RSD = Rukun Semua Damai
Sempat ada tensi ketika di tahun lalu, Record Store Day, perayaan hari toko musik di Indonesia, harus ‘pecah kongsi’ hingga tersebar di banyak titik.
Di Blok M Square, pedagang di sana menjadikan momen RSD untuk mendiskon barang-barangnya. Di pasar Santa ada acara pastinya. Bahkan di Tangerang tahun ini, rekan-rekan muda yang bergairah namun terpaut jarak yang jauh dengan Jakarta atau memang punya misi ‘menguatkan’ scene musik Tangerang sudah membuat RSD nya sendiri.
Di Ruang Rupa, Gudang Sarinah bahkan membuat anekdot dari RSD bertajuk Rekord Skoy Day. Pecah Kongsi yang meriah.
Meski pecah kongsi, namun menu RSD di tiap titik tetap saja sama: Record Fair dan Music Showcase/festival. Kalau bisa dengan sedikit diskusi tentang rilisan fisik. Itu seakan sudah jadi template dari RSD.
Tak hanya perayaan toko kaset, isunya sudah bergeser, dari Record Store Day jadi Physical Releases Day, hari rilisan fisik. Boleh juga, tak apa-apa.
Flashback ke belakang, 22 April 2012, saya jadi ingat waktu pertama kali bersentuhan dengan hari yang waktu itu masih asing di telinga saya, Record Store Day.
Sore yang sedikit berangin di Toko Buku Aksara, di belakang ada Monka Magic, satu-satunya toko plat (record store) yang masih eksis saat itu.
Satria Ramadhan, manajer band bangkutaman nampak sibuk menyusun tumpukan CD bangkutaman – Love Among The Ruins, debut album yang dirilis di kaset tahun 2003, dirilis ulang ke dalam CD, 10 tahun kemudian. Hari itu adalah in store release dari album ini, satu-satunya album yang dirilis khusus di RSD.
Di hari itu juga saya kali pertama melihat penampilan Polka Wars, band yang saat ini kian bernas, dulunya sih tak terlalu bikin deg-degan, karena di era itu, Zeke Khaseli masih masih kelewat sensasional dengan aksen mahluk planet dan musiknya yang avant garde.
Dan mengenang waktu itu, inilah mungkin satu-satunya perayaan Record Store Day yang sejatinya. Showcase musik di Record Store. Satu tahun berikutnya, perayaan di toko plat ini masih berlanjut.
Tak ada yang bisa disalahkan juga bila dua tahun berikutnya sampai saat ini, semua tiba-tiba menjadi besar dan ramai. Tiba-tiba ada record fair di Kemang Duty Free dan Hey Folks, lapak satu per satu digelar, sebagian besar dari perorangan yang kelebihan stok plat atau sengaja ingin menjual sekadar iseng atau untuk barter, Ada diskot plat, CD, Ada DJ yang main, keren. Eits, ada plat 7 inch Sore yang laris manis.
2015, dari Kemang dan Mayestik, Record Store Day pindah ke lapangan futsal, sebuah eks lapangan futsal, Barafutsal di Blok M tiba-tiba ramai dengan hampir seratus lapak dan puluhan band yang tampil . Tak hanya dari Jakarta, pelapak (bukan toko musik) datang dari Sukabumi dan Bandung. Pengunjung sampai ribuan, ada mungkin dua ribu lebih.
2016, dari lapangan futsal, RSD pindah ke pasar. Santa yang memang sudah naik daun sebagai tempat gaul Jakarta saat itu mendadak ramai oleh remaja-remaja tanggung yang menenteng totebag berisi plat atau CD. Panas dan gerah tak terkira, meski saat itu banyak dapat plat yang bagus.
Dan mulai 2017 kemarin hingga tahun ini, RSD Indonesia menemukan pelabuhannya di Kuningan City. Dengan tempat yang proper, RSD digelar ramai dan damai. Banyak band ikut andil, workshop berjalan lancar, band puas, dagangan pun laku. Di Blok M dan Pasar Santa tak kalah ramainya.
Apakah kemudian salah jika esensi RSD sebagai hari toko kaset bergeser jadi satu helatan akbar merayakan rekaman fisik? Tak apa juga. Toh, sebagian besar dari kita sudah menganggap kios-kios di Santa dan Blok M sebagai record store (meski bukan store-store amat dari ukurannya yang cuma seupil).
Budaya masyarakat Indonesia yang saling guyub dan gotong royong alias nongkrong istilah prokemnya, menjadikan RSD adalah kendaraan yang baik untuk saling dukung mendukung agar semua pihak bisa terus bertahan, ya bandnya yang CD nya terbeli, lapak yang dagangannya menipis, semua senang.
Akhirnya RSD pun lama-lama akan bergeser dari Record Store Day, jadi Physical Release Day sampai Rukun Semua Damai. Meski semua propinsi kini merayakan RSD nya sendiri-sendiri, ini artinya momen sakral, 21-22 April ini sebagai letupan yang baik untuk saling menghargai, mengapresiasi atas nama musik.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …