Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo
Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang sering dilihat sebagai daerah yang dipandang sebelah mata. Bahkan, tidak jarang, anak muda Kulon Progo sering menutupi identitasnya, karena dianggap tidak keren dan gaul.
Stigma tersebut pernah juga menghantui saya, sampai-sampai ketika ada yang bertanya “apa yang menarik di Kulon Progo?” dengan spontan, saya menjawab “gaada”. Jawaban itu muncul agar perbincangan mengenai tempat tinggal, bisa cepat diganti. Sangat memprihatinkan. Belum lagi jika ada yang bertanya “ada musik apa di Kulon Progo?” mungkin saya hanya akan menjawab “ada Karna Mereka”. Jujur, sebagai warga Kulon Progo, saya jarang sekali mengulik band atau musik di tempat kelahiran karena sudah terbalut kontruksi bahwa tidak ada yang menarik di kabupaten paling Barat Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Mungkin baru satu tahunan, saya mulai mengorek-orek arsip mengenai perjalanan musik di Kulon Progo dan membuka obrolan dengan penggiatnya. Rasa penasaran dan bosan dengan skena musik yang ada di pusat (kota), membuat saya mencoba menyelami kisah-kisah skena musik di Kulon Progo. Sontak, betapa kagetnya saya ketika mendapati banyak sekali band, gigs, komunitas, dan genre yang ada di Kulon Progo. Ternyata, denyut skena musik di daerah pinggiran ini sudah dimulai sejak era 90-an.
Generasi Awal dan Era Keemasan
Menjelajah dunia maya dan bertemu dengan beberapa pelaku skena, adalah cara paling ampuh untuk kembali mengingat dan menyusun puzzle perjalanan ekosistem musik di Kulon Progo. Dimulai tahun 1992, band-band Metal mulai bermunculan. Ada Abu Nazer, Rarerasaki, Jazirah Slayur, dan disusul Gatholoco, Ziarah Kubur, serta Drosophila di tahun 1996/1997. Mereka semua memainkan genre Javanesse Black Metal.
Dari semua band beraliran metal, saya hanya menemukan album dan informasi secara lengkap dari Drosophila. Band ini mengusung Blasphemy Doom Horor dengan sentuhan unsur-unsur melodi Jawa. Karya perdana mereka dirilis pada tahun 1999. Berkolaborasi dengan SANTET, band Metal asal Purwokerto, Drosophila berhasil mengukir prasasti pertamanya berbentuk album split
Jika di ranah Metal ada Abu Nazer, Jazirah Slayur, hingga Drosophila, di ranah Hardcore punya Blokade. Blokade muncul sekitar tahun 1998. Band itu bisa dianggap sebagai perintis genre Hardcore di Kulon Progo. Memainkan musik keras dan cepat, ditambah nilai-nilai “anti-state” ala-ala Hardcore-Punk, Blokade sering meramaikan HUT Kemerdekaan RI. Ya, HUT Kemerdekaan RI, kalian tidak salah baca. Kadang, HUT Polri dan Satpol PP juga tak ketinggalan.
Meski hal tersebut menjadi kontradiksi, tetapi harus dilihat dulu konteks yang terjadi di Kulon Progo pada era itu. Periode 90-an akhir hingga 2000-an awal, gigs dan event musik yang dikelola mandiri sangat jarang, bahkan hampir tidak ada. Justru institusi-institusi pemerintah yang rajin menggelar acara musik. “Agenda kebangsaan” itu lah yang menjadi satu-satunya tempat untuk mengasah skill dan jam terbang. Kisah unik dan khas seperti ini mungkin tidak bisa ditemui kalau tidak di Kulon Progo.
Pencarian mengenai ekosistem musik Kulon Progo tidak sampai di situ saja. Sebuah album foto milik pelaku skena lawas menujukkan hal yang di luar dugaan. Tahun 1998, digelar acara musik besar yang mungkin hari ini dikenal dengan nama festival. Beragam band dengan macam-macam genre saling berbagi panggung di sana. Meski dilakukan di gedung olahraga, antusias penonton sangat tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekosistem musik di Kulon Progo sudah “hidup” sebelum tahun 2000.
Setelah periode 90-an menuju 2000 awal, semakin banyak band dengan beragam genre yang muncul di Kulon Progo, tepatnya tahun 2005-2009. Pada era itu, tiap sekolah berlomba-lomba membuat festival band. Festival band menjadi agenda rutin dan wajib layaknya upacara yang dilakukan setiap hari Senin. Ditambah lagi anggapan bahwa anak sekolah yang keren adalah anak band, menjadi penambah bara semangat untuk bermain musik.
Selain festival band sekolah, tahun 2006, muncul sebuah komunitas bernama Wangun Komunitas. Adanya Wangun menjadi wadah tambahan untuk ekosistem musik di Kulon Progo. Setiap tahun, salah satu komunitas tertua di Kulon Progo ini menginisiasi acara bertajuk Jamming Hours on Ramadhan (Jhonor). Sampai hari ini, Jhonor sudah mencapai edisi ke-16, sekaligus menjadi tanda eksistensi musik di Kulon Progo.
Dari festival band sekolah dan Jhonor, munculah band-band seperti The Mad (industrial pop), Unholly (rock), Riot n Funny (ska mix orkes), Pingkipat (pop rock ala-ala Base Jam), Bendera-X (hardcore) dan mungkin masih banyak yang lain. Tidak berhenti di ranah festival sekolah, band-band di atas rajin mengikuti seleksi dari tinggat regional hingga nasional. Misalnya Riot n Funny dan Unholly. Mereka memasukan namanya dalam LA Indiefest, sedangkan The Mad mengikuti KFC Talent Search “Satu Bintang”.
Persaingan sengit dengan band-band dari daerah lain membuat Unholly dan Riot n Funny gugur, hanya menyisakan The Mad sebagai perwakilan Kulon Progo. Akhirnya, The Mad berhasil menjadi 12 band terbaik dari ribuan peserta KFC Talent Seacrh “Satu Bintang”. Dengan lagunya yang berjudul Kembali, The Mad mampu menembus album kompilasi KFC Musik Hitslist Vol. 3.
Hadirnya The Mad menjadi tanda bahwa eksistensi musik di Kulon Progo pada era itu juga bisa bersaing dengan kota-kota besar. Kemudian, setelah era The Mad dan kawan-kawan, medio 2010-2017 adalah eranya Sabin. Sabin adalah studio musik yang terletak di timur Rumah Sakit Daerah (RSUD) Wates.
Sabin menjadi “School of Rock” di Kulon Progo pada eranya. Banyak band dan grup dengan beragam genre muncul di sini. Mulai dari Hip-Hop hingga Hardcore. Sebuah komunitas bernama Nyi Ageng Serang Familia menjadi wadah beberapa band seperti Balas Dendam (Hardcore), Alat Berat (Hardcore), dan Nonnota (Hip-Hop).
Pada periode ini, gigs mandiri mulai bermunculan. Komunitas/kolektif rutin menggelar gigs dan acara musik. Satu hal yang menarik jika membahas gigs mandiri di era 2010-2017, yakni venue yang digunakan. Balai desa menjadi tempat yang paling sering dipakai untuk gigs undergound. Beberapa arsip poster menunjukkan bahwa Balai Desa Wates, Balai Desa Sentolo, dan Balai Desa Kranggan menjadi saksi bisu geliat musik bawah tanah di Kulon Progo. Pemilihan balai desa sebagai venue menjadi hal wajar di Kulon Progo, karena memang masih banyak komunitas yang berbasis desa. Salah satu contohnya adalah Sidomulyo Hardcore Familia.
Masih di periode 2010-2017, setelah Hardcore dan Hip-Hop muncul, anak-anak Pop Punk tak mau ketinggalan. Demam Pop Punk yang dibawa Endank Soekamti turut memengaruhi kemunculan band dengan genre serupa di Kulon Progo. Misalnya Karna Mereka di 2011 dan Geblek Rentenk di 2014. Dalam konteks daerah pinggiran (kabupaten), biasanya mengikuti apa yang sedang naik daun di daerah-daerah pusat (kota), dan itu terbukti dengan munculnya banyak penggemar Pop Punk di Kulon Progo.
Ada satu lagi band Pop Punk yang muncul dengan gaya berbeda, mereka adalah Senn. Senn merilis album perdana bertajuk Catman Seminar. Pada album itu Senn memberi warna baru dalam ranah Pop Punk di Kulon Progo. Dengan beat drum yang cepat dan vokal penuh energi, mereka lebih mirip Japanese Pop Punk daripada Pop Punk ala Blink-182 yang merebak di era itu. Pada 2019, band asal Wates, Kulon Progo ini, membuat split album bersama Fatrace dan Dirty Ass bertajuk Suburban Sound.
Band-band Metal tak mau ketinggalan, mereka adalah Almarhum dan Kasedan Jati—yang hari ini dikenal menjadi Kasedan. Almarhum dan Kasedan Jati melengkapi line-up masa keemasan musik di Kulon Progo dari kubu Metal. Membawakan genre Javanese Black Metal, kedua band itu turut memberi warna tambahan untuk ekosistem musik di Kulon Progo. Di tahun 2011, sebuah festival musik metal yang dilangsungkan di Pantai Glagah, bernama Kulon Progo Metal Fest (KPMF) lahir. Dengan semangat kemandirian dan militan, KPMF rutin terselenggara setahun sekali. Sampai tahun ini, KPMF sudah menginjak umur yang ke-11 tahun.
View this post on Instagram
2010-2017 bisa dianggap sebagai bagian dari masa jaya skena musik di Kulon Progo. Dibuktikan dengan banyaknya band dengan beragam genre yang muncul, digelarnya gigs mandiri, dan lahirnya festival musik. Namun, di tengah keindahan itu, ada satu “penyakit” yang menjangkiti, yakni gap-gapan antar kelompok. Disadari atau tidak, permasalahan itu lama kelamaan menjadi salah satu alasan meredupnya denyut skena musik di Kulon Progo. Selain itu, persoalan band yang hanya seumur jagung juga menjadi faktor kemeriahan musik di Kulon Progo menjadi surut di periode berikutnya.
Mencoba Membangkitkan Kembali yang “Mati”
Setelah era itu, sangat jarang event musik yang digelar, paling hanya Jhonor dan KPMF, itu pun hanya setahun sekali. Gairah musik dan gigs mandiri seakan mati. Ditambah lagi, harus dipaksa kalah oleh pandemi. Pandemi membuat denyut nadi skena musik di Kulon Progo hilang dan mati.
Kala pandemi usai, generasi baru mulai bermunculan. Bermula dari tongkrongan, sebuah kolektif bernama Wetdemetria dan Ragam Arena lahir. Westdemetria ada karena sebuah keresahan. Keresahan akan semakin minimnya penggemar musik Pop Punk di Kulon Progo. Sedangkan Ragam Arena hadir sebagai bentuk kemuakan atas gap-gapan.
Kedua kolektif itu punya tujuan dan semangat sendiri-sendiri, namun memiliki satu benang merah yang sama, yakni menghidupkan kembali Kulon Progo. Westdemetria menjadi ruang belajar baru untuk anak-anak yang baru terjun dalam dunia musik. Apapun bisa dipelajari, mulai urusan teknis hingga pemasaran. Bahkan, terbuka untuk beragam genre, tidak hanya Pop Punk. Event pertama mereka digelar pada 16 April 2023. Sayang, belum sampai penghujung acara, mereka dibubarkan oleh aparat kepolisian karena dianggap “tidak tertib”. Padahal, mereka hanya melakukan moshing sebagai ekspresi menikmati musik, dan surat izin pun sudah dikantongi.
Kisah di atas, lagi-lagi menunjukkan ke-”khas”-an Kulon Progo. Di kabupaten paling barat DIY ini, bentuk ekspresi musik dibatasi, genre musik juga dipisahkan antara yang “baik” dan yang “buruk”. Sungguh ironi, tapi justru hal-hal seperti itu tidak bisa ditemukan di daerah di luar Kulon Progo.
Hari ini, persoalan mengenai skena dan ekositem musik di Kulon Progo memiliki tantangan baru. Mulai dari kesadaran akan pentingnya event mandiri hingga pengarsipan. Pengarsipan menjadi hal yang penting dan krusial. Ingatan mengenai ekosistem dan skena musik Kulon Progo di masa lalu hampir tidak pernah muncul di generasi Z seperti kami.
Akhirnya, generasi saya tidak pernah tahu bahwa musik di Kulon Progo tidak kalah dengan daerah lain. Sangarnya Drosophila dengan Doom Metal ala-ala Javanese atau Riot n Funny yang mengajak untuk berdansa, menjadi kisah berharga untuk melihat eksistensi musik di Kulon Progo.
Memang, Kulon Progo jauh dari pusat kota, jauh dari keramaian, dan jauh dari ingar-bingar. Tidak jarang stigma pinggiran dan pelosok masih melekat hingga hari ini. Hal itu membuat apa saja yang ada di Kulon Progo menjadi tidak menarik, tak terkecuali musik.
Akan tetapi, dari penelusuran arsip mematahkan segalanya. Gigs mandiri di balai desa, festival musik metal di pantai, dan “anti-state” yang main di acara nasionalisme, adalah bukti bahwa ekosistem dan skena musik di Kulon Progo pernah berjaya dengan kisah-kisah khas pinggirannya.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi
“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11). Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …
Bermodal Doa Ibu, Perunggu Melepas Single Teranyar Berjudul Tapi
Selang dua tahun sejak dirilisnya album perdana Memorandum, band rock pulang kantor, Perunggu resmi melepas single teranyar bertajuk “Tapi” via Podium Records (29/11). Lirik “Tapi” yang ditulis oleh Maul, sang vokalis menceritakan bagaimana doa …
Jossssss sekaliii mas zhafram
Terimakasih…ini keren sekali … Semoga suatu waktu bisa menjadi event
seneng2 sedih nek kelingan gaes….
lanjutkan mas…jadi inget masa2 itu….