Album Lomba Cipta Lagu Remaja 1978 Bertabur Pesona
Seperti Kurt Cobain membuka perkenalan pada banyak musik-musik yang menarik melalui lagu-lagu yang dimainkan ulang oleh Nirvana, kaos-kaos yang dikenakannya, band-band yang disebut dalam berbagai wawancara, hingga daftar album favoritnya, dalam khasanah pop Indonesia sedikit banyak saya mendapatkan hal serupa melalui bintang pop Chrisye.
Saat album Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR) 1977 dirilis, itu adalah tahun kelahiran saya. Dan dengan minimnya re-issue di Indonesia serta belum dikenalnya internet pada masa itu, tentu tak mudah mendapat akses pada musik Indonesia lama. Namun dalam situasi sesulit itu sekalipun, dengan cahaya yang tak pernah pudar, lagu pop sebagus “Lilin-Lilin Kecil” yang dinyanyikan Chrisye memiliki jalannya sendiri untuk terus dikenali generasi berikutnya. Chrisye bisa dikatakan adalah penyanyi/musisi di “rombongan LCLR” pertama dengan nama paling besar, selalu muncul dari masa ke masa, dan memiliki hits paling banyak. Dari Chrisye akses untuk mengetahui kedigdayaan pop Indonesia 1970an jadi lebih mudah terbuka.
Pada 1990, di layar TVRI, diputarlah video musik Chrisye, Trio Libels, dan Rafika Duri menyanyikan lagu berjudul “Kidung”. Saya tertegun dengan keindahan lagu itu tanpa tahu bahwa “Kidung” pertamakali termuat dalam album Lomba Cipta Lagu Remaja – Dasa Tembang Tercantik 1978 Prambors Rasisonia, dinyanyikan oleh Bram, Diana, dan Chris. Chrisye memperkenalkannya untuk saya.
Semakin lama, semakin terkuak permata-permata terpendam itu. Saya jadi tahu album-album “kelas bantam”: Guruh Gipsy (1977), Jurang Pemisah (1977), Badai Pasti Berlalu (1977), Sabda Alam (1978), termasuk LCLR 77 dan 78.
Dari Chrisye akses untuk mengetahui kedigdayaan pop Indonesia 1970an jadi lebih mudah terbuka
Dari buku biografi Chrisye – Sebuah Memoar Musikal karya Alberthiene Endah, sedikit banyak saya mendapat gambaran bagaimana album sehebat LCLR ’77 dan ’78 bisa tercipta. Dikisahkan pada masa itu Radio Prambors Rasisonia, radio anak muda “termaju” dan “tergaul” di zamannya, ingin memutar lagu-lagu Indonesia namun tidak memiliki kesesuaian selera dengan apa yang kebanyakan tersedia dari rilisan perusahaan rekaman yang ada.
Untuk menjawab solusi itu, Prambors merasa perlu untuk mencetaknya sendiri, maka para eksponen Prambors seperti Imran dan Sys NS berinisiatif membuat Lomba Cipta Lagu Remaja, mengundang dan menyeleksi para pencipta lagu remaja untuk berkarya yang dibawakan oleh penyanyi-penyanyi baru, direkam oleh produser muda, diaransir oleh arranger terkini melalui tangan Jockie Suryoprayogo, dan selebihnya adalah sejarah manis untuk telinga kita.
Pada era akhir 1960an dan 1970an, musik-musik seperti blues, hard rock, progressive rock, classic disco, folk, dan juga soft rock sedang menjadi kegandrungan anak-anak muda di kota besar Indonesia. Larangan untuk memainkan musik Rock N’ Roll dari Barat, yang diistilahkan sebagai music “ngak-ngik-ngok” oleh pemerintah, telah berlalu. Penggantinya adalah perayaan budaya baru dari pengaruh berbagai kesenian, literatur, hingga gaya hidup Eropa hingga Amerika, utamanya pada anak muda kota besar kelas menengah atas, hingga langit-langit metropolitan.
Di sekolah-sekolah terbentuk vokal grup, di ruang-ruang terbuka digeber kencang musik rock dengan berbagai varian sub genre-nya, dan di rumah-rumah diadakan pesta bermusik disko. Rekaman-rekaman musik dari Barat, melalui “tangan-tangan hipster” mulai berkeliling dan menyebar diikuti media-media publikasinya seperti “radio gelap”, penerbitan kaum muda, sampai mencetak kaset-kaset yang disalin dari piringan hitam serta merekam musik ciptaan sendiri.
Saat menulis lagu, dari segi lirik, ada keinginan pula untuk tampil berbeda secara tema dan terutama cara menulis dari lagu-lagu pop arus utama saat itu yang dirasa tidak sesuai dengan selera kekinian mereka.
Lomba Cipta Lagu Remaja ’78: para pencipta lagu remaja Dinyanyikan penyanyi-penyanyi baru, direkam produser muda, diaransir oleh arranger terkini dan selebihnya adalah sejarah manis untuk telinga kita
Maka estetika itulah yang terjadi: musik pop “terbaru” dengan jelajah chord dan aransemen yang utamanya dipengaruhi progressive rock, folk, dan juga disko, dengan lirik-lirik puitis yang banyak memilih kata yang tak lazim digunakan untuk musik popular Indonesia saat itu, banyak mengambil dari “perbendaharaan lama”, atau kata-kata yang umum namun dengan paduan yang tak lazim untuk mencapai metafora, berefleksi terhadap kondisi sosial-budaya dan relasinya pada kehidupan anak muda.
Singkatnya, mengutip judul pagelaran Jockie Suryorayogo yang kemudian juga dikasetkan oleh Musica Studio pada 1979, bagi musisi muda itu: “Musik saya adalah saya”.
Lagu ciptaan Chris Manusama, “Kidung”, dinyanyikan oleh Bram, Diana, dan Cris yang dletakkan sebagai pembuka album Lomba Cipta Lagu Remaja – Dasa Tembang Tercantik 1978 Prambors Rasisonia, adalah salah satu contoh terbaik dari pencapaian arah estetis generasi pop Indonesia terbaru ini. Berhembus abadi, kita pun teringiang-ngiang dengan notasi dan liriknya:
Tak selamanya mendung itu kelabu
Nyatanya, hari ini
Kulihat begitu ceria
Hutan dan rimba turut bernyanyi juga
Membuat hari ini berseri
Dunia penuh damai
Bintang berkedip dengan jenaka
Seakan tahu arti dan rasa
Oh, kidung yang indah
Kau luputkan aku
Dari sebuah dosaku
Dhenok Wahyudi dan Jockie S tampil berduet untuk lagu kedua, “Kelana” karangan Hotma Soehartono, yang menjadi pemenang keempat pada lomba tersebut. Dhenok dan Jockie S telah pula berpasangan menyanyikan tembang elok “Dalam Kelembutan Pagi” karya cipta Baskoro pada LCLR 77. Sementara Hotma Soehartono adalah salah satu anggota Camantha, kelompok musik yang pernah menjuarai festival grup musik akustik di Yogyakarta pada 1977 (juara I), 1978 (juara II), dan kembali meraih piala bergilir Walikota pada 1979 kala membawakan lagu ciptaan mereka berjudul “Kemah” dan komposisi instrumentalia bertajuk “Arabian Style”.
musik pop “terbaru” dengan jelajah chord dan aransemen yang utamanya dipengaruhi progressive rock, folk, dan juga disko, dengan lirik-lirik puitis yang banyak memilih kata yang tak lazim digunakan untuk musik popular Indonesia saat itu
Tembang berikutnya adalah karya cipta Christ dan Tommy WS berjudul “Khayal” yang dinyanyikan Purnama Sultan. Sebuah tembang disko dengan notasi yang hebat sejak verse hingga refrainnya. Dengan semakin digalinya musik Indonesia lama pada dekade 2000an hingga kini, “Khayal” pada hari ini masih bisa mengajak muda-mudi untuk berdansa sambil menyanyikan bait-bait liriknya. Pasca LCLR 78, Chirst, Tommy WS, dan Purnama Sultan sempat membentuk band pop jazzy Eksha Bhama yang hanya merilis satu album, dan kembali merekam “Khayal” dengan aransemen yang berbeda. Purnama Sultan sendiri setelah era Eksha Bhama sempat meniti karir solo dengan merilis album Selangit.
Dhenok Wahyudi kembali tampil pada nomer berikut di album LCLR 78, “Dalam Cita & Cinta” karangan Oetari Saptarini. Kembali kekuatan penulisan lagu ditampilkan; bagaimana menciptakan pop yang berciri, menjadi alternati dari yang banyak di luar sana, namun tetap begitu mudah untuk menempel di kepala.
Lagu berikutnya adalah “Sesaat Harapan Tiba” ciptaan Dedy Gusrachmadi yang dibawakan secara mengesankan oleh Keenan Nasution. Saat itu, Keenan Nasution adalah musisi yang dikenal di kalangan “music enthusiast” Ibukota bersama kelompok musiknya, Gipsy dan “tongkrongan anak band” yang biasa berkumpul di Jalan Pegangsaan, Jakarta. Sampul album ini pun memasang foto Keenan Nasution bersama Donny Fattah dari Godbless dalam sapuan warna oranye. Di kemudian hari Keenan Nasution menjadi salah satu vokalis pop yang semakin dikenal secara Nasional melalui lagu-lagu seperti “Nuansa Bening”, “Zamrud Khatulistiwa”, hingga hit besarnya bersama Gang Pegangsaan berjudul “Dirimu”.
Benny Soebadja kembali mengisi vokal untuk tembang berikutnya, “Apatis” karangan Inggrid Wijanarko. Selain “Kidung”, “Apatis” adalah lagu yang paling dikenal dari album kompilasi ini. Bahkan nyaris segala suara di lagu ini telah menjadi klasik—bukan hanya notasi dan liriknya, melainkan pula “isian” gitarnya. Para musisi generasi berikutnya, dari Ipang hingga Mondo Gascaro pernah membawakan kembali “Apatis”.
Roda-roda terus berputar
Tanda masih ada hidup
Karena dunia belum henti
Berputar melingkar searah
Terik embun, sejuta sentuhan
Pahit mengajuk pelengkap
Seribu satu perasaan
Bergabung setangkup senada
Jurang curam berkeliaran
Tanda bahaya sana-sini
Padang rumput lembut hijau
Itu pun tiada tertampak
Sudah lahir, sudah terlanjut
Mengapa harus menyesal?
Hadapi dunia, berani
Bukalah dadamu
Tantanglah dunia
Tanyakan salahmu
Wibawa
Pada lagu berikutnya, Purnama Sultan kembali tampil untuk “Resah” karangan duo penulis lagu Christ dan Tommy WS. Sebuah melankoli yang megah untuk temaram kesenduan diri. Dilanjutkan kembali oleh Dhenok Wahyudi yang kali ini membawakan karya Baskoro lainnya, “Yang Esa dan Kuasa”. Album menawan Lomba Cipta Lagu Remaja – Dasa Tembang Tercantik 1978 Prambors Rasisonia ditutup oleh karya cipta Dedy Gusrachmadi bertajuk “Awan Putih” yang dinyanyikan oleh Keenan Nasution.
Radio Prambors terus mengadakan LCLR pada 1979 hingga dekade 1980an. Mendengarkan kembali album ini mengingatkan bagaimana pada suatu masa sebuah radio anak muda telah sangat berhasil melahirkan album kompilasi yang memberi ruang ekspresi bagi pencipta lagu remaja dan diapresiasi, dengan mutu kreasi yang tak lekang oleh zaman. Baik ide membuat “kompilasi sendiri” hingga sejumlah karya cipta yang dihasilkannya, terus menginspirasi hingga hari ini. Sebuah kompilasi dasa tembang yang solid.
____
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …