya satu panggung, sampai kemudian Jimi mengajak Alfi Chaniago bergabung. Alfi adalah gitaris Liga Bahenol, didapuk menjadi pemain bas The Upstairs.
Awal 2002, setelah merilis mini album Antahberantah, jadwal panggung The Upstairs semakin padat. Formasi pentas The Upstairs juga diperkuat dua vokalis latar wanita: Acid dan Rebecca. Lagu-lagu baru juga bermunculan: “Matraman”, “Amatir”, “Apakah Aku di Mars Atau Mereka Mengundang Orang Mars?”, dan “Pesta Pora”.
***
Jimi sangat bersemangat ketika dia menemukan refrain “Matraman”. Tentang tercetusnya refrain lirik lagu itu, sampai hari ini sudah menjadi cerita klasik bagi penggemar The Upstairs. Kisah seorang kawan Jimi membawa bunga menanti pujaan hati di Jalan Matraman, Jakarta; lama menunggu namun tak juga jumpa karena ternyata cewek itu sedang berada di Bandung. Sampai di kampus, ketika kawan itu menceritakan keresahannya, dan mendapat jawaban bahwa cewek yang dinanti sebenarnya sedang di Bandung, Jimi spontan melontarkan notasi beserta liriknya “Kan kupersembahkan sekuntum mawar/Aku di Matraman/Kau di Kota Kembang.”
Menemukan refrain itu, Jimi mencoba mencari bagian verse lagunya. Kutak katik dengan gitar kopong. Entah berapa kemungkinan dicobanya, termasuk ketika di berbagai kesempatan kami berkumpul. Andre menorehkan melodi intro lagu itu. Di sebuah kesempatan berlatih, melodi gubahan Andre dimainkan dengan keyboard oleh Andi, yang kemudian beralih dimainkan oleh saya.
Jimi mencanangkan bahwa “Matraman” akan menjadi nama album nanti. Seingat saya, sempat terlontar oleh Jimi ide para personil The Upstairs berfoto bersama di depan plang Jalan Matraman untuk sampul albumnya.
Tentang tercetusnya refrain lirik lagu itu, sampai hari ini sudah menjadi cerita klasik bagi penggemar The Upstairs. Kisah seorang kawan Jimi membawa bunga menanti pujaan hati di Jalan Matraman, Jakarta; lama menunggu namun tak juga jumpa karena ternyata cewek itu sedang berada di Bandung
Lagu lainnya, “Apakah Aku Ada di Mars Atau Mereka Mengundang Orang Mars?”, seingat Andre, dia mengarang pondasi bassline di kamarnya. Jimi menggenapi dengan nyanyian lirik yang dia dapat inspirasinya dari merasa asing di sebuah keramaian tempat berdansa. Atau justru mereka yang merasa asing melihat Jimi?
Berdentum nada seiring dada / Apa terhidang di lidahku hambar / Tiada bahasa telah terdengar /Mampu dipahami tertangkap oleh telinga // Kehadiranku kian menyiksa mata / Menyita sinar pada tata cahaya / Mereka berdansa sungguh seragam / Tetabuhan purbakala telah dilistrikkan
Setelah album Matraman dirilis, the Jadugar membuat video musik “Apakah Aku Ada di Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars?’ dengan pembukaan obrolan singkat dua pemuda yang diperankan oleh oomleo dan Bang Naga.
Oomleo: “Desmon, apakah band favorit kamu?”
Bang Naga: “The Upstairs.”
Pada sebuah kesempatan latihan di studio, Jimi datang untuk ide lagu lainnya. Bertolak dari refersensi kegemaran Jimi akan pattern beat lagu “You Can’t Hurry Love” dari the Supremes, lanjut “Lust for Life” dari Iggy Pop, lanjut “Town Called Malice” dari the Jam, maka the Upstairs menghadirkan “Amatir”.
“Tepuk tangan dan tamborin itu harus!” terang Jimi.
Jimi meminta Beni untuk menghadirkan pattern drum di kepalanya. Permainan Beni disambut bas Alfi, lalu melodi gitar Andre.
Jimi mencanangkan bahwa “Matraman” akan menjadi nama album nanti. Seingat saya, sempat terlontar oleh Jimi ide para personil The Upstairs berfoto bersama di depan plang Jalan Matraman untuk sampul albumnya
“Karena drum itu riang gembira, semua anak-anak langsung merespon,” kata Jimi.
Untuk liriknya, Jimi teringat akan tema lirik lagu the Troggs, “With a Girl Like You”, bercampur dengan “Julia” dari Acid Speed Band.
Enam lagu pada mini album Antahberantah direkam ulang, ditambah “Matraman”, “Apakah Aku Ada Mars atau Mereka Mengundang Orang Mars?”, dan “Amatir”, maka genaplah debut album The Upstairs, Matraman, pada 2004, dirilis oleh Sirkus Rekord.
Rekaman dilakukan di Palu Studio, Dolphin, Kamar Angga, dan banyak di Kamar Aryo “The Adams”. Aryo juga yang melakukan mixing dan mastering album.
“Karena murah, belum tau teknis, dan kalau BM, gampang,” jawab Jimi akan kenapa memilih menggarap album bersama Aryo di kamarnya.
Sembilan lagu di album Matraman sudah kerap kami mainkan dari panggung ke panggung, terlebih enam di antaranya pernah pula direkam untuk mini album Antahberantah. Tidak banyak perubahan aransemen saat direkam untuk album Matraman. Perbedaan dari panggung ke studio sedikit saja. Saya, misalnya, membubuhkan piano simpel pada lagu Matraman. Atau dari segi metode perekaman, untuk album Matraman, sound “rave bass” tidak lagi dimainkan secara manual di keyboard; Aryo telah membuat program di komputer untuk itu.
Untuk sampul album, Jimi menggambar figur Alfi memegang mawar. Jimi meminta Henry Foundation untuk mendesainnya, sambil mengarahkan untuk menghadirkan lingkaran-lingkaran sebagai latar sosok Alfi. Henry membuat logotype the Upstairs.
Mungkin bisa dikatakan bahwa Jimi dan Beni yang paling banyak intens menggarap perekaman album Matraman di Kamar Aryo. Mereka tampaknya selalu ada untuk setiap sesi rekaman.
Berkumpul di depan Taman Ismail Marzuki malam hari untuk kemudian berangkat bersama ke rumah Aryo di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur. Saya merekam keyboard untuk lagu “Nilai Nilai Nilai” dan “Matraman”. Di lain hari, Andi merekam keyboard untuk semua lagu, kecuali “Matraman”. Rebecca dan Dian turut mengisi vokal pada album ini.
“Di lagu ‘Amatir’ ada suara Aryo,” tambah Jimi menginformasikan via wa.
Sebelum Matraman dirilis, saya dan Andi sudah tidak bersama The Upstairs. Saya kemudian membentuk C’mon Lennon, di antaranya juga bersama Andi “Hans”. Sedangkan Andi kemudian pada perjalananya menjadi gitaris untuk banyak band, dari C’mon Lennon hingga sekarang bersama Seaside dan Goodnight Electric.
Formasi personil The Upsiars pada kredit album Matraman adalah Jimi, Andre, Beni, dan Alfi.
Untuk sampul album, Jimi menggambar figur Alfi memegang mawar. Jimi meminta Henry Foundation untuk mendesainnya, sambil mengarahkan untuk menghadirkan lingkaran-lingkaran sebagai latar sosok Alfi. Henry membuat logotype The Upstairs.
Ketika album Matraman dirilis, scene begitu siap menerimanya. The Upstairs yang sedang tinggi meniti semakin cerah-meriah di sana-sini. Lagu “Matraman” menjadi anthem baru. Alias Jimi Danger untuk Jimi Multhazam dan sematan Modern Darling untuk penggemar The Upstairs terdengar di mana-mana. Nanti, bersama “Disko Darurat” di album Energy, The Upstairs lebih melambung lagi.
Dua puluh tahun sudah usia album ini. Kerap dianggap pula sebagai salah satu album terpenting pada kancah musik independen Indonesia era 2000an, bahkan termasuk terbaik sepanjang masa. Kini, personil dari era Matraman yang tersisa adalah Jimi dan Andre “Kubil”. Duo pengarang yang tak habis-habis dari album ke album The Upstairs.
Dua puluh tahun sudah usia album ini. Kerap dianggap pula sebagai salah satu album terpenting pada kancah musik independen Indonesia pada era 2000an, bahkan termasuk terbaik sepanjang masa. Kini, personil dari era Matraman yang tersisa adalah Jimi dan Andre “Kubil”. Duo pengarang yang tak habis-habis dari album ke album The Upstairs.
Andre mengenang bagaimana dia mulai belajar bermain gitar sejak SD: ikut kursus sebentar dan tidak betah (hai ini ia duga jangan-jangan karena dulu adiknya les piano, jadi dia juga ditawarkan oleh orang tuanya untuk les gitar), beralih belajar gitar dari abang-abangan kompleks di bawah panji the Rolling Stones, tersusupi the Cure dan Joy Division ketika mulai menggemari punk saat SMP. Andre merasa, “bagasi” yang paling memengaruhinya dalam bermain gitar bersama The Upstairs adalah the Cure dan Joy Division.
Sementara Jimi, banyak senjata rahasianya. Saat mulai tergabung dengan The Upstairs, saya banyak mengobrol musik bersama Jimi ke sana-ke sini, dari garage rock 1960an hingga sejumlah pilihan pahlawan eksentriknya pada musik populer Indonesia 1980an.
Salah satu yang paling berkesan bagi saya, saat Jimi menceritakaan kegemarannya pada Dodo Zakaria, terutama album Mallisa. Dia menyukainya sejak kecil, kecondongan yang jelas pada ekspresi dan lirik lagu Indonesia eksentrik (silakan dengarkan saja “Rada Rada Gila” atau super-imajinatif “Caplang”, misalnya). Belakangan, di sebuah wawancara, saya mendapati Jimi bercerita akan kesukaannya dengan lagu “Kecewa” yang dinyanyikan Euis Darliah yang ia dengar saat kecil di kaset Guruh Soekarno Putra, Gilang Indonesia Gemilang. Di album rilisan 1986 itu, hit besarnya adalah “Lenggang Puspita” yang dinyanyikan Ahmad Albar, sementara antusiasme Jimi jatuh pada lagu “Kecewa” yang meledak rusuh itu? Seleranya jelas sudah mengandung bahaya!
Bahkan dilihat dari “potongan”-nya saat awal 2000an itu, ditambah bila kita mengobrol dengannya, kerap bermunculan bahasa ungkapannya yang berbeda dari kebanyakan anak muda saat itu.
Dua puluh tahun sudah usia album Matraman. Jimi dan Andre sekarang sedikit banyak pasti ada perbedaannya dibanding masa 1990an dan awal 2000an. Kehidupan keseharian sudah lain. Mereka sudah ada “rumah”, ketika dahulu banyak sekali waktu keluyuran, mengobrol, “mental” menginap di mana-mana. Tapi seperti Obelix saat kecil tercebur dalam tong ramuan ajaib, Jimi dan Andre “Kubil” sudah terlalu tercemplung dalam pop yang eksentrik.
Jika mereka terus berjalan, The Upstairs tetap tersendiri. dan kita di masa depan.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …