Ardhito Pramono – Wijayakusuma

Jul 22, 2022

Mengetahui pendewasaan seorang musisi lewat karya adalah sesuatu yang menyenangkan. Pada momen-momen tersebut, saya menemukan ada sebuah semangat bagi musisi untuk mencari dan mengeksplor musik lebih dalam lagi dalam tingkatan lebih tinggi, baik secara gagasan sampai ke produksi, dibandingkan dengan apa yang pernah mereka buat sebelumnya.

Hari ini, ketika kita bicara tentang Ardhito Pramono, saya menemukan nuansa kebangkitan musikalnya di Wijayakusuma.

Kita melihat bagaimana Isyana Sarasvati dengan LEXICON-nya yang membuka carkrawala baru buat fans-nya. Atau Maliq & D’Essentials bisa terdengar lebih grande di Musik Pop, The Brandals dengan DGNR8, Pure Saturday dengan Grey-nya, The S.I.G.I.T dengan Detourn-nya. Hari ini, ketika kita bicara tentang Ardhito Pramono, saya menemukan nuansa tersebut di Wijayakusuma.

Debut studio album (terlepas dari album anak-anak, Semar & Pasukan Monyet) perdana ini adalah rangkaian perjalanannya dari beberapa EP yang dibuat sejak 2017. Saya melihat ada banyak dinamika terjadi di sana, baik secara musikal maupun perjalanan hidup pribadinya sebagai musisi dan manusia pada umumnya.

ketertarikannya sejak dulu akan pusparagam musik Indonesia berbuah kepada penulisan musik dengan unsur ke-Indonesiaan yang luar biasa di album Wijayakusuma ini.

Di musik, beberapa pengaruh dari pertemuan-pertemuan maupun proyek kolaborasi bersama musisi, terkhusus Candra Darusman, Swaragembira serta ketertarikannya sejak dulu dengan pusparagam musik Indonesia berbuah kepada penulisan musik dengan unsur ke-Indonesiaan yang luar biasa di album Wijayakusuma ini.

Sedangkan sebagai manusia, dinamika jatuh bangun dan masa terang gelap sebagai musisi yang dilaluinya memberikan pengalaman berarti dalam penulisan lirik menjadi lebih matang. Simak “Wijayakusuma”, single yang menjadi wakil dari titik balik perjalanan ini.

“Wijayakusuma” digubah dengan amat sempurna, Ardhito menggaet Narpati Awangga aka Oomleo untuk meng-grafir setiap inci lirik dengan perbendaharaan kata-kata yang indah. Bersama Gusti I.R., musik di lagu ini tertata dengan megah, memboyong barisan orkestra menjadikan lagu ini naik kelas, layak ditampilkan di Gedung Kesenian Jakarta atau Graha Bakti Budaya. Belum lagi aransemen langgam karawitan Jawa yang menambah kokoh dan gagah suasana lagu membuat Guruh Soekarno Putra jadi bangga.

“Wijayakusuma” digubah dengan sangat sempurna

Selain single “Wijayakusuma”, beberapa lagu yang lain hadir dalam suasana pop jazz Indonesia (atau yang anak muda sekarang dikenal dengan istilah banal City Pop) yang kurang lebih sama. Gagasan konsep pop kreatif akhir 70 / 80-an dari mid tempo groove dan samba yang tergambar dalam “Kesan Pertama” tergambar jelas begitu pun “Daun Surgawi” dan “2 Jam”. Mendengarkannya membuat saya kembali mengenang dengan dua album klasik Candra Darusman era 80-an. Warna suara Ardhito yang sepintas datar memberikan kesan Candra muda berbalut tipis Michael Franks menjadi kekuatan tersendiri di album ini.

“Daun Surgawi” menarik perhatian saya, penulisan liriknya sangat baik, penggunaan majas yang menyelimuti menjadikan lagu ini indah. Secara tak langsung, saya yang juga mengaggumi majas “asap nirwana” di lagu “Melayang” nya Januari Christy merasa terkoneksi dengan lagu ini. Anggun!

Warna suara Ardhito yang sepintas datar memberikan kesan Candra muda berbalut tipis Michael Franks menjadi kekuatan tersendiri di album ini.

Sisa di album ini adalah komposisi-komposisi “Berdikari”, “Rasa-rasanya” dan “Asmara” gaya swing dan laidback  yang menjadi ciri khas Ardhito yang diangkat lagi level aransemen dan penulisan liriknya menjadi sangat elegan.

Overall, lewat album Wijayakusuma, Ardhito berhasil melewati titik balik kebangkitan eksistensinya di musik dengan merayakan pop kreatif Indonesia dengan sangat baik. Terlepas dari ini mungkin di Indonesia sekadar tren, namun tak ada yang lebih bagus daripada merayakan ini untuk membuktikan bahwa Indonesia memang punya tren musik yang bagus untuk di kemudian hari bisa di-eksplor secara lebih jauh dan dalam.

_____

 

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

We Are Neurotic Mempersembahkan Album Mini Terbaru Asian Palms

Trio disco dan jazz asal Jakarta, We Are Neurotic menutup tahun 2024 lewat perilisan album mini terbaru yang diberi nama Asian Palms (13/12) bersama C3DO Recordings sebagai label naungan.     Album Asian Palms …

Yella Sky Sound System Rayakan 1 Dekade Lewat Album Mini The Global Steppers

Unit dub kultur sound system asal Jakarta, Yella Sky Sound System merayakan satu dekade eksistensi lewat perilisan album mini terbaru bertajuk The Global Steppers (20/12). Dipimpin oleh produser sekaligus selektor Agent K, album mini …