Bumi Jangan Marah: Memahami Bencana Lewat Musik

Oct 25, 2018

Pendekatan lewat budaya populer perlu dipikirkan untuk menyadarkan masyarakat yang lebih percaya kata-kata grup sebelah ketimbang analisis ilmiah.  

Sudah lebih dari empat dekade “Kolam Susu” milik Koes Plus menjadi nina bobo untuk ijo royo-royo­-nya hidup di tanah surga. Yok Koeswoyo boleh menuliskan tiada badai tiada topan kau temui namun pada kenyataannya di negara kepulauan ini ada tiga lempeng bumiyang terus bergerak serta 129 gunung api aktif yang membuat Indonesia mempunyai resiko kerawanan terhadap tsunami dan gempa bumi. “Masih banyak masyarakat yang bahkan belum tahu jika mereka hidup di daerah rawan bencana. Ini problem paling krusial,” jelas Dwie Irmawaty Gultom, praktisi komunikasi sains dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Hal ini yang membuat Ebiet G. Ade sampai perlu bertanya, “mengapa di tanahku terjadi bencana?”. Juga Efek Rumah Kaca harus memohon agar hujan jangan marah meski mereka selalu suka sehabis hujan di bulan Desember. “Pemberian pemahaman tentang bencana sejauh ini sifatnya terlalu ilmiah dan cenderung menakutkan, sementara masyarakat punya tingkat pemahaman yang berbeda-beda,” ujar Irma, sapaan akrabnya. Dirinya meyakini perlu cara yang lebih sederhana untuk menyadarkan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana kepada masyarakat. “Medium musik punya potensi untuk mendidik masyarakat kita karena musik lebih mudah dipahami serta lebih menyenangkan.”

Sejauh ini aktivitas-aktivitas musisi terkait isu bencana sebagian besar masih dilakukan dalam koridor kegiatan pengumpulan donasi publik untuk korban bencana dalam bentuk konser amal. “Buat musisi tentu lebih mudah untuk menyumbang dalam bentuk lagu karena nada bisa menyentuh perasaan banyak orang,” terang pengamat musik, Adib Hidayat. Ia menyebutkan konser Live Aid sebagai contoh paling konkrit.

Live Aid adalah pentas kolosal yang diadakan tanggal 13 Juli 1985 oleh penyanyi sekaligus aktivis, Bob Geldof. Bersama koleganya, Midge Ure, Bob mengadakan konser musik yang digelar serentak di London, Inggris dan Philadelphia, Amerika Serikat ini untuk mengumpulkan dana penanggulangan kelaparan di Ethiopia.

Live Aid, 1985. Foto: https://edition.cnn.com/2015/07/01/entertainment/gallery/live-aid-30-years-where-are-they-now/index.html

1
2
3
4
5
Penulis
Fakhri Zakaria
Penulis lepas. Baru saja menulis dan merilis buku berjudul LOKANANTA, tentang kiprah label dan studio rekaman legendaris milik pemerintah Republik Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sehari-hari mengisi waktu luang dengan menjadi pegawai negeri sipil dan mengumpulkan serta menulis album-album musik pop Indonesia di blognya http://masjaki.com/

Eksplor konten lain Pophariini

Grrrl Gang Jadi Kolaborator Last Dinosaurs untuk Versi Baru Lagu Eleven

Band indie rock asal Australia, Last Dinosaurs mengajak Grrrl Gang untuk berkolaborasi dalam perilisan single “Eleven (Alternate Version)” yang resmi beredar hari Jumat (11/10). Sebelumnya, single ini sudah rilis tahun 2018 lalu dalam album …

for Revenge Beri Nuansa Emo 2000-an di Single Baru Semula

Setelah menghadirkan single “Sadrah” dan “Penyangkalan”, for Revenge kembali dengan single baru “Semula” hari Kamis (10/10). Single ini merupakan kelanjutan dari cerita yang ditawarkan 2 karya sebelumnya.     “Single terbaru for Revenge ini …