5 Pertanyaan Direct Action: Jutaan Streams Bukan Tolok Ukur

Sep 20, 2023

Direct Action merupakan duo rock elektronik beranggota Joseph “Iyub” Saryuf dari Santamonica dan Tyo Nugros. Sejak muncul dengan single “Blush Blush” tahun 2017 lalu, mereka sudah mengantongi total 4 single lepasan dan 1 album mini.

Mengaku sudah saling mengenal sejak 2011, kedua musisi dipertemukan kembali 5 tahun setelahnya oleh pengelola bisnis F&B di kawasan Mega Kuningan untuk bermain dalam acara tahun baru. Meski acara tersebut akhirnya batal, namun kolaborasi keduanya tetap berjalan karena menemukan kecocokan satu sama lain.

Kecocokan membawa mereka bisa menghasilkan 2 single “Blush Blush” dan “The Chills” atas nama Direct Action. Kesibukan kedua personel dan masa pandemi yang sempat menghampiri membuat duo ini baru kembali aktif merilis karya musik, dimulai dengan single “Seventh”.

Sekitar satu bulan yang lalu duo ini juga merilis materi baru berupa album mini berisi 2 lagu, yaitu “Polydemic” dan “Masonethics” (22/08).

 

Pembuatan dua lagunya berawal dari sample ciptaan Iyub yang langsung direspons oleh Tyo setelah ia mendengarkan. Hal ini membuat permainan drum di materi yang baru  terasa berbeda dengan lagu-lagu mereka sebelumnya.

“Mungkin Iyub gak tau tapi gue berusaha bercerita melalui instrumen gue. Maksudnya intinya tuh, depannya standar aja, biasa-biasa aja, makin lama makin susah, cepat, dan kompleks. Biasanya orang (bercerita) pake lirik, gue pakai drum,” ucap Tyo.

Dalam pertemuan dengan Direct Action, kami memberikan beberapa pertanyaan yang lebih mendalam seputar perjalanan bermusik, proses berkarya, dan pandangan mereka soal kesuksesan seorang musisi. Simak langsung di bawah ini.


Dengan latar belakang musik yang berbeda. Bagaimana memadukan referensi musik masing-masing untuk Direct Action?

Iyub: Terjadi organik banget sih. Gue gak batasin Tyo, Tyo gak batasin gue. Perpaduan yang sama-sama free itu menjadi unik. Enak sih kita bebas-bebas aja.

Tyo: Paling dibatasinnya kalau gue pikir terlalu ribet atau gimana. Tapi kalau soal sound, soal main, gak ya. Aransemen sih yang agak dibatasin dikit.

Iyub: Kayak “Polydemic” itu aslinya lebih panjang lagi ya. Di situ, ya akhirnya kita benar-benar decide, “Kayaknya ini gak bisa nih segini panjang, segini udah cukup”.

Tyo: Gue kenal sama dia (Iyub) tahun 2011. Tapi, kira-kira baru tau referensi (musik) dia apa aja tuh kira-kira tahun 2018. Gara-gara ada pertanyaan dari media (tentang) referensi album atau lagu apa yang Iyub dengerin, dan pas gue liat, gak ada yang gue tau nih. Gue coba dengerin satu-satu. Iyub juga gak tau referensi gue apa. Cuma menurut gue itu satu kebetulan karena pas diramu akan menjadi sesuatu yang baru dan unik lah pastinya. Ternyata beneran, prediksi gue benar.

 

Apa sebenarnya tujuan dari proyek musik ini? Mengingat kalian sudah memiliki pencapaian bermusik sendiri.

Iyub: Jujur sih waktu kami terbentuk, ini sesuatu yang baru buat gue dan Tyo. Kami gak pikirin “Wah harus gini, harus gini”. Tiba-tiba terjadi organik seperti ini. Direct Action gitu. Kayaknya kalau dibilang tujuan, ya ini sesuatu yang baru aja yang ingin kami suguhkan ke masyarakat. Jujur dengan adanya Tyo, yang (part) drum aja dia tulis, membuat gue semakin belajar. Jadi, kami pengin naikin level juga. Dengan Direct Action ini, kayaknya wadah yang pas banget ya untuk kayak gitu.

Tyo: Pengin menyuguhkan sesuatu yang baru. Secara gak sengaja hanya dengan dua orang bisa menjadi sesuatu yang kompleks dengan sound yang baru dan permainan yang tidak biasa orang dengar. Dan yang paling penting itu, hanya berdua.

Iyub: Dan gue juga bisa masukin beberapa warna ya di sini karena memang pas banget, banyak ruangannya.

 

Ceritakan proses berkarya Direct Action!

Iyub: Ya seru sih karena gue jadi lebih banyak tau hitungan permainan drum yang gue tadinya gak tau. Kayak di “Polydemic”, Tyo main (teknik drum) poliritmik gitu. Gue gak tau tadinya poliritmik itu gimana, tapi kayak, “Kok seru ya? Kok asik ya?”. Terus dia jelasin, jadi akhirnya itu menjadi wawasan buat gue untuk bisa mengembangkan musik “Polydemic” juga pada akhirnya.

Tyo: Iya, jalan sambil belajar. Jadi, misalnya ada satu part, gue kasih dulu ke dia audionya terus abis itu gue ke studio bawa not baloknya. Dia gak bisa (baca) not balok kan, tapi gue kasih tau, “Ini part-nya sampai sini nih Yub”. Paling gak dia kan anaknya cepat ngerti [tertawa]. Pas gue show juga ada beberapa part yang ending-nya pakai not balok. Mungkin untuk dia seumur hidup baru sekali nih ada kayak, “Drumer gue bawa not balok. Emang kelihatan di atas panggung?”. Cuma, ya memang gue mau main yang lumayan perfect gitu. Proper. Jadi ending lagu gak boleh salah, kayak gitu-gitu. Seru aja jalan berdua. Gue juga gak ada beban. Dia semakin banyak tau, berarti nanti ke depannya musiknya akan menjadi semakin kaya pastinya. Dengan yang gue tuangkan sekarang, mungkin di next month Iyub iseng-iseng belajar, bisa jadi sesuatu yang baru lagi.

 

Bagaimana kalian melihat perkembangan musik elektronik di Indonesia saat ini?

Tyo: Ya bagus, banyak kemajuan. Kalau untuk gue kebetulan masih dengerin radio. Terus ada penyanyi atau band yang pakai sound-sound new wave atau 80’s lagi. Wah gue bilang, “Oke nih industri di sini”. Apalagi dengan generasi sekarang yang bebas gitu bikin musik. Kayaknya gak kayak zaman dulu lagi. Bebas banget, terus gue suka aja. Musik elektronik di Indonesia kayaknya akan lebih berkembang lagi.

Iyub: Dulu tuh kami terbatas di alat, itu udah pasti. Gue mengalami memulai rekaman dari zaman dulu. SMA gue rekaman pita segala gitu. Untuk mencari sound tuh sangat terbatas dengan alat yang ada. Sampai akhirnya gue kenal dengan alat-alat analog, synthesizer analog di tahun 2002/2003, which is kayak, “Oh ternyata orang kalau mau bikin sound begini harus pake alat ini, ini, ini”. Dan zaman berkembang, teknologi berkembang, sekarang orang udah bisa dapat semua sound hanya dengan laptop. Jadi, menurut gue makanya semakin bagus karena orang lebih banyak bisa ngulik. Sekarang menjadi tidak terbatas lagi dengan peralatan dan sound. Banyak banget sih kalau gue liat produser-produser muda gitu, kayak baru lulus SMA bikinnya udah keren-keren semua.

 

Sukses menurut kalian, produktif menghasilkan karya musik tanpa peduli jutaan streams atau berusaha punya satu lagu hit yang bisa dinikmati selamanya?

Iyub: Evolusi yang terjadi di gue, itu tolok ukur sukses gue. Di mana gue bisa bikin lagu lebih dari apa yang sudah pernah gue buat. Lebih canggih lah. Gue memang orangnya gak pernah lihat jutaan streams karena memang kami gak bermain di situ.

Tyo: Kalau gue, berhasil membawa atau menyuguhkan suatu musik yang memorable. Jadi orang akan mengingat itu terus. Meskipun lagunya tidak hits, tapi misalnya ada orang tahun berapa nanti, tahun 2034 gitu misalnya, bikin sesuatu, “Oh ini udah pernah dibikin nih sama Tyo atau Direct Action dulu tahun 2023”, itu kan berarti memorable, maksudnya diingat, dikenang.

Iyub: Mungkin kalau karya itu kan umurnya selamanya ya. Entar kalau kaminya juga udah gak ada kan, karyanya masih ada.


 

Penulis
Gerald Manuel
Hobi musik, hobi nulis, tapi tetap melankolis.
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
roy brotowali
roy brotowali
1 year ago

tolok ukur btw

Eksplor konten lain Pophariini

Antara Musik, Visual, dan Sekitarnya (oleh: Sari, Rio, John, Mela, Ricky, Saleh WSATCC)

White Shoes & The Couples Company (WSATCC) dibentuk pada 2002 di kampus Institut Kesenian Jakarta di wilayah Cikini, Jakarta Pusat. Sari, Rio, Saleh menempuh studi di jurusan Seni Rupa dan Desain, sedangkan Ricky, Mela, …

Cerita Hidup yang Lebih Baik Terangkum di Single Perdana CLDGRAY

Penyanyi solo asal Bandung Muhammad Rizkiko yang mengusung nama panggung CLDGRAY resmi meluncurkan single perdana dalam tajuk “TONIGHT” hari Rabu (30/10). Sebelumnya ia sudah pernah merilis 2 single kolaborasi bersama Gbrand berjudul “Sin City” …