Denisa: Menjadi Musisi Utuh

Jan 23, 2022

Tidak banyak musisi memiliki pengalaman seru seperti Denisa. Musisi perempuan kelahiran Jakarta ini justru punya pengalaman yang ia bangun di belakang panggung. Berbekal ilmu tentang sound production yang ia tempa di SAE, Jakarta, kini ia mengambil posisi di depan panggung untuk mengejar bakat terpendamnya di musik. Paling tidak ia sudah punya modal utama: sound production, ini yang menjadikan musik bisa dipertanggungjawabkan secara nyata.

27 Oktober 2021, siang itu saya menemui perempuan yang punya nama lengkap Denisa Dhaniswara di sebuah tempat kopi bernama Fotkop di kawasan Cipete. Perempuan jangkung dengan setelan baju dan celana panjang hitam-hitam itu menyapa saya. Dua gelas kopi pun menemani percakapan serius kami selama 2 jam lebih di sana. Membicarakan tentang kariernya di dua kaki, depan dan belakang panggung, termasuk juga bloodbuzz, album debutnya.

Siang itu, Fotkop tak terlalu ramai, meski tak sesepi yang saya kira juga. Ada beberapa orang larut dalam obrolan mereka, entah tentang pekerjaan atau hanya tentang hidup. Di sudut meja, anak muda berkacamata nampak asyik terhubung dengan earphone yang menyodomi lubang laptop, menyimak tulisan-tulisan yang entah dari mana.

Dan saya terus memperhatikan mimik Denisa ketika bicara. Dengan tato yang bersarang di tangannya, ia nampak nyaman menceritakan satu demi satu timeline tentang masa remajanya.

“Gue dulu pernah nge-band gitu waktu kuliah, namanya Eupho,” ujarnya di sela-sela cerita tentang bagaimana ia terjun ke dunia musik.

Saya lalu menguliknya di Spotify. Dengan artwork hitam yang menjadi artworknya, saya menikmati “Cruciatus”, lagu yang kebetulan menjadi satu-satunya single yang ada di digital. Dirilis tahun 2018, single ini saya rasa menjadi kunci bahwa suara perempuan yang ada di balik ujung mikrofon itu punya keresahan dan kemarahan yang sudah ditunjukkan sedari awal.

Dari “Cruciatus” saya melabuhkan telinga saya ke beberapa rekaman awal di Crowning, mini albumnya. Sedari awal saya merasakan letupan letupan keresahan yang menurut saya masih melekat kental dan dibawanya sampai hari ini.

Denisa / dok. instagram.com/__.denisa/

Menjadi orang belakang panggung memang bukan pilihan instan. Di kala musisi dan penyanyi lain mengulik notasi, lirik dan aransemen, Denisa justru menghabiskan berjam-jam waktunya untuk mengolah knob-knob mixer. Entah ini pilihan atau memang hanya ingin mengambil ‘jalan sunyi’, namun di tengah hingar bingarnya konser musik, Denisa justru asyik berdiri di belakang mixer besar, menjadi nahkoda dari frekuensi-frekuensi suara yang dihasilkan dari band di tiap konser.

“Musik, in a way musik secara utuh, menurutku adalah sebuah jalan untuk menerjemahkan emosi dan pikiran dan semua ideku ke orang lain,” ujarnya tentang mengapa ia memilih audio engineer, jabatan yang hanya sedikit diemban dan diminati  perempuan di industri musik.

Mengemban predikat yang rare, sudah banyak musisi yang pernah lulus dan berhasil mencicipi tangan emas dari Denisa. Beberapa jelas adalah nama di skena dan industri musik yang kita kenal sekarang.

“Tidak banyak, tapi saya sudah pernah megang beberapa band,” ungkapnya. Tashoora, Pamungkas dan Glaskaca adalah satu dari banyak aksi yang pernah dipegangnya.

Predikat belakang panggung ini sebetulnya bukan bawaan sedari kecil. Denisa kecil malah terpikat dengan banyak penyanyi populer yang ia lihat di TV, sehingga somehow ia membayangkan bila ia ada di posisi mereka. Namun saya melihat engineer adalah strategi bagus yang diambilnya dalam rangka menjadi musisi yang ‘utuh’.

First encounter gue sama musik itu pas SD, gue inget lagi gonta-ganti channel TV, terus nemu Avril Lavigne diputerin MTV. Gue inget banget waktu itu music video-nya lagu ‘Complicated'” ujarnya. Avril menjadi titik awal bagaimana Denisa melihat dan mendengar musik lebih serius. Les piano menjadi bekal lanjutan ia mengenal dan mengerti musik.

“Lanjut dari situ, gue diracunin band-band pop-punk sama abang gue. Tiap pagi pas jalan ke sekolah pasti dia nyetelin Blink 182, Green Day, sama Sum 41 di mobil. Dari situ gue makin penasaran sama musik, dan baru tau ada banyak genre musik selain apa yang gue diajarin di les piano gue,” tambahnya.

Orangtua juga tak kalah penting dalam membentuk kepribadian musikal seorang Denisa remaja. Sempat besar di Singapura, Denisa pun tumbuh dari lingkungan yang punya selera musik yang menarik.

Denisa

Denisa, aktivitas sound engineer di sebuah konser / dok. instagram.com/__.denisa/

“The Beatles, Deep Purple, Queen, band-band ini era ini yang banyak diracunin dari orangtua gue. Ya, dikit-dikit juga diracunin Dewa 19, D’Masiv, Kla Project, etc. pas masih tinggal di luar (negri-red), alasannya simpel, biar gue enggak asing-asing banget sama musik Indonesia, ujarnya.

Ribuan referensi yang sudah ia dengarkan tersebut secara tak langsung menjadi bekal dan yang membentuk kepribadiannya. Ia sadar bahwa musik selalu menjadi ruh yang melekat di dalam diri. Kecintaannya yang begitu luas biasa akan musik dan sound yang menjadikan dirinya utuh seperti sekarang ini, baik sebagai musisi dan sound engineer.

Titik demi titik air jatuh ke tanah, sudah satu jam lebih namun pembicaraan kami belumlah usai. Meski di tengah hujan punya frekuensi yang tinggi, namun kita masih terhubung dengan obrolan-obrolan hangat, salah satunya tentang bloodbuzz.

“Gue enggak pernah berpikir bahwa album pertama gue bakal jadi kaya gini,” komentarnya soal ini. Namun menurutnya, setiap track yang ada di album ini memang adalah gambaran utuh tentang apa yang telah dirasakannya saat waktu-waktu tersebut.

bloodbuzz, debut album yang juga pernah saya ulas ini yang akhirnya menjadi titik awal dan momen penting seorang Denisa kini harus ada di depan panggung, ketimbang di belakang. Karena orang tidak bisa berada di dua waktu  di waktu yang sama. Tidak pernah akan ada dua jalan yang berhasil diambil bersamaan. Tahun 2022 ini, waktunya Denisa untuk fokus menyampaikan emosi dan segenap pikirannya lewat bloodbuzz kepada orang lain, orang banyak tentunya.

Denisa

Denisa / foto dok. instagram.com/__.denisa/

Sore itu, kami memilih untuk tidak berbicara banyak soal emosi-emosi yang tersimpan dalam tiap track yang ada, namun kami lebih melihat album ini adalah sebagai luapan perasaan, perasaan yang sama ketika ia mulai menulis “Cruciatus”, tiga tahun lalu.

Di ujung sore, frekuensi hujan perlahan-lahan mulai berkurang suaranya. Volume Denisa mulai membesar dengan sendirinya ketika kami berada di ujung pembicaraan hangat dengan kopi hitam yang telah tersisa ampasnya. Pertanyaaan dilematis tentang pilihan klasik menjadi pamungkas saya kala itu.

“Kalau ditanya apakah gue memilih jadi sound/music engineer atau penyanyi, kayaknya untuk sekarang gue pilih jadi penyanyi. Se-seru-serunya dan adrenaline-nya jadi sound engineer, kayaknya saat ini gue lagi di fase hidup yang gue pengen banget sharing dan perform depan layar,” tutupnya.

Mengupas denisa seakan tidak ada habisnya. Dua karier yang dijejakinya hingga saat ini memang priceless, melihat kenyataan belum banyak regenerasi perempuan yang berkecimpung dalam dua hal tersebut. Tahun 2022, saya curiga namanya akan bersinar seiring dengan ketekunannya dalam mengasah kemampuannya, baik menulis lagu maupun mengolah sound yang baik, yang kali ini, bukan untuk orang lain, namun untuk dirinya sendiri, seutuhnya.

_____

bloodbuzz tersedia dalam bentuk compact disc lewat demajors records juga di digital. Dengarkan di layanan music streaming yang tersedia.

Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …