40th “Sarjana Muda” Iwan Fals Yang Tak Juga Menua

Nov 4, 2021
Iwan Fals

Dari sepuluh lagu di album Sarjana Muda, minimal delapan di antaranya kerap dan umum dinyanyikan di tongkrongan anak muda. Gitar kopong dimainkan, suara dipadukan. Iwan Fals memang “dewa jalanan”.

Dalam album Sarjana Muda, lagu “ Si Tua Sais Pedati” bisa jadi yang paling jarang beredar di tongkrongan. Jarang dinyanyikan bersama-sama.

“Seorang kusir pedati yang sering saya jumpai pada saat saya mau berangkat maupun pulang sekolah pada saat saya SMP di Yogyakarta dahulu,” jelas Fals pada segmen favorit saya akhir-akhir ini, “Ngalor Ngidulnya Iwan Fals” di saluran YouTube Iwan Fals Musica.

Fals remaja naik sepeda. Dalam perjalanan, sering jumpa, papasan dengan kusir itu. Fals mengurnya, terkesan dengan sosok sang kusir: lantang suaranya kala membalas sapa di jalan, senyum ramah, kebersahajannya, tidak tergesa-gesa.

“Bunyi klonongan lembunya bikin tenang hati juga,” kenang Fals.

Dari sepuluh lagu di album Sarjana Muda, minimal delapan di antaranya kerap dan umum dinyanyikan di tongkrongan anak muda.

Jika sedang istirahat, kusir pedati berhenti di tepi perkebunan tebu, membuka bekal makanan dari rumahnya. Makan di sana. Kadang, saat pulang sekolah Fals suka mengobrol dengannnya.

Begitulah lagu “Si Tua Sais Pedati” di kemudian hari diciptakan oleh Iwan Fals, terinspirasi dari ingatan suasana masa itu. Alur lagunya bagaikan lenggak lenggok laju pedati. Bluegrass bertemu lokalitas hawa sejuk Yogyakarta 1970an.

Dia tak pernah membutuhkan solar dan ganti oli / Bensin dan ganti busi / Apa lagi cas aki //Dia tak pernah kebingungan / Dia tak pernah ketakutan / Apa kata orang tentang gawatnya krisis energi 

Lagu lain dari album Sarjana Muda yang tidak terlalu jadi primadona tongkrongan (dibandingkan segambreng katalog Fals lainya) adalah “Puing”.

“Kisah yang terinspirasi dari peristiwa Timor Timur pada 1975-1978,” Fals bercerita. Peristiwa Timor Timur itu tepatnya adalah Operasi Seroja.

Iwan Fals memiliki saudara seorang marinir yang bersama sahabatnya dikirim ke Timor Timur.

“Sahabatnya baik. Saat saya kecil dahulu, dia sering traktir saya bakso. Mungkin dia senang sama anak-anak. Nggak pernah marah… bercanda,” ujar Fals di YouTube.

“Dia meninggal di sana, sepupu saya selamat.” lanjut Fals. “Saat pasukannya terdesak, sepupu saya melihat di sekitar ada lubang, dia masuk ke situ. Dengan sebisanya, dia tutupi dengan tanah sisa kubur itu, dan dia bernafas dengan bambu atau selang, saya agak lupa. “

Fals menambahkan,” Tapi sahabatnya tidak. Saat pasukannya terdesak, di malah  keluar dari sarangnya, dihadang, dia berondong dengan senjata laras panjang. Banyak yang mati saat itu musuhnya, tapi dia sendiri jadi korban. Dia meninggal juga di situ.”

Ketika keadaan sudah sepi, barulah sepupu Iwan Fals keluar dari persembunyiannya. Ternyata sudah gelap. Dia merangkak di atas mayat-mayat.

“Ada kepercayaan di pasukannya itu, kalau kamu di medan perang, jangan sekali-kali kamu bunuh orang, nanti kamu akan dibunuh. Rupanya kepercayaan itu dipakai oleh sepupu saya. Di sana dia lebih banyak memimpin doa, menyembuhkan teman-temanya yang luka juga jadi penghibur karena dia pintar main gitar, bagus nyanyi keroncong. Sementara sahabatnya justru kebalikan dari watak yang saya kenal. Di situ justru gahar,“ tambah Fals.

Iwan Fals sempat menanyakan pada sepupunya, bagaimana tentara tidak membunuh, sementara tentara tugasnya berperang? Kalau tidak membunuh, kan bisa dibunuh? Sepupunya hanya tertawa, tidak menjawab.

Semua cerita itu yang menginspirasi Iwan Fals menulis lagu “Puing” pada 1979. Tentang perang dan kehilangan. Setahun kemudian, di Studio Musica, penata musik Willy Soemantri merekamnya dengan pop yang dingin; petikan gitar elektrik diiringi drum yang hampir datar, dan vokal Iwan Fals bagaikan mata yang nanar.

Album Sarjana Muda, meskipun bukan pertama kalinya Iwan Fals rekaman, bisa dikatakan sebagai album debutnya. Ini juga pertama kalinya Fals merekam karya ciptanya dengan iringan band.

Willy Soemantri paham akan latar belakang Fals. Iwan memang lahir dari jalanan; dari berpindah-pindah tempat, dari mengamen, dari gitar kopong, dari bergaul dengan berbagai kalangan yang usianya bisa jadi jauh di atas Iwan, dari keresahan liar anak muda.  Elemen country/bluegrass—dengan ketukan piano, drum dan bassline yang khas, banjo dan biola siap menjadi senjata pamungkas saat dibutuhkan, serta tentunya gitar sebagai pengantar utama—mewarnai album ini, Dan apa pun lirik yang dinyanyikan Fals, disampaikan dengan masing-masing watak kata dan kalimatnya.

Sekarang kita mengunjungi lagu apa lagi dari album Sarjana Muda? “Ambulance Zig-Zag”? Duh, judulnya saja keren!

Seorang pemain gitar di tongkrongan, standar lama, dinilai memliki level tertentu, salah satunya bila bisa secara fasih memainkan “Ambulance Zig-Zag”.

“Cerita seorang penjual bensin eceran yang terbakar badannya karena pangkalan bensin ecerannya meledak, lalu pergi ke rumah sakit. Sementara ada orang mampu yang pingsan karena syok anaknya kecelakaan, didahulukan. Saya melihat itu, kok nggak adil banget? Pemandangan itu saya buat lagu,” Fals berkisah.

Rasa paling miris pada lagu ini ketika Iwan Fals bernyanyi dengan satu bunyi lonceng kecil pembuka refrain. Willy Soemantri melekatkan aransemen yang  minimalis untuk lagu ini, dengan ironi Fals, nasib yang “modyar”, jelas di depan telinga kita.

Suster cantik datang / Mau menanyakan / Dia menanyakan data si korban / Dijawab dengan jerit kesakitan / Suster menyarankan bayar ongkos pengobatan

Lagu “Ambulance Zig-Zag” bagaikan parkir di tengah-tengah antara dramatisasi kegundahan “Sarjanan Muda’ dengan padanan musik sepi yang mengurung langkah dan nasib apes yang dibungkus jenaka pada laju sepeda kumbang “Guru Oemar Bakri”.

“Cerita tetang sarjana yang mengaggur begitu luar biasa, padahal itu tahun 1981, sehingga kegelisahan itu saya buat lagu,” kata Fals di YouTube tentang lahirnya lagu “Sarjana Muda”.

Sementara “Guru Oemar Bakri”—bagai karikatur dari gaji guru yang rendah di keriuhan tren tawuran pelajar sambil menyebut manusia Indonesia yang super-cerdas, B.J. Habibie—merupakan hit besar pertama Iwan Fals.

Pada saat saya kecil, pada awal 1980an (bahkan bisa jadi terus berlangsung sepanjang dekade itu sebelum lagu “Bento” dari SWAMI datang), Iwan Fals sama dengan “Guru Oemar Bakti”. Salah satu yang paling membuatnya jadi populer secara Nasional adalah diputarnya lagu itu pada mata acara TVRI Manasuka Siaran Niaga. Begitu terkenalnya lagu itu, “Guru Oemar Bakri” bahkan jadi penjelasan standar paling pertama tentang apa itu musik Iwan Fals: country, kritik sosial, dan lucu/jenaka.

Bila mendengarkan kasetnya, atau nongkrong di pinggir jalan bersama pemuda-pemuda gitaran, barulah kita semakin tahu bahwa Fals punya spektrum yang sangat lebar dan beragam, yang bahkan sudah bertebaran di album “Sarjana Muda”.

Sensitivitas Iwan Fals bisa terpancing dari berita meninggalnya proklamator Republik Indonesia yang ditontonnya di televisi.  Lagu “Bung Hatta” bahka ditulis Fals hanya dari kesan yang didapat sebelum Iwan tahu lebih banyak tentang perjalanan hidup Bung Hatta—itu pun hasil ciptaannya luar biasa menyentuh. Setiap lirik dan gaya tarikan vokal Iwan Fals adalah hebat. Willy Soemantri mengemasnya dengan aransemen string dan brass bak karangan bunga perhormatan yang tulus dan indah. Sampai-sampai solo harmonika di sana mencurahkan tumpahan jiwa.

Sementara lagu dengan rasa nasionalisme lainya, di mana Fals muda resah dengan kemajuan negerinya, terdapat pada “Bangunlah Putra Putri Pertiwi” yang menampilkan intro harmonika yang bergelagak. Fals serasa sosok Dylan, bertutur tenang, kemudian lantang, juga mengeolkan vokalnya. Willy Soemantri membiarkannya murni.

Bila nangkring di pinggir jalan, kecenderungan anak-anak muda akan lebih menjeritkan suaranya pada bagian lirik ini..

Garuda bukan burung perkutut / Sang saka bukan sandang pembalut / Dan coba kau dengarkan / Pancasila itu bukanlah rumus kode buntut

Kala terinspirasi dari bersentuhan langsung, tak perlu dipertanyakan betapa sensitifnya naluri Fals mengarang lagu. Kegiatan prostitusi di daerah Bukut Duri, Manggarai, Jatinegara, Jakarta, yang jadi pemandangan masa kecil Fals, di mana ia sempat pula mengobrol bersama seorang pelacur tua di sana. Menyaksikan kegelapan dan mendengarkan keresahan, melahirkan lagu “Do’a Pengobral Dosa”.

Dari awal saya mengenal lagu ini sampai sekarang, suka muncul ngilu saat mendengarkannya, atau bila menyanyikannya berdua gitar saja, pun bersama kawan-kawan.

Permata gelap lainnya dari album Sarjana Muda adalah gejolak rasa bersalah pada “Yang Terlupakan”.  Butuh untuk tampil sekali lagi dengan aransemen baru dari Ian Antono pada album Mata Dewa, 1989, untuk total melejitkan lagu ini ke angkasa dan menjadi bintang cerah permanen di sana. Tapi bagaimana pun, versi asli “Yang Terlupakan” termuat di Sarjana Muda—amunisi pop dahsyat dari Fals yang masih begitu muda saat menulis dan merilisnya. Hiperbolanya: jika memainkannya, gitar kita sudah merinding sejak intro dipetik sebelum menyanyikan dua kata pertama, “Denting piano…”

“Sebenarnya muasalnya lagu ini, saya masih SMA apa SMP, tuh? Syairnya bukan ‘denting piano’, syairnya ‘berdenting gitar’.  Saya dari SMA atau SMP sudah kos, jadi hanya gitar yang menemani saya, meskipun di rumah saya ada grand piano,” terang Fals.

Tapi, buat saya, “Yang Terlupakan” hanya salah satu kehebatan pop cinta dari Iwan Fals di album ini, karena sang legenda di masa mudanya menggenapkannya di lagu “22 Januari”.

Lagu yang sangat keren. Judunya dari tanggal Fals mengikat janji dengan Rosana, istrinya. Fals, lelaki jalanan itu, seniman hebat itu, menikah muda. Maka romantismenya menjadi sangat tersendiri. Bagi saya bahkan melebihi lagu-lagu romantis jalanan Fals lainnya, yang memang kerap menohok, dari “Kembang Pete” sampai “Maaf Cintaku”.

Bait “jalan bergandengan tak pernah ada tujuan” sering sekali “diplesetin” di berbagai tongkrongan menjadi “ jalan bergandengan gak pernah jajan-jajan”, namun dengan sering dibecandain seperti itu pun, bila mendengar “22 Januari” ada keharuan yang bila semakin bertambah tua usia lagu ini dan juga usia kita, maka bertambah pula senyum yang menyelimutinya.

Cuma bisa dimungkinkan tercipta pada saat itu. Lagu yang tak bisa ditulis ulang, bahkan oleh penulisnya sendiri.

Demikian juga pada segenap album Sarjanan Muda. Di usianya kini yang telah 40 tahun sejak pertama kali dirilis, rekaman itu begitu kuat dan khas. Tak menjadi terasa kuno atau uzur; saat diputar, lilin-lilin menyala dan panjang umurnya.

 

 

 

 

 

.

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …