Shaggydog: Angkat Sekali Lagi Gelasmu Kawan – Ardhana Pragota

Feb 21, 2022
Buku Shaggydog

Buku musik lokal adalah kabar baik yang terus hadir dalam industri musik kita di kala pandemi ini. Seolah terus menemukan jalannya untuk tetap terbit ke hadapan kita. Termasuk yang satu ini langsung dari Nogosari, Yogayakarta. Buku biografi Shaggydog: Angkat Sekali Lagi Gelasmu Kawan yang ditulis oleh Ardhana Pragota ini hadir menggenapi usia sextet yang genap ke 24 tahun 2021 lalu. Lengkap dengan detail-detail cerita kecil yang menyenangkan

Setebal kurang lebih 150 halaman kita akan diajak kilas balik ke cerita awal terbentuknnya Shaggydog. Bahkan jauh sebelum terbentuk dan masih menggunakan nama band, Lampoe. Juga bagaimana perjumpaan pertama Heru dengan Raymon. Menyusul dengan Bandiz, Richad, Lilik dan Yoyo sehingga Shaggydog terbentuk. Naik-turun karir mereka hingga kondisi terbaru saat ini.

Buku biografi ini hadir menggenapi usia sextet yang ke 24 tahun 2021 lalu. Tidak hanya sejarah terbentuknya Shaggydog, juga lengkap dengan detail-detail cerita kecil yang menarik dan menyenangkan

Biografi musik selalu menarik bila berhasil mengupas tidak hanya sejarah dan lingkup seputar proses kreatif karya tapi juga bagaimana pengaruh lingkungan sosial politik bagi si musisi dan dampaknya bagi mereka. Hal ini semuanya dibahas dengan menarik melalui empat bab: Rude Boy, Boom SKA, Bersinar, dan Masih Bersama. Plus bonus bab, Melihat Shaggydog Lewat Data.

Pengaruh lingkungan sosial politik Indonesia saat itu yang berimbas pada ideologi bermusik dan roots (akar musik) Shaggydog menjadi hal penting dibahas di buku ini.  Mendasari dan mengesahkan Shaggydog dalam mengambil perannya dalam subkultur anak muda dengan menjadi band reggae/ska yang paling penting di Indonesia saat ini. Perjalanan yang tentunya tidak selalu berjalan mulus. Dan jadi hal menarik yang berhasil dihadirkan di buku ini.

Bagaimana Hai, majalah remaja saat itu di akhir 90an yang sering membahas soal musik barat terutama soal musik punk berserakan di antara botol-botol anggur koleseum menjadi piranti riset di laboratorium mereka.

Penjabaran apa itu musik “underground” bagaimana bisa jadi alat dan simbol perlawanan termasuk juga ideologi punk yang kemudian menyatukan remaja di seluruh kota besar Indonesia termasuk Jogjakarta. Ardhana tidak lupa memetakan komunitas subkultur musik anak muda di Yogyakarta era itu, serta tentunya juga bagaimana budaya alkohol menjadi bagian penting dari pergerakan anak muda saat itu. Detail-detail kecil ini menarik. Bagaimana Hai, majalah remaja saat itu di akhir 90an yang sering membahas soal musik barat terutama soal musik punk berserakan di antara botol-botol anggur koleseum menjadi piranti riset di laboratorium mereka.

Persoalan riset dan keterpatuhan anak-anak muda saat itu pada musik ini juga yang menguatkan Shaggydog, tapi juga sekaligus bumerang yang bahkan sempat membuat Shaggydog terpuruk dan nyaris dikatakan bangkrut. Karena perihal bergabungnya Shaggydog dengan label mayor juga ternyata melalui banyak pertimbangan dari komunitas independen saat itu.

Bahkan sempat terjadi mediasi untuk dicari jalan tengah, karena ternyata idealis tidak dapat menghidupi mereka yang nyaris bangkrut. Seperti diceritakan di Bab 2, Boom Ska. Bab yang buat saya paling menarik di buku ini, selain sosial politik dan juga membahas soal eksploitasi genre musik ska oleh industri musik Indonesia pada saat itu. Tidak luput benih-benih “polisi skena” yang kritis sudah hadir dalam bentuk junjungan tinggi terhadap kemurnian ideologi genre musik dalam hal ini, punk.

pembahasan detail peralbum lainnya terasa mengendur di akhir buku. Karena pembahasan album keempat mereka, Kembali Berdansa yang fenomenal dan masuk ke dalam 150 Album Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia terasa tanggung

Kudos untuk Ardhana Pragota dalam melakukan riset dan memilahnya menjadi bab-bab yang menyenangkan dan menarik untuk dibaca. Meskipun begitu bukannya tidak berarti ada kekurangan juga di buku ini. Seperti dari total enam album, pembahasan detail peralbum lainnya terasa mengendur di akhir buku. Padahal bisa difokuskan ke satu-dua album terpenting saja yang dibahas mendalam. Karena pembahasan album keempat mereka, Kembali Berdansa yang fenomenal dan masuk ke dalam 150 Album Indonesia Terbaik versi Rolling Stone Indonesia terasa tanggung.

Plus dengan keterlibatan sponsor di buku ini rasanya tidak berlebihan kalau berharap Shaggydog bisa menerbitkan buku foto khusus ke depannya. Mengingat keterlibatan nama seniman kontemporer besar Jogja, Angki Purbandono dan Agan Harahap untuk mengkurasi foto-foto ekslusif di buku ini yang terasa tanggung. Karena foto-fotonya hadir hanya sebagai penguat tulisan semata dengan kualitas gambar yang secukupnya untuk buku. Selain buku biografi, buku foto Shaggydog rasanya adalah penghargaan yang sudah sangat pantas untuk mereka. Mungkinkah boleh berharap akan buku foto Shaggydog, di perayaan ulang tahun Shaggydog ke 25 tahun di 2022 ini?

 

 


 

 

 

 

Penulis
Anto Arief
Suka membaca tentang musik dan subkultur anak muda. Pernah bermain gitar untuk Tulus nyaris sewindu, pernah juga bernyanyi/bermain gitar untuk 70sOC.

Eksplor konten lain Pophariini

Wijaya 80 Rilis Single Terakhir Kali, Selangkah Lebih Dekat Menuju Mini Album

Wijaya 80, band trio yang mengusung tema pop 80an, meluncurkan single “Terakhir Kali” (06/12).      Lebih dari sebuah karya musik, tembang ini menjadi refleksi emosional tentang rumitnya perjalanan cinta sekaligus penanda babak baru …

Maudy Ayunda Rayakan Kerapuhan dan Ketangguhan Manusia di Album Keempat

Penyanyi dan penulis lagu, Maudy Ayunda, kembali menghiasi blantika musik Indonesia dengan merilis album studio keempatnya, Pada Suatu Hari (03/12). Album ini menampilkan sisi artistiknya yang lebih matang dan autentik—baik dalam bermusik, maupun bercerita. …