Cloudburst – Clear Blue Sky

Geliat musik post-hardcore dan turunannya terasa makin liar di tahun 2025 ini. Mulai dari comeback-nya dedengkot chaotic hardcore, Alice akhir tahun lalu, sampai munculnya band-band lain dari area musik tersebut ke permukaan seperti Rassuk, Swarm, dan tentunya masih banyak lagi.
Salah satu dari sekian banyak nama yang menyita perhatian saya adalah Cloudburst, unit mathcore/metallic hardcore asal Yogyakarta dengan album ketiga mereka, Clear Blue Sky. Meski sudah cukup lama berkiprah, satu dekade lebih, namun jujur nama band ini cukup baru di telinga saya.
Kesan pertama melihat sampul album Clear Blue Sky, saya merasa band sengaja menampilkan puing-puing dan bunga untuk memaknai album secara keseluruhan. Tumbuh sebuah tanaman lotus yang kerap dimaknai sebagai simbol pencerahan dan kemurnian di tengah reruntuhan bangunan yang bisa diartikan bencana atau perang.
Setelah memutar Clear Blue Sky dalam beberapa kali sesi, sampul tersebut rasanya nyata tentang apa yang ingin disampaikan Cloudburst di album ini. Kekacauan yang dikisahkan dengan iringan riff rumit penuh disonansi ternyata tetap menyimpan harapan setelahnya.
Kebiasaan memakai metafora cuaca dan elemen kelangitan untuk tema beberapa lagu pun masih dilakukan Cloudburst di album ini. Lagu-lagu seperti “Worst Weather on Earth”, “Failed Parachutes”, “Rainbow Serpent”, dan “Clear Blue Sky” adalah bukti pemakaian metafora itu.
Saya sempat menghadiri diskusi tentang album ini hari Rabu (25/06) di Lawless Burger Bar Blok M. Sang vokalis, Ahmad Okta menceritakan album tercipta di era pandemi. Saat memikirkan tema album, ia membayangkan suatu bencana dari sisi lain, yaitu bagaimana kehidupan setelah bencana tersebut selesai.
Bagi saya membahas bencana dari sisi itu adalah suatu ide cemerlang untuk diangkat ke dalam karya sebuah band sekaos Cloudburst. Jika banyak band keras lain fokus pada kehancuran itu sendiri dengan penuh rasa pesimis, Cloudburst malah membahas sisi harapan yang menjadi keindahan tersendiri.
Mari beralih ke musik yang ditawarkan Cloudburst di album Clear Blue Sky. Sulit rasanya untuk tidak teringat ke band-band macam Converge, The Dillinger Escape Plan, Botch, atau band-band bernapas Deathwish-core saat menikmati musik mereka karena memang nama-nama ini kiblat band.
Ngomong-ngomong soal Converge dan Deathwish-core, fakta menarik dari album ini proses mastering-nya berlangsung di GodCity Studio, yang merupakan studio musik milik Kurt Ballou, gitaris Converge dan produser musik ternama.
Meski tak ditangani langsung oleh Kurt, proses mastering album Clear Blue Sky tetap dikerjakan oleh seseorang yang namanya cukup masyhur di kancah metal global. Dia adalah Zach Weeks, Staff Engineer GodCity Studio yang pernah terlibat dalam karya-karya Deafheaven, Gatecreeper, sampai High on Fire. Tentu jika kalian penggemar musik keras, pasti pernah mendengar hasil tangan Zach di salah satu rilisan favorit kalian.
Mengapa penting saya menjabarkan fakta-fakta tersebut? Karena sangat masuk akal untuk band dengan musik seperti Cloudburst memercayai karyanya dieksekusi hasil akhirnya oleh orang-orang di GodCity Studio.
Hasilnya sendiri sangat luar biasa. Tanpa bermaksud membanding-bandingkan kualitas studio atau engineer lokal dan internasional, namun jika kita tak punya informasi tentang siapa Cloudburst dan hanya mendengarkan lagunya saja, pasti akan ada sedikit rasa kaget bahwa ini adalah band Indonesia.
Kabarnya, band sampai menunggu beberapa tahun sejak selesai menggarap materi sampai proses mastering karena saat itu GodCity Studio sedang menyelesaikan beberapa urusan internal. Penantian yang cukup sepadan mengingat sound yang dihasilkan terasa sangat buas dan memuaskan maksimal.
Pilihan riff yang menjadi fondasi 10 lagu Clear Blue Sky tidak diragukan lagi kekuatannya. Powerful, menyayat, namun tak memekakkan telinga dalam artian buruk. Karakter suara crack pada snare drum yang dihadirkan juga cukup menarik. Meskipun untuk bisa menikmati suara snare-nya dengan maksimal saya harus beralih mendengarkan album ini di kanal yang tidak terlalu banyak meng-compress sound seperti Bandcamp.
Intinya, jika didengarkan dengan platform tertentu, ‘kebuasan’ sound album jadi agak loyo. Tentu hal ini sangat masih bisa dipahami dan diakali, namun jika kalian biasa mendengarkan album di CD atau Bandcamp, siap-siap merasa enggak puas saat menikmatinya di platform lain.
Cara Cloudburst menutup semua kekacauan yang terjadi di album ini cukup tepat lewat trek terakhir yang berjudul sama dengan album. Dibuka gitar clean yang membuat hati adem, semacam mengawali dari berakhirnya sebuah bencana. Tempo yang lebih lambat membuat durasi nomor terakhir ini jadi yang paling panjang dibanding 9 pendahulunya. Kehadiran bunga lotus di sampul album juga makin masuk akal.
Usai menyimak album Clear Blue Sky berkali-kali untuk tulisan ini, saya jadi tergerak untuk merasakan pengalaman dan narasi yang ingin mereka sampaikan secara langsung. Pucuk dicinta ulam pun tiba, 3 hari setelah ulasan ini beredar, Cloudburst akan membawa kekacauan itu ke Jakarta dalam helatan Lawless Inferno. Saya yang sekarang sudah mulai menghapal lagu-lagu tentu tidak akan melewatkan lawatan mereka ini.

Eksplor konten lain Pophariini
Lahir Band Baru dari Sukabumi, MiSHCALL Lewat Perilisan Single 23
Band pop alternatif asal Sukabumi, MiSHCALL resmi merilis single berjudul “23” sebagai penanda kemunculan mereka. Single ini merupakan bab pertama dari kisah nyata sahabat lama band yang dulu dekat, lalu pergi, dan meninggalkan catatan …
BIAR Asal Bekasi Rilis Album Mini Berjudul 30 Awal Versi Demo
Band asal Bekasi, BIAR resmi menandai kemunculan lewat perilisan album mini bertajuk 30 AWAL (DEMO). Mereka merasa ini bukan sekadar demo, tapi bukti bahwa rindu untuk main musik itu nyata dan kadang cukup direkam …