5 Pertanyaan Aldila Karina: Synchronize Festival, Panggung untuk Segala Rupa dan Jenis Musik

Sep 25, 2024

Perayaan musik Synchronize Festival 2024 didukung oleh PusKesMas (Pusat Kesenangan Masa Kini) bertema Together Bersama akan berlangsung tanggal 4 hingga 6 Oktober 2024 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta Utara.

 

Synchronize Festival sudah menginjak usia yang ke-9 tahun. Kami menemui Aldila Karina selaku Director of Communications Synchronize Festival hari Rabu (28/08) di kantor demajors bilangan Pondok Labu, Jakarta Selatan untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. 

Perbincangan bersama Dila diawali dengan cerita perjalanan pribadinya mengenal demajors sebagai label musik sekaligus rumah utama Synchronize Festival. Ia mengetahui label ini di bangku SMA. Saat itu Dila tengah asyik mengoleksi materi fisik musisi Indonesia.

“Akhirnya belakangan gue baru tau, ternyata semua CD yang gue beli itu labelnya demajors [tertawa]. Itu zaman gue SMA menuju kuliah. Dan gue baru tau, ‘Oh ada ya sebuah label’. Ya gue kan mana ngerti industri musik gitu,” kisah Dila.

Seiring berjalannya waktu, Dila mendapat kesempatan untuk menjadi produser demajors Radio di tahun 2012. Tak lama kemudian perjalanan membawanya ke dalam tim Synchronize Festival. Ia membagikan cerita bagaimana cikal bakal festival ini yang dulunya dimulai dari rave party awal tahun 2000-an.

“Dari awal itu memang karakteristik musiknya sudah kontemporer gitu. Jadi ada (musik) elektronik, tapi ada DKSB (Depot Kreasi Seni Bandung). Jadi lumayan kontemporer dan eklektik. Kenapa bisa elektronik? Karena Pak David Karto, founder-nya, he was a DJ. Dia turntablist,” jelas Dila. 

Synchronize Festival pernah diadakan di sebuah mal daerah Jakarta tahun 2009-2010, sampai akhirnya perdana diadakan dalam format festival musik multi-genre tahunan berskala nasional di Gambir Expo pada 2016.

Sejak perdana diadakan, Synchronize Festival memberikan peluang bagi banyak band, berangkat dari keresahan tim demajors zaman itu soal musisi-musisi yang mereka rilis memiliki kesulitan untuk menembus pasar mainstream.

“Kami susah berpromosi. Kalau event cuma kami-kami doang, gak ada skala yang kelasnya gede untuk mendongkrak stream ini. Akhirnya kami buatlah Synchronize Festival. Sebenarnya misinya adalah bagaimana kami memberikan panggung untuk segala rupa dan jenis musik, sehingga orang bisa tau musik Indonesia beragam. Seperti halnya apa yang selalu demajors bawa di setiap rilisannya,” tegas Dila.

Berbicara tema yang dituliskan Synchronize Festival selalu catchy dan membekas setiap tahunnya. Dila langsung menjelaskan makna dari Together Bersama yang dibawa tahun ini.

“Ternyata banyak sekali perayaan musik Indonesia atau pun yang menarasikan musik Indonesia. Mulai dari bahasa sampai instrumen dan lainnya, mereka sangat lekat dengan konteks Indonesia. Setelah kami melakukan pemetaan, ternyata ada beberapa musisi luar yang sekiranya menarasikan itu. Makanya Together Bersama, yang kami pikir sudah waktunya nih. Kami memakai padanan kata yang sebenarnya maknanya sama, tapi memiliki bahasa berbeda,” ujarnya.

Ia juga menegaskan tema Together Bersama memiliki tujuan untuk menyerukan semangat persatuan dalam menghadapi semua perbedaan yang ada atas nama musik.

Bincang-bincang dengan Aldila Karina berlanjut menyentuh topik-topik seperti babak baru Synchronize Festival dalam menjalankan tahun ke-9 hingga apa saja yang harus diperhatikan jika ingin membuat festival musik. Simak langsung di bawah ini.


 

Bagaimana proses kerja tim saat mempertimbangkan dengan siapa berkolaborasi dan memilih penampil untuk Synchronize Festival?

Ini menarik sih sebenarnya. Karena di tahun ini ada begitu banyak kolaborator. Let’s say, misalkan kita melihat ke SORE dan Kawan-Kawan, itu ada banyak sekali kolaboratornya. Kami lihat bahwa sosok Ade Paloh berpulang, lantas siapa yang menggantikan. Jadi pemilihan kolaboratornya kami membayangkan, ‘Kalau lagu ini, dinyanyiin sama siapa, cocok atau gak?’. Khusus untuk SORE seperti itu.

Tapi itu juga berlaku untuk, katakanlah Erwin Gutawa Orchestra: Badai Pasti Berlalu. Kami tim program benar-benar mencoba untuk mendalami, merasakan, dan membayangkan dengan karakteristik vokal seorang penyanyi A. Dia menyanyikan spesifik satu lagu, jadinya bakal kayak gimana. Seperti itu sih.

Kalau untuk konsep kolaborator tentunya dari awal selalu memikirkan tentang musikalitasnya. Siapa yang akan menjadi backing band, siapa yang mampu mengejawantahkan apa yang ada di otak tim internal dan dikeluarkan dengan karakteristik solid, tanpa harus lama dan mereka bisa langsung masuk cepat. Prosesnya sebenarnya berawal dari kami merasa-rasakan dulu, pas atau gak.

 

Apakah dengan adanya penampil asal luar Indonesia seperti Koes Barat (Amerika Serikat) dan Nusantara Beat (Eropa), Synchronize Fest memasuki babak yang baru untuk melebarkan sayap dengan tetap membawa unsur lokal?

Oh, pasti. Gini, dalam arti membawa unsur lokal tuh Indonesia karena memang seperti yang kita ketahui juga, bahwa Synchronize Festival itu dari awal berdiri, bahkan jejaknya dari demajors narasi yang selalu dibawa adalah ‘Musik Indonesia’. Musik Indonesia tuh apa sih? Kan macam-macam. Apakah dia menggunakan identitas Indonesia, itu juga bisa dikatakan sebagai (musik) Indonesia. Koes Barat dan Nusantara Beat tentu masuk ke dalam kategorinya, karena menarasikan Indonesia.

Akhirnya, kami menemukan banyak perayaan musik Indonesia di luar sana. Dan ini baru beberapa. Sebenarnya gini, bisa dibilang ini seperti manifestasi. Kalau kita coba mundur ke tahun 2016, tema kami waktu itu It’s Not Just A Festival, It’s A Movement. Sebenarnya ini manifestasi. Nah yang tahun ini sebenarnya adalah manifestasi dari harapan kami. Dengan kita mengidentifikasi musik-musik Indonesia di luar sana, harapannya ke depannya bukan tidak mungkin bagi kita melihat musik Indonesia ada di berbagai negara. Tanda-tandanya bukan hanya dari Synchronize, tapi kita lihat ada Ali dan Reality Club sudah mulai tur. Terus udah gitu, White Shoes And The Couples Company juga udah dari kapan tau.

Dulu yang mainstream, mainstream. Yang indie, indie. Gap-nya berasa banget. Tapi di Synchronize Festival, green room-nya disatuin. Gara-gara itu mereka jadi ketemu dan ngobrol. Dan ternyata bisa nongkrong bareng. Itu benar-benar terjadi beberapa tahun kemudian, hingga akhirnya sekarang kita merasakan musik Indonesia bisa menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri. Bahwa lo ke mana pun, festival apa pun, musik Indonesia udah jadi core aja. Pede nih, lo nampilin Hindia pasti ramai. Kalau dulu kan yang mainstream aja, udah. Jadi sekarang udah setara.

Maksudnya, kayak pelan-pelan dengan globalisasi ini. Semoga (musisi) Indonesia bisa ke luar, pun makin banyak orang di luar sana yang merayakan musik Indonesia dengan gayanya seperti Koes Barat atau Nusantara Beat dan lain-lain. Mungkin gak secepat 2-3 tahun dari sekarang, bisa jadi baru terasa 10 tahun ke depan. Tapi setidaknya Synchronize sudah memperluas wawasannya ke arah situ.

 

Tahun ini Synchronize juga melibatkan banyak komunitas termasuk fans club musisi dengan memberikan kemudahan pembelian tiket. Silakan soal ceritakan keterlibatan mereka!

Sebenarnya di tahun 2017 atau 2018, kami udah lumayan mengajak beberapa fans club musisi. Tapi memang kalau dulu fans club-nya tidak sebesar sekarang. Jadi kayak cuma beberapa fans club aja yang mungkin punya stream cukup besar. Hal demikian sebenarnya juga untuk mendorong si Synchronize Festival lekat dengan komunitas karena Synchronize Festival adalah berbasis komunitas awalnya.

Tapi jejak itu sebenarnya sudah kami lakukan dari tahun 2017-2018, cuma kan stream social media mungkin tidak sebanyak sekarang. Makanya ketika sekarang udah memasuki ranah social media yang lebih masif lagi, apalagi Instagram gitu. Akhirnya kami memanfaatkan itu untuk menggaet kerja sama dengan para komunitas supaya, ‘Yuk, nanti lo sama teman-teman satu geng lo, sesama fans club bisa datang ke Synchronize’. Gitu sih.

 

Menurut lo festival musik yang enggak itu-itu aja atau yang berbeda dari yang lain dan bisa tetap berkesan bagi para pengunjungnya seperti apa sih?

Kalau gue pribadi, menikmati musik itu bisa dari mana aja dan medium apa aja karena lo gak pernah tau lo akan menemukan klik dengan sebuah musik itu melalui apa. Sekarang gini, social media banyak, gigs juga banyak, terus artisnya juga banyak. Kadang-kadang lo tuh sekali nonton band gak cukup. Kayak hari ini lo nonton biasa aja, tapi minggu depan kalau lo nonton di sebuah tempat yang tepat, kadang-kadang bisa mendapatkan experience yang berbeda. Dan itu yang selalu gue coba cari. Dalam arti gini, kalau dari POV seorang penonton gitu ya, ‘Jangan cuma dengerin sekali. Lo coba ikuti beberapa experience-nya, and then lo baru bisa menyimpulkan, ini seru’.

Dan begitupun juga dari sudut pandang gue sebagai promotor juga berpengaruh. Ini bisa menjadi sebuah bahan buat gue untuk menilai apakah musisi tersebut berkembang atau tidak. Jadi bisa menilai dan berkembang bareng dan mengikuti prosesnya bersama.

Tapi di sisi lain, kalau ngomongin tentang festival yang berbeda tapi tetap berkesan at the end nanti akan menjadi PR dari setiap penyelenggara atau artisnya. Makanya gue lumayan suka, ‘Oh ini lagi bawain tema ini, datang ah’. Karena bisa jadi ini jadi pengalaman berbeda buat gue secara pribadi. Somehow itu sebenarnya yang selalu dinantikan.

Makanya harapannya sebenarnya untuk band dan penyelenggara, jangan pernah berhenti untuk terus mengembangkan konsep kreatif. Karena kerap kali orang membutuhkan hal-hal yang baru. Karena bisa jadi kecintaan fans terhadap penampil itu bukan di satu kali pertunjukkan, tapi bisa jadi di pertunjukan berikutnya. Entry level-nya banyak banget sih.

 

Ketika suatu pihak ingin membuat festival musik. Apa langkah yang bisa dilakukan jika dimulai dari cara paling sederhana menuju pembuatan konsep?

P&L, Profit And Loss. Apa pun dalam penyelenggaraan, hal yang paling lo harus pertimbangkan di awal dan benar-benar diteliti itu adalah Profit And Loss atau budgeting ya bahasa mudahnya. Dan yang kedua lo mencari captive kemungkinan pemasukan lo dari mana. Karena kerap kali, gak cuma event kecil, tapi event besar pun itu kadang-kadang mereka tidak mempertimbangkan hal-hal kecil.

Contoh, pendapatan dari mana. Oke, penjualan tiket, sponsorship, atau misalkan partnership dan merchandise. Oke dapat duit di situ, tapi mereka kadang-kadang lupa, mereka harus DP, jadi duitnya udah habis di depan kan. So, mereka harus mikirin pertama P&L-nya, and then capital-nya duitnya dari mana. Karena kadang-kadang sebelum lo menjual tiket, operasional dah harus lo bayar duluan. Kayak hal kecil, operasional transportasi lo untuk meeting, sampai operasional pegawai, dan timnya pun udah harus dibayar di depan.

Terus kadang-kadang orang lupa kayak perihal menghitung detail pajaknya. Event-event tuh kadang lupa harus bayar pajak ya. Daripada loss di belakang, mending lo hitung di awal kan. Itu sih tentang P&L, benar-benar harus detail.

Terlepas dari P&L, ini divisi yang berbeda lagi adalah kreatif. Ini dua hal berbeda nih, kalau bisa jangan digabungin, orangnya beda banget nih. Jangan sampai kreativitas terbatas gara-gara budget. Which is memang itu mau gak mau memang harus tetap objektif dan realistis, tapi setidaknya dengan otak kreatif kita bisa menjadi akal-akalan dengan budget yang lebih minimum dan mengakali supaya gak terlalu heavy, tapi tetap keren.

Yang ketiga adalah sebisa mungkin menemukan karakter yang cocok dengan kolektif lo. Banyak sekali orang mungkin ikut-ikutan tren ya. Kayak, ‘Oh ini kayaknya lagi ngetren musik-musik folk’. Tapi lo gak ada di komunitas itu jadi percuma. Lo jadi gak nge-grab pasar yang tepat karena lo tidak berada di situ atau tidak menyelami lautan itu. Kan jadi sayang ya.

Ada baiknya, tentukan karakteristik dan kreatif sesuai dengan yang ingin dituju, tapi harus berada di situ juga sih. Atau setidaknya memahami grassroots. Sehingga setidaknya kalian tuh grassroots-nya udah dapat, karakteristiknya kebentuk, sehingga nanti udah bisa enak tuh. Supaya tampil beda juga. Karena banyak banget sekarang. Gimana caranya lo mendapatkan atensi, kalau lo gak tampil beda atau karakternya kece. Itu sih secara umum, 3 itu yang gue lihat.

 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
hafidhravy
hafidhravy
1 month ago

Synchronize kalau dibilang membuka pintu pertunjukan musik “yang itu itu aja” setuju banget sih. Karena semenjak synchronize, gw pribadi bisa punya banyak pilihan musik musik baru yang bisa dibilang membuat gw lebih tertarik lagi buat ngulik musik. Ya walaupun sebenarnya gw belum pernah ke Synchro, tapi cukup dengan melihat dokumentasi mereka gw bisa berpendapat seperti ini

hafidhravy
hafidhravy
1 month ago
Reply to  hafidhravy

Maksudnya membuka pintu musik “yang gak itu itu aja”.

Eksplor konten lain Pophariini

Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan

Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi.   …

Beltigs Asal Bandung Menandai Kemunculan Lewat Single Pelican Cove

Bandung kembali melahirkan band baru yang menamakan diri mereka Beltigs. Band ini menandai kemunculan mereka dengan menghadirkan single perdana “Pelican Cove” hari Kamis (07/11).     Beltigs beranggotakan Naufal ‘Domon’ Azhari (gitar), Ferdy Destrian …