6 Anak Media yang Mewarnai Industri Media Hari Ini
![](https://pophariini.com/wp-content/uploads/2025/02/COVER-ANAKMEDIA.png)
Sekitar 3 tahun yang lalu Pophariini pernah membuat artikel yang berisi 10 Jurnalis Musik Favorit. Berangkat dari tulisan tersebut, kami berpikir untuk melanjutkannya dan melebarkan jangkauan dengan memilih mereka yang bekerja di perusahaan media.
Nama-nama yang masuk daftar merupakan kombinasi dari kenalan pribadi saya sebagai penulis dan teman di Pophariini. Kami sering menemui di berbagai acara musik atau menonton program yang mereka bawakan di media sosial sekaligus rekomendasi dari teman media.
Sebelum mewawancarai anak-anak media, kami mengontak 2 jurnalis senior, Shindu Alpito (Redaktur Medcom.id) dan Nuran Wibisono (Penulis Tirto.id) untuk menanyakan pendapat mereka seputar dunia media era ini.
Menurut kacamata Shindu, media massa saat ini masih berjibaku dengan pola konsumsi informasi masyarakat yang dinamis. Pernyataan ini tentunya disampaikan berdasarkan perkembangan berbagai platform media sosial berbasis internet. Ada yang berhasil melakukan penyesuaian dengan zaman, ada pula yang menurut jurnalis berkacamata ini mengalami kegagalan.
“Ada yang fasih, ada yang gagap. Beberapa mengimani ‘konten adalah raja,’ tetapi yang terjadi banyak ‘raja’ ditinggal ‘rakyatnya.’ Publik mulai beralih ke media alternatif yang tak berpedoman pada prinsip jurnalistik. Pada akhirnya, informasi yang diterima bukan soal benar atau salah. Tetapi sebatas gula-gula tentang menarik atau tidak,” jelas Shindu.
Shindu merasa batas antara produk jurnalistik dan konten kreatif di mata publik semakin samar. Kemudahan memberikan dan menerima informasi juga dianggap mengurangi sensibilitas memilah mana berita fakta dan fiktif.
“Di sinilah tantangan media yang berlandaskan semangat jurnalisme untuk tetap berkomitmen memproduksi berita-berita faktual dengan berpegang pada kode etik dan menjaga nilai-nilai untuk selalu berpihak pada masyarakat. Tak terjebak pada perangkap angka-angka popularitas media sosial semata,” tegasnya.
Tanpa mempermasalahkan format-format baru konten kreatif yang banyak beredar saat ini, Shindu tetap berpegang pada nilai-nilai yang disebar ke masyarakat.
“Sejatinya memberi informasi kepada publik entah dalam bentuk produk jurnalistik atau konten kreatif harus diikuti juga dengan tanggung jawab. Karena sedikit atau banyak, media turut andil dalam membentuk kehidupan sosial,” tutup Shindu.
Tak jauh berbeda dengan Shindu, Nuran memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Mengakui media secara umum memang sedang di masa sulit, banyak juga media musik yang sebelumnya berjaya di era cetak berhasil bermigrasi ke digital secara mulus.
“Namun di tengah kondisi sulit ini, buatku pribadi, para jurnalis musik terbukti bisa adaptif perkara format. Jika dulu konten musik banyak mengandalkan teks, sekarang mulai beralih ke format audio-visual. Ini menjadikan lanskap konten musik jadi lebih beragam. Video jadi tulang punggung banyak media musik era kiwari,” ucap Nuran.
Penulis yang turut mengelola rumah makan Glam Rock Kitchen di Cipete ini juga mengatakan bahwa menjadi jurnalis yang mengandalkan konten berbasis video itu tak mudah.
Selain harus bisa mengolah kata-kata untuk berita, para jurnalis masa kini juga harus paham perkara visual, minimal hal-hal dasar seperti komposisi atau pencahayaan.
“Belum lagi ada post-pro yang tak semua jurnalis bisa melakukannya. Apalagi kalau videonya lebih panjang, atau semi dokumenter. Wah, itu lebih ruwet lagi,” ujarnya.
Meski begitu, Nuran merasa perkara format ini tak lantas jadi satu-satunya solusi terhadap krisis yang dialami banyak media, termasuk media musik tentunya. “Tapi kupikir ini bisa membuktikan bahwa para jurnalis musik bisa beradaptasi dengan baik, termasuk mencari format paling cocok,” pungkasnya.
Bertepatan dengan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Februari, kami mengumpulkan dan mewawancarai nama-nama yang menghiasi dunia pers, khususnya area musik hari ini. Simak langsung di bawah.
Garrin Faturrahman (Editorial Staff Whiteboard Journal)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Kuliahku tidak terlalu nyambung dengan urusan media. Aku selalu merasa bahwa bekal yang membawaku ke sini—sampai betah jalan 2 tahunan—adalah kesukaanku terhadap musik dan profesi ini sedari kecil—meski dulu lebih banyak baca majalah lifestyle, otomotif, dan hobi sih [tertawa].
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Editorial Staff Whiteboard Journal?
Membuat sesuatu sih yang pasti. Menulis, meliput, merangkai suatu cerita—pokoknya bikin sesuatu.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
‘Upbeat‘ mungkin adalah kata yang tepat? Menyenangkan melihat teman-teman memiliki energi berlebih untuk mencoba hal-hal baru dalam bercerita. Memulihkan juga berkenalan dan saling sapa dengan teman-teman baru yang jelas menyenangi apa yang dikerjakan. Harapanku semoga tidak cepat capek.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Ada beberapa veteran-veteran di dunia media lokal yang menginspirasi sedari aku kecil.
Tapi, kalau mengenai sosok hari ini, aku bisa sebut kedua superiorku di kantor: Mas (Muhammad) Hilmi dan Mas Ricky (Siahaan). Mungkin tanpa mereka, aku tidak akan punya ketajaman berpikir, berapresiasi, dan berlaku sebagai manusia.
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Kalau dipergunakan dengan baik, bisa menjadi semacam ‘Swiss Army Knife’ deh rasanya. Selalu berharap banyak pintu yang terbuka dari bekerja media, seperti pintu pertemanan, pintu berkarya, sampai pintu maaf [tertawa]. Tapi, selayaknya pisau serbaguna itu juga, kalau jatuh ke tangan yang salah, bisa-bisa justru melukai ketimbang membantu.
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Sulit menjawabnya. Meski banyak yang memuaskan, tapi rasanya belum ada yang pantas untuk aku berbangga, gitu? [tertawa].
Paling, kalau versi SMA-ku bisa melihat ini, rasanya aku cukup bangga bisa terhubungkan dengan band kesukaanku era itu, Canis. Bisa menyurati dan dibalas rasanya seperti diafirmasikan bahwa memang bandnya (dan aku sebagai penggemar) tuh ada, dan bisa saling melempar apresiasi tuh cukup membanggakan, sih [tertawa].
View this post on Instagram
Bayu Kristiawan (Admin Media Sosial KOLONI GIGS)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Pernah kuliah Ilmu Komunikasi tapi gak kelar [tertawa]. Terjebak di alternatif media ini juga gak sengaja. Awalnya cuma senang nontonin gigs di Jogja waktu itu sama ngulik/dengerin musik dari acara-acara di radio, lalu ketemu teman-teman baru yang coba bikin kanal medsos untuk berbagi informasi seputar gigs di Jogja dan sekitarnya.
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Admin Media Sosial KOLONI GIGS?
Posting e-flyer kerja sama event. Kalau ada ide, posting konten lainnya. Kadang di IG atau di X, spontan gitu deh. Dan kebetulan aku juga ditunjuk buat pegang nomor kontak official KOLONI GIGS.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
Nah, sekarang ini kan kayaknya banyak juga ya bermunculan media-media baru di lingkup daerah bahkan, yang bahas permusikan dan event juga. Harapanku sih selain memberi info event di daerah masing-masing, juga bisa promoin musisi/band daerahnya juga yang mungkin bagus tapi belum tercium media nasional.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Siapa ya? Mungkin Mas Eric Wiryanata dengan kanal Deathrockstar-nya dan Teguh Wicaksono dengan kanal Sounds From the Corner-nya
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Karena KOLONI sekarang bisa dibilang kolektif media/media komunitas/alternatif media atau mungkin bisa disebut buzzer juga [tertawa]. Maka cita-citanya, ya bisa jadi media mainstream, website-nya bisa memuat tulisan-tulisan musik bagus, dan mungkin aku juga akan belajar nulis juga.
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Pertama, ngerilis kaset favorit kompilasi Fresh Meat berisi 14 emerging band asal Jogja di masa pandemi. Kedua, meluncurkan Kolonitees, program kolaborasi merchandising bareng band dan ilustrator. Terus artikel favorit Kolonitees edisi Southern Beach Terror dengan ilustrasi dari Balsden.
View this post on Instagram
Terakhir, bersama komunitas pelapak rilisan fisik Jogja Record Store Club (JRSC) dan kerja sama dengan beberapa kolektif di Jogja bikin Record Store Day chapter Jogja dengan konsep yang lebih meriah dari biasanya.
Fadhil Ramadhan (Jurnalis Froyonion.com)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Dulu kuliah jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2014 ambil 3 program studi yaitu Jurnalistik, Videografi, dan Advertising. Gue pun sesekali menjadi penulis kontributor untuk website Remotivi dan Tribun Travel.
Saat kuliah semester lima (tahun 2017), gue mengambil program magang di National Geographic Indonesia (NGI) di bawah naungan perusahaan Kompas Gramedia selama sekitar dua bulan. Waktu itu kantornya masih di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
Setelahnya, gue menjadi Freelance Writer di NGI untuk sejumlah peliputan di Jawa Timur (2018), Natuna (2019), dan Papua (2020). Lalu menjadi penulis lepas untuk artikel harian di website NGI tahun 2021.
Kemudian pada Januari 2022, gue bergabung ke Froyonion.com sebagai jurnalis untuk bahasan pop culture dan industri kreatif hingga 2025.
Sudah berapa tahun ya berarti? [tertawa]. Kalau dihitung dari waktu magang kuliah sampai sekarang, berarti sekitar 7,5 tahun. Cuma kalau dihitung dari bekerja sebagai jurnalis tetap (bukan kontrak) ya baru di Froyonion ini, 3 tahun.
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Jurnalis Froyonion.com?
3 tahun bekerja jadi jurnalis di Froyonion ngasih gue banyak pengalaman. Dengan pengalaman banyak itu, kerjaan gue juga beragam.
Biasanya gue menulis artikel harian, mengedit artikel kontributor untuk di-upload harian, liputan kalau ada undangan, mengurus surat perjanjian kerja sama kalau ada kebutuhan media partner, jadi PIC kalau ada artis tamu (biasanya aktor atau musisi) yang media visit, bikin editorial plan buat konten Instagram, bikin script konten TikTok (ini mulai jarang hehe), dan kalau di akhir bulan, gue merekap invoice dari penulis kontributor di setiap bulan, gue kasih ke orang finance.
Walau kerjaan gue keliatan banyak, tapi dengan penjadwalan yang oke, ditemani Grace (Angel) juga (Jurnalis Froyonion.com satunya). Jadinya pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa berjalan dengan lancar hingga sejauh ini.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
Dengan banyaknya wujud media hari ini, termasuk hadirnya homeless media. Hal ini bikin pembaca atau masyarakat harus pinter pilih-pilih berita.
Dengan hadirnya banyak media, sangat mungkin terdapat berita hoaks atau konten yang naik tayang tanpa verifikasi dari sumbernya langsung.
Harapannya, media bisa menyajikan berita yang sudah terverifikasi sehingga mengurangi misinformasi atau hoax yang tersebar di masyarakat.
Sedikit banyak terjadi perdebatan di masyarakat diawali dari satu berita hoax. Media lain pun punya peran baru untuk melawan hoax dari media yang enggan lakukan verifikasi tersebut.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Dea Anugrah (Kumparan) sih! Gue suka bagaimana Bang Dea menulis dengan model jurnalisme naratif/sastrawi ataupun saat dia menjadi host di kanal YouTube Malaka.
Selain Bang Dea, gue juga menyukai konten Mas Wisnu Nugroho (Kompas). Gue juga sering kagum betapa kreatifnya Bang Alvin (HAI) karena konten dia ada aja gebrakannya.
Lalu gue juga membaca tulisan Mas Nuran (Tirto) dan Kak Pohan (Pophariini), apalagi kalau habis liputan dari event yang sama.
Kalau habis liputan bareng mereka, gue sering penasaran, “Apa yang mereka rasain selama event dan tulisan seperti apa yang akan mereka buat?” Misalnya sewaktu kelar dari liputan Joyland Bali 2024, gue langsung baca tulisan mereka.
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Apa itu “masa depan”? Bercanda ya [tertawa]. Menurut gue media selalu bisa beradaptasi dengan pola bermedia masyarakat zaman sekarang. Dan memang harus begitu, pemberitaan gak melulu lewat tulisan.
Walau masih banyak yang baca tulisan, tapi kan banyak juga yang mencari informasi lewat video. Selama media bisa memahami audiens mereka, harusnya mereka akan selalu punya masa depan sih. Sotoy jir gue [tertawa].
Buat topik masa depan media, menurut gue, jurnalis gak bisa banyak bahas ini. Level Redaksi Pelaksana atau Pemimpin Redaksi lebih mumpuni kalau bahas masa depan media, karena mereka lebih mengetahui keadaan perusahaan media di era sekarang. Jurnalis kayak gue mah berangkat aja ke lapangan sama menulis berita atau bikin konten.
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Tahun 2023 gue pernah interview Komunitas Ondel-ondel DKI Jakarta, sekaligus nyoba pakai ondel-ondel, ini yang jadi pengalaman banget sih. Waktu itu berhasil ngobrol banyak sama Bang Yogie selaku Ketua komunitas sambil membahas perbedaan ondel-ondel zaman dahulu dan zaman sekarang. Output dari liputan ini ada artikel dan dua buah video TikTok.
@froyonion.com Froyonion Wawancara Bareng Eps. 1!!! Kali ini kita ngobrol bareng Ketua KOODJA, Yogie Ahmad, tentang pandangan doi terhadap citra ondel-ondel di masyarakat. Cekidot! #froyonion #wearefroyonion #froyonionwawancarabareng #ondelondelbetawi #fyp ♬ original sound – froyoniondotcom – Froyonion.com
Di Joyland Bali 2024, gue pernah interview Mas Mukti Entut, komika asal Yogyakarta. Di momen itu, Mas Mukti cerita bahwa komedi yang ia angkat adalah komedi tongkrongan, yang di sana, terdapat keresahan yang umum mereka rasakan juga, misalnya keresahan atas upah minimum regional setempat. Yang gue inget, Mas Mukti bilang bahwa menertawakan keadaan adalah bentuk dari berdamai dengan keadaan. Output dari interview ini yaitu satu buah konten carousel di Instagram.
View this post on Instagram
Satu lagi, kalau interview musisi, gue paling suka kalau interview Efek Rumah Kaca atau Kunto Aji. Di 2022, gue pernah nanya ke Bang Cholil tentang bagaimana lagu bisa membuat manusia tergerak.
Lalu kalau ke Mas Kunto, gue inget dulu pernah nanya, “Sejauh mana musik bisa bikin kita melakukan kebaikan.” Dari berkali-kali interview sama musisi, mereka berdua jadi musisi favorit gue sih. Gue yakin banyak juga yang mengidolakan keduanya karena perkataan dan perbuatan mereka selaras dengan karya musiknya, sama-sama bagus dan lurus.
Jadinya 4 karya ya ini. Kalau milih 3, berarti interview ERK, Kunto Aji, sama Mukti Entut.
Ihsan Dhiya (Content Lead Makna Talks)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Dulu gue kuliah di Universitas Parahyangan (Unpar) dan ngambil jurusan Hubungan Internasional. Emang sih agak nyimpang dari jurusan yang harusnya mengarahkan gue jadi diplomat tapi gue sekarang kerja di media.
Kalau dipikir-pikir lagi, skill set yang dibutuhin di media dan diplomat itu sebenarnya gak jauh beda kok: Analisa, mengarang, dan menulis. Waktu gue masih kuliah, gue sempat kerja sebagai copywriter di media/agency yang dibikin sama kakak tingkat gue di Bandung. Saat itu lagi pandemi, jadi kayaknya itu sekitar tahun 2020/2021 dan itu pertama kali gue nyemplung di dunia media.
Setelah lulus kuliah, gue sempet keluar dari dunia media dan kerja di Personal Branding Consulting Firm selama satu tahun lebih dari 2023-2024 lalu gue resign dan awal tahun 2024 sampai sekarang gue kerja di Makna Talks.
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Content Lead Makna Talks?
I oversee the daily contents yang di-post di semua channel Makna Talks (IG, Twitter, Youtube, Spotify, Tiktok) dan gue bikin semua copywriting dari setiap post yang keluar, mulai dari copy on visual dan caption setiap post.
Selain itu juga strategize on how to improve the performance of the contents. Untuk content yang sifatnya bukan daily, misalnya special projects or projects untuk client, gue terlibat dalam ideation of the concept for the whole campaign and make sure it’s align dengan core value dari Makna Talks.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
Industri media di Indonesia saat ini sangat dinamis, beragam, dan berkembang pesat banget. Podcast juga semakin populer dan persaingan di dunia media juga makin ketat. Makanya banyak media yang udah branch out dan membuat revenue stream yang berbeda-beda, ada yang bikin offline event, merch, mungkin sekaligus jadi production house, karena hari ini media gak cukup kalau cuma punya satu USP aja, karena balik lagi, persaingannya sedang sangat ketat.
Tapi persaingannya sehat kok di mata gue. Ini persaingan antara siapa yang bisa lebih fresh dan kreatif, bukan persaingan yang sikut-sikutan dan saling menjatuhkan. Harapan gue gak ada yang gimana-gimana banget sih, I already like the development of media in Indonesia as it is. Banyak media yang ngeluarin insight-insight bagus dan dibalut dengan treatment yang gak boring.
Oh paling ini sih, yuk buat para media-media, let’s stop making stupid people famous. LOL.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Ini bukan gue mau menjilat atau gimana ya, tapi waktu gue kerja di agency/media di Bandung pas kuliah, gue benar-benar look up ke Bos gue sekarang, Iyas Lawrence. The way he presents himself is really cool buat gue karena di podcast Makna Talks terlihat pintar. It looks like he knows what he’s talking about. Wawasan dia luas and very eloquent aja.
Ada momen di mana beberapa bulan sebelum gue masuk Makna Talks, kantor lama gue minta gue dateng ke suatu event dan kebetulan di event itu MC-nya Iyas dan Adit Insomnia. Di smoking area gue sempat ketemu mereka, tapi terlalu malu buat minta foto bareng [tertawa]. Tapi sekarang setelah gue kerja di Makna Talks, I finally understood the phrase, “Never meet your heroes.” Gak deng bercanda. Dia beneran pinter dan wawasanya luas banget. Sekarang he’s not just a role model, but he’s also my boss, jadi gue belajar banyak juga dari dia.
Salah satu orang lagi yang gua look up, walaupun gak di media, tapi he works in a creative field itu adalah Leonard Theosabrata. Beberapa minggu lalu dia menjadi tamu podcast Makna Talks, dan dia bikin gue mikir, “Kalau udah tua, gue mau jadi kayak dia.” The way he doesn’t take shit from anybody and the way he believes in his vision is just so badass.
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Awalnya gue kira career path di media itu pendek, tapi ternyata bisa luas banget walaupun memang gak selinear kalau kerja di corporate ya. Di media itu possibility-nya endless sih. Lo bisa jadi KOL sendiri dari hal-hal yang lo pelajari selama kerja, lo bisa jadi produser, bisa punya program sendiri. Bahkan kalau udah siap, lo bisa bikin media sendiri. So, the possibility are endless if you have the drive and the vision.
