25 Tahun Album “KLakustik” KLa Project: Lebih dari Sekadar Klasik

Mar 11, 2021
25 Tahun Album "KLakustik" KLa Project: Lebih dari Sekadar Klasik

Album rekaman langsung (live album) selalu menawarkan sensasi berbeda ketimbang album rekaman studio: improvisasi, spontanitas, hingga interaksi dari semua elemen-elemen pertunjukan. Tentunya hal ini hanya bisa didapatkan lewat teknis produksi yang mumpuni  Bisa dikatakan, live album merupakan salah satu ujian selanjutnya buat musisi selain konser. Kematangan skill dari musisi untuk menampilkan performa tanpa cela betul-betul diuji untuk membuktikan bahwa mereka bukan sekadar tukang pulas dan tukang dempul di dalam studio rekaman.

Mungkin hal ini yang membuat produksi juga rilisan live album di Indonesia tidak terlalu populer. Terutama saat teknologi rekaman masih menggunakan metode analog yang tidak memberikan toleransi buat kesalahan. Bisa dikatakan, hanya musisi yang benar-benar siap tempur yang mau dan akhirnya mampu produksi live album yang bisa dipertanggungjawabkan kualitas produksinya.

KLa Project termasuk dari populasi yang sedikit itu. Katon Bagaskara, Lilo Radjadin, dan Adi Adrian termasuk yang cukup produktif memproduksi live album. Dari diskografi yang tersedia di layanan musik streaming, grup musik yang terbentuk di Tebet, Jakarta Selatan 33 tahun silam ini setidaknya memiliki empat live album. Dari yang terbaru, Karunia Semesta, lalu Passion, Love, and Culture; Grand KLakustik; hingga yang pertama: KLakustik yang dirilis tahun 1996.

CD Album KLa Project “KLakustik”

Di versi video, konser tertanggal 11 Maret 1996 ini dibuka dengan sayatan lirih violin Henri Lamiri memainkan intro “Terpuruk Ku Disini”, menggantikan solo muted horn David Rockefeller yang ada di versi album Ungu (1994). Lalu Katon dan Lilo yang membelakangi panggung perlahan berbalik ke penonton ketika tirai panggung pelan-pelan terbuka diiringi betotan bass Danny Supit, ketukan drum Budhy Haryono, serta permainan perkusi Adjie Rao yang mampu menghadirkan suasana melankolis namun megah, seperti gambaran lokasi acara di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

 

Gedung pertunjukan peninggalan masa penjajahan Belanda ini memang sejak awal didesain sebagai tempat pertunjukan seni sejak diresmikan pada tahun 1821. Tidak heran jika gedung yang juga disebut Theater Schouwburg Weltevreden ini punya kualitas akustik yang terjaga baik. Pemilihan venue ini merupakan salah satu alasan mengapa KLakustik baik sebagai live album maupun sebagai produksi konsep punya nilai lebih dibandingkan konser-konser KLa Project lainnya yang secara kuantitas lebih besar.

Jika dibanding, katakanlah, Grand KLakustik tahun 2013 di Jakarta Convention Center (JCC) yang memboyong 40 pemain orkestra dan bertaburan bintang tamu, maka KLakustik kalah secara kuantitas. Namun GKJ dengan kapasitas ruangan yang lebih kecil ketimbang (JCC) berhasil menghadirkan vibe yang intim dan hangat dan akhirnya membuat kita tidak bisa pindah ke lain hati dari KLakustik.

Lilo dalam wawancara dengan Media Indonesia mengungkapkan KLakustik adalah sebuah semangat KLa Project untuk menyambut “gelombang kedua” dalam proses kreatif KLa Project setelah merilis lima album studio sejak debut di tiga sekawan tersebut di tahun 1989.

 

Di ranah individu, sekitaran tahun 1996 menjadi tahun produktif bagi Katon dan Lilo. Keduanya tengah merilis album solo. Katon mengeluarkan Gemini, album solo keduanya, dengan hits single “Cinta Putih”, “Dengan Logika”, juga “Tidurlah Tidur”. Sementara Lilo meluncurkan “Solo”. Dengan menggamit nama-nama seperti Andy Julias (Makara), Pay Siburian (saat itu masih tercatat di Slank, BIP), juga Thomas Ramdhan (GIGI), album solo satu-satunya Lilo ini memajang “Sandra” sebagai materi jagoan. Sedangkan Adi bersama musisi Adjie Soetama tengah membidani album sejumlah penyanyi seperti Memes, Titi DJ, juga Andre Hehanusa.

Album Katon Bagaskara – “Gemini” / Foto: http://pitakasetabi.blogspot.com

Album Solo Lilo / Foto: https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/koleksi/kaset/2l2xrka-jual-kaset-lilo-solo

Meski demikan, tidak dipungkiri juga jika KLakustik sedikit banyak berhutang pada MTV Unplugged. Program show akustik MTV ini merupakan salah satu penanda penting dekade 90-an dengan album-album monumental seperti Eric Clapton’s Unplugged atau Nirvana di album MTV Unplugged in New York. Di Indonesia, konsep ini diadopsi oleh stasiun televisi ANTV lewat program Akustik Plus dengan GIGI, Dewa 19, Modulus, Sket, sampai Pure Saturday pernah tercatat sebagai pengisi acara. KLakustik sendiri  merupakan salah satu showcase dari Akustik Plus sehingga album ini juga punya rilisan versi VCD-nya.

 

Semangat “gelombang kedua” ini terlihat dalam keberanian mengusung set akustik buat band yang besar dengan pengaruh new wave Duran Duran dan prog-rock Genesis. KLa Project tidak sekadar memindahkam bebunyian “mesin” ke set organik, namun memberikan sentuhan berbeda. Menjadikan beberapa lagu menjelma sebagai sosok pribadi nan mempesona….

Sebut saja “Tak Bisa Ke Lain Hati”. Bagian interlude di versi album yang menampilkan Lilo dan Adi saling bersahutan lewat solo gitar dan keyboard/synth berganti menjadi koor accapela para vokal latar andalan KLa Project, termasuk Andre Manika kakak kandung Katon yang berperan penting dalam rekam jejak penulisan lirik-lirik sastrawi Katon di KLa Project maupun proyek solonya. Kehadiran koor ini bener-benar memberikan kejutan yang mengaduk emosi. Ketika koor ini masuk, aransemen yang sebelumnya riuh berubah menjadi setenang telaga. Lalu pertunjukan suara mulut ini yang bergerak di lintasan berbeda dengan bangunan lagu aslinya dan tiba-tiba memberikan riak sebelum kembali dihantam gelombang tinggi dengan diiringi riuh tepukan ritmis penonton. A truly timeless masterpiece. 

 

Lagu-lagu di katalog awal KLa Project yang kental dengan pengaruh new wave seperti “Tentang Kita” juga dipulas dengan kelir berbeda di KLakustik. Kehadiran string section yang dipimpin Billy J. Budiarjo ditingkahi vokal latar  Lilo yang khas mengubah warna futuristik menjadi lebih “membumi” juga elegan dengan sentuhan piano Adi. Ini juga yang membuat “Pasir Putih” versi KLakustik  lebih mampu untuk menangkap suasana alam tropika ketimbang versi aslinya.

Tidak sekadar menampilkan lagu-lagu di album sebelumnya dalam format akustik, KLa Project juga secara khusus menulis lagu buat album yang dirilis Pro Sound ini. Masing-masing adalah “Gerimis” yang ada di KLakustik #1 dan “Salamku Sahabat” yang ada di KLakustik #2. Dibuat sebagai “tuntutan” karena KLakustik harus punya single baru, “Gerimis” akhirnya muncul sebagai salah satu lagu esensial KLa Project, tidak semata hanya untuk kejar setoran.

Gedung Kesenian Jakarta / Foto: http://www.kuratorial.dkj.or.id/spesifikasi-ruang/gedung-kesenian-jakarta/

Saat sedang menjalani karantina latihan untuk hajatan tersebut, Katon, Lilo, dan Adi mlipir ke Ancol, Jakarta Utara khusus untuk mengarang “Gerimis” pada Sabtu 17 Februari 1996. Materi tersebut segera dibawa untuk latihan dan selanjutnya dibawakan sekaligus direkam saat gelaran KLakustik. Lilo mengaku di versi album ada sedikit pembenahan kecil di bagian gitar karena versi live dinilainya terlalu ekspresif.

Langgam akustik membuat “Gerimis” mampu menyeruak dengan wajah berbeda di deretan hits single milik KLa. Bangunan metafora dari lirik yang ditulis Katon juga detail-detail piano Adi dari awal terus berbicara dengan kiasan-kiasan yang yang terus mengiris perasaan orang-orang yang relasinya sedang di tahap gawat darurat. Lalu di bagian reffrain ia seperti sosok bijak yang memberi wejangan ”Kekasih, andai saja kau mengerti harusnya kita mampu lewati itu semua dan bukan menyerah untuk berpisah..” Video klipnya juga menarik untuk disimak, terutama jika ingin melihat penampilan awal Dian Sastrowardoyo sebelum hype Ada Apa Dengan Cinta?.

 

KLa Project kemudian menggeber set pertunjukan ini selama November hingga Desember 1996 di enam kota yakni Bandung, Medan, Manado, Banjarmasin, Surabaya, dan Denpasar. Beberapa musisi pendukung berganti, seperti Bintang Indriyanto yang menggantikan posisi Danny Supit dan Harry Goro menempati kursi Budhy Haryono. Nama yang disebut terakhir ini adalah drummer band Yogyakarta Geronimo Band, yang kemudian hari tercatat dalam formasi Nu KLa yang seumur jagung dan belakangan membantu dalam penampilan live KLa Project.

Iklan Tur KLakustik / Foto: Budi Warsito

Di usianya yang sudah seperempat abad pada tahun 2021 ini, KLakustik masih menjadi salah satu peninggalan penting Katon, Lilo, dan Adi. Paduan antara kemampuan musikalitas di atas rata-rata baik personel serta musisi pendukung (gitaris Grass Rock, Edi Kemput termasuk salah satu yang terlibat), teknis produksi yang memukau, serta repertoar pertunjukan terbungkus rapi menjadikan double album ini lebih dari sekadar klasik!

 

____

 

Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …

Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar

Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini.  …