Ada Udang Di Balik (Kolaborasi) Musik
Silampukau itu candu. Butuh contoh? Baik. “Dosa, Kota, Dan Kenangan” yang lezat itu hadir di pertengahan April 2015 yang becek. Sebagian wilayah Indonesia bertubi-tubi diganjar hujan berintensitas ringan hingga lebat kala itu. Bak dengung hambar aspal yang terus bergulir, 2021 ini, 10 materi berdurasi 34 menit 3 detik tersebut masih jadi pilihan di beberapa persimpangan waktu. Masih seputar karya-karya Kharis dan Eki, kolaborasi mereka dengan The Hydrant yang setelahnya kawin dan mengandung “Sangkala” adalah orgasme yang bisa dinikmati pula oleh pendengar mereka.
Jangan sekali-kali berani mengungkit perihal bunyi-bunyian dalam lagu ini, yang dilibatkan di dalamnya itu The Hydrant. Satuan rockabilly ini mampu terus terendus. Warna yang dihadirkan khas, pun membekas. Untuk departemen lirik dan vokal, keduanya ter-blender halus. Bak pesan bernada serupa dalam kitab Pengkhotbah di Alkitab, lantang vokal dalam lagu ini pun demikian, menguatkan serta menenangkan. Alih-alih terlampau nelangsa dan mendayu, karakter vokal yang tepat menimbulkan suasana pemberian nasehat tapi oleh pamanmu yang keren. Kau yang sedang hancur lebur dihibur. Ada tepukan ke punggungmu yang seunggukan. Maksudnya menguatkan. Sungguh menakjubkan!
Saya pun tak ingin jadi bocah kelahiran 2002 yang toku. Syahdan, Mas Bilal, sapaan saya untuk Bilal Indrajaya pun baru-baru ini sedang berkencan dengan satuan indie-pop favorit kawula muda, Reality Club. Bilal sendiri pun pernah mengambil satu sesi curcol dengan saya dan menumpahkan isi hatinya. Di 2021 ini ia sangat ingin sendiri, ujarnya sendu dan melankolis. Terbukti, ia lebih rawan muncul dalam bentuk kolaborasi dengan berbagai musisi lain. Karyanya sendiri? Ada hambatan dari segi kreatif ujarnya. Tapi tenang, akan segera bisa dinikmati dalam waktu dekat. Mengenai kolaborasinya dengan Reality Club, saya pun tak melewatkan kesempatan untuk bertanya hal yang sama pada mempelai lainnya. Dalam obrolan kami siang itu di salah satu mall di Sudirman, banyak hal terkuak.
“Dari kalender Jawa. Haha (tertawa). Kalau kita sih lebih ke cocok-cocokan dan kebutuhan lagu.” Pernyataan tersebut terlontar jadi jawaban saat pertanyaan seputar bagaimana proses pemilihan rekan kolaborasi untuk Reality Club ditanyakan. Menambahkan, Andreas, sosok yang memanajeri band ini pun merasa kolaborasi adalah cara untuk menambah koneksi. “Kita pasti lebih mengedepankan kebutuhan artistik dibandingkan statistik.” Amboi! Doktrin yang jumawa namun sangat bisa diterima. Berkelas!
Dari kalender Jawa. Kalau kita sih lebih ke cocok-cocokan dan kebutuhan lagu – Bilal Indrajaya
Setelah narasumber untuk esai ini terkumpul, saya baru sadar, dua nama berikutnya punya kaitannya masing-masing dengan Fathia Izzati. Merdi dari Diskoria dan Hindia. Tapi mari lebih dulu kita menyasar pada Hindia. Di awal kemunculannya, saat masih banyak yang tidak menahu bahwa sosok dibaliknya adalah orang yang sama dengan vokalis .Feast, bahkan mengira moniker ini adalah nama seorang wanita, masih belum banyak rilisan Baskara yang mengatasnamakan Hindia dan dapat diperdengarkan saat itu. Menariknya, sudah ada namanya dalam sebuah tembang bertitel “No One Will Find Me”. Sebagai seorang pendengar setia Havie sejak ia masih bersama persekutuan Zero One, melihat Laze dan Hindia dalam satu sampul jelas menambah antusiasme. Coba bayangkan sekencang apa degup jantung saya saat mereka memutuskan untuk berkolaborasi dalam “Sementara”.
“Biasanya tuh kalau gue ngerjain sesuatu sama orang lain, sebelum gue lempar ke dia, most of the time sudah selesai, jadi apa yang diberikan kembali ke gue oleh kolaborator itu ya sudah wallahu a’lam. Saat sudah mempercayakan karya lo atau anak lo ke orang lain, harusnya lo terima dan percaya dengan apa yang dia berikan setelah balik entar. Kalau lo ga percaya sama hasilnya, berarti lo ajak kolaborator yang salah.” Pernyataan tersebut meluncur dari mulut Baskara saat saya tanya soal apakah standarnya yang saya analisis masuk dalam kadar tinggi itu, menyulitkannya dalam proses kolaborasi dengan musisi lain. Seperti tertulis di atas, sosok yang eksistensinya dipertanyakan Anto Arief dalam resensi beliau terhadap album terbaru Lomba Sihir ini mengaku begitulah cara dan pola pandangnya terhadap kegiatan kolaborasi, kecuali dalam beberapa proyek yang tersepakati punya cara lain.
Dalam obrolan kami malam itu, selepas Baskara menuntaskan hari yang panjang dengan dosis rapat internal yang cukup tinggi, ia menumpahkan klasifikasi dari kolaborasi-kolaborasi yang ia lakoni. Pembicaraan tak mungkin tak menyasar pada bagian-bagian materi “Tidak Ada Salju Di Sini”. Proyek musik orang-orang Kristen kalau menurut celetukan Baskara. “95%, atau 99% malahan kolaborasinya antara musisi Kristen atau Kristen Katholik”. Di luar itu, kolaborasi jadi opsi saat dirasa karyanya hanya akan maksimal dengan bantuan kolaborator. Udah mentok dan kekurangannya butuh ditutupi oleh kelebihan individu lain. Obrolan pun diikuti oleh sedikit penyesalan dan menjerumus ke perenungan. Mencolek album pertama .Feast, “Multiverses”, menurut bijak sang vokalis, rasanya kolaborasi tidak perlu sebanyak itu.
Baskara mengaku jarang memikirkan rekan kolaborasi di awal. Kebutuhan datang, baru lah di sana ia mengajak rekan musisi lain untuk berkolaborasi. Di “Jam Makan Siang” contohnya, Baskara buntu dalam mengerjakan verse kedua lagu tersebut. Mentok. Suatu hari ia dipertemukan dengan Matter Mos. Pembicaraan berbuah, verse kedua didapat dari obrolan mereka. Lain pula “Membasuh”, tembang ini punya 7 hingga 8 versi dengan lirik yang kurang lebih sama, namun sepertinya tak akan pernah dirilis. Ada yang jazz, rock, bahkan funk. Sial, benar tidak ini ya?
Baskara mengaku jarang memikirkan rekan kolaborasi di awal. Kebutuhan datang, baru lah di sana ia mengajak rekan musisi lain untuk berkolaborasi.
“Menambah horizon gue sih. Dalam berkarya. Banyak banget yang gue pelajari karena gue bikin lagu bareng orang.” Manfaat lain dari kolaborasi, menurut Baskara. Tak memiliki pendidikan formal musik bahkan les musik serta kaitannya dengan pembelajaran jalanan yang didapat dari kolaborasi ini juga menjadi keuntungan dalam eksplorasi bermusik Baskara. “Belajar vokal dari Kamga, songwriting dari Petra, belajar buka logic dari Bam. Itu semua karena gue bikin lagu dan ketemu sama mereka.” Baginya, ia tidak hanya pulang membawa karya baru, tapi juga ilham baru dari nama-nama tersebut.
Bergeser, saat kami membahas peluang musisi baru untuk melangsungkan kolaborasi dengan Baskara, tak ada penolakan darinya seputar kemungkinan tersebut. Ia mengaku senang bekerja dan membuat lagu bersama orang lain. Hati gak bisa bohong, ujarnya. Kalau memang gak nyambung, sulit dipaksakan. Kecocokan pada materi juga akan jadi tolak ukur. Daripada setengah-setengah, belanya. Jadwal juga jadi hal yang tidak bisa dibuang begitu saja. Kesesuaian timeline adalah hal yang wajib hukumnya. Dari obrolan kami, terpampang jelas kesungguhan Baskara untuk tidak setengah-setengah dalam berkarya.
Sebagai seorang manajer, saya juga tak melewatkan kesempatan ini untuk berguru pada Melina Anggraini, wanita yang namanya disebut dalam jahitan kata di lagu “Rumah Ke Rumah” serta ocehan dan kekehnya bergulir selama 36 detik dalam album “Menari Dengan Bayangan”. Pertanyaan polos menyoal pembagian uang saat musisi yang kita manajeri berkolaborasi jadi fokus acuan saya. Singkatnya, selama ini, obrolan membahas royalti tak pernah serta-merta muncul di awal kesepakatan kolaborasi Hindia dengan nama lain. “Jalan aja dulu, administrasi di belakang.” Pernyataan asoy tersebut jadi jawaban untuk pertanyaan lugu yang saya luncurkan. Kolaborasi itu bukan endorsement! Pernyataan mutual antara saya dan Baskara.
Selintas tukar cengir saat membicarakan tentang kekaguman kami terhadap album Lexicon dan perjalanan bermusik Isyana Sarasvati, godaan jahil saya perihal kemungkinan berkolaborasi dengan Isyana atau nama-nama besar lain jadi fokus bahasan saya. “Gue takut gak bisa deliver aja sih.” Ujarnya. Baginya, mengajak berbincang dan mengajak berkarya bersama alias membuat lagu adalah hal yang berbeda. Ada pula sebuah cerita tentang kerjasamanya dengan Sal Priadi dalam “Belum Tidur”. Ternyata, lagu ini tidak direncanakan. Disusun atas dasar keinginan impulsif, rentetan improvisasi yang total. Tau dari mana? Lirik baru disiapkan Sal sesampainya di studio mereka, rumah Petra. Mic-nya bahkan tak disiapkan, pertanda hari itu seharusnya jadwal Sal Priadi dan Baskara menghampiri Petra Sihombing hanya untuk nongkrong. Setan! Tak terbayang ya.
Nyatanya, hidup memang penuh dengan kejadian-kejadian yang bahkan kita pun tak berani membayangkannya. Band yang saya manajeri, Guernica Club, baru-baru ini berbagi panggung dengan nama-nama yang dulu saya teriakan tiap kata dalam lagunya. Iya, mereka tampil di acara yang sama dengan Bilal Indrajaya, Leonardo Ringo, Basboi, hingga Merdi dari Diskoria. Iya, sebagai penutup, Merdi Leonardo Simanjuntak adalah nama yang tak boleh diganggu gugat semisalnya alasan saya memilih beliau dipertanyakan. Makan itu “Serenata Jiwa Lara” dan “Chrisye” yang dipasang dari dalam gang, di perkantoran, dan klub malam. Mereka paten lah untuk dijadikan tempat saya mengadu tanya perihal kolaborasi ini.
Menurut pengakuan Merdi, pendengar sadar dengan kegiatan kolaborasi dari Diskoria saat mereka menelurkan “Serenata Jiwa Lara” bersama Dian Sastro. “Balada Insan Muda” walaupun diisi oleh vokalis tamu, dituliskan sebagai Diskoria saja, dianggap sebagai awal masuknya mereka ke industri musik. Diskoria yang mengusung konsep DJ, berat terinspirasi oleh Nada dan Improvisasi. Melting pot Jazz club yang diisi oleh suruhan untuk membuat lagu dan berujung terciptanya kompilasi. Dalam berkarya, Diskoria memang mengumpulkan orang. Selayaknya Nada dan Improvisasi (rekaman kompilasi jazz- red). Dari awal memang kolaborasi adalah konsep yang dipilih jadi solusi perihal urusan departemen vokal dari Diskoria.
Dalam berkarya, Diskoria memang mengumpulkan orang. Selayaknya Nada dan Improvisasi.
“Dulu waktu gue kelas dua, band kelas satu Tarki, vokalisnya Dian. Pas Dian masuk UI, dia juga ngeband sama teman gue. Gue liat itu sebagai hal yang menarik lah, Dian bisa nyanyi!” Sesederhana nostalgia masa lalu, timbul keinginan jahil untuk mengajak seorang Dian Sastro berkolaborasi. Kolaborasi Diskoria dengan Joe Taslim pun tak kalah menarik, digawangi oleh sebuah brand. Keharusan menggabungkan Fathia Izzati dan Joe Taslim adalah kemungkinan absurd yang siapapun dengar hanya akan kira sebagai candaan. Sialnya, referensi lagu Joe yang retro pun diakui ok juga oleh Merdi. Blessing in disguise jadi pernyataan yang Merdi sampaikan. Proses kolaborasi yang dilalui Diskoria pun macam-macam. Untuk urusan Joe Taslim, sebagian prosesnya dilalui lewat layar laptop. Tapi, menurut pengakuan Merdi, pembawaan Joe yang asik pun tak menyulitkan proses sama sekali. Tergabung dalam rilisan yang sama, Chia, sapaan akrab Fathia justru memakan proses pengambilan suara yang lebih lama dibanding Joe.
Dalam kolaborasinya, Diskoria pun sudah membereskan urusan penyusunan lirik. Hanya saja, sebelum disiapkan, mereka bertanya terkait preferensi dan kapabilitas rekan kolaborasi mereka demi kebaikan bersama. Nah, obrolan kami pun berlanjut ke kolaborasi Diskoria yang bisa saya bilang, menyebar bak virus. Tapi berbeda dengan virus Covid yang rese dan kesetanan, saya lebih sreg kalau virus disko dari Diskoria yang menjalar. “Chrisye” adalah selongsong peluru yang merebak udara dan menembus berbagai jenis lapisan masyarakat. Berkolaborasi dengan Eva Celia, Merdi pun mengaku masih kaget dengan respon positif yang mereka dapat dari lagu ini. Penggambaran bahwa lagu ini akan dimainkan di Senoparty dan bar-bar di sekitarnya langsung hinggap.
Menambahkan, Diskoria memang selalu ingin berkolaborasi dengan Eva Celia. Musisi jazz muda yang tepat digabungkan kekuatannya dengan Diskoria adalah Eva. Bukan pilihan sulit untuk memilih Eva sebagai rekan kolaborasi dalam lagu ini. Entah pernah naik di media lain atau belum, ada cerita menarik dari Merdi malam itu. Saat pengambilan suara lagu “Chrisye”, Eva tidak mau keluar kamar selama kurang lebih tiga jam dari waktu yang disepakati. Merdi menunggu tiga jam untuk Eva yang sedang mengulik lagu tersebut dengan sungguh.
Kecocokan karakter Laleilmanino dengan Diskoria telah ada di level tertentu.
“Dia langsung deliver, ini udah bagus semua!” Respon Merdi yang masih nampak binarnya hingga kami berbincang malam itu. Eva pun menurut pengakuan Merdi merundung perihal seberapa gilanya lagu ini. Beat di dalamnya bukan yang biasa Eva hajar. Kecocokan karakter Laleilmanino dengan Diskoria telah ada di level tertentu. Kesesuaian referensi. Semacam insting musisi kualitas wahid. Soal kolaborasi Diskoria dengan Laleilmanino, kolaborasi mereka pun dibangun bertahap. Pertemanan mereka memang sudah terjalin lama. Panggung pertama Diskoria sebelum menggunakan nama Diskoria, masih Merdi dan Aat, mereka pun memang sudah menghadiri panggung pertama Diskoria. Manajer Diskoria juga memang sahabat Nino. Jelas, memang keputusan untuk berkarya bersama bak sudah seharusnya mereka lakoni.
Soal Tara Basro dan Fleur, Merdi tak segan mengaku sebagai penggemar dari seorang Tara Basro. Fleur, sesederhana kekaguman terhadap seberapa keren Fleur menjadi daya tarik bagi Merdi dan Aat. Retro! Kesesuaian materi dengan mereka juga jelas jadi alasan. Mengarah ke akhir obrolan saya dengan Merdi sekaligus beberapa bait menuju penutupan tulisan ini, saya bertanya soal identitas Diskoria tanpa kolaborasi. Bagi Merdi, tanpa kolaborasi, “Diskoria cuma DJ doang. Bukan DJ yang punya karya.” Pengalaman tak menyenangkan pun saya tagih. Dibalas tawa, hal-hal terkait paska kolaborasi jadi sedikit dari kemuraman yang cukup membuat gemas. Sulitnya kompromi dan perbedaan keinginan adalah sederhananya.
Menutup, wejangan dari Merdi soal konsekuensi kolaborasi dan syarat-syarat yang sudah dipikirkan, saya rasa layak menjadi pertimbangan dan perenungan bagi sebuah bacaan yang panjang. Kenali, ngobrol, hingga ketahuilah hobi rekan kolaborasi anda! Komunikasi.
Terakhir, kalau untuk Diskoria, royalti dan adat istiadat soal keuntungan finansial dibahas di awal. Hal itupun beragam mengacu pada berbagai nama yang mereka tarik sebagai kolaborator.
Jadi, kalau kamu bermusik dan baca ini, jadi ragu atau maju untuk berkolaborasi dengan musisi lain? Kalau kamu penikmat musik, menilik dari bacaan di atas, hargai kolaborasi idolamu dengan siapa saja. Menulis artikel ini, saya sepakat, tak ada kolaborasi yang mudah. Semuanya berproses. Hargailah!
______
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Juicy Luicy – Nonfiksi
Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …
Selat Malaka Resmi Mengeluarkan Album Penuh Perdana
Band asal Medan bernama Selat Malaka resmi mengeluarkan album penuh perdana self-titled hari Jumat (22/11). Sebelumnya, mereka sudah mengantongi satu single “Angin Melambai” yang beredar tahun lalu. View this post on Instagram …