5 Lagu Pop Lokal Dengan Lirik Puitis
“Sebuah puisi tidak berbeda dengan lagu, harus merdu agak bisa dinikmati”
Penyair Sapardi Djoko Darmono mengatakan itu saat meluncurkan novel Trilogi Soekram, pada Maret 2015 lalu. Pernyataan Sapardi inilah yang membuat puisi dan lagu menurutnya, dan saya yakini juga, sebenarnya tak berjarak, keduanya sama-sama perlu dihayati, tak perlu pusing ditebak dan dicari-cari artinya.
Mau secetek lirik “Bertahan Satu C.i.n.t.a.” -nya D’Bagindaz sampai “Taifun”-nya Barasuara, kedua lirik terdengar puitis bagi saya. Maka dari itu, kalau merunut pak Sapardi, harusnya sih saya tak usah beda-bedakan mana lagu bagus dan tidak, semua lagu adalah puisi, semua puisi bagus.
Penulis puisi dan lagu menurut saya adalah dua orang yang serupa tapi tak sama, anak kembar tapi yang satu ada tahi lalat kecil, tetap beda, meskipun sama. Baik puisi dan lirik lagu punya- saya menyebutnya- ‘suasana berpuisi’, yakni ruang dan waktu dimana sang penyair atau musisi bisa menciptakan lagu atau puisi yang sekeren dan bisa dihayati dan dinyanyikan banyak orang.
Dan menyambut hari puisi yang jatuh pada tanggal 28 April ini, saya, secara subyektif tentunya, akan memilih 5 dari lagu pop Indonesia yang menurut saya punya muatan lirik yang puitis. Apa pertimbangannya? Ya, feeling saja lah. Lagi pula, siapa saya menilai satu lagu bicara tentang apa? Paling juga menebak-nebak. Namun secara kasat mata, lagu-lagu yang saya sebutkan tadi memang punya susunan syair teramat puitis.
Banda Neira – “Sampai Jadi Debu” (Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti, 2016)
Berbekal musik folk yang enak, duo Banda Neira ini sangat jitu menggambarkan kata ‘kesetiaan’ dengan suasana ketika telah tiada. Suatu hal yang percis diinginkan dari sebuah pernikahan, dari orang biasa seperti saya dan pasangan, sampai Raisa dan Hamish Daud yang saking sukanya sampai-sampai memutarkan lagu ini di pernikahan mereka.
Sampai kita tua/Sampai jadi debu/Ku di liang yang satu/Ku di sebelahmu
Netral – “Pucat Pedih Serang” (Album Minggu Ini, 1998)
Album Minggu Ini adalah salah satu pencapaian netral yang paling tinggi menurut saya. Dari gocekan musik juga menuver-manuver penulisan lirik. Entah karen terlalu mabuk atau hanya memang kelewat cuek, tapi di album ini, beratu-ratus kosa kata abstrak muncul, seakan ingin dikuak artinya. Tapi mana bisa saya?
Inilah hari meracik racun/Tambal dan sulam tompongnya duniaku
Inilah kisah lolongan malam/Sabetan dingin goresan belati
Yang aku inginkan/riak canda kolam/Pucat pedih serang
Ada yang bisa artikan si penulis ini tengah apa? Apakah meracik daun itu melinting ganja atau hanya menyeduh teh tubruk? Aneh-aneh saja.
Doel Sumbang – “Martini” (Martini, 1985)
Dari lagu ini, saya jadi tahu bahwa Martini bukan merk minuman, melainkan nama anak laki-laki yang dinamai seperti nama perempuan. Si anak bingung mengapa ia dinamakan seperti nama perempuan.
Nama Martini membuat repot/Teman sekolah memanggil Tince
Dan aku jengkel bercampur marah/Emangnya perek
Dengan kemampuan storytelling-nya, seorang Doel Sumbang memberikan bertele-tele cerita tiap bait dari lagu tanpa reff ini, sampai akhirnya di ujung lagu kita akan temukan jawabannya. Oh ini maksudnya.
Sore – “Setengah Lima” (Ports of Lima, 2008)
Sore hari adalah waktu yang tepat bagi Ade Paloh (Sore) misalnya untuk membuat “Setengah Lima”, sebuah lagu yang menurut Ade berbicara tentang perasaan bersyukur. Ketimbang bilang ‘aku bersyukur kepadamu ya Tuhan, perasaan Ade yang meluap-luap itu ia lukiskan dalam bentuk suara, bisikat, bunga yang layu.
Suara bisikan hanyut/Dalam pengikis bunga layu/Sampai aku akhirnya merasakan/Mati suri di taman
Ah, ingin deh merasakan suasana yang menurut Ade adalah ‘beyond good feeling‘ tersebut.
Harlan – “Kerja Itu Liburan” (Operasi Kecil, 2017)
Orang awam seperti saya tentu tak akan bisa mengikuti jalan pikiran Harlan pada lagu yang punya lirik aneh, sama seperti puisi-puisi mbeling-nya Remi Sylado. Saya diminta menyimak apa maksud dari lirik tentang hal-hal keseharian,
Es krim & tombol & kardus & bunga & topi & teman & bulan & smartphone & iklan & lari & taman & ASI & rumpun & batere & pistol & ngantuk & kursi & jeda & toko & siku & tustel & kuku,
Saya sih tidak peduli namun ketika saya hubungkan dengan judulnya, saya jadi mau menebak-nebak jika rangkaian ini adalah simbol dari rutinitas kerja serabutan yang dijalankan banyak orang yang tak memiliki pekerjaan tetap alias frisani = freelance sana-sini. Yah, namanya juga cari duit.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI
Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya. CARAKA merupakan band …