30 Tahun The Beast: Edane Menyanyikan lagu-Lagu yang Berani
30 tahun silam, Edane muncul dan langsung melahirkan debut album The Beast yang melesatkan standar musik rock yang tinggi di Indonesia. Skenario awalnya konon begini: Gitaris Eet Syahranie (eks Cynomadeus dan God Bless) ditawari produser rekaman Jimmy Doto untuk menggarap proyek album kompilasi sebagai aranjer musik bagi beberapa penyanyi. Dia lalu menolak dan bilang kalau hanya mau fokus dengan satu penyanyi saja.
Di antara nama-nama yang disodorkan produser, dia memilih Ecky Lamoh yang sudah teruji karakter vokalnya karena pernah sama-sama terlibat dalam lagu “Arena” di album kompilasi Kharisma Indonesia-nya Ekki Soekarno.
Singkat kata, disepakatilah proyek duo Eet Syahranie dan Ecky Lamoh membikin lagu untuk materi album kompilasi. Di tengah jalan, mereka malah berhasrat menggarap album penuh saja sekalian. Sembari memikirkan nama yang tepat untuk kelompok musik ini.
30 tahun silam, Edane muncul dan langsung melahirkan debut album The Beast yang melesatkan standar musik rock yang tinggi di Indonesia.
Memang versi yang paling populer mengatakan kalau nama Edane itu merujuk pada inisial nama depan Eet Syahranie dan Ecky Lamoh sebagai pembentuk pondasi awal band tersebut. Padahal frasa itu sebetulnya warisan dari proyek antara Eet Syahranie dan Ekki Soekarno yang bernama E & E, duo pop rock yang sempat mereka gagas berdua namun kandas sebelum merilis apa-apa.
“Gue telepon Ekki untuk pakai nama E & E sama Ecky Lamoh, dan dia setuju,” ungkap Eet Syahranie dalam beberapa wawancaranya dengan media massa dan podcast. Dia kemudian mengubah nama E & E menjadi Edane, sekaligus memutuskan berganti format dari duo menjadi band. Toh, tinggal menambah dua pengisi instrumen musik lagi.
Mereka lantas mengajak drummer Fajar Satritama (eks Cynomadeus, sekarang di God Bless) dan bassist Iwan Xaverius (eks Jet Liar) untuk bergabung sebagai additional musicians, awalnya. Kelak keduanya langsung diangkat menjadi personel tetap Edane saat proses akhir produksi album perdana.
Dengan formasi kuartet yang paten seperti itu, sangat wajar jika Edane disebut grup rock yang bertabur bintang jika melihat pada reputasi seluruh personel dan jam terbangnya di blantika musik nasional. Apalagi Eet Syahranie yang makin dikenal publik kala menggantikan Ian Antono pada album Raksasa-nya God Bless di tahun 1989.
Dengan formasi kuartet yang paten seperti itu, sangat wajar jika Edane disebut grup rock yang bertabur bintang jika melihat pada reputasi seluruh personel dan jam terbangnya di blantika musik nasional
Lucunya, saat itu juga beredar selentingan yang serupa mitos bahwa Eet Syahranie adalah murid Eddie Van Halen ketika dia tinggal di Amerika Serikat, di era ’80-an. Entah siapa yang pertama kali menghembuskan rumor tersebut. Padahal faktanya, Eet Syahranie pergi ke negeri Paman Sam untuk belajar Recording Sound Engineering di Chillicote, Ohio.
Edane dalam formasi kuartet langsung masuk dapur studio rekaman. Proses penggarapan lagu-lagu mereka dikerjakan selama tujuh bulan, mulai bulan Oktober 1991 sampai April 1992. Album yang diproduseri oleh Setiawan Djody dan Jimmy Doto itu direkam di Prosound Studio dan Triple M Studio (Jakarta) dengan arahan empat sound engineer sekaligus: Herman, Harry, Yadi dan Ronald. Proses mixing-nya ditangani oleh Danny Lisapaly di Musica Studio, Jakarta.
Hasilnya adalah debut album Edane bertajuk The Beast yang dirilis pada tanggal 10 Mei 1992. Dengan desain sampul ikonik yang simpel dan “berbatu”, materi musik The Beast disajikan dengan potensi dan ekspektasi yang besar.
Saat itu juga beredar selentingan yang serupa mitos bahwa Eet Syahranie adalah murid Eddie Van Halen ketika dia tinggal di Amerika Serikat, di era ’80-an
Album ini diawali oleh “Evolusi” yang bisa dianggap salah satu nomor instrumental rock terbaik di zamannya. Track yang diciptakan Iwan Madjid dan Eet Syahranie sejak tahun 1988 itu menyimpan solo gitar yang dahsyat.
Sudah tentu “Ikuti” selalu dikenal sebagai hits terbesar Edane sampai sekarang. Di sini Eet Syahranie dkk berhasil merangkum intro gitar yang gagah, nada-nada anthemik, serta refrain yang menggelora: “Mari sini ikuti aku / Nyanyikan lagu-lagu yang berani…” Lagu andalan ini kelak ditempatkan pada posisi 35 dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa versi Rolling Stone Indonesia.
Tembang bercorak balada juga mengambil porsi di album ini. “Masihkah Ada Senyum” dikemas dalam bait-bait yang terus mempertanyakan nurani, gairah dan keberanian di belahan dunia sana – yang sepertinya merujuk pada konflik global, khususnya di Timur Tengah.
Sementara “Life” mengingatkan bahwa kehidupan kadang bisa berpihak atau melawan kita. Sembari menduga-duga siapa sebenarnya yang dimaksud dengan “mereka” pada lirik seperti “They throw your life away / Like there’s no other way…” atau “But when they know you are back / With the gold in your hands / They will kneel like a slave, at your feet…”
“Menang atau Tergilas” digeber dalam tempo ngebut seakan memamerkan pengaruh genre speed/thrash metal dalam inspirasi bermusik Eet Syahranie dkk. Lagu ini dengan garang membicarakan jurang yang lebar antara si kaya dan si miskin. Lantas kita boleh membayangkan bagaimana jadinya jika Joe Satriani atau Steve Vai bertandem dengan Iron Maiden lewat nomor instrumentalia “Opus #13 (Ringkik Turangga)” yang terus mengumbar kecepatan dan presisi kocokan gitar.
“Liarkan Rasa” memiliki hampir semua syarat untuk menjadi lagu kelas arena. Sesungguhnya ini adalah lagu terbaik di album The Beast, menurut kuping pribadi saya. Dibalut deru riff yang membakar ala Van Halen, sarat dengan koor vokal, serta bagian yang sanggup mengundang sing-along seisi stadion: “Angkat tangan semua / Sambutlah kebebasan / Genggam tangan semua / Hempaskan duka lara…”
Tambahkan juga aksi duck walking ala Angus Young (ACDC) yang kerap diperagakan Eet Syahranie di setiap aksi panggungnya. Tampak begitu familiar, bukan?!
Pada “You Don’t Have To Tell Me Lies”, Edane justru seperti mencoba untuk tampil “nakal”. Liriknya terbaca cukup “glam” bak Motley Crue atau Poison yang bercerita tentang perempuan. Namun tidak lalu terdengar cheesy, bahkan terlihat Edane agak menjaga wibawanya di lagu ini.
Album ini juga melibatkan musisi-musisi kesohor seperti Iwan Madjid (Abbhama, WOW, Cynomadeus) yang mengisi keyboard pada “Evolusi”, serta Musya Yoenoes pada “Masihkah Ada Senyum” dan “Life”. Selain itu juga ada peran Sawung Jabo (Swami) yang membantu dalam penulisan lirik lagu “The Beast”.
Ali Akbar, yang memegang kendali manajemen Edane saat itu, menuliskan sebuah introduksi atau liner notes yang cukup tegas pada sampul dalam The Beast. Di situ ia bersaksi: “Edane hanya ingin menjadikan rock sesuai kodratnya, dengan eksplorasi-eksplorasi aktual dari dunia rock itu sendiri…”
Di album ini Edane memang memainkan musik rock yang “macho”. Seirama dengan gambar iblis bersayap pada sleeve cover, serta tagline “Pria Punya Selera” dari brand rokok yang menjadi sponsor karya rekaman mereka. Simbol-simbol yang maskulin memang bertebaran pada sekujur album The Beast.
Sekalipun tergolong band baru, Edane langsung masuk dalam jajaran pengusung rock papan atas di negeri ini. Edane bahkan sempat dipercaya menjadi band pembuka konser Sepultura di Jakarta, tahun 1992
The Beast pertama kali dirilis dalam format kaset oleh label AIRO pada tahun 1992. Konon penjualan album tersebut cukup bagus di pasaran. Respon publik dan media massa pun lumayan positif. Sekalipun tergolong band baru, Edane langsung masuk dalam jajaran pengusung rock papan atas di negeri ini. Edane bahkan sempat dipercaya menjadi band pembuka konser Sepultura di Jakarta, tahun 1992.
Kebetulan juga, tahun 1992 merupakan salah satu tonggak yang paling seru bagi progres musik keras di negeri ini. Selain muncul The Beast, juga lahir debut album dari Rotor (Behind The 8th Ball) dan Roxx (Roxx) yang semuanya kelak mencapai status rekaman klasik di mata penggemar musik cadas Indonesia. Apalagi, sebelum itu album-album so-called-rock cenderung digarap dalam balutan sound yang lebih ngepop – atas pertimbangan selera komersil maupun keterbatasan tehnologi rekaman.
Hadirnya The Beast otomatis membuka mata dan telinga publik bahwa musik rock Indonesia ternyata bisa terdengar lebih layak, lantang, dan juga gagah sebagaimana mestinya.
Secara keseluruhan, The Beast telah menunjukkan produksi sound yang megah. Seperti ingin mengatakan “begini lho musik rock yang baik dan benar” bagi telinga publik Indonesia. Tentu saja album ini memberi porsi yang lebih besar pada sektor gitar. Layaknya album cadas yang guitar-oriented dalam balutan musik hard rock warisan Van Halen, ACDC, atau Def Leppard.
Hadirnya The Beast otomatis membuka mata dan telinga publik bahwa musik rock Indonesia ternyata bisa terdengar lebih layak, lantang, dan juga gagah sebagaimana mestinya.
Pada tahun 2007, Rolling Stone Indonesia menempatkan The Beast pada posisi 89 dalam daftar 150 Album Indonesia Terbaik Sepanjang Masa. Di situ editor Ricky Siahaan mengatakan: “Album The Beast ini adalah bukti bahwa teknologi rekaman Indonesia awal ‘90-an telah mencapai puncaknya via rilisan ini. Produksi suara dilakukan dengan kesadaran penuh oleh sang gitaris mengenai bagaimana mencapai sound rock yang tebal, baik dan benar…”
Selaku jurnalis sekaligus gitaris band cadas, Ricky Siahaan sudah pasti sangat paham serta menyadari betapa besar dampak yang diberikan Edane dan The Beast bagi kancah musik rock di Indonesia. Menjadi standar bagi band rock yang berbasis gitar dan sound yang megah, terutama yang doyan manggung pada festival musik skala besar. Sekaligus menjadi inspirasi bagi band-band selanjutnya seperti Seringai, Kelompok Penerbang Roket, atau pengusung rock lainnya.
Selepas The Beast, Edane masih terus melaju dengan beberapa album dan aneka pergantian formasi. Sekarang hanya tersisa Eet Syahranie sebagai personel aslinya. Dan orang-orang masih suka membicarakan The Beast sebagai karya Edane yang paling solid sampai hari ini.
Setelah 30 tahun, The Beast rasanya masih sanggup membebaskan beban dan menjadi teman suara batin para penikmat rock di Indonesia. Apalagi album ini telah menunjukkan bagaimana megahnya musik cadas jika dimainkan dengan standar produksi yang tinggi. Dan memang seperti itulah kodratnya lagu-lagu yang berani!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …
Halo mas, foto personil Edane yang ditampilkan itu bukan formasi Edane album The Beast, melainkan itu formasi Edane pada album Jabrik (1994), kedua foto tsb ada dalam cover sleeve Jabrik. Untuk diperhatikan bahwa personil asli Edane bukan hanya Eet Syahranie, tetapi masih ada Fajar Satritama, sang drummer.