40Th. Album Transs, Hotel San Vicente: Melampaui City Pop

Aug 26, 2021
Transs San Vicente City Pop

Sebelum membahas soal album Hotel San Vicente milik Transs yang kerap dijuluki salah satu album city pop Indonesia, mari kilas balik sejenak. Dekade 1950an dan 1960an, crooner seperti Bing Crosby dan Frank Sinatra masih memberi pengaruh besar pada biduan Indonesia, Rock and Roll dari Bill Haley and his Comets, Little Richard, duo harmoni The Everly Brothers, Elvis Presley, sampai The Beatles dan The Rolling Stones jejaknya bisa didengar pada rekaman-rekaman lokal di dalam piringan hitam, tentunya bersama mambo dan cha-cha dari Xavier Cugat yang merebak di kalangan muda.

Musik-musik itu utamanya menyebar dari kalangan menengah yang mampu mengonsumsinya secara akses dan dana. Dengan kebijakan politik Presiden Soekarno, yang kemudian melarang dimainkannya musik Barat yang disebutnya sebagai ngak-ngik–ngok, terjadi sedikit kucing-kucingan untuk keriaan bersama musik-musik itu.

Memasuki dekade 1970an, Orde Baxru dengan leluasa membuka keran Barat. Musik dunia telah bertambah.  Anak-anak muda, kembali utamanya dari kelas menengah, mendapatkan selera baru mereka, bersumber dari rock yang “elit”.  Maka musik yang diistilahkan sebagai  “underground” pada 1970an di Indonesia didominasi oleh hard rock, art rock/progressive rock, hingga soft rock, dihidupi dan dirayakan kaum muda yang memang senang berekspresi dengan cara berbeda.

Musik-musik itu tentu membutuhkan keahlian bermain yang baik, tingkat atas, sehingga menghadirkan panggung dan rekaman yang “agung” (jika memang tersusupi “unsur brengsek”, biasanya datang dari pengaruh Mick Jagger dan The Rolling Stones, seperti pada vokal Deddy Stanzah, meski untuk musik The Rollies yang terbilang kompleks dan banyak terpengaruh Chicago).

God Bless, misalnya, adalah band panggung jaminan mutu yang membuat khalayak melongo menyaksikan kedahsyatannya—dari Ahmad Albar bernyanyi di baris depan hingga Fuad Hassan di balik perangkat drum. Atau bagaimana band papan atas Gipsy menampilkan kelasnya pada pesta-pesta anak muda dan kemudian berkongsi bersama Guruh Soekarno Putra untuk menciptakan peleburan Barat dan Timur, membawa gamelan hingga bahasa, yang lapisan keindahannya membutuhkan ketelatenan dan keahlian mumpuni dalam album Guruh Gipsy.

Fariz membentuk kelompok musiknya, Transs, yang kemudian masuk ke studio rekaman dan berhasil merilis album Hotel San Vicente pada 1981.

Selain itu, pada 1977, album-album yang dihasilkan, yang menjadi keren bagi anak muda, adalah Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors Rasisonia 1977, soundtrack film Badai Pasti Berlalu, atau Jurang Pemisah dari Yockie S. bersama Chrisye.  Akhir 1970an hingga awal 1980an, serasa mutlak diperlukan skill bermusik yang paten untuk bisa menjadi “cool”.  Dan salah satu sosok itu adalah legenda besar yang bahkan oleh generasi hari ini suka disematkan sebagai “David Bowie-nya Indonesia”, dialah Fariz RM.

Pada 1970an, Fariz RM remaja, masih bercelana biru kemudian abu-abu, nangkring di Jl, Pegangsaan, rumah keluarga Nasution yang juga jadi tempat berkumpul para musisi muda. Di sana, Fariz menjadi “adek-adekan” yang jago. Kehebatan musik Fariz RM—dari drum, piano, mencipta lagu, dan sebagainya—membuatnya berkiprah pada industri musik Indonesia sejak sangat muda.

Dengan menjadi salah satu yang termuda dari “angkatan baru” musik pop Indonesia, wajar bila radar selera dan peluang pertemuan dengan musisi yang lebih muda lagi, bagi Fariz RM menjadi lebih mudah dan natural.

Di kala Fariz RM telah mengeluarkan album-album solo yang mengesankan—Sakura dan Selangkah ke Seberang—di mana ia lebih tampil dan banyak bernyanyi, maka  statusnya pun sudah bukan lagi “pengarang lagu”, “drummer” atau “musisi muda yang hebat”, melainkan bintang pop Indonesia terbaru yang keren di mata kaum muda.

Apalagi, Fariz menjadi multi-instrumentalis yang merekam segala alat musik untuk album Sakura itu—sesuatu yang terbilang baru pada cara produksi studio di Indonesia.

Dalam keadaan seperti itu, serta jazz fusion dari Chick Corea, Al Di Meola, Stanley Clarke, dan “kawanannya” yang sedang merebak—disko dan funk pun masih berlangsung—Fariz RM diundang menjadi juri untuk sebuah festival band antar SMA di Jakarta. Terpantaunya oleh Fariz pelajar-pelajar yang hebat dalam bermain musik di festival musik tersebut, menjadi perpaduan Fariz membentuk kelompok musiknya, Transs, yang kemudian masuk ke studio rekaman dan berhasil merilis album Hotel San Vicente pada 1981.

Fariz menamakan kelompok ini Transs, dari kata “Transition”, kurang lebih untuk menggambarkan “kebaruan” dalam musik dan generasi.

Beberapa personil Transs memang peraih instrumentalis terbaik dari festival band antar SMA itu. Erwin Gutawa adalah pemain bas band SMA VI, sementara Uce Haryono adalah drummer dari band SMA XI Bulungan. Lalu ada Djundi Karjadi dan Eddie Harris, para pemain keyboard SMA Kanisius Jakarta.

Selain itu, juga hadir Hafil Perdanakusumah (flute/vokal), Wibi AK (perkusi), keduanya juga tergabung dalam Swara Maharddhika Band bersama Uce Haryono, serta Dhandung SSS—sepertinya yang tertua dibandingkan para siswa SMA itu—yang nantinya dikenal dengan nama Dhandung Sadewa.

Fariz menamakan kelompok ini Transs, dari kata “Transition”, kurang lebih untuk menggambarkan “kebaruan” dalam musik dan generasi.

Fariz muda yang haus dan semakin menggebu akan kemungkinan baru di peta industri musik Indonesia, berjalan bersama para remaja yang sedang merayakan selera musik mereka tanpa terlalu peduli akan hal lainnya, seperti strategi pasar dan laba bisnis musik.

Meskipun masih sangat muda, keahlian musik mereka tak perlu dipertanyakan lagi. Rekaman pun dilakukan di Studio Gelora Seni yang canggih milik keluarga Jundi Karyadi. Maka berhamburanlah apa pun yang ingin mereka tampilkan dan rekam!

Hasilnya, warisan dari 1981 yang dianggap menjadi titik tolak keberangkatan fusion seperti Karimata, Krakatau, Emerald, Halmahera, Spirit, Modulus, dan sebagainya.

Pada sebuah wawancara, Erwin Gutawa mengaku bahwa saat merekam album itu, Fariz RM justru sedang sibuk dengan urusan lainnya, sehingga Erwin menakar kurang lebih sekitar 80% pengerjaannya digarap oleh para pelajar itu tanpa Fariz di sana.  Meskipun demikian, tak bisa dipungkiri, “sentuhan maut” Fariz RM sangat mendukung polesan warna album ini.

Hasilnya, warisan dari 1981 yang sangat mewarnai perjalanan musik Indonesia dan dapat dianggap menjadi titik tolak keberangkatan fusion pada kelompok kemudian, seperti Karimata, Krakatau, Emerald, Halmahera, Spirit, Modulus, dan sebagainya.

Album Hotel San Vincente dimulai dengan lagu “Senja dan Kahlua”, dibuka oleh suara bas Erwin Gutawa yang begitu tebal, termasuk bermain slap. Pernyataan musik mereka langsung di depan telinga!

Lagu ini dinyanyikan bertiga oleh Hafil, Dhandung, dan Fariz—yang mana mau tidak mau harus diakui bahwa karakter vokal Fariz “terlalu kuat”: yang paling khas, dikenali, dan berwarna.

Transs dalam wujud paling menggambarkan musikalitasnya, hadir pada lagu instrumentalia lebih dari lima menit bertajuk “Transsession”

Namun pada lagu berikutnya, “San Vicente”, Dhandung bernyanyi solo dan mendapatkan bagian-bagian yang mantap untuk pembawaan dan penghayatannya.

Sementara lagu ketiga di album ini, “Jawab Nurani” yang dinyanyikan oleh Fariz RM, terbukti telah menjadi karya klasik.  Memang pernah terpendam oleh tren dan waktu, tapi kemudian “Jawab Nurani” kembali timbul ke permukaan, dan muda-mudi masa kini berdansa bersamanya bagaikan sebuah lagu baru kemarin saja.

Namun sepertinya Transs dalam wujud yang paling menggambarkan pencampuran musikalitas para personil dan ide kelompok ini, hadir pada lagu instrumentalia lebih dari lima menit bertajuk “Transsession”, ditemani beat Samba dan atraksi dari segenap penjuru, meliputi keyboard yang berlarian dan menyebarkan sinar sampai drum yang menari-nari.

Foto grup Transs untuk di dalam sleeve kaset dan piringan hitam / dok. Istimewa

Sedangkan harmoni keyboard dan synthesizer yang begitu cantik dapat kita dengar pada lagu “Secitra Cita” yang dinyanyikan secara duet oleh Fariz dan Wiwiek Listiawati.

Bersama album Hotel San Vincente yang direkam dengan hasil memuaskan, Transs telah melanjutkan estafet upaya para pemusik gelombang baru Indonesia 1970an yang dahulu lahir dari persaingan keras sirkuit “underground”, dengan menampilkan permainan virtuoso yang tidak bisa dihasilkan oleh “tangan-tangan sembarangan” atau mereka yang hanya fokus mengejar jualan.

Persembahan kali ini, empat puluh tahun lalu, dibunyikan via fusion, musik yang kemudian semakin mewabah di dekade 1980an. Tapi terus terang, sulit untuk ada yang mendekati kehebatan album ini.

Tren musik dunia pun kian bertambah dan terus diadopsi oleh musisi-musisi Indonesia. Memasuki 1990an, mulai dari Iwa K. merekam album rap sampai ROXX dan Rotor merekam thrash metal, Pas Band merekam alternative rock, Puppen merekam hardcore, dan banyak lagi lainnya, terus bergulir (di sisi lain, 1990an juga tentang classic disco booming lagi dan acid jazz mewabah).

Namun, musik-musik seperti Adult Oriented Rock dan fusion masih dihidupi beberapa remaja 1990an. Begitu pula dengan lagu-lagu “Jockie lama” “Chrisye lama”, “Fariz lama”, Keenan Nasution, dan sekitar itu. Pada 1999, terbit edisi perdana Ripple Magazine, yang kemudian juga menampilkan foto bahkan hingga profil “koboi-koboi lama”: sampul kaset Higher and Higher dari Gito dan Stanzah, dan artikel tentang Fariz RM.

Persembahan kali ini,  dibunyikan via fusion, musik yang kemudian mewabah di 80an. Tapi terus terang, sulit untuk ada yang mendekati kehebatan album ini

Pada pertengahan 2000an, SORE tampil di permukaan sirkuit musik independen Jakarta dan kita bahkan bisa merasakan Gino Vannelli ada di sana, bersama cahaya temaram dari gundah Morrissey dan petikan gitar The Smashing Pumpkins. Dan pada 2008, ketika SORE merilis single “Sssst…” dalam fisik piringan hitam tujuh inchi, mereka merekam “Jawab Nurani” dari Tanss untuk B-side-nya. Pilihan itu serasa sudah waktunya.

Pada Desember 2007, majalah Rolling Stone Indonesia menyusun daftar 150 album Indonesia terbaik sepanjang masa di mana Hotel San Vicente dari Transs bercokol di nomor 35.  Daftar ini adalah media penerus album-album Indonesia lama untuk sampai ke telinga generasi muda.

Katalog Fariz RM salah satu yang paling diburu untuk didengar oleh mereka.  Terlebih, Fariz RM juga banyak berkolaborasi di panggung hingga rekaman band indie 1990an dan 2000an—dari Koil, The SIGIT, sampai White Shoes And The Couples Company. Nama terakhir ini bahkan sampai memuat hit Fariz “Selangkah ke Seberang” untuk Album Vakansi pada 2010.

Album Hotel San Vicente sendiri di kemudian tahun dirilis ulang dalam wujud piringan hitam pada 2018 oleh Groovy Records, kemudian juga format digital pada 2020 oleh Hitam Manis Records.

40th. Karya brilian Hotel San Vicente, satu-satunya album Transs, telah menemukan banyak pendengar barunya. Terlebih ketika gelombang city pop merebak di dekade ini termasuk di Indonesia

Lagu “Jawab Nurani” pun banyak dimainkan oleh para DJ hari ini, sementara lagu “Senja dan Kahlua” dibawakan kembali oleh Kurosuke dalam album kompilasi Lagu Baru dari Masa Lalu yang dirilis oleh Yayasan Irama Nusantara pada 2021.

Tak lama setelah Hotel San Vincente dirilis, para personil Transs berpencar. Fariz RM meneruskan petualangan musikalnya baik secara solo maupun bersama band-band lain yang ia bentuk kemudian (pada album ketiganya yang juga dirilis pada 1981, Panggung Perak, para personil Transs masih membantu mengisi rekaman). Sementara personil Transs lainnya, Erwin Gutawa dan para pelajar itu mulai masuk ke dunia kampus yang berbeda-beda, sambil terus menjalani rute perjalanan musikal masing-masing dengan irisan-irisan bersama.

Sudah berjalan 40 tahun. Karya brilian mereka, Hotel San Vicente, sejauh ini satu-satunya album yang dihasilkan Transs, telah menemukan banyak pendengar barunya. Terlebih ketika gelombang city pop global yang terfusi musik jazz funk dan boogie merebak di dekade ini termasuk di Indonesia. Sehingga album Hotel San Vicente, Transs ini sering dijuluki sebagai salah satu album city pop Indonesia. Dan meskipun city pop yang terjadi di sini lebih ke perayaan musik 80an Indonesia, album Hotel San Vicente yang dirilis tahun 1981  ini bukti nyata lain bahwa musisi Indonesia sama visionernya dengan para punggawa city pop Jepang seperti Tatsuro Yamashita dan Mariya Takeuchi, dkk.

 


 

 

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …