Bumi Jangan Marah: Memahami Bencana Lewat Musik

Pendekatan lewat budaya populer perlu dipikirkan untuk menyadarkan masyarakat yang lebih percaya kata-kata grup sebelah ketimbang analisis ilmiah.
Sudah lebih dari empat dekade “Kolam Susu” milik Koes Plus menjadi nina bobo untuk ijo royo-royo-nya hidup di tanah surga. Yok Koeswoyo boleh menuliskan tiada badai tiada topan kau temui namun pada kenyataannya di negara kepulauan ini ada tiga lempeng bumiyang terus bergerak serta 129 gunung api aktif yang membuat Indonesia mempunyai resiko kerawanan terhadap tsunami dan gempa bumi. “Masih banyak masyarakat yang bahkan belum tahu jika mereka hidup di daerah rawan bencana. Ini problem paling krusial,” jelas Dwie Irmawaty Gultom, praktisi komunikasi sains dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hal ini yang membuat Ebiet G. Ade sampai perlu bertanya, “mengapa di tanahku terjadi bencana?”. Juga Efek Rumah Kaca harus memohon agar hujan jangan marah meski mereka selalu suka sehabis hujan di bulan Desember. “Pemberian pemahaman tentang bencana sejauh ini sifatnya terlalu ilmiah dan cenderung menakutkan, sementara masyarakat punya tingkat pemahaman yang berbeda-beda,” ujar Irma, sapaan akrabnya. Dirinya meyakini perlu cara yang lebih sederhana untuk menyadarkan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana kepada masyarakat. “Medium musik punya potensi untuk mendidik masyarakat kita karena musik lebih mudah dipahami serta lebih menyenangkan.”
Sejauh ini aktivitas-aktivitas musisi terkait isu bencana sebagian besar masih dilakukan dalam koridor kegiatan pengumpulan donasi publik untuk korban bencana dalam bentuk konser amal. “Buat musisi tentu lebih mudah untuk menyumbang dalam bentuk lagu karena nada bisa menyentuh perasaan banyak orang,” terang pengamat musik, Adib Hidayat. Ia menyebutkan konser Live Aid sebagai contoh paling konkrit.
Live Aid adalah pentas kolosal yang diadakan tanggal 13 Juli 1985 oleh penyanyi sekaligus aktivis, Bob Geldof. Bersama koleganya, Midge Ure, Bob mengadakan konser musik yang digelar serentak di London, Inggris dan Philadelphia, Amerika Serikat ini untuk mengumpulkan dana penanggulangan kelaparan di Ethiopia.

Live Aid, 1985. Foto: https://edition.cnn.com/2015/07/01/entertainment/gallery/live-aid-30-years-where-are-they-now/index.html

Eksplor konten lain Pophariini
Band Stoner Rock Tasikmalaya, White Hovse Luncurkan Album The Mighty One
Band heavy/stoner rock asal Tasikmalaya, White Hovse resmi meluncurkan album penuh perdana dalam judul The Mighty One hari Kamis (01/05). Dalam album ini, band menghadirkan total 8 lagu dengan jumlah durasi lebih dari 35 …
Pemuntjak Jadikan Single Penawar Medium untuk Refleksi Diri
Setelah merilis single “Pertunjukan Kota Impian” 2 tahun lalu, kini band pop alternatif asal Yogyakarta bernama Pemuntjak kembali dengan materi anyar berupa single dalam tajuk “Penawar” hari Jumat (25/04). Pemuntjak yang terbentuk …