Menggali Warna Baru Musik Lokal Lewat Sore
 (oleh: Ihsan Nur Fauzi)

May 26, 2025

Mungkin sebagian anak akan bercerita bahwa perkenalan mereka dengan musik dimulai dari dipaksa mengikuti les piano atau instrumen lain pada usia 6 hingga 10 tahun. Ya, saya juga termasuk salah satu dari anak-anak yang mengalami hal tersebut. Karena terpaksa menjalaninya menjadikan anak berumur 8 tahun, pada saat itu menganggap musik adalah beban dan tekanan. Penuh beban menyentuh tuts keyboard di rumah, membayangkan hutang-hutang partitur lagu klasik yang kian menumpuk. Melihat saya yang mandek dan kehilangan minat, akhirnya orang tua saya memutuskan untuk berhenti memaksa saya mengikuti les piano.

Anehnya, ada satu lagu yang membuat saya menyentuh keyboard lagi setelah bertahun-tahun. Lagu itu bukanlah karya klasik yang dulu selalu dipaksakan untuk saya mainkan, melainkan sebuah lagu pop sederhana yang tidak sengaja terputar di radio mobil. Intro nyeleneh dengan lirik,  “Juki doyan kambing” dari band Sore membuat saya menekan tuts lagi. Berbeda dengan keadaan sebelumnya, menakan tuts kali ini dengan suka hati dan seakan tanpa beban mengulik kord dari lagu berjudul “8” tersebut. Rasanya saya seperti menemukan kembali sisi menyenangkan dari musik yang selama ini sempat hilang.

Momen itu menjadi titik balik bagi saya. Dari sekadar iseng mengulik lagu “8” dari album Los Skut Leboys, saya menyelam lebih dalam lewat internet tentang band ini. Menemukan Centralismo album yang umurnya sama seperti saya, dan seketika merasa ada koneksi yang kuat antara saya dengan musik mereka. Lagu-lagu dalam album ini terasa sangat personal, penuh dengan cerita dan emosi yang bisa saya pahami, bahkan rasakan.

Lewat Sore, saya menyadari betapa kaya dan beragamnya dunia musik Indonesia. Sore bukan hanya sekadar band, melainkan sebuah perjalanan kreatif yang menggabungkan berbagai genre dari jazz, pop, hingga rock alternatif dengan sentuhan khas yang sangat Indonesia. Melalui lirik-lirik mereka yang puitis dan kadang penuh humor. 

Semakin dalam saya menyelami karya mereka, semakin saya terdorong untuk mencari musisi dan band lokal lain yang juga memiliki warna unik. Saya mulai mengikuti perkembangan scene musik di Indonesia, menemukan band-band seperti Efek Rumah Kaca, Mocca, dan White Shoes & The Couples Company. Selain itu, saya jadi suka menonton acara musik, baik konser kecil di kafe maupun festival musik besar, karena di sana saya bisa merasakan langsung energi dan atmosfer yang berbeda. 

Namun, ada satu hal yang paling saya sesali dalam perjalanan saya mengenal dan mengapresiasi musik Sore, yaitu saya tidak pernah berkesempatan menonton mereka secara langsung ketika masih ada Ade Paloh. Ketika akhirnya saya bisa menyaksikan penampilan Sore untuk pertama kalinya setelah ia wafat, dan momen itu tetap sangat berkesan dan menggetarkan hati. Pengalaman ini terasa seperti sebuah pemakaman musik yang penuh dengan kesedihan dan penghormatan. Banyak penonton yang meneteskan air mata, mengiringi setiap lagu dengan perasaan kehilangan yang mendalam. Suasana di venue dipenuhi oleh keheningan yang khidmat, seolah-olah seluruh ruangan menjadi tempat untuk menggantarkan kepergian Ade Paloh dengan penuh cinta dan rasa hormat. Meskipun duka menyelimuti, energi dan penghayatan para personel Sore yang tersisa berhasil membawa penonton hanyut dalam kenangan dan keindahan musik yang tak lekang oleh waktu.

Kehilangan sosok Ade Paloh pada Sore memberikan warna dan karakter yang sulit tergantikan. Tanpa dia, meskipun musik mereka tetap memukau, ada kekosongan yang terasa, seolah-olah sebuah bagian penting dari cerita mereka hilang. Momen itu mengajarkan saya betapa besar pengaruh seorang musisi dalam sebuah band, dan bagaimana setiap anggota membawa nyawa tersendiri yang membuat musik menjadi hidup dan bermakna. Meski begitu, saya tetap bersyukur bisa merasakan langsung keindahan musik Sore dan siap terus mendukung perjalanan mereka.

Kehadiran Sore di Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2025 besutan Java Festival Production nanti akan menjadi momen yang sangat berarti, tidak hanya bagi saya, tetapi juga bagi para penggemar musik lokal yang ingin menyaksikan langsung karya-karya mereka di panggung bergengsi. Festival ini memberikan ruang bagi Sore untuk kembali menunjukkan warna dan kreativitasnya, sekaligus mengenang warisan musik yang telah ditinggalkan oleh Ade Paloh. Penampilan mereka di JJF 2025 menjadi bukti bahwa musik lokal terus hidup dan berkembang, mampu bersaing dan berdampingan dengan musisi internasional.

Melalui panggung ini, Sore tidak hanya menghibur, tetapi harapannya juga menginspirasi generasi baru untuk terus menggali dan mencintai musik Indonesia yang kaya akan cerita dan emosi. Bagi saya, momen nanti adalah sebuah perayaan akan kekuatan musik sebagai bahasa universal yang menghubungkan hati, sekaligus penghormatan bagi perjalanan panjang Sore yang penuh makna. Java Jazz Festival bukan sekadar festival musik, melainkan juga ruang bagi musisi lokal untuk terus bersinar dan mengukir sejarah baru dalam dunia musik Indonesia.

Saya ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sore atas karya-karya luar biasa yang telah mengisi perjalanan musik saya dengan warna dan makna. Terutama kepada Almarhum Ade Paloh, sosok yang tak tergantikan dan telah memberikan kontribusi besar dalam membentuk identitas musik Sore. Warisan musik dan semangatnya akan selalu hidup dalam hati para penggemar dan musisi Indonesia. Paloh Pop Forever, suara dan jiwa yang abadi dalam dunia musik Indonesia. Sekali lagi terima kasih Sore dan Ade Paloh atas segala inspirasi yang telah kalian berikan yang telah mewarnai hidup saya.

Karya tulis mahasiswa Universitas Sebelas Maret jurusan Ilmu Hukum, Ihsan Nur Fauzi.


Sore akan mengisi panggung Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2025 hari Minggu, 1 Juni 2025 di Jakarta International Expo (Arena JIExpo Kemayoran).

 

Subscribe
Notify of
guest
2 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
raihan
raihan
24 days ago

❤️‍🩹❤️‍🩹

Warsono
Warsono
24 days ago

Jangan menyerah, lanjutkan kreativitas mu

Eksplor konten lain Pophariini

Eksklusif Komunal: 13 Tahun Tanpa Album, Nostalgia Ini Ijazah

Sejak merilis album penuh Gemuruh Musik Pertiwi 13 tahun lalu, Komunal rasanya belum menunjukkan kembali eksistensi mereka lewat perilisan materi holistik sebagai statement keberadaan mereka. Memang, selain masih aktif menghibur KKK (Kawan-kawan Komunal) di …

False Theory Ceritakan Kisah Penyembuhan Luka Masa Lalu di Single Dua Atma

Unit pop punk asal Tana Paser, Kalimantan Timur, False Theory merilis single ketiga bertajuk “Dua Atma” pada Kamis (05/06). Lewat lagu ini, mereka mengangkat cerita tentang dua jiwa yang saling menyembuhkan dari luka masa …