Bangka: Geliat Musik di Pangkalpinang & Sungailiat
Pertengahan tahun 2017 kali pertamanya menginjakan kaki di Negeri Serumpun Sebalai (semboyan dari Kepulauan Bangka Belitung). Hal yang paling terekam ketika saya mendengar kata Bangka adalah sebuah daerah kepulauan dengan serba-serbi ambience pantai. Mungkin karena pada saat itu film Laskar Pelangi yang dialihwahanakan dari novel karya Andrea Hirata lah satu-satunya gerbang yang merepresentasikan perasaan dan pikiran saya mengenai ada hal apa saja di pulau ini.
Selain mendapat informasi dari film, mendengar kata Bangka tentu saja langsung spontan teringat dengan hok lo pan, atau lebih populernya martabak. Makanan khas yang satu ini memang sudah banyak diketahui oleh sebagian orang di banyak penjuru Nusantara. Namun selain itu, pulau ini adalah salah satu daerah dengan penghasil mineral timah terbesar di Indonesia.
Pulau yang terletak di sebelah Utara dengan Laut Natuna dan di sebelah Selatan dengan Laut Jawa, serta masih termasuk dari wilayah bagian Selatan Sumatera, meskipun memang sudah mengalami pemekaran wilayah menjadi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak 22 tahun lalu. Namun secara teritorial, Kota Palembang adalah wilayah Sumatera paling memungkinkan dan cukup dekat untuk dijangkau jarak tempuhnya melalui pelabuhan penyeberangan Tanjung Kalian Muntok, Bangka Barat.
Hal lain dalam kultur sosial-budaya, penduduk Pulau Bangka ini semula dihuni orang-orang suku laut, yang telah terakulturasi. Terakulturasi dari banyak suku, ditambah lagi dengan kedatangan orang-orang Minangkabau, Flores, Bugis, Batak, Jawa, Malaka, Sunda, Aceh dan beberapa suku lain yang sudah melebur. Lalu jadilah suatu generasi baru: Orang Melayu Bangka Belitung.
Geliat Musik Lokal Circa 2017-2022
Dari sekian banyak yang sudah saya sebutkan, satu hal lain yang menarik untuk dibahas juga adalah geliat ekosistem musik yang dibangun berdasarkan jejaring pertemanan. Coba kita tarik dulu ke belakang, dengan catatan saya akan menceritakan sedikit banyak tentang bagaimana skena musik lokal kota ini dimulai circatahun 2017 – sampai saat ini. Pasalnya, jauh saat tahun-tahun sebelumnya saya banyak tidak tahu, karena memang belum pernah ke Bangka dan belum tinggal di Kota Pangkalpinang serta Sungailiat sekaligus, saat itu.
Adanya sebuah narasi, cukup punya peran penting untuk kemajuan sebuah kota dengan skena musik yang terus tumbuh berkembang secara dinamis seperti Kota Pangkalpinang dan Sungailiat dengan generasi yang terus datang silih berganti. Namun ada yang amat disayangkan, untuk urusan dokumentasi dan arsip, kota ini agak terlalu abai dan apatis. Alhasil banyak cerita atau peristiwa yang sampai detik ini hanya tersimpan di ingatan kolektif atau tercecer di berbagai banyak tempat dengan beragam cerita romantisme-nya: (Distorsi Akhir Tahun, Semut Hitam, Pangkalpinang Bergerak, Maen Benar, KxOxS, Perspektif Lokal, Backhome, Kantin Berisik, Dll) tentang bagaimana geliat musik, wabil khusus pada gelombang Sidestream/Indie/Underground atau apapun itu penyebutannya, bisa terus tumbuh sedemikian berkembang hingga sekarang.
On The Track Dalam Ritme Yang Lambat
Berbicara soal skena musik di Pangkalpinang, ada sosok yang menurut saya sangat cocok untuk diajak ngobrol. Dia adalah Dendy Revolusi, seseorang yang agak sulit untuk dideskripsikan sebagai apa, sudah lama menggeluti industri musik bersama Hollywood Nobody sejak 2005, saat semasa kuliah dan kerja di kota Bandung. Disamping itu, Dendy Revolusi ini adalah salah satu motor penggerak yang punya peran penting dan terlibat langsung di dalamnya. Membahas soal skena musik di Pangkalpinang, banyak ide-ide out of the box yang dia tuangkan bersama dengan Kolektif Anti–Maen Benar–Club dan grup musik barunya, Hozhayate.
Unit super-sonic rock bernama Hozhayate yang memulai debutnya di bulan April 2019. Salah satu nomor terbaik versi saya ada di single berjudul Panmau (Panti Maut) yang berhasil masuk nominasi Extreme Moshpit Awards 2020 kategori Music Video. Panmau lahir atas kegelisahan dari para personil mengenai citra buruk salah satu panti asuhan yang berujung maut, cerita tragis dibalik sebuah kegelisahan, sebuah panti asuhan maut berstatus illegal yang mengurung manusia untuk dijadikan materi belas kasihan. Diorganisir untuk mengemis, hingga jual beli anak manusia. Kisah ini dibungkam sampai akhirnya tersiar berita tewasnya seorang balita secara tak wajar, sungguh ironi.
“Industri kreatif khususnya dalam koridor musik di Bangka hari ini sih cukup berkembang, namun masih jalan di tempat, tidak dalam kecepatan seperti berbagai daerah di luar sana serupa Palembang, Bandung, Jakarta, Jogja, atau berbagai kota lain di daerah lainnya. Ya bisa dikatakan on the track tapi dalam ritme yang lambat.” Tutur Dendy Revolusi, Senin (10/01). Pegiat dari kolektif Anti–Maen Benar–Club.
Band-Band Lokal Lintas Genre
Ada beberapa musisi besar yang dilahirkan di Bangka seperti mendiang Idang Rasjidi sang Maestro Jazz Indonesia, atau bahkan Herry “Ucok” Sutresna (Homicide) yang sudah tidak asing lagi terdengar melanglang buana di industri musik arus pinggir. Hal itu merupakan salah satu stimulus yang membuat kawan-kawan selalu semangat untuk melakukan hal-hal baru, serta lebih percaya diri lagi dalam urusan menghasilkan karya. Sampai pada akhirnya, dari situ lah mulai banyak kawan-kawan yang cukup sadar untuk mulai produktif dalam mengorganisir berbagai komunitas baik secara mandiri maupun–terdesak–menerima tawaran dari sponsor.
Lima tahun terakhir, dengan adanya bantuan dari kelompok kolektif Maen Benar, KxOxS, dan Perspektif Lokal sebagai ruang yang memberi jalan alternatif untuk saling bersinergi antar satu sama pegiat lainnya yang terlibat di wilayah musik, etc. Tanpa mengklasifikasi antar satu sama lain, berangkat dari situ pun akhirnya tak sedikit band-band lokal lintas genre sudah mulai punya karya sendiri berupa Single, EP, atau bahkan Album, mulai dari band: Trajank (Death Metal), Trinots (Pop Industrial), Hozhayate (Super-Sonic Rock), Gilobabi (Punk), Mi’raj (Stoner/Doom), Crispy Sunday (Reggae-Dub), Sisi Lain (Post-Rock), Cento R&B (Hip-Hop), Jamstyle (Roots Reggae), Backyard (Emotive-Punk), Navel Rox (Punk-Rock), Anklebiters (Heavy Metal), Kill The Pain (Emotive), Ade Gawe (Roots Reggae), Krokodils (Surf-Rock), dan bahkan seperti Shandya (Pop-Folk) yang telah berhasil dengan penuh effort menginjakan debut pertamanya di panggung Soundrenaline, Bali 2019.
Selain di wilayah musik itu sendiri, banyak movement yang bermunculan dalam ruang lingkup kolektif lainnya. Ada rumah produksi: Ruang Imaginer (RIG), visual artist: Kawa Kutak-Katik, records label: Crusades Records, komunitas film: Makitem Project, Stenga.Stenga Live Session, serta media yang dikelola secara mandiri: Fenetrasi Magazine. Semua spektrum itu saling bersinergi membantu satu sama lain demi kemajuan dan perkembangan kreatifitas lokal di Pulau Bangka.
Minimnya Fasilitas Studio Rekaman Yang Proper
Selanjutnya mari kita geser ke kota Sungailiat, sosok yang akan saya tanyakan perihal bagaimana pola kreatif beserta ekosistem musik di kota ini berjalan. Ya, Rendi Felani atau akrab dengan panggilan Konyex, sosok yang masih konsisten di garis pantai dengan aktivitas surfing dan skimboard bersama komunitas Study Wave sejak 2014. Selain itu, dia telah melahirkan beberapa karya bersama grup musik reggae-dub kawakan Crispy Sunday. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah single mereka berjudul 39/19.°F-17 CS° yang dirilis tahun 2018 lalu, menceritakan tentang bagaimana perjuangan Fidelis ketika merawat sang istri, menanam cannabis untuk pengobatan istrinya yang menderita syringomyelia, namun berakhir dengan tragis.
“Di kota Sungailiat sendiri, semangat kawan-kawan masih cukup bagus. Tapi ada beberapa alasan yang menghambat pola produksi musik disini. Mulai dari kurangnya fasilitas studio rekaman yang memadai, alat musik beserta fx-sound, dan masih jarangnya menemukan sound engineer yang sesuai/paham dengan karakter atau selera musik kita, serta mampu mewujudkan sound musik yang diinginkan saat rekaman. Baik balancing, mixing, mastering sesuai kebutuhan dari band itu sendiri. Jamaican music: baik reggae-dub, dance hall, d&b, dan rock steady yang sesuai rootsnya bisa membawa karakter Crispy Sunday sampai saat ini. Disamping itu, single berjudul 39/19.°F-17 CS° juga ada yang mau kami dibenahi dan dirombak lagi, baik secara musik serta lirik agar lebih maksimal.” Ungkap Rendi a.k.a Konyex saat saya tanyakan Rabu (12/01) via kolom chat WhatsApp.
Fluktuasi Dan Konsistensi
Dari kedua kota tersebut, saya ingin sedikit menyimpulkan berdasarkan dari kacamata awam: bahwa denyut musik di dua kota ini masih bisa dibilang cukup on fire, bahkan haus akan hal-hal baru. Namun ada satu hal yang perlu digarisbawahi, tentang bagaimana terbentuknya kesadaran dari orang/komunitas sebagai penjaga ritme agar tetap konsisten dengan apa yang selama ini telah dijalankan.
Melalui pengamatan pribadi beberapa waktu belakangan, ada alasan yang mendasari kenapa iklim kota hari ini cukup sedikit jenuh, paling tidak dalam geliat musik arus pinggirnya. Hal pertama kita harus menerima kenyataan atas dampak badai pandemi tahun kemarin yang mengakibatkan siklus event/gigs yang jarang, bahkan nihil. Selanjutnya mengenai keberadaan media musik yang belum representatif, sebagai sarana dokumentasi/arsip sebuah skena di suatu daerah. Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, yang saya tahu pun hanya Pingeras (PING!), Kolega.id, dan Fenetrasi Magazine untuk saat ini. Atau mungkin era dahulu juga ada, namun tidak tersimpan dengan baik, alhasil susah terlacak.
Terakhir, selain jelajah wisata, dan kulinernya yang tersohor, Bangka adalah salah satu rute yang sering kali dilewatkan apabila ada band-band yang sedang Tour Sumatera. Mungkin, lagi-lagi karena faktor letak geografis yang harus menyebrangi perairan laut terlebih dahulu, atau karena perkara networking yang memang belum tersimpulkan dengan baik dalam setiap agenda tour yang menjadi alasan lain disaat mereka melaksanakan ibadah tour-nya. Padahal disamping itu semua, Bangka adalah tempat yang menarik dan cukup menantang untuk dikunjungi.
Rofi Jaelaani Seorang medioker, mempunyai ketertarikan terhadap musik, buku, dan motorcycle. Sedang menyelesaikan babak akhir perkuliahan, serta aktif menulis untuk kebutuhan fanzine. Bangka adalah rumah kedua setelah kampung halaman. IG: @rofijaelaani
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …
Bising Kota Yogyakarta – Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi Karier?
Setelah Denpasar dan Bandung, Diskusi Bising Kota lanjut ke titik terakhir tahun ini, Yogyakarta. Acara ini berlangsung hari Rabu (07/08) di JRNY Coffee & Records. Dengan tema Masih Relevan Band Hijrah ke Jakarta Demi …
Make Bangka Great Again!
Untuk geliat dr tahun 2014-2017 semut hitam yg paling punya andil menurut saya. Silahkan cari b.andi “united rock” dan alex di kota pangkalpinang
Oh iya, lokasinya di bukit baru , pangkalpinang, anda akan dapat berita yg lebih banyak lagi tentang geliat musik. Ceritanya Nggak cuma di sungailiat dan kota pangkalpinang saja. Masih banyak lagi bung
Selama tinggal di Bangka sejak 2016 sampai sekarang, skena musik Bangka memang kurang terdengar gaungnya. Dan selalu disayangkan bila band2 ternama jarang sekali tampil di kota ini.