Catatan Akhir Tahun: Kabar Heavy Metal di Tengah Gelombang

Dec 30, 2021
metal indonesia

Pertanyaan yang tersisa sekarang, setinggi apa bendera heavy metal Indonesia bisa berkibar di tengah gelombang pandemi yang masih merongrong di sepanjang tahun 2021 ini?

Memperbincangkan kancah musik metal di Indonesia dalam setahun terakhir ini tampaknya agak sulit sebab apinya mungkin kurang membara sampai menjilat angkasa. Nyaris sama dengan tahun 2020 lalu, kondisinya memang sedang tidak ideal dan kurang memungkinkan. Alasannya masih sama, gara-gara gelombang pandemi Covid-19 yang belum juga menyingkir dari hadapan kita.

Ini saya masih bicara soal tur dan konser metal yang biasanya jadi sebuah peristiwa sekaligus perayaan budaya. Oke, kalau pun ada gigs di sekitar anda itu pasti tidak ideal dan cenderung terpaksa atau dipaksakan. Gigs kecil-kecilan di lokasi tersembunyi yang dirahasiakan dan penuh dengan segala pembatasan? Terus terang, itu bukan sesuatu yang ideal, kan?!

Kalau boleh jujur, segala bentuk konser virtual, live session, ataupun live streaming ternyata tidak juga bisa melegakan. Iya kan? Ngaku saja deh. Mulai bosan, kan? Anda kangen hadir dan bersenang-senang dalam konser cadas yang semestinya?

Ya, sama. Kita semua juga begitu. Bahkan kaos metal di lemari anda itu juga pingin dipakai di konser. Saya masih menyimpan kaos Vox Mortis dan Extreme Decay dalam kondisi terbungkus rapi karena memang belum ada gigs. Saya tidak punya alasan bagus untuk memakainya kemarin atau hari ini.

Memang pada hakikatnya band metal itu kudu ada di panggung dengan semangat, keringat dan moshpit yang nyata. Saya bisa memahami mengapa Seringai atau band lainnya belum mau diajak konser online sampai detik ini. Amplifiertak akan pernah bisa memanas di hadapan crowd yang duduk di kursi. Saya pun masih percaya hal akan tersebut.

Sampai di sini saya juga makin menyadari akan satu hal yang esensial: bahwa komunitas metal itu memang butuh interaksi sosial dalam bentuk fisik. Bertemu langsung. Tatap muka. Berbincang. Adu kibasan kepala dan rambut. Berbagi kepalan dan sedikit tabrakan badan. Pertemuan hangat antara hasrat dan keringat di satu tempat. It is and always be.

Itu juga tenyata karakter masyarakat pencinta (produk) analog. Jangan pernah ragukan loyalitas fans musik metal dalam mengonsumsi aneka rilisan fisik maupun merchandise. Coba cek saldo Seringai dari omzet merchandiseterakhir mereka, kalau tidak percaya. Sampai di sini anda juga pasti merindukan event Record Store Day, Cassette Store Day, maupun agenda record fair lainnya yang terpaksa libur selama dua tahun terakhir ini. Kapan terakhir kali anda tawar-menawar harga kaset Serigala Militia atau plat Beyond Coma and Despair di lapakan?

Sengaja saya luapkan dulu segala geram dan keluhan pada paragraf-paragraf awal ini. Toh, kita semua sudah sangat paham dan sadar akan kondisi yang belum ideal ini. Ya, mau bagaimana lagi? Kita masih berada di persimpangan antara beradaptasi, pasrah, nekat, atau curi-curi kesempatan belakangan ini.

Sore kemarin saya melirik pada statemen poster Komunal yang tertempel di tempat kerja saya: “Selamat menikmati heavy metal tetap berkibar!”. Uhm, apa iya hal itu bisa terjadi di sepanjang tahun 2021?

Ternyata, kita masih bisa saja menemukan hal-hal menarik dari kancah metal Indonesia selama setahun belakangan ini. Tanpa potensi panggung pun, band-band metal memilih untuk sibuk menulis dan merekam materi musiknya. Hasilnya ada sejumlah album metal yang menarik dan seru untuk disimak. Oke, tidak hanya metal dengan segala turunannya saja, melainkan juga ada punk, hardcore, grindcore, atau segala genre musik yang masih akur dengan kuping para metalhead.

Setahun ini saya telah mencatat dan bisa merekomendasikan album-album bagus seperti Labirin (Carnivored), Pissed (Angry Retards), Avignam Jagat Samagram (Vox Mortis), Narasi Penantang Dari Lanskap Yang Ditinggalkan (Nectura), Rahuru Sonik Tanah Koloni (Domesticrust), First Installment dan Second Installment (Koil), Entrance Into Terrifying Imagery (Viscral), Ritus Hancur (Ametis), The Most Complete Discography (Anjing Tanah), Humanrage (Humanimal x Outrage), Mersault (Sacred Witch), Satir Getir (Godless Symptoms), Determinasi (Fingerprint), Bara Dalam Lebam (Taruk), Antiviral EP (Extreme Decay), Orgies of Sadism (Turbidity), Corridor of Chaos (Cloudburst), The Curse of Sabda Palon (Devoured), God, Is It? EP (Grausig), Mandi Darah Saudara Sendiri (Kartosoewirjo?), Light Behind The Dark (Interadd), Circle of Mind (Ravage), Eulogi (Semiotika), hingga Kompilasi Noise Assault vol.1.

Itu tentu saja belum semuanya. Pasti ada banyak yang luput dari radar konsumsi saya. Kabari saya kalau ada album bagus lainnya ya.

Oya, coba pantau juga berbagai single terbaru dari Dead Squad, Option Paralysis, Noxa, Down For Life, Piston. Jangar, Getah, Sic Mynded, Straight Out, Avhath, Noose Bound, dan terlalu banyak disebuutkan satu-persatu. Anda sudah paham musti cari/dengar lagu-lagu itu di mana. Itu juga pertanda kalau mereka sedang meracik sesuatu dan mungkin menyiapkan album anyar dalam waktu dekat. Kita tunggu saja. Sabar.

Yang saya agak heran sekaligus bikin girang, sepanjang tahun 2021 ini justru ada banyak rilisan istimewa dari proyek reissue atau album lawas yang dirilis ulang. Daftarnya tidak main-main, bahkan tergolong album kanon dan esensial di masanya. Sebut saja seperti misalnya Behind The 8th Ball (Rotor), Biara (Sieve), Blacklight (Koil), Dorr Darr Gelap Communique (Hark! It’s A Crawling Tar-Tar), Gemuruh Musik Pertiwi dan Hitam Semesta (Komunal), Re.li.kui demo (SEL), sampai pada Aku Akan Bunuh Kamu (Disinfected). Kemasannya pun sangat spesial. Saya rela merampok bank demi mendapatkan album-album barusan. Oke, saya bohong. Saya cuma beli sebagian, sisanya justru dikasih sama band/labelnya kok. Sori. Trims.

Untuk semua karya rilisan di atas tadi, kita patut berterima kasih dan memberikan kredit positif kepada kerja label rekaman cadas yang masih ngotot bergerak di masa pandemi yang sulit. Ada Samstrong yang makin agresif berburu rooster. Blackandje yang tetap ulet dan rajin. Grimloc yang mulai mengerek bendera Rigor Mortis (bersanding dengan bendera Public Enemy) di markasnya. Warkop Musik yang giat mengamankan harta karun Koil. Greedy Dust yang fokus pada dengan talenta baru. Disaster dan Grieve yang gandrung menjaring bakat. Playloud yang terus menggerinda dengan intens. Unleash yang balik ke bisnis produksi rekaman. Juga Brutal Mind dan Tarung Records yang tidak pernah menurunkan tensi selera musiknya. More power to ‘em!

Jadi kalau ditanya bagaimana musisi metal bisa survive di masa pandemi tanpa potensi konser maupun tur, jawabannya pasti sangat sederhana: Ya terus saja merekam musik, merilis lagu dan album, serta produksi merchandise. Di waktu luangnya mereka masih bisa bikin konten atau produksi video, ataupun sekadar nongkrong bersama kawan-kawan. Dari dulu juga begitu kok. Ini kancah yang lahir dan tumbuh dari komunitas, baliknya pasti buat komunitas juga. Bergerak saja, intinya.

Oke, ini saatnya menurunkan bendera setengah tiang. Tahun 2021 tak lepas juga dari duka yang menyelimuti komunitas metal di tanah air. Diawali oleh kabar meninggalnya Irfan Sembiring, pentolan grup band Rotor. Lalu menyusul Medi, gitaris dari Suckerhead. Kemudian Ebenz, motor penggerak dari Burgerkill dan Mesin Tempur, serta Djarot dari Dirty Mouth. Itu semua sebuah kehilangan yang besar bagi kita. Mereka adalah orang-orang terbaik yang terlalu cepat pergi. Agak sureal buat saya pribadi dan kawan terdekat mereka. A very big loss. May they rest in peace.

Di sela-sela berita kuota vaksin, pembatasan sosial level 666, mauppun kabar korupsi serta brutalitas aparat, kita pasti suka mendengar aneka gosip underground di tongkrongan. Mulai dari Burgerkill yang konon mau berganti vokalis. Dead Squad yang merombak formasi dan langsung bikin album listening party. Kemunculan Darksouls dan Bonga-Bonga sebagai opsi baru yang layak diperhatikan. Jangar dan Surn yang tiba-tiba tampil di kanal Audiotree. Metallic Ass yang merayakan 10 tahun album Thrash Metal 1983 lewat gelaran live session. Senyawa yang merilis album baru lewat aplikasi streaming-nya sendiri. Avhath yang baru menang di ajang AMI Award 2021. Atau Voice Of Baceprot yang langsung menjadi media darling kelas internasional dan berangkat tur ke Eropa. Banyak lagi kabar yang tentu sudah anda dengar. Bisikin saya kalau ada yang luput ya.

Sementara di masa God Bless sudah mencapai karir 48 tahun dan Power One berusia tiga dekade, media musik kita tampaknya masih begitu-begitu saja. Tidak banyak yang mengekspos musik metal. Kalau pun ada itu cuma “berita keras” alias kopian press release. Nyaris tiada lagi teks dan narasi yang menggugah. Jadi wajar jika sebagian dari kita lebih suka menonton/mendengarkan podcast di YouTube atau Instagram Live. Kanal seperti Extreme Moshpit, High Octane Podcast, Rocknation, Synchronize Radio, Jumat Membara, Play Out Loud, atau What The Noise memang kadang jadi lebih menarik. Tampaknya jurnalisme rock/metal lebih hidup dan dinamis di tangan mereka. Prove me wrong.

Kemudian saya melihat ada progres yang baik pada sektor pengarsipan musik. Belakangan kita menemui insiatif pengarsipan dari Alternaive, Wastedrockers, sampai pada praktek komunitas musik di Bandung, Bogor, Semarang, serta berbagai daerah lain. Tidak hanya itu, lini produksi film Gelora dan Galang juga memiliki kaitan yang erat dengan histori komunitas metal Indonesia. Itu tentu bisa jadi iklim yang baik ke depannya. Saya masih menunggu kejutan lainnya di kerja pengarsipan dan produksi audio visual.

Lantas bagaimana prediksi kancah metal Indonesia esok hari dan di tahun depan? Well, siapa yang tahu dan bisa memastikan sih?! Bahkan dukun sekelas Nostradamus maupun “seorang bersinar hitam yang mengaku dirinya tuhan” pun tidak bisa memprediksi hal tersebut.

Memang pandemi katanya sudah agak melandai dan kebijakan mulai melonggar. Sementara di media sosial kita sudah bisa melihat ada sederet gigs dan tur yang sudah mengintip dengan malu-malu. Sebagian juga mulai nekat. Coba cari-cari momen dan kesempatan. Ada sejumlah festival juga yang sedang dipersiapkan. Seperti Rock In Solo dalam status percobaan bersama Down For Life dalam kuota kursi terbatas. Juga Rock In Celebes dalam agenda yang padat di seputar Makasar. Hammersonic? Wah, sampai Slipknot mau berganti topeng, festival yang satu itu belum juga ada kejelasan.

Ya, memang belum ada yang tahu dan bisa memastikan seperti apa kondisi tahun 2022 nanti. Kayaknya baru ada satu hal yang pasti, yakni kerinduan yang sangat untuk mengucapkan kalimat ini dengan sungguh-sungguh dan penuh harap: “Sampai Ketemu di Moshpit!”

Seperti dendam, rindu akan konser dan moshpit yang ideal ini memang harus dibayar dituntas. Kalau tidak esok hari, ya mungkin lusa nanti. Selebihnya, upaya yang masih kita bisa lakukan adalah tetap menikmati heavy metal di Indonesia dengan sebaik-baiknya, serta mengerek benderanya supaya tetap berkibar meski dihajar gelombang.

Kancah metal di negeri ini sudah sering diuji berkali-kali. Dulu pernah dianggap sebagai sekumpulan anak muda penyembah setan, sarang peredaran narkoba, biang tawuran di setiap pertunjukan, diharamkan musiknya dan dihalalkan darahnya, bahkan sampai jadi musuh abadi para otoritas pemangku kebijakan. Nyatanya sampai sekarang geliat metal itu masih tetap bertahan. Bahkan tumbuh semakin kuat dan besar.

Jadi tenang, kita akan baik-baik saja kok. Semoga.

 


*Oya, saya iseng bikin playlist berjudul Gemuruh Musik Pertiwi 2021 sebagai pengiring esai ini. Anggap saja kumpulan lagu-lagu metal Indonesia favorit  (dari album favorit?) di tahun 2021. Tidak komplit sih, seadanya di Spotify saja. Silakan bisa diputar di sini:

 


 

Penulis
Samack
Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Pernah menerbitkan Mindblast zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia, The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, dan sejumlah media lainnya. Sesekali menulis dan menyunting naskah untuk penerbitan buku, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman (at)demajors_mlg.

Eksplor konten lain Pophariini

Bangkit bersama Hindia dan Lomba Sihir

Joyland Festival adalah tempat bagi mereka yang menemukan makna mendalam karya musisi lokal Indonesia. Joyland Festival juga menjadi ajang yang menghubungkan kita dengan para musisi lokal Indonesia yang, lebih dari sekadar menghibur, membawa makna …

Menemukan Makna Hidup Lewat Musik The Cottons

Pernah bercita-cita sebagai seorang musisi namun keterampilan bermusik mandek, praktis menikmati buah karya musisi lokal merupakan alternatif sekaligus kegemaran tersendiri bagi saya. Entah sudah berapa kerabat menilai hobi ini sebagai kesenangan akan tren sesaat …