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Ini bukan karya yang ngehasilin uang, bahkan bukan kerjaan juga, tapi gue pernah nulis suatu artikel yang gue submit di Whiteboard Journal dan di-post sama mereka, long story short, it’s about having your own pace in life dan gak perlu merasa ketinggalan dari orang lain, setelah artikel itu release banyak orang yang gue kenal nge-DM dan mereka berterima kasih karena mereka lagi ada di fase merasa tertinggal and that article helped them feel better. Gue cukup humbled sih bisa ngebantu orang yang bahkan gue gak kenal.
Kedua, di Makna Talks gue dipercaya untuk handle program Talks Curated, di mana program itu benar-benar gue yang handle end to end, mulai dari nyari topik, bikin script dan jadi host-nya juga. Jadi gue cukup bangga dengan hal itu.
Yang terakhir, ini bukan karya tapi ini yang paling gue banggain, keterima di Makna Talks [tertawa]. I was out as a fan of the podcast dan gak sengaja dulu liat posting-an Makna Talks lagi hiring Social Media Specialist, pas banget sebulan setelah gua resign dari kantor lama. Gue nyoba aja daftar dan setelah interview dan lain-lain ternyata keterima. Gue bangga sama diri sendiri sih untuk bisa keterima di media yang tadinya gue ngefans dan sekarang jadi tempat di mana gue nyari ilmu, koneksi, dan uang.
Rio Jo Werry (Penulis Jurno.id)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Dulu gue kuliah di Jurusan Akuntansi di salah satu kampus di Padang, Sumatera Barat. Agak aneh memang. Kalau gue sejalur dan mencintai jurusan yang gue ambil, mungkin sekarang gue udah jadi akuntan atau staf ahli kementerian ESDM sih. Tapi untungnya kecintaan rock n roll dan film Almost Famous menyelamatkan.
Kayaknya film Almost Famous deh yang bikin hasrat jadi jurnalis musik menyala-nyala di masa kuliah. Selain itu, gue juga suka baca majalah Rolling Stone, Trax dan sebagainya. Berangkat dari sana, gue bareng beberapa teman bikin media musik di Padang, namanya Nadaminor di tahun 2015 atau 2016, gue lupa persisnya. Nah, Nadaminor ini jadi batu pijakan untuk serius menekuni media musik sampai hari ini.
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Penulis Jurno.id?
Gue beruntung sekarang bekerja di Jurno yang memberikan keleluasaan untuk menulis apa saja yang gue suka. Beruntung juga gak ada tenggat yang bikin kepala pusing. Sebagai penulis di Jurno, yang gue lakukan standar kayak penulis pada umumnya: riset dan menuliskannya. Sesekali gue wawancara atau liputan di lapangan.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
Ini media musik? Media musik mah bakalan terus ada. Mungkin formatnya saja yang bakal beda. Gue ndak tertarik sebenarnya menggawat-gawatkan keadaan dengan bilang “Senjakala media musik,” atau “Media musik mah udah mati.” Apalagi hari ini, semua bisa jadi media, bahkan individu bisa menyebarkan informasi, bukan? Harusnya kita memandang itu sebagai sesuatu yang positif. Kalau soal konten berkualitas atau gak, itu masih bisa diperdebatkan lah.
Selain itu, koreksi kalau gue salah, gue berharap industri media makin inklusif. Dalam artian, kontributor yang diajak bisa dalam cakupan yang luas. Semoga bisa ngehasilin output yang beragam dari berbagai perspektif manusia. Pun, pisau analisisnya bisa pakai selain myuzak myuzik. Singkatnya, minimal ada kebutuhan publik di dalamnya.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Sosok yang menginspirasi? Hmm, siapa ya. Banyak. Gue kagum sama Remy Sylado. Dia nyentrik dan tahu banyak hal. Cara dia nulis musik itu renyah banget. Dia menulis musik dengan banyak pendekatan. Sama tulisan Andreas Harsono itu bagus banget. Dia bukan wartawan musik padahal, tapi dia bisa menulis Iwan Fals dengan sangat detail. Di artikel itu Iwan Fals digambarkan sebagai manusia biasa.
Selain itu banyak juga teman-teman yang menginspirasi kayak Nuran Wibisono, Shindu Alpito, Dedi Yondra, dan Rio Tantomo. Mereka orang-orang passionate yang gue kenal. Terus sekarang gue suka baca tulisan Eureka, Adib Arkan, Fajar Nugraha, Bismo (vokalis Satu Per Empat), dan Galih. Menyenangkan perspektif mereka.
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Gak tau [tertawa]. Tapi sejauh ini masih senang sih ngejalaninnya. Jawaban normatif ya? [tertawa].
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Gak ada yang gue bangga-banggain banget sih [tertawa]. Tulisan pertama gue di Jurno: Menjadi Jurnalis Musik, Masihkah Asyik?. Kedua, Dari Musik ke Aksi Politik ke Upaya Demistifikasi Les Rallizes Dénudés, dan tulisan gue soal Gita Gutawa. Gue ngefans banget sama Gita Gutawa soalnya [tertawa].
Haris Franky (Content Manager Sounds From the Corner)
Ceritakan awal karier lo menjadi anak media!
Gue itu gak pernah menganggap diri gue kerja di media yang konvensional atau utuh gitu. Kerjaan gue selalu bikin konten tapi dalam perjalanan bikin kontennya itu selalu ada basic media yang gue pakai kayak riset dulu, mungkin gue nyari referensinya dari konten-konten jurnalistik juga, terus gue cover both sides, itu masih gue pakai prinsip-prinsip kerjanya.
Kalau karier yang gue anggap mulai di media adalah ketika di Froyonion.com. Kami mungkin bikin konten, tapi beberapa konten yang dibikin itu menggunakan prinsip dasar media atau jurnalistik. Waktu itu gue memulai sebagai videographer dan di Froyonion itu dikasih keleluasaan untuk menjadi PIC kalau lo interested sama topik yang mau di-cover. Di situ gue anggap gue jadi anak media karena gue pakai prinsip kerja jurnalistik.
Gue kan sempat bikin podcast waktu di Froyonion, nah gue merasa mulai merembet ke arah media yang cukup signifikan ya waktu ngerjain podcast. Tapi itu pun gak sengaja. Karena gue bosan jadi videographer, terus gue inisiatif bikin podcast dan inisiasi ide gue itu disambut baik sama kantor.
Apa saja tugas yang lo lakukan sebagai Content Manager Sounds From the Corner?
Untuk saat ini gue handle hampir semuanya ya, kecuali proyek-proyek yang sifatnya vendor. Di SFTC itu gue sebagai (orang yang) nyari tamu band yang mau perform, terus meriset konten, bikin podcast, bikin konten kayak tap-in moment gitu kayak misalnya ini bentar lagi mau Valentine gitu, tugas gue nyari bongkahan arsip yang kami punya, yang umurnya udah 12 tahunan itu, terus direstorasi jadi konten yang formatnya vertikal. Jadi basically hampir semua, termasuk ngedit juga. Kebutuhan-kebutuhan persuasif kayak negosiasi ke band, itu gue juga.
Bagaimana lo melihat industri media di Indonesia hari ini dan harapannya?
Hari ini gue melihat porosnya kalau media beneran, ditopang Tempo sih. Beberapa media ada yang dikuasai pemodal gitu, ada. Tapi gue cuma mau spesifik berfokus sama (media) musik kali ya. Kalau gue melihatnya industri media ke depan perannya gede banget karena arus informasi udah kacau balau, deras banget. Gue merasa butuh banyak orang yang punya kredibilitas dan pondasi untuk mengkurasi semua karya musik, film, apa pun itu. Orang-orang yang mungkin tadinya jadi kurator gue rasa sih udah saatnya bikin konten. Jadi orang-orang yang punya referensi luas dan pengalaman gitu harus ngomong sekarang menurut gue in this day and age, karena udah banyak banget orang yang gak punya kredibilitas yang ngomong. Jadi harus keluar nih orang-orang yang punya referensi, pengalaman, dan selera yang bagus biar nge-shape audience juga. Harapan gue itu. Industri media hari ini gue rasa perannya masih bisa lebih gede lagi, cuma belum terlalu kelihatan.
Siapa sosok yang menginspirasi lo selama bekerja di media beserta alasannya?
Mas Teguh Wicaksono sih pasti. Alasannya karena pemikiran gue terbuka setelah gue interview sama dia waktu itu di podcast, dia bilang kalau prinsip kerja jurnalistik itu sangat digunakan di profesi kerja yang sekarang gitu. Dan akhirnya gue terapkan di konten bahas musik gue. Kayak dalam konten yang gue bikin itu kan ada proses riset, gue background check-nya cukup jauh. Intinya gitu sih.
Yang paling penting juga dia tetap keren [tertawa], dan bisa memilih diksi-diksi yang tepat.
Apa yang menjadi masa depan kerja di media?
Untuk gue pribadi ya jadi content creator aja yang hidup dari sistem newsletter. Kalau di luar tuh hampir semua content creator udah menerapkan sistem itu. Di Indonesia belum bisa kayaknya karena minat bacanya rendah.
Gue juga pengin punya investigasi sendiri gitu. Gue gak tau ini output-nya apa, tapi karena gue orang Batak kan, gue pengin kayak ada satu karya, atau video, atau esai yang bisa merangkum sejarah Batak dan bisa gue estafetin ke generasi yang mungkin 50 atau 100 tahun ke depan, jadi pengarsipannya jelas.
Sebutkan 3 karya dalam bentuk apa pun yang lo banggakan selama kerja di media!
Gue gak tau ini bisa disebut karya apa gak, cuma gue bangga sama podcast yang gue bikin itu, Frodcast namanya. Terus gue juga bangga sama yang gue kerjain di Sounds From The Corner sampai sekarang. Tapi kalau harus pilih satu yang harus gue banggakan itu waktu Hindia Menari Dalam Bayangan 5 tahun yang lalu. Satu lagi, balik lagi ya, gue gak tau ini hasil media atu gak, cuma gue suka banget konten Bahas Musik yang gue bikin sih. Karena gue melihat peran-peran Abang-abang kita yang lebih dulu kayak Soleh Solihun, Felix Dass itu di kepala gue orang -orang kayak gitu yang bikin konten Bahas Musik, tapi karena itu masih angan-angan dan belum tau tercapainya kapan, jadi gue bikin dari gue dulu aja.
Gue cukup bangga karena itu lumayan meng-influence beberapa band dan generasi yang lebih muda. Banyak yang udah bikin konten percis kayak gitu. Dan gue pengin pedoman atau guidebook yang gue punya itu gue sebar suatu saat nanti biar banyak orang yang bisa bikin konten percis Bahas Musik.
@harisfrankys Replying to @yehzkiel01 Elektronik Punk Agraria!🛠️🍀 #Sukatani #MusikIndonesia #Konser #Skena #Purbalingga ♬ Semakin Tua Semakin Punk – Sukatani
![](https://pophariini.com/wp-content/uploads/2022/09/WhatsApp-Image-2022-09-20-at-5.31.12-PM.jpeg)
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Alice Creek Ingin Meramaikan Skena Pop Palembang Lewat Album Penuh Perdana
Band dream pop asal Palembang yang menamakan diri mereka Alice Creek mengawali tahun 2025 dengan peluncuran album penuh perdana berjudul Cerulean Skies hari Jumat (24/01). Alice Creek digawangi oleh Hill Land (vokal), …
6 Pertanyaan untuk 6 Kolektif DJ di Pulau Bali
Melanjutkan pengumpulan kolektif DJ di berbagai pulau di Indonesia, Pophariini kembali melakukan pencarian. Kali ini kami mencari tau daftar kolektif yang ada di Pulau Bali. Bali dengan berbagai keriaan yang menghiasi klub, beach club, …