5 Pertanyaan David Karto Demajors: Tastemaker Musik Indonesia

Mar 30, 2023
David Karto

Jejak pertama kali David Karto menyelami musik bisa dibilang di bangku SD. Membuat dan menerima pesanan mixtape di kelas enam SD, menjadi DJ kaset di bangku SMP dan setelah sekolah khusus DJ, merambah jadi DJ profesional. 

Setelah lama wara-wiri di lantai dansa sebagai DJ di era 90an, di awal tahun 2000 bersama teman-temannya Ia memutuskan mendirikan records store, Demajors yang menjual piringan hitam. Tidak lama Demajors fokus menjadi label rekaman, dan di 2016 membuat gebrakan di festival musik Indonesia dengan membuat Synchronize Fest.

David Karto adalah salah satu sosok penting dalam musik populer Indonesia dalam kurun 20 tahunan terakhir. Menjadi tastemaker dan turut berperan membentuk selera pendengar musik Indonesia dengan merilis album-album penting arus samping yang merubah lanskap musik Indonesia selamanya. Album perdana Efek Rumah Kaca, Endah ‘n Rhesa, dan Tulus dalam bentuk CD adalah salah satunya.

Bersama Demajors David Karto menghadirkan Synchronize Fest. Festival musik pertama di Indonesia yang sepenuhnya diisi oleh penampil lokal baik arus utama, samping, hingga musisi legendaris Indonesia. Memasuki tahun ke 23 Demajors, simak obrolan singkat Pophariini dengan pria yang dikenal sering melontarkan motto menggelitik, “Di sini (di Demajors) apapun boleh, yang ngga boleh cuma marah”.

 

1. Selamat atas ulang tahun Demajors yang ke 23. Apa satu hal terpenting yang dipelajari dalam usia Demajors sekarang?

Terima kasih, pak. Kuncinya adaptif. Spiritnya Demajors di era awal saat jadi label kan memberikan ruang untuk musik-musik arus samping Indonesia yang dulu di tahun 2000an ngga punya kesempatan di media-media mainstream. Seperti radio, televisi dan media cetak. Gilanya saat sekarang musik-musi ini udah diterima dan menjadi besar, medianya malah berubah total. Dengan media sekarang yang dominan internet ini kita seperti mulai dari nol lagi. Dengan streaming dan lain-lain. Tapi ya kita harus bisa adaptasi dan bertahan. Makanya Demajors di 2016 bikin Synchronize Festival yang bertahan terus sampai sekarang.

 

2. Apa hal paling menyenangkan dan sebaliknya dari pekerjaan ini? 

Menyenangkannya karena bekerja dengan hal yang gue senengin. Bangun pagi ngga ada beban, di tiap menit lo bisa muncul ide-ide baru dan langsung ngobrol dengan tim untuk eksekusi. 

Ga enaknya sebenernya cuma ketakutan apakah servis kita sudah memuaskan teman-teman yang jadi klien Demajors. Entah itu musisinya, pendengarnya  sampe ke keseluruhan industri musik Indonesia.

Walaupun sekarang rilisan fisik ga menjadi kebutuhan utama, tapi gue yang hidup di dunia analog ini cuma mikir simpel. Karya musik teman-teman ini harus ada rekam jejak artefaknya dalam bentuk fisik

3. Dari 23 tahun apa pencapaian paling berkesan di Demajors?

Dikasih kesempatan bekerja sama dengan musisi-musisi hebat di Indonesia dan ngerilis albumnya dalam bentuk fisik. Dari Efek Rumah Kaca, Endah n Rhesa dan Tulus, siapa sangka sekarang mereka bisa berkembang sejauh ini. Gila, bisa melihat proses mereka dari nol itu salah satu pencapaian paling berkesan gue.

 

4. Kenapa masih merilis fisik dan apa yang membuat bertahan untuk merilis fisik?

Walaupun sekarang rilisan fisik ga menjadi kebutuhan utama, tapi gue yang hidup di dunia analog ini cuma mikir simpel aja. Bahwa karya musik teman-teman ini harus ada rekam jejak artefaknya dan bentuk fisiknya. Ini berlaku di semua industri. 

Karena who knows, ini pemikiran lama gue. Kita ga pernah tau, kalau kita bicara dunia maya digital ini, kalau sampai servernya down, everything is gone. Dan kita ga punya hak apapun untuk menuntut. Hal ini ada di dalam regulasi mereka. Mereka ngga bisa disalahkan. Intinya gue pengen ada rekam jejak artefak dokumentasi musik teman-teman ini yang berbentuk fisik.

 

5. Gimana melihat masa depan rilisan fisik di Indonesia, termasuk vinyl?

Sebenernya dari lima tahun yang lalu, kita lagi nunggu untuk keluar pelanginya. Warna-warni  cerah CMYK nya. Sekarang itu udah keluar dan udah terjadi. Semua itu punya ruang dan pasarnya sendiri. Baik itu kaset, CD dan vinyl. Balik lagi gimana artist dan manajemennya me-manage men-treat pasar dan pendengarnya dengan rilisan fisik mereka. Ga usah diperdebatkan atau dipertanyakan lagi masih relevan ngga. Kalau mau bikin ya, bikin aja yang bagus. Dimaksimalkan dengan konsep yang keren dan segala macam.

Untuk vinyl semua ada pasarnya. Setiap level ada cita rasa dan marketnya sendiri. Pertanyaan di kita, apakah ini akan terus jadi hal yang akan terus kita debat? Lima taun yang lalu gue dan (David) Tarigan sempet berhayal. Kalo kita banyak uang sih kita bikin versi vinyl aja. Walaupun cuma 100 atau 200 pieces aja. Make it available untuk market. Kejual apa engga itu urusan kesekian. Mirip kaya kita makan di rumah makan Padang. Semuanya ada disediakan. Kan ga tau appettie orang, mood nya saat itu mau makan apa. Kalo kita make it available, semua peluang-peluang akan terjadi

 


Foto: Nala Satmowi

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Vinyl The Jansen Keluaran 4490 Records dan Demajors, Ini Dia Perbedaan Keduanya

The Jansen merilis album ketiga Banal Semakin Binal dalam format vinyl hari Jumat (26/04) via jalur distribusi demajors. Beberapa hari sebelumnya, band lebih dulu merilis dalam format yang sama melalui 4490 Records, sebuah label …

Inis Rilis Album Mini Berbahasa Indonesia Pertama

Berjarak hampir 2 tahun dari perilisan single “D.A.D”, Inis akhirnya kembali dengan materi anyar berupa album mini berjudul Rumah & Seisinya yang dilepas hari Jumat (19/04). Album berisi 3 lagu ini merupakan karya perdana …