Musik Religi Telah Mati (?)

Apr 14, 2022
musik religi

Mendefinisikan musik religi bisa jadi merupakan perkara yang susah-susah gampang. Problem pertama, apakah bisa disamakan dengan “musik sakral” yang diperlawankan dengan “musik profan” atau “musik sekuler”? Pembahasan tentang musik sakral (sacred music) bisa ditarik ke tradisi musik klasik di Eropa. Musik sakral adalah musik yang diperuntukkan bagi kepentingan keagamaan dan/atau yang musik atau liriknya diambil atau terinspirasi dari kitab suci – yang dalam konteks ini adalah Alkitab.

Contohnya, Missa Papae Marcelli (c. 1555) karya Giovanni Pierluigi de Palestrina, St Matthew Passion (1727) karya J.S. Bach, atau Messiah (1741) karya Georg Frideric Handel. Di sisi lain, terdapat istilah “musik sekuler” atau “musik profan” (duniawi) yang dapat secara sederhana diartikan sebagai musik yang tujuan diciptakannya tidak dilakukan untuk kepentingan Gereja. Di Abad Pertengahan misalnya, musik sekuler biasanya bertemakan cinta, satir politik, atau digunakan untuk kepentingan tarian dan juga drama.

Mendefinisikan musik religi bisa jadi merupakan perkara yang susah-susah gampang. Apakah bisa disamakan dengan “musik sakral” yang diperlawankan dengan “musik profan” atau “musik sekuler”?

Lebih rumit lagi jika kita menambahkan “musik rakyat” (folk music) yang definisinya begitu luas: musik yang penyebarannya dilakukan secara oral (bukan tertulis melalui partitur), biasanya komposernya tidak diketahui, dimainkan oleh instrumen musik tradisional, dan banyak lagi. Musik rakyat ini adalah perpanjangan dari folklor, yang William Thoms pada tahun 1846 menyebutnya sebagai “tradisi, kebiasaan, dan kepercayaan dari kelas-kelas yang tidak berbudaya (uncultured classes)” (Scholes, 1938). Musik rakyat, dengan segala keluasan definisinya, justru menjadi pintu masuk yang penting untuk kita membahas musik religi di sini, khususnya yang populer di Indonesia.

 

Musik Religi Populer di Indonesia

Seperti biasa, melacak sejarah musik populer di Indonesia, meski sudah berkaitan dengan teknologi media rekam, adalah kurang lebih sama “misterius”-nya dengan “musik rakyat”: belum banyak pencatatan yang jelas dan informasinya simpang siur. Sebelum masuk era budaya pop, musik religi dapat ditarik pada Lir Ilir yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga (Yaqin, 2018) atau Tombo Ati yang diciptakan oleh Sunan Bonang pada sekitar abad ke-16 sebagai bagian dari usaha menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Sebelum masuk era budaya pop, musik religi dapat ditarik pada Lir Ilir yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga atau Tombo Ati yang diciptakan oleh Sunan Bonang pada sekitar abad ke-16

Melompat jauh ke abad ke-20, kemungkinan lagu berjudul Selamat Hari Raya tahun 1936 yang dinyanyikan oleh Miss Aminah dan diciptakan oleh Tengku Alibasha adalah musik religi populer “pertama” di Indonesia (mungkin ada yang lebih duluan, tetapi belum terdokumentasikan). Pada lirik lagu tersebut, terdapat istilah yang identik dengan terminologi dalam agama Islam seperti “Syawal” dan “Aidulfitri”.

Miss Aminah / dok. istimewa

Penggunaan term yang diambil dari tradisi atau kitab suci agama tertentu bisa jadi merupakan ciri paling mudah mengenali musik religi (misalnya, dalam Islam, biasanya ada kata-kata “Allah”, “Rasul”, “Ramadhan”, “minal aidin wal faizin”, dan lainnya). Musik religi lainnya pasca kemerdekaan, yang terus didaur ulang hingga sekarang (misalnya oleh Tasya dan Gita Gutawa), adalah Lebaran ciptaan M. Jusuf dan dinyanyikan oleh Oslan Husein pada tahun 1960-an, atau Selamat Hari Lebaran ciptaan Ismail Marzuki dengan pengiring orkes Mus Mualim pada 1954 (Alimi, 2019).

Penggunaan term bisa jadi merupakan ciri paling mudah mengenali musik religi (misalnya, dalam Islam, “Allah”, “Rasul”, “Ramadhan”, “minal aidin wal faizin”, dan lainnya)

Membahas musik religi populer di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari musik-musik Bimbo. Bimbo, yang awalnya memainkan musik-musik latin (sempat bernama Trio Los Bimbos) dan menulis lagu bertemakan kritik sosial, kemudian merilis album bertema religi berjudul Irama Qasidah (1974) yang terdiri dari karya-karya yang masih populer hingga hari ini seperti Rindu Kami Padamu (kemudian dikenal sebagai Rindu Rasul), Qasidah Anak Bertanya pada Bapaknya (Ada Anak Bertanya pada Bapaknya) dan Tuhan. Di waktu hampir bersamaan, Koes Plus juga sebenarnya mengeluarkan album religi berjudul Qasidahan bersama Koes Plus dengan lagu-lagu seperti Nabi Terakhir dan Ya Allah. Namun harus diakui, musik religius Koes Plus kalah populer ketimbang “musik sekuler”-nya.

Album Bimbo, Irama Qasidah (1974)

Di tahun 2000-an, muncul sejumlah lagu religi seperti Jagalah Hati yang dinyanyikan oleh Snada, Tombo Ati versi Opick, Akhirnya ciptaan Oddie Agam yang (semakin) dipopulerkan oleh Gigi. Hal yang menarik adalah musik religi ini bukan tentang muatan liriknya saja, melainkan juga momentum diputarnya, yaitu bulan Ramadhan. Bulan Ramadhan tidak hanya menjadi momentum religius, tapi juga ekonomi. Musisi atau kelompok musik yang “lahir” bukan sebagai kelompok musik religi bisa jadi “mengambil kesempatan” ini saat memasuki bulan puasa seperti Ungu lewat album SurgaMu (2005) atau Gigi dalam album Raihlah Kemenangan (2004).

 

Musik Religi telah Mati (?)

Musik religi populer di Indonesia tentu saja masih diproduksi dan dikonsumsi. Misalnya, lagu-lagu yang dinyanyikan oleh Sulis, atau yang lebih terkini, Nissa Sabyan. Klaim “kematian” ini lebih dialamatkan pada nuansa musik religi yang sudah tidak lagi berkumandang seperti sebelumnya, yang selalu menguntit kita kemanapun, terutama saat mendatangi tempat-tempat umum.

Faktor paling kuat tentu saja kondisi pandemi yang melanda Indonesia dalam dua tahun terakhir ini, yang membuat orang-orang tidak leluasa bepergian ke luar rumah, apalagi ke tempat publik yang ramai. Tempat publik yang ramai (baca: tempat mengonsumsi, bertransaksi), bagaimanapun, adalah “sasaran utama” musik religi – utamanya di bulan Ramadhan, yang secara langsung membuat kita yang ada di sana merasakan “suasana Ramadhan”.

Di tahun 2000-an, muncul sejumlah lagu religi seperti Jagalah Hati yang dinyanyikan oleh Snada, Tombo Ati versi Opick, Akhirnya ciptaan Oddie Agam yang (semakin) dipopulerkan oleh Gigi

Kedua, masih berkaitan, dengan bertahannya kita di rumah pada masa pandemi, opsi-opsi lagu yang didengarkan pun bisa “kembali pada selera masing-masing”, terlebih lagi dengan adanya platform musik digital seperti Spotify atau Apple Music. Platform-platform tersebut bisa saja menawarkan algoritma musik religi di bulan Ramadhan, tapi kita selalu bisa memilih untuk menerima atau menolaknya.

Kondisi ini berbeda sekali dengan masa-masa sebelum pandemi, saat musik-musik religi, suka atau tidak suka, akan senantiasa “menyerbu” (tanpa bisa diantisipasi) setiap kita pergi ke tempat umum. Artinya, jangan-jangan selama ini kita “dipaksa untuk suka” pada musik-musik religi lewat repetisi di ruang publik, yang membuat alam bawah sadar kita langsung mengaitkannya dengan “suasana Ramadhan”.

Klaim “kematian” ini lebih dialamatkan pada nuansa musik religi yang sudah tidak lagi selalu menguntit kita kemanapun, terutama saat mendatangi tempat-tempat umum

Ketiga, yang mungkin agak bernuansa filosofis, adalah peran agama yang dipertanyakan relevansinya di masa pandemi. Agama mungkin bisa menjawab dari sisi teologis mengapa pandemi terjadi, memberikan penghiburan bagi segala penderitaan, tetapi agama tidak bisa memberikan solusi yang konkrit untuk mengatasinya. Dalam situasi tertentu, ritus agama malah memperparah kenaikan kasus penularan virus akibat kumpul-kumpul jemaah dalam jumlah besar untuk beribadah.

Bukan artinya agama menjadi kurang relevan, tetapi mungkin perlu dimaknai, disegarkan kembali, termasuk yang selama ini sudah terbungkus dalam budaya populer lewat musik-musik religi. Musik religi, dengan pesan-pesan moral “yang klise”, mungkin sudah membuat sebagian orang bosan, karena yang dibutuhkan hari ini adalah semangat baru yang telah luluh lantak akibat pandemi. Musik religi tidak lain hanya romantisme, mengingatkan kita pada masa-masa indah pra-pandemi yang tidak mungkin terulang lagi.

 


 

Sumber Bacaan:
Alimi, Anas Syahrul. (2019). Demi Buku, Demi Musik: Esai-Esai Pustaka, Spiritualitas, Musik, dan Budaya. Yogyakarta: I:Boekoe.
Scholes, Percy A. (1938). The Oxford Companion to Music: Self-indexed and with a Pronouncing Glossary. Oxford: OUP.
Yaqin, Moh. Ainul (2018-04-19). “Dimensi spiritual tembang Lir-Ilir dalam semiotika tasawuf”. UIN Sunan Ampel Surabaya.

 

Eksplor konten lain Pophariini

Armand Maulana – Sarwa Renjana (EP)

Dengan EP berdosis pop dan unsur catchy sekuat ini, saya jadi berpikir, mungkinkah Armand Maulana berpotensi menjadi the next king of pop Indonesia?

Juicy Luicy – Nonfiksi

Lewat Nonfiksi, Juicy Luicy semakin mengukuhkan diri sebagai band pengusung lagu patah hati dengan formula pop R&B yang jitu dan ultra-catchy. Pertanyaannya: sampai kapan mereka akan menjual kisah patah hati kasihan dan rasa inferioritas …