Crayola Eyes – Gushing

Mar 14, 2023

Saya setuju dengan Leo Tolstoy yang bilang kalau musik adalah simbol ungkapan emosi. Dalam membuat musik, diperlukan banyak emosi bahkan untuk membuat satu intro 9 detik yang notable seperti “Seven Nation Army”-nya White Stripes, atau lagu punk klasik 3 setengah menit seperti “Anarchy In The UK” sampai novel panjang “In The Court of The Crimson King – Including The Return of The Fire Witch”.

Saya juga tak menolak ketika Dick Dale, gitaris, bapak ‘surf-rock’ dunia mengatakan bahwa setiap lagu adalah sebuah lukisan. Nampaknya saya yakin bukan hanya dia saja yang pernah mengatakan itu. Dan semua orang termasuk saya akan mengamininya. Apalagi dalam kasus Gushing, album debut unit psikedelik rock ibukota, Crayola Eyes, lukisan-lukisan ini – sesuai dengan tajuknya – memancar dan tak terkendali. Ya jelas saja, Kendra Ahimsa, gitaris yang juga seniman yang bertanggung jawab atas artwork album ini memang banyak memberikan kontribusi bagi ‘memancarnya’ musik yang diimbuhkan teman-temannya di tiap lagu.

Jika tak salah terka, simbol mata dengan warna warni pastel hampir bisa mewakilkan emosi dari setiap personel yang memang sudah menunggu lama untuk bayi ini keluar,  pun mewakili perasaan yang sama untuk pendengarnya yang sudah menikmati album ini dengan perasaan yang, dalam bahasa saya, ‘fase kendali – tak terkendali’.

Gushing menampilkan benang merah yang menyambung musik menjadi bentuk repetitif yang panjang, sebuah musik yang membawa langkah yang tak terburu-buru, menikmati setiap ayunan dengan sebuah anggukan kepala. Itu yang tergambar dalam lagu-lagu yang terangkai di dalamnya. Sebuah musik yang mungkin untuk awam akan terdengar membosankan, apalagi jika baru pertama kali mendengar Crayola Eyes dan malas untuk mencari tahu informasi tentang mereka.

Untuk itu, bagi yang sudah tahu tentang band ini, juga sebuah resep buat kalian yang menikmati album ini, bahwa pastikan kalian tidak akan membuat janji untuk melakukan apa-apa selama satu jam ke depan. Jika tidak, lupakan, lebih baik dengarkan playlist-playlist yang bertebaran di luar sana.

Sekian lama waktu mendengarkan Gushing dalam volume yang keras, saya sangat terpuaskan dengan pengalaman trip psikedelia delapan puluh – sembilan puluhan yang amat menyenangkan. Saya menyelami indahnya cukilan-cukilan warna The Psychedelic Furs, monokromatik The Church sampai guratan-curatan cat Spiritualized dan Primal Scream yang lebih berwarna.

Anda yang mendengar bisa memilih, di bagian mana kalian akan menyelam, terbawa dan tenggelam. Apakah bersama untalan wol empuk Spacemen 3, Jesus and The Mary Chain ketika menikmati setiap gebukan groove 6 menit di “Spectrum (for Sonic Boom)”? Ataukah tenggelam akibat jilatan-jilatan hangat “Grass Slick”, atau lebih tepatnya ‘anagram’ dari punggawa Jefferson Airplaine sekaligus satu dari ratu psikedelia akhir 60-an? Atau hanya sekadar terbang ke bulan menikmati debu debu kosmik bersama alunan musik gesek dan strings di “Pocket Moon”?

Gushing sama sekali tidak memberikan pengalaman teknikal atau virtuoso yang sebelumnya saya dengarkan dari lagu-lagu ‘heavy psychedelia’ yang hanya menyajikan hebatnya distorsi dan permainan gitar belaka tanpa tema. Fakta bahwa Crayola Eyes hanyalah musisi yang justru ingin menyajikan musik dengan teksturnya justru lebih penting untuk dinikmati ketimbang elemen-elemen lain yang mungkin anda ingin harapkan di sebuah komposisi rock psikedelik.

Di bagian manapun di lagu apapun atau apapun jenis trip yang kalian alami serta ‘kendaraan’ apa yang kalian naiki, saya yakin sekali bahwa Reno, Kendra, Bayu, Aditya, Anindya, Ferry serta tak dipungkiri peran dari produser Bernardus Fritz (Sunmantra) mampu membuat racikan-racikan spesial yang sudah pasti teruji sebelum disajikan. Kita sudah mendengarnya, beberapa bahkan sudah menikmati audio visualnya, hasilnya pun tak pernah gagal.  

Mari kita berharap akan banyak lagi presentasi-presentasi audio visual yang memancar dari Gushing, agar banyak jiwa yang akan tenggelam, hilang kemudian diselamatkan. 

 

_____

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Wawancara Eksklusif Ecang Live Production Indonesia: Panggung Musik Indonesia Harus Mulai Mengedepankan Safety

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pophariini masih banyak menghadiri dan meliput berbagai festival musik di sepanjang tahun ini. Dari sekian banyak pergelaran yang kami datangi, ada satu kesamaan yang disadari yaitu kehadiran Live Production Indonesia. Live …

Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024

Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …