Amerta – Nodus Tollens
Bicara Amerta berarti bicara soal kehadiran saya di beberapa momen perdana band post-metal asal Jakarta ini.
Saya hadir di show Amerta pertama setelah wabah pandemi, tepatnya di acara Pentademic besutan Godplant tanggal 16 Desember 2021. Kabarnya, pertunjukan tersebut juga merupakan pertama kalinya band tampil memakai vokalis, pasca meninggalkan identitas band instrumental di single “Bleeker”.
Formasi saat itu; Raja Panggabean (gitar), Auliya Akbar (drum), Anida Bajumi (bas), dan Indra Purba (vokal, sequencer).
Tidak sampai setahun setelahnya, saya kembali menyaksikan Amerta di Studio Palem (Rest In Peace), tepatnya acara Paguyuban Crowd Surf. Saat itu, Indra sudah digantikan oleh Techa Aurellia, vokalis Pelteras yang sampai saat ini mengisi garda depan Amerta. Panggung itu juga jadi momen perdana band tampil bersama Techa.
Di penampilan mereka saat itu, Amerta membawakan versi cover dari lagu legendaris Almarhum Chrisye bertajuk “Kala Sang Surya Tenggelam” yang menorehkan kesan mendalam di benak saya.
Semua momen serba perdana tersebut akhirnya mengantarkan saya di masa sekarang yang mana akhirnya Amerta melahirkan album perdana mereka, Nodus Tollens setelah sekian lama hanya merilis berbagai single lepasan.
Sebagai seorang penggemar berat unit post-metal tersebut, perilisan Nodus Tollens tentu jadi seperti onak yang akhirnya tercabut setelah sekian lama menempel di kulit. Sederhananya, saya lega. Apalagi saat mengetahui bahwa Ricky Siahaan dari Seringai terlibat sebagai produser di album ini.
Visual yang tertera di sampul album ciptaan Ramzi Firhad tentu jadi perhatian pertama sebelum mendengarkan 10 lagu di dalamnya. Bermodalkan kesan saat mendengarkan single “Bleeker”, “Chevron”, dan “Hejira” yang sudah dirilis sebelumnya, kehadiran warna biru seperti sudah bisa ditebak untuk ditorehkan di sampul. Riff gitar sangar namun terkesan ‘dingin’ adalah alasan mengapa saya memikirkan warna biru setiap mendengarkan single-single tersebut.
Setelah mendengarkan 10 lagu di Nodus Tollens dalam sekali putar sembari menyimak sampul album, perlahan semuanya jadi masuk akal. Buku terbakar, 4 makhluk yang saya curiga bukan manusia, gramofon berbentuk telinga manusia, lantai merah, sampai lukisan di tengah itu semua jadi simbol yang bisa mewakilkan nuansa setiap lagu yang terkesan marah, menakutkan, namun tetap eklektik dan elegan.
Hal menarik lainnya di album ini adalah pemilihan judul yang mengambil istilah psikologi untuk merangkum keseluruhan makna album. Namun, sempat ada pembicaraan di redaksi Pophariini mengenai judul pilihan Amerta ini, apakah mereka tidak sempat riset bahwa istilah Nodus Tollens sudah pernah digunakan menjadi judul album mini sebuah band pop alternatif asal Surabaya yang dirilis bulan Maret 2023 lalu? Entahlah, mungkin akan saya tanyakan sendiri ketika berkesempatan menemui para personel Amerta.
Mari kita bahas lagu-lagu yang berkesan di album ini. Nodus Tollens dibuka dengan trek pertama bertajuk “Argentum”. Sebelum bahas lebih jauh mengenai lagu pembuka ini, saya sempat mengira bahwa Amerta akan membuka album ini dengan nomor instrumental, namun yang saya dapatkan ternyata sebuah lagu penuh berdurasi lebih dari 5 menit.
Paruh akhir lagu “Argentum” tepatnya di menit 3:49 adalah bagian favorit saya. Groove yang dimainkan di part ini sudah menunjukkan keberagaman referensi para personel Amerta. Tidak pernah menyangka, bahwa saya bisa menggoyangkan pundak saat mendengar lagu yang bisa diasosiasikan dengan genre metal.
Bagian yang berjalan sekitar hampir satu menit tersebut ditutup dengan sebuah akor yang membawa imaji seakan menemukan cahaya setelah menjelajahi gua yang panjang.
Lagu “Hejira” juga menarik perhatian di sisi melodi vokal. Lagu yang cukup berat ini dihiasi dengan alunan vokal catchy yang membuat nomor ini jadi salah satu yang enak untuk didengarkan sambil bersenandung.
Kehebatan dari Amerta yang saya sadari selama mendengarkan Nodus Tollens adalah kemampuan mereka membuat komposisi rumit tapi bisa diaransemen untuk bisa diterima oleh pendengar yang mungkin tidak familiar dengan genre post-metal.
Hal tersebut bisa dibuktikan dari betapa dinamisnya lagu “Hejira”, di mana naik turunnya mood lagu terasa tepat. Bagian di mana Techa melantunkan lirik “So let me fall to the void to feel your gaze,” tepat di menit ke 4:00 selalu berhasil membuat saya berdecak kagum dengan kejeniusan komposisi lagu ini.
Seperti yang sudah dibahas di paragraf 5, versi cover “Kala Sang Surya Tenggelam” turut dimasukkan dalam daftar lagu di Nodus Tollens. Lagu ini serta “Citra Hitam” merupakan 2 karya yang membuat saya menyadari bahwa sosok Almarhum Chrisye lebih dari sekadar “Kala Cinta Menggoda” atau “Hip Hip Hura”.
Saya ingat saat pertama kali menyimak “Kala Sang Surya Tenggelam” yang nuansanya begitu gelap dan membuat saya akhirnya mengerti betapa jeniusnya Chrisye. Meski tidak terlalu memikirkannya, namun sepertinya sempat terlintas di kepala bahwa lagu ini sudah tidak bisa dibuat lebih gelap lagi.
Amerta membuktikan saya salah besar. Sejak pertama kali menyaksikan mereka membawakan “Kala Sang Surya Tenggelam” sampai akhirnya direkam proper dan masuk dalam Nodus Tollens, Amerta seakan menunjukkan mereka masih mampu menambah kegelapan lagu dengan menambahkan riff-riff berat ala mereka.
Ngomong-ngomong soal riff, lagu berikutnya yang jadi sorotan adalah “Padam”. Sebuah lagu dengan riff paling badass di album Nodus Tollens. Hal menarik lainnya adalah Lody Andrian, sang pemain synthesizer didaulat mengisi vokal utama di lagu ini.
“Padam” juga saya rasa jadi momen nostalgia Raja dan Akbar yang pernah berkiprah di unit death metal bernama Revenge. Entahlah, ini murni hanya sebuah asumsi.
Meski kerap diasosiasikan dengan genre post-metal, namun “Padam” jadi bukti bahwa Amerta tidak terlalu terlena dengan predikat tersebut. Lagu ngebut di dalam sebuah album band post-metal? Siapa peduli. Jika memang cocok dalam satu rangkaian album, kenapa tidak.
Lanjut ke “Beautiful Ivory” sebagai lagu yang menjadi perhatian. Berdurasi 9:30 menit tidak hanya menjadikan lagu ini sebagai nomor dengan durasi terpanjang, namun juga sebuah sajian paling lengkap di album ini.
Bayangkan di sebuah situasi makan malam, lagu-lagu sebelumnya merupakan hidangan pembuka yang jadi semacam persiapan untuk “Beautiful Ivory” yang merupakan sajian lengkap dari Amerta.
Entah karena semua personel memang sudah pernah berkarya di band-band mereka yang lain, atau karena keterlibatan Ricky sebagai produser, yang jelas “Beautiful Ivory” membuktikan kematangan Amerta sebagai penulis lagu.
Mengapa saya bisa berpikir demikian? Saat pertama kali mendengarkan “Beautiful Ivory”, tidak ada pikiran bahwa lagu ini berlangsung selama itu. Aransemen lagu yang sangat dinamis mampu menipu otak saya yang attention span-nya sudah berkurang karena media sosial ini untuk menyimak.
Sebelum tulisan ini semakin panjang, akhirnya kita sampai di pembahasan lagu penutup album Nodus Tollens yaitu “Tiang Garam”. Di lagu ini, para personel seperti diberikan kesempatan untuk bersinar dengan cara berbeda dibanding lagu-lagu sebelumnya.
Raja harus mematikan semua pedal distorsinya dan memainkan isian gitar yang sepenuhnya clean. Bahkan dalam sebuah obrolan, ia sempat mengatakan bahwa “Tiang Garam” merupakan lagu pertama yang ia ciptakan tanpa menggunakan distorsi di sepanjang kariernya.
Lagu “Tiang Garam” juga tidak menampilkan gebukan penuh agresivitas dari Akbar di drum akustik, namun pukulan repetitif namun menghipnotis di drum machine. Lody sebagai pemain synth juga sangat menonjol di lagu ini.
Untuk Techa, meski menyanyikan lirik bahasa Indonesia di “Kala Sang Surya Tenggelam”, namun “Tiang Garam” merupakan satu-satunya lagu berbahasa Indonesia ciptaan Amerta yang ia nyanyikan.
Sang vokalis utama juga tidak sendiri dalam menyanyikan “Tiang Garam”. Anida yang meninggalkan sementara basnya di lagu ini turut menyumbangkan suara nyanyian dengan melakukan sahut-sahutan bersama Techa.
Setelah ditutup dengan “Tiang Garam”, perjalanan mendengarkan Nodus Tollens akhirnya selesai dan menimbulkan kesimpulan bahwa Amerta memang memiliki pikiran yang cukup terbuka untuk berkarya.
Tidak ada batasan genre dan stereotip dalam kamus mereka. Hal ini mungkin juga berkat pengaruh sang produser yang menurut Raja dalam sebuah sesi wawancara bersama salah satu media cukup meng-embrace ia dan rekan-rekannya untuk menghilangkan batasan-batasan tersebut.
Meski banyak pujian yang saya lontarkan untuk Nodus Tollens di paragraf sebelumnya, namun bukan berarti tidak ada bagian-bagian yang menurut saya agak mengganjal setiap mendengarkan album.
Seperti lagu “Pirouette” yang memang merupakan lagu filler, namun saya selalu berpikir kalau lagu ini tidak ada pun sepertinya album Nodus Tollens akan baik-baik saja. Pikiran tersebut berujung pada ditekannya tombol skip saat lagu itu berkumandang.
Terakhir ada lagu “Chevron” yang merupakan lagu dalam album yang menjadi single kedua setelah “Bleeker”. Entah kenapa nomor ini sepertinya butuh waktu untuk tumbuh dalam benak saya. Mungkin di lain waktu saya akan mengerti dari sisi mana saya bisa mengapresiasi lagu ini.
Namun satu hal yang pasti jika memiliki pikiran yang cukup terbuka, kalian akan suka dengan album Nodus Tollens dari Amerta. Tantangan bagi Amerta adalah, apakah pendengar musik keras yang terbiasa dengan kaidah-kaidah stereotip musik rock dan metal kolot bisa mereka jaring dengan suguhan segar ini? Atau tidak perlu dan biarkan semua menikmati pilihannya masing-masing.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo
Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …
Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi
“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11). Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …