2023: Musik Pop Mendayu Masih Laku
Mari membandingkan beberapa lagu berikut ini yaitu “Pesan Terakhir” yang dinyanyikan oleh Lyodra, “Sisa Rasa” oleh Mahalini, “Pilihan yang Terbaik” oleh Ziva Magnolya, dan “Usai” oleh Tiara Andini. Nuansa musik keempatnya kurang lebih mirip: musik pop mendayu dengan iringan piano di bagian pembuka, sentuhan gitar akustik di badan lagu, serta penambahan aransemen orkestra yang berfungsi menebalkan harmoni. Selain itu, liriknya juga punya kesamaan tema, yakni tentang cinta.
Cinta adalah perkara yang amat luas. Namun empat penyanyi jebolan Indonesian Idol yang merajai layanan musik streaming digital ini kelihatannya punya kesamaan tema spesifik tentang cinta, yaitu cinta yang mendayu, cinta yang meratap, juga cinta yang memohon.
Dalam “Pesan Terakhir” misalnya, dalam liriknya terkandung kata-kata berikut ini:
Genggam tanganku, sayang/ Dekat denganku, peluk diriku/ Berdiri tegak di depan aku / Cium keningku ‘tuk yang terakhir. Contoh lainnya, dalam Usai, terdapat ungkapan sebagai berikut: Aku memang kehilangan/ Kamu yang sangat kucintai/ Namun, kau telah kehilangan/ Aku yang sangat mencintaimu.
Cinta adalah perkara yang amat luas. Namun empat penyanyi jebolan Indonesian Idol yang merajai layanan musik streaming digital ini kelihatannya punya kesamaan tema spesifik tentang cinta, yaitu cinta yang mendayu, cinta yang meratap, juga cinta yang memohon.
Seluruh gelagat itu memang tidak mengherankan dalam konteks musik pop. Dalam artikelnya tahun 1977 yang berjudul Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa, Remy Sylado menuliskan: “Bahwa adalah lagu-lagu pop Indonesia rata-rata hanya ratapan kepatahan cinta. Seakan tak ada urusan lain lagi selain itu.” Remy tidak menganggap hal demikian sebagai sesuatu yang keliru. Dalam kalimat berikutnya, ia menekankan bahwa menulis lagu bertemakan cinta itu oke-oke saja, selama di dalamnya terkandung sikap tentang penghayatan batin. Jika tidak, Remy melanjutkan, cinta itu menjadi cinta bebal, dan mau tak mau karya itu sendiri pun menjadi karya yang bebal.
Mengritik musik pop kadang merupakan usaha yang sia-sia. Mengapa? Karena mungkin musik semacam ini bukanlah musik yang terbuka untuk dikritik. Remy menyebutnya sebagai “musik niaga”, yang “Dari sudut estetika ia telah tumbang kehilangan hak jawabnya”. Intro dentingan piano, aransemen orkestra, iringan petikan gitar, lirik yang mendayu-dayu, semua itu seolah telah menjadi resep dari masa ke masa sebagai cara untuk merangkul pasar seluas-luasnya.
Dalam artikelnya tahun 1977 yang berjudul Musik Pop Indonesia: Satu Kebebalan Sang Mengapa, Remy Sylado menuliskan: “Bahwa adalah lagu-lagu pop Indonesia rata-rata hanya ratapan kepatahan cinta. Seakan tak ada urusan lain lagi selain itu.”
Kritik setajam apapun terhadap pola-pola semacam itu kemungkinan besar akan mental, karena apalah artinya kritik, jika lagu-lagu tersebut pada akhirnya mencapai tujuannya yang “hakiki” yaitu payu. Meski demikian, karena lagu pop, bagaimanapun, sudah dilempar ke publik, maka tidak ada salahnya bagi saya sebagai “bagian dari publik” untuk memberikan beberapa komentar.
Apakah Musik Pop adalah Musik?
Sebelum membahas lebih jauh tentang beberapa musik pop Indonesia yang liriknya bercirikan “cinta yang mendayu”, penting kiranya untuk mempertanyakan terlebih dahulu: apa itu musik pop? Apakah musik pop adalah musik? Pertanyaan terakhir mungkin agak menggelikan. Bagi sebagian orang, jawabannya sudah jelas: musik pop adalah musik. Namun jika memang musik pop adalah musik, ciri apakah yang membuat sebuah musik pop dikatakan musik pop?
Kita bisa membandingkan dengan genre musik lain seperti jazz misalnya. Jazz mempunyai beberapa ciri umum seperti misalnya mengandung irama swing, ritmiknya lebih banyak berupa sinkopasi, akornya mengandung nada ke-7, punya selipan improvisasi di badan lagunya, dan beberapa lainnya. Memang tidak selalu mutlak seperti itu karena jazz juga punya banyak aliran turunan, tetapi setidaknya saat kita menyebut suatu lagu adalah ber-genre jazz, sedikit banyak kita punya pertanggungjawaban berdasarkan ciri-ciri musikal tertentu.
Sebelum membahas lebih jauh tentang beberapa musik pop Indonesia yang liriknya bercirikan “cinta yang mendayu”, penting kiranya untuk mempertanyakan terlebih dahulu: apa itu musik pop? Apakah musik pop adalah musik? Pertanyaan terakhir mungkin agak menggelikan
Bagaimana dengan musik pop? Adakah ciri yang menunjukkan suatu musik dapat dikatakan musik pop? Kenyataannya, musik pop dapat begitu beragam dan di dalamnya malah bisa termasuk pula musik yang bercirikan genre lain seperti jazz, dangdut, country, R&B, dan bahkan klasik (dengan aransemen ulang). Jika demikian adanya, maka musik pop, seperti diungkap dalam riset David Boyle tahun 1981, lebih tepat dikatakan sebagai ragam jenis musik yang diekspos oleh media massa. Artinya, ini bukan tentang ciri-ciri tertentu di dalam sebuah musik, melainkan lebih bertalian dengan industri media. Remy lagi-lagi dengan jeli menuliskan:
“Maka yang dimaksudkan sebagai perbedaan pop dari musik-musik standar, adalah menerimanya semata-mata sebagai musik yang komersial. Dan dengan sendirinya, memandang pop adalah memandangnya dari sudut dagang. Pop adalah mode.”
Namun jika kita mendengarkan sejumlah musik yang dikatakan musik pop, tidakkah kita sedikit banyak bisa menemukan suatu pola yang sama, yang maka itu kita juga bisa menemukan semacam “ciri musikal” yang mendasari musik pop? Di situlah justru letak problemnya. Theodor Adorno dalam artikel berjudul On Popular Music (1941) menuliskan bahwa musik pop dibangun oleh dua ciri yakni standardisasi dan pseudo-individualisasi.
Theodor Adorno ada benarnya ketika kita kembali pada perbandingan lagu-lagu di awal artikel: bahwa jangan-jangan memang ada semacam standardisasi bagi musik pop, misalnya berupa intro dentingan piano, nuansa orkestra, lirik mendayu, dan hal-hal yang membuatnya mirip satu sama lain. Atau dalam bahasa gaulnya: gitu-gitu aja.
Standardisasi artinya musik pop biasanya memiliki kesamaan satu sama lain, yang Adorno menyebutnya sebagai “32 birama A-A-B-A”. Adorno tentu tidak sepenuhnya benar. Tidak semua musik pop jumlah biramanya 32 dan tidak semuanya memiliki pola A-A-B-A (misalnya: verse dua kali, reff, lalu kembali ke verse). Namun dalam arti tertentu, Adorno ada benarnya ketika kita kembali pada perbandingan lagu-lagu di awal artikel: bahwa jangan-jangan memang ada semacam standardisasi bagi musik pop, misalnya berupa intro dentingan piano, nuansa orkestra, lirik mendayu, dan hal-hal yang membuatnya mirip satu sama lain. Mudahnya, standardisasi membuat kita merasa bahwa antara satu lagu dan lagu lain punya kesamaan nuansa atau dalam bahasa gaulnya: gitu-gitu aja.
Namun tentu musik pop enggan membuat dirinya tampak mirip satu sama lain. Itu sebabnya Adorno menambahkan satu ciri lain yakni pseudo-individualisasi. Lewat pseudo-individualisasi, kita sebagai pendengar merasa bahwa di antara musik yang “gitu-gitu aja” tersebut, ada perbedaan satu sama lain, entah lewat artis yang menyanyikannya, entah lewat melodi dan liriknya yang beda-beda tipis, atau bisa juga lewat penambahan modulasi atau improvisasi pendek. Bahasa mudahnya, meski terdengar mirip-mirip, musik pop membuatnya menjadi punya beda, antara Mahalini, Lyodra, Ziva Magnolya, dan Tiara Andini. Padahal perbedaan itu, bisa saja, tidak seberapa kentara. Cuma biar kelihatan beda saja.
Melalui gagasan Adorno, kita mendapatkan referensi menarik: musik pop bisa jadi memiliki rumus baku yang membuatnya menjadi laku. Rumus baku itu tinggal diterapkan, dibedakan tipis-tipis supaya tidak tumpang tindih satu sama lain, sisanya tinggal memanfaatkan media massa untuk mempublikasi.
Namun tentu musik pop enggan membuat dirinya tampak satu sama lain. Itu sebabnya Adorno menambahkan satu ciri lain yakni pseudo-individualisasi. Bahasa mudahnya, meski terdengar mirip-mirip, musik pop membuatnya menjadi punya beda, antara Mahalini, Lyodra, Ziva Magnolya, dan Tiara Andini. Padahal perbedaan itu, bisa saja, tidak seberapa kentara. Cuma biar kelihatan beda saja.
Cinta yang Mendayu
Sekarang perkara lirik. Tentu mudah untuk mengatakan bahwa lirik dari lagu-lagu pop berbeda satu sama lain, termasuk empat lagu yang disebutkan di atas. Namun terdapat kesamaan tema, yakni tentang perpisahan atau patah hati. Dalam “Pesan Terakhir”, liriknya memuat tentang permintaan terakhir dari si subjek sebelum hubungannya disudahi; dalam “Usai”, liriknya memuat tentang perpisahan yang berat, karena si subjek masih sangat mencintai pasangannya; dalam “Sisa Rasa”, si subjek merasakan perasaan yang masih mendalam meski pasangannya pergi meninggalkan begitu saja; sedangkan dalam “Pilihan yang Terbaik”, si subjek merasa bahwa perpisahan adalah pilihan yang terbaik karena ia dan pasangannya sudah tak sejalan.
Kisah sedih semacam itu menciptakan lirik bertemakan cinta penuh ratapan nan mendayu-dayu. Penyanyi melantunkan lagu-lagu semacam itu dengan penghayatan penuh duka, menghanyutkan pendengarnya pada suasana sendu penuh melankolia. Pertanyaannya, mengapa banyak orang menyukai lagu-lagu yang meratap dan mendayu? Mengapa orang-orang senang mendengar kisah duka dan tragedi yang dialami orang lain?
Pertanyaannya, mengapa banyak orang menyukai lagu-lagu yang meratap dan mendayu? Mengapa orang-orang senang mendengar kisah duka dan tragedi yang dialami orang lain?
Kemungkinannya ada beberapa. Pertama, pendengar merasa relate dengan kisah yang dibawakan oleh si penyanyi, bisa jadi akibat pernah mengalami persoalan yang serupa. Kedua, pendengar merasa sedih atas suatu kejadian, tetapi dengan mendengar kisah ratapan orang lain, pendengar tersebut menjadi lebih lega karena ada nasib orang lain yang lebih buruk dari dirinya. Ketiga, bukan keduanya. Pendengar menyukainya karena industri menginginkannya. Karena lagu-lagu tersebut dicekokkan lebih sering ke telinga pendengar sehingga lama kelamaan menjadi familiar.
Hal yang lebih pasti: lagu tentang cinta yang meratap, cinta yang mendayu, tidak pernah kehilangan pendengarnya. Kesedihan dalam hubungan yang gagal, cinta yang tak sampai, atau perpisahan tiba-tiba, adalah masalah yang selalu buruk dan telah digambarkan dalam berbagai kesenian sejak 4000 tahun sebelum masehi di peradaban Sumeria, lewat berbagai puisi yang dimuat dalam Iliad dan Odyssey, dalam epos Beowulf, teks-teks Weda, alkitab Ibrani, hingga menjadi fragmen dalam karya klasik Mozart, Marriage of Figaro dan Barber of Seville-nya Rossini. Artinya, cinta yang mendayu adalah tema yang teruji dalam sejarah. Sudah pasti aman untuk disajikan bagi umat manusia di segala zaman.
Strategi Fandom
Para artis yang disebutkan dalam artikel ini yakni Lyodra, Ziva Magnolya, Tiara Andini, dan Mahalini, adalah sama-sama jebolan Indonesian Idol musim kesepuluh. Musisi yang dihasilkan oleh ajang pencarian bakat semacam itu memiliki plus minus. Plusnya adalah proses perjuangan mereka dapat diikuti oleh audiens selama kurang lebih enam bulan sehingga mereka jelas bukan tipikal penyanyi yang diorbitkan secara instan. Minusnya adalah tidak semua jebolan Indonesian Idol kemudian bisa nyaring karirnya di dunia industri musik setelah kontes berakhir. Beberapa nama memang ada yang mentereng seperti Judika, Kunto Aji, atau Citra Scholastica. Namun tidak sedikit dari mereka yang tenggelam atau memilih berkarir di tempat-tempat yang jauh dari lampu sorot.
Hal yang lebih pasti: lagu tentang cinta yang meratap, cinta yang mendayu, tidak pernah kehilangan pendengarnya. Kesedihan dalam hubungan yang gagal, cinta yang tak sampai, atau perpisahan tiba-tiba, adalah masalah yang selalu buruk dan telah digambarkan dalam berbagai kesenian sejak 4000 tahun sebelum masehi di peradaban Sumeria, lewat berbagai puisi yang dimuat dalam Iliad dan Odyssey,..
Fenomena tersebut sepertinya membuat industri musik merasa perlu untuk menemukan strategi yang tepat supaya para penyanyi jebolan Indonesian Idol karirnya tidak berhenti sampai di sana. Itu sebabnya, diterapkanlah formula musik populer yang tepat bagi mereka, setidaknya dalam bentuk yang “ramah audiens” alias mudah dicerna. Alhasil, lagu-lagu yang mereka nyanyikan, tidak dapat dipungkiri, adalah lagu-lagu yang menempati posisi top dalam hal jumlah streaming di platform digital seperti misalnya Spotify. Artinya, mereka benar-benar didengarkan. Mereka benar-benar digemari.
Strategi industri musik untuk melambungkan nama para penyanyi ini tidak hanya dari pemilihan lagunya, melainkan juga melalui pembentukan klaster-klaster penggemar alias fandom. Tradisi fandom ini sudah dibangun sejak para penyanyi itu mengikuti ajang pencarian bakat, yang kemudian dimanfaatkan pasca acara untuk mendongkrak posisi streaming lagu-lagu mereka. Sekali lagi, tidak ada yang keliru dari cara-cara semacam itu. Kita bisa katakan, bahwa memang demikianlah musik pop bekerja.
Strategi fandom bukanlah hal yang baru-baru amat di dunia industri musik. AKB48 yang lahir di Akihabara, Jepang, pada tahun 2005 adalah contoh kelompok musik awal-awal yang dibentuk bersama dengan klaster-klaster penggemarnya. Dengan konsep “idols you can meet”, AKB48 memberikan akses terhadap fans-fansnya untuk bisa menonton dan berjumpa para personel secara langsung pada tempat dan jam yang sudah terjadwal.
Strategi industri musik ini tidak hanya dari pemilihan lagunya, melainkan juga melalui pembentukan klaster-klaster penggemar alias fandom yang dibangun sejak para penyanyi itu mengikuti ajang pencarian bakat, yang kemudian dimanfaatkan pasca acara untuk mendongkrak posisi streaming lagu-lagu mereka. Sekali lagi, tidak ada yang keliru dari cara-cara semacam itu. Kita bisa katakan, bahwa memang demikianlah musik pop bekerja
Konsep yang sama tentu ditiru juga oleh sister group dari AKB48 seperti JKT48 (Jakarta), BNK48 (Bangkok), MNL48 (Manila), TPE48 (Taipei), dan cabang lainnya. Fenomena tersebut juga sekarang marak dilakukan oleh industri K-Pop dengan para penggemarnya yang begitu fanatik dan militan. Bahkan ditengarai sudah mulai meriap gerakan-gerakan fandom yang siap mengglobalkan P-Pop (Pinoy Pop/ Filipina) dan T-Pop (Thai Pop/ Thailand).
Namun fandom bukanlah sekelompok penggemar yang pasif dan begitu saja nurut pada apa kata industri. Dalam banyak hal, mereka bahkan bisa sukar ditebak dan mampu turut mengendalikan label. Sebagai contoh, lagu Sial yang dinyanyikan oleh Mahalini menjadi populer bukan disebabkan oleh rencana label rekaman pada awalnya, melainkan hasil streaming “tak diduga” dari para fans yang membuat lagu tersebut menjadi naik. Dalam arti kata lain, meski industri musik atau label rekaman punya kuasa yang besar dalam naik turunnya popularitas musik pop tertentu, mereka tetap tidak mampu sepenuhnya mengontrol pasar.
Namun fandom bukanlah sekelompok penggemar yang pasif dan begitu saja nurut pada apa kata industri. Mereka bahkan bisa sukar ditebak dan mampu turut mengendalikan label. Lagu Sial yang dinyanyikan oleh Mahalini menjadi populer bukan disebabkan oleh rencana label rekaman pada awalnya, melainkan hasil streaming “tak diduga” dari para fans yang membuat lagu tersebut menjadi naik.
Jadi, telah lengkaplah alasan mengapa tahun 2023 ini diprediksi masih akan dirajai oleh lagu-lagu dengan tema cinta nan mendayu-dayu. Pertama adalah penggunaan resep atau formula lagu yang tampak sudah baku ditambah dengan amplifikasi gencar dari media. Kedua karena mengangkat tema yang tidak bakal mati dalam sejarah umat manusia. Ketiga adalah strategi fandom yang digencarkan oleh label rekaman, yang membuat lagu-lagu cinta nan mendayu-dayu akan selalu di-backup oleh barisan penggemar yang solid. Keempat adalah, begitulah musik pop bekerja: percuma mengkritiknya, karena kita selalu kecil di mata industri raksasa.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …