Cirebon Tak Pernah Mati oleh Good Ol’ Dreams
Kondisi suatu daerah dan apa yang terjadi didalamnya tentu menjadi salah satu hal yang memengaruhi cara merespon terhadap apa yang di kemudian hari menjadi budaya. Hal tersebut juga terjadi terhadap Cirebon yang didalamnya dibagi menjadi Kota dan Kabupaten. Terletak sejauh 130 km dari arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta, Cirebon masih menjadi tempat yang mempunyai banyak potensi tapi belum menjadi jalan industri atau bisa disebut dengan second city.
Pada tahun 2000-an awal, musik metal dan pop melayu mulai masuk dengan caranya masing-masing. Metal dengan studio gigs-nya dan pop melayu melalui jalur yang lebih terekspos seperti parade atau festival band. Dua jenis musik tersebut sangat diminati seiring dengan maraknya media yang sangat menjadi support system di belakangnya.
Salah satu radio swasta di Kabupaten Cirebon dengan programnya memberikan ruang yang sangat luas untuk musisi pop melayu memutarkan lagu-lagu mereka yang pada akhirnya sangat tersampaikan ke telinga pendengar sehingga pendengar sangat terbiasa untuk menunggu dan mendengarkan lagu-lagu lokal pop melayu kebanggaan daerahnya masing-masing.
Sekilas itu yang saya ketahui sejak Sekolah dasar hingga SMP.
Menginjak SMA, Gelombang lain mulai bermunculan dari arah yang berbeda, baik di kabupaten maupun kota Cirebon sendiri. Entah kapan semua itu dimulai, tapi saya merasakan dan mulai mengenal skena yang ada sejak akhir 2009 ini. Saat itu di Kabupaten Cirebon mulai berisik di saat salah satu band pop melayu yang berhasil masuk label dan muncul di layar televisi.
Ya, masuk label dan muncul di televisi adalah tujuan “ngeband” pada saat itu, sehingga banyak band mulai berlomba-lomba untuk membuat lagu beserta video klip yang berlatar tempat penggalian pasir, lokasi wisata remang-remang, halaman rumah dengan memperlihatkan vokalis berkacamata bersandar di depan mobil rentalan dan masih banyak lagi. Mereka, secara kolektif, memproduksi audio dan visual semampunya. Bagus atau tidak, itulah yang menjadi kebanggaan kami pada tahun tersebut.
Dengan maraknya band-band yang bermunculan, hadirlah salah satu komunitas yang menamakan dirinya Aliansi Band Indie yang di dalamnya berisi kegiatan produksi mandiri, edukasi organizer dan pembahasan tentang membuat rilisan mandiri serta cara mendistribusikannya.
Berada jauh di tengah perkampungan di sebuah desa, komunitas ini cukup membuat saya tahu sedikit banyak tentang gambaran apa saja yang dibutuhkan oleh praktik musik dari mulai cara rekaman sampai penggarapan konser musik. Pada saat itu “Bandung Berisik” menjadi tolok ukur contoh membuat acara besar.
Setelah semuanya berjalan, dengan keterbatasan SDM dan media ternyata hal yang dihasilkan hanya sampai terdengar di lingkaran yang masih cukup kecil.
Akhir 2010 muncul kelompok yang menamakan diri Kumaha Eta Heuh yang menjadi jembatan antara budaya kabupaten dengan semua keterbatasan informasinya dengan “kota” yang sudah lebih dahulu memulai skena ini. Mereka mengaplikasikan berbagai kegiatan yang menjadi pop culture yang disesuaikan dengan kondisi di kabupaten itu sendiri. Seperti ala-ala membuat “Musik Everywhere”, mereka membuat session bertajuk Konserpasif yang pada dasarnya hanya ingin membuat kegiatan musik dimanapun seperti di hutan, di dalam rumah, di lapangan bulutangkis sebuah pabrik gula dengan budget dan SDM yang ada serta mengedepankan pendokumentasian musik tanpa penonton untuk disuguhkan dalam bentuk video nantinya. Konserpasif menjadi satu-satunya program yang berjalan hingga saat ini dan sedikit mengubah konsep menjadi sajian acara musik yang tidak hanya untuk pendokumentasian namun juga sebagai gigs pada umumnya.
Konserpasif menjadi jembatan skena kabupaten dengan kota Cirebon yang pada perjalannya berkolaborasi dengan salah satu komunitas dari kota Cirebon yang bernama Ruang Alternatif, yang pada waktu itu untuk pertama kalinya Konserpasif diadakan secara live dalam rangkaian tour Flukeminimix.
Setelah gigs tersebut, terciptalah peta yang lebih luas untuk skena musik Cirebon. Dimana ada banyak pilihan gigs sesuai minat masing-masing talent atau penonton. Seperti Ruang Alternatif yang biasanya menjadi tempat rangkaian tour band luar kota, membuat gigs berbagai level dari studio hingga konser besar, dari musik pop hingga noise, serta menjadi tempat berkreasi dalam berbagai disiplin seni. Paramonster yang menjadi markas untuk gigs underground yang juga menghasilkan band besar seperti Poison Nova. Cirebon Store yang selalu menjadi ruang diskusi link lintas kota. Kumaha Eta Heuh yang menjadi rumah produksi. Serta masih banyak lagi nama-nama yang sampai sekarang mengisi kegiatan di Cirebon baik kota maupun kabupaten.
Dari sekian banyaknya kegiatan yang berlangsung sejak 2009 sampai sekarang, Cirebon masih selalu membicarakan perihal pesan yang selalu tak tersampaikan kepada penikmatnya, media lokal yang kurang mengapresiasi karya dan keterbatasan ruang ekspresi. Cirebon sebenarnya sangat memiliki banyak pembuat event, komunitas, talent dan support system lainnya, tapi Cirebon selalu kekurangan penonton. Wajah-wajah yang tidak asing selalu terlihat di berbagai acara menandakan tidak berkembangnya isu kepada generasi setelah itu.
Sama seperti daerah lain pada umumnya, sejak pertama pandemi diumumkan benar-benar membatasi atau menghilangkan apa yang sudah terjadi sebelumnya. Beberapa komunitas mulai bermanuver dengan membuat program-program virtual. Tapi itu tidak membantu karena dampaknya tak terlalu terasa. Tatap muka secara utuh tetap menjadi demand agar suasananya lebih terasa.
Cirebon, lahir dari proses budaya yang cukup melekat, melihat keberadaan bangunan sejarah yang sangat banyak, ternyata menjadi peluang untuk tetap ‘ber-acara’, terbukti dengan dibuatnya rangkaian tour bangunan bersejarah di kota Cirebon yang diadakan kolaborasi beberapa komunitas yang tentu sempat memberikan penyegaran.
Cerita di atas hanya sekelumit kecil dari kacamata saya. Dari berbagai komunitas yang saya temui, semuanya memang tidak sama. Ada yang fokus di musik budaya, pop, underground dan lain-lain. Tetapi mereka saling mengisi dan menjadi pilihan kemana kita akan datang untuk menonton atau untuk menampilkan serta untuk ikut dalam proses.
Cirebon tidak memiliki media yang bisa menyebarkan berita perilisan suatu karya, tetapi memiliki koneksi antar kolektif yang membantu menyebarkannya walau hanya melalui Whatsapp group. Cirebon tidak seramai tempat lain ketika diadakannya suatu pertunjukan. Mungkin hanya akan ramai ketika band besar yang dipertontonkan.
Cirebon selalu sepi, tetapi tidak pernah mati.
_____
Good Ol’ Dreams adalah moniker dari Ivan Adywiguna, seorang musisi asal Cirebon bergenre pop. Bersama beberapa musisi lainnya, ia masuk dalam kompilasi Irama Kotak Suara Pophariini, dengarkan karyanya di sini.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …