Galang Dana Irama Nusantara, Pusat Arsip Musik Populer Indonesia

Apr 2, 2020

Seperti apa musik populer Indonesia di era terdahulu berbunyi? Sekeren apakah lagu-lagunya? Sebentar, saya perkenalkan dulu pada seseorang bernama David Tarigan, lahir pada 1977, tinggal di Jakarta.

Lihatlah David kecil; dia keranjingan the Beatles beserta kroni-kroni rock 1960an/70an lainnya. “Waktu SD, gue kalau dengerin ‘Strawberry Fields Forever’, pas bagian drumnya, gue suka main-mainin volumenya,” kisah David tertawa. Bila mengunjungi rumah siapa saja, rumah neneknya atau tetangganya, David kecil pasti langsung sibuk mengecek koleksi kaset di sana, memutarnya, memilah-milah yang sesuai dengan seleranya. Bahkan bila bermain action figure, tiba-tiba senjata difantasikan sebagai gitar— dalam istilah David: “Ada rock di dalam mainan.”

Adalah seorang “abang-abangan” di kompleks rumahnya, yang bisa jadi paling bertanggung jawab atas “terjerumusnya” David Tarigan ke lembah rock. Memperkenalkan musik-musik itu, yang langsung disukai David. “Dia ngelukis Rolling Stones di tembok kamarnya gede banget,” David mengenang. Atau, tiba-tiba menyodorkan kaset, “Nih, the Doors,” lanjut David.

Dari sana, David remaja terus bergerak, semakin tidak bisa menempatkan musik hanya sebagai “musik”. David mulai berkenalan dengan punk rock, indie rock, hip hop. menemukan musik-musik tersebut memiliki relasi dengan apa yang sebelumnya telah ia dengarkan. Tapi ada satu perkenalan yang tak kalah dahsyatnya; saat kelas satu SMP, untuk pertama kalinya David menjejakkan kaki di Jalan Surabaya. Di sana ia mulai mengumpulkan piringan hitam. Berawal dari rock Barat, David mulai terpapar dengan rekaman musik Indonesia dari masa lalu.

Dari sanalah ketertarikannya pada musik Indonesia lama dimulai. Bersama segala latar belakangnya yang tidak sama dengan “pendengar asli” rekaman Indonesia lama di eranya, David muda mendengar dengan cara yang berbeda. David misalnya, merasa tersentak bahwa Koes Plus memiliki lagu sembrono dan sekeras “Pentjuri Hati”. Atau ketika mendengar “Haai” dari Panbers yang mengingatkannya pada band indie/alternative rock Jane’s Addiction. David semakin larut sendirian mengejar lebih dalam, tanpa banyak orang di luar sana yang tahu akan musik-musik itu, tanpa menemukan teman berbincang. Ketika mengobrol dengan orang-orang yang lebih tua sekalipun, saat itu, kebanyakan fokusnya berbeda. Dan tentu saja David mendapatkan apa yang disebut sebagai “keren” dari musik-musik tersebut.

David tersentak bahwa Koes Plus memiliki lagu sembrono dan sekeras “Pentjuri Hati”. Juga “Haai” Panbers yang mengingatkannya pada band Jane’s Addiction

Pada The Soleh Solihun Interview, saat David dan Alvin mewakili Irama Nusantara untuk diwawancara, bahkan terungkap bahwa David Tarigan dan teman-teman kuliahnya di FSRD ITB Bandung, sudah mulai melakukan cikal bakal apa yang kini menjadi Irama Nusantara, termasuk membangun website-nya, sejak circa 1998/99. Semacam prototype dari yang dikerjakannya sekarang.

Di awal 2000an, David Tarigan bergabung dengan Aksara Bookstore, kemudian menjadi A&R Aksara Records. Proyek awal yang diajukan oleh David sebetulnya mengumpulkan rilisan-rilisan Indonesia lama sebagai bentuk pengarsipan. Karena satu dan lain hal Aksara Records akhirnya justru mulai membuat album kompilasi untuk mendokumentasikan sirkuit musik cutting edge terkini; JKT: SKRG pada 2004.

Aura “Indonesia lama” bisa kita temukan di toko buku Aksara pada era itu. Bila mengunjungi sesi musik di Aksara, seringkali tampak piringan hitam Dara Puspita atau AKA, misalnya, dipajang di sana. Itu koleksi pribadi David. Pada rekaman Aksara Records, kita bisa temukan jejaknya melalui lagu-lagu seperti “Pergi Tanpa Pesan” yang dinyanyikan kembali oleh SORE atau “Aksi Kucing” yang dibawakan ulang oleh White Shoes and the Couples Company.

Pada 2008, David dan teman-temannya mencetus kehebohan lagi: mereka membuat radio streaming bernama Kentang Radio yang memutar sejumlah rekaman Indonesia lama. Meski umurnya relatif tak lama, anak-anak muda menyimaknya dengan gembira—menemukan begitu banyak lagu-lagu keren yang sulit untuk bisa  berkenalan sebelumnya.

Hingga akhirnya berdirilah Irama Nusantara pada 2013. Dapat dikatakan bahwa yayasan nirlaba ini adalah “wujud mutakhir” yang saat ini bisa dicapai dari apa yang dicita-citakan sejak lama: berbagi rekaman-rekaman musik populer Indonesia dari berbagai era. Irama Nusantara ingin membuka akses semudah mungkin bagi publik untuk bisa mengenal sejarah rekaman musik di Indonesia, siapa saja bisa mendapatkan berbagai musik dan data pendukung lainnya di sana.

Tampilan situs Irama Nusantara

“Semangat berbagi itu ada, tapi di satu sisi fashionable juga!” ujar David tertawa. Ya, bagaimanapun memang ada sesuatu yang” keren” di sana. Hal-hal yang “relate” dengan yang dibutuhkan anak muda. Hari ini kita bisa mendapatkan Rhoma Irama dan Soneta, misalnya, bermain di acara festival musik anak muda, atau DJ seperti Disko Ria yang memutar musik pop Indonesia lama.

Mari kita buka iramanusantara.org, perpustakaan digital musik Indonesia itu. Sentra data, tempat arsip-arsip tersimpan, siap untuk didengar dan dikaji oleh siapa saja. Atau dalam bahasa Vincent saat mewawancarai empat pendiri Irama Nusantara yang hadir malam itu di acara Tonight Show pada 2015 ; David Tarigan, Alvin Yunata, Dian Onno, dan Toma Avianda, sebagai “Harta karun karya anak bangsa dari dulu.”

Pada cuplikan acara Tonight Show itu, Irama Nusantara membawa beberapa koleksi piringan hitam mereka; dari Orkers Saiful Bachri, Jaomal Kiamat, Eka Djaja Combo, hingga Duo Kribo.

“Hati-hati, Vincent,” Desta memperingatkan uzurnya usia piringan hitam.

“Nggak dilepas?” tanya Vincent coba-coba. Sebagian dari kita tahu, Vincent memang gemar mengumpulkan piringan hitam.

Pengarsipan Irama Nusantara dimulai dari koleksi milik pribadi, kemudian teman-teman di sekitar, para kolektor, para pedagang rekaman musik di Blok M Square, hingga mendapat akses untuk mendigitalisasi rekaman-rekaman musik Indonesia di RRI. Secara pendanaan diawali dari “patungan”, lalu sempat bisa mendapat dana dari beberapa pihak. Hingga kini lebih dari 4000 rekaman musik populer Indonesia telah mereka digitalisasi, mulai dari rekaman era 1920an hingga 1990an. Jumlah dan rentang era yang akan terus bertambah.

Ke depannya, sangat mungkin kajian-kajian sejarah musik populer Indonesia dapat dikembangkan dari sentra data ini

Selain itu, Irama Nusantara juga mulai mengarsipkan publisitas-publisitas pendukung seperti artikel-artikel di majalah lama hingga poster asli acara musik di masa lalu. Bahkan mereka juga menyiapkan mikrofon dan kamera untuk mewawancarai sejumlah pelaku musik Indonesia.

Sejauh ini, iramanusantara.org telah banyak digunakan sebagai bahan tulisan musik hingga referensi artistik bagi pemusik muda, hingga kebutuhan penelitian. Ke depannya, sangat mungkin kajian-kajian sejarah musik populer Indonesia dapat dikembangkan dari sentra data ini. Dan yang tak kalah utamanya: mengembalikannya sebagai produk hiburan.

Mufti “Amenk” Priyanka , seorang seniman, musisi, dan dosen praktisi,  menceritakan pengalamannya mengakses Irama Nusantara, “Gue jadi lebih sadar bahwa musik-musik lampau di Tanah Air itu keren. Sebuah pencerahan,” Amenk mengaku bahwa, “Jadi lebih banyak tau seluk beluk pengetahuan perkembangan musik pada masa lampau. Ketika setiap dekade, pertumbuhan sosial-politik di negeri kita banyak memengaruhi bentuk kesenian seperti musik, menjadikan dinamika tersendiri bagi peradaban negara kita, tentunya.”

Unggul Kardjono, Head of Strategic sebuah digital agency di Jakarta, juga melihat potensi serupa, bahwa Irama Nusantara bisa menjadi referensi mulai dari semacam panduan prioritas judul album saat mengumpulkan piringan hitam Indonesia, menelaah sejarah industri musik di Indonesia, hingga memberi inspirasi desain grafis dari sampul-sampul albumnya.

Kini, Irama Nusantara bersama kitabisa.com sedang mengadakan penggalangan dana dalam kampanye “Bantu Irama Nusantara”. Anda bisa langsung mengeceknya di tautan berikut https://kitabisa.com/campaign/bantuiramanusantara .

Di halaman tersebut, Irama Nusantara menulis:

Kami masih membutuhkan dukungan dari banyak pihak guna membantu kami mengarsipkan musik populer Indonesia (dengan target 1800 rilisan di tahun 2020) dan kebutuhan operasional serta pengembangan yayasan, meliputi:

  1. Pengembangan dan optimalisasi website sebagai akses utama arsip musik populer Indonesia
  2. Pengadaan kapasitas server untuk penyimpanan arsip musik populer Indonesia
  3. Pengembangan aplikasi digital
  4. Pengadaan dan pemeliharaan alat-alat dan fasilitas penunjang pengarsipan digital

Mari rileks sejenak, kunjungi iramanusantara.org , dan temukan puluhan ribu lagu Indonesia yang lama “terkubur” dan mungkin belum pernah kita kenal sebelumnya. Juga mengecek kampanye penggalangan dana Irama Nusantara di kitabisa.com .

Selalu ada hal keren, dengan latar zamannya masing-masing (dari percampuran seni-budaya, penggunaan teknologi, sampai kondisi sosial-politk), yang tidak melulu bisa mudah dijumpai di tempat lain, dari sejumlah rekaman musik populer Indonesia.

 

____

 

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)

Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …