Dewa Budjana x Rhoma Irama: Duet Satria Bergitar di “SmaraRindu”

Aug 4, 2023

SmaraRindu”, lagu kolaborasi antara Dewa Budjana (jazz fusion) dan Rhoma Irama (dangdut) resmi dirilis pada 26 Juli 2023 di kanal YouTube milik Dewa Budjana pada pukul 19.00 WIB. Belum genap 24 jam, lagu ini telah dilihat sebanyak 80.665 kali. Sehari setelahnya, lagu ini mendapati peringkat trending musik nomor 19. Per 26 Juli turut menandakan jika lagu tersebut sudah dapat dinikmati di pelbagai platform pemutar musik. Sudah dengar?

Mendengar “SmaraRindu”, Menyelisik Kolaborasi

Perasaan penasaran mencuat sejak diumumkannya lagu kolaborasi bertajuk “SmaraRindu” antara dua musisi yang telah malang melintang di Indonesia, raja dangdut Rhoma Irama dan maestro gitar Dewa Budjana. Pasalnya terlalu banyak perbedaan di antara mereka, semisal berbeda genre musik, berbeda tradisi bermain gitar, hingga perbedaan referensi musikal mereka satu sama lain. Belum lagi ditambah dengan perbedaan dari dua kolaborator lainnya, yakni Shadu Rasjidi pada bass—yang dikenal sebagai basis Deadsquad—dan Virgil Donati pada drums—yang telah malang melintang pada genre instrumental rock, progressive metal, dan jazz fusion. Lantas, akan bagaimana karya terbaru mereka?

Perasaan penasaran mencuat sejak diumumkannya lagu kolaborasi bertajuk “SmaraRindu” antara dua musisi yang telah malang melintang di Indonesia, raja dangdut Rhoma Irama dan maestro gitar Dewa Budjana

Pada tanggal terjanji, 26 Juli, saya mendatangi Queens Head, yang berlokasi di jalan Kemang Raya, Jakarta. Pada pukul 12.00 WIB, kafe telah dipenuhi oleh para wartawan dan awak televisi. Dewa Budjana telah berada di sana, sementara raja dangdut Rhoma Irama masih dalam perjalanan. Sekitar pukul 12.40-an, Rhoma Irama datang dengan pakaian serba putih; kemeja, celana, hingga sepatu. Ia duduk di area kiri resto, sementara para wartawan berada di area kanan resto.

Pada pukul 13.30, acara dimulai. Jurnalis musik, Ryan Kampua bertugas menjadi pemandu konferensi pers. Rhoma Irama, Dewa Budjana, Shadu Rasjidi—sebagai basis pada lagu—, dan Lemmy Ibrahim (Lemmon Records)—selaku executive producer—membicarakan karya kolaborasi mereka. Tanya jawab berkisar tentang makna lagu, proses kolaborasi, dan kesan mereka terhadap lagu. Selain saling memuji satu sama lain, karya ini dipertontonkan untuk pertama kalinya di depan awak media.

Suasana segera menjadi hening sejak awal karya diputar, seisi ruangan menunggu. Lagu diawali dengan Dewa Budjana mengalunkan melodi demi melodi selama genap satu menit. Sejenak mendengarnya, Dewa Budjana menunjukkan melodi yang sederhana tetapi tepat guna. Bagi saya ini adalah kematangan darinya, di mana ia bisa memosisikan melodi secara sesuai dan tak serampang. Saya ambil contoh di lagu “Hyang Giri” yang berkolaborasi dengan Soimah Pancawati, melodi yang dibunyikan lebih rapat dan beraneka; sementara pada “SmaraRindu”, melodi terkesan lebih renggang, lebih kalem, tetapi serasa tepat untuk rekan kolaborasinya, Rhoma Irama. Jam terbang memang tak bisa ingkar.

Lagu diawali dengan Dewa Budjana mengalunkan melodi demi melodi selama genap satu menit. Sejenak mendengarnya, Dewa Budjana menunjukkan melodi yang sederhana tetapi tepat guna. Bagi saya ini adalah kematangan darinya

Sementara satu menit setelahnya, raja dangdut, Rhoma Irama merebut perhatian dengan suaranya. Cara Rhoma Irama dalam menyanyikan lagu memang khas. Tarikan napas hingga pilihan nada yang dipilih menunjukkan karakter suara sang raja dangdut. Bahkan dalam terpejam mata sekali pun, bayangan sang raja dangdut muncul di kepala—pun hal ini semakin diamini dengan semacam blindfold test yang dibuat Dewa Budjana kepada teman-teman musikus; di mana ia memperdengarkan lagu “SmaraRindu”, tanpa menyebutkan siapa penyanyinya, dan nama Rhoma Irama menjadi mayoritas jawabannya.

Namun apa yang membuat orang tahu siapa penyanyinya? Saya tak dapat dengan segera mendapuk karena unsur cengkok dangdut miliknya, pasalnya ini terdengar tidak seperti cengkok Rhoma biasanya. Apalagi cara beliau menyanyi berbeda ketika menyanyikan lagu “Begadang”, “Darah Muda”, “Gala-Gala”, “Pertemuan”, hingga lagu “Virus Corona”. Liukkan nada dan cengkok dangdut tidak sedominan biasanya; Rhoma juga tidak menyengaja dan memamerkan sisi kedangdutan dengan terlalu. Alih-alih memaksakan agar kedangdut-dangdutan, ia justru mengeksplorasi vokal dan pilihan nada yang dinyanyikannya.

Lantas jika bukan cengkoknya, apa yang membuat kita mengenalinya? Bagi saya, karakter suaranyalah yang membuat pendengar—paling tidak saya—menyadarinya. Karakter suara Rhoma Irama bagi saya memiliki gaya tersendiri. Praduga saya adalah karena ia tidak hanya bersandar pada kecenderungan satu jenis atau teknik musik tertentu. Hal ini dapat diafirmasi dari eksplorasi musik pop, Melayu, rock, western, hingga Hindustan, dalam perjalanan penggodokan musik sekaligus karakter suaranya. Alhasil karakternya terkesan ambang antara genre-genre yang dieksplorasinya, tetapi kuat sebagai daya vokalnya. Baru sisanya adalah karena keterlekatan figurnya pada masyarakat. Maka itu jenis suaranya tidak lagi asing di telinga para musikus—di video blindfold test—ataupun penggemar dan pendengarnya, apalagi suaranya juga telah menemani perjalanan musik Indonesia lebih dari lima puluh tahun.

Rhoma juga tidak menyengaja dan memamerkan sisi kedangdutan dengan terlalu. Alih-alih memaksakan agar kedangdut-dangdutan, ia justru mengeksplorasi vokal dan pilihan nada yang dinyanyikannya

Kembali pada ihwal pilihan Rhoma dalam bernyanyi, dari sini, bagi saya sikapnya bermusik juga sungguh dewasa, tidak egois, dan mau bernegosiasi dengan musik yang dinyanyikannya. Ia mengetahui betul bagaimana karya dibuat, dan menempatkan Dewa Budjana memang sebagai penciptanya. Ia tidak menuntut Dewa Budjana memasukkan unsur dangdut—bahasa masa kininya tidak cawe-cawe—, melainkan ia lebih mendengar dan meresponsnya. Dalam wawancara, Dewa Budjana mengamini, “Pas ketemu dengan Pak Haji, lagunya didengar, terus Pak Haji bersenandung. Bersenandung [s]aja saya [s]udah senang gitu.” Senandung dapat dimaknai sebagai respons, bukan?

Selain itu, hal ini turut terkait dengan ihwal siapa yang membuat lirik. Dalam sesi tanya jawab dengan awak media, Rhoma memang menyerahkan pembuatan lirik kepada Dewa Budjana. Padahal soal lirik, Rhoma lebih mapan dan berpengalaman ketimbang Dewa Budjana. Ini tentu membuat saya bertanya-tanya dan sempat berpikir yang tidak-tidak. Namun mempercayakan lirik kepada sang gitaris juga menjadi langkah menarik dalam menunjukkan sisi lain Rhoma Irama. Pun saya tak menyangka hasilnya cukup memuaskan. Menurut penuturan Dewa Budjana, pun Rhoma bersepakat dengan isi lirik yang ditawarkan olehnya. Rhoma juga memuji Dewa Budjana tentang kedalaman lirik yang dibuatnya.

Rhoma lebih mapan dan berpengalaman ketimbang Dewa Budjana. Namun mempercayakan lirik kepada sang gitaris juga menjadi langkah menarik dalam menunjukkan sisi lain Rhoma Irama

Pada lagu tersebut, Rhoma menyanyikan dua bait atau [semacam][i] dua verse lagu,

Bait pertama //Seindah melodiku/melukiskan SmaraRindu//sesyahdu suara gitar/bila kita saling mendengar//
Bait kedua //semakin kumengerti/bagaikan satu harmoni//seindah kita bisa/selaras dan selalu sehati//

Kedua bait ini dinyanyikan dua kali, di awal lagu dan di bagian setelah mereka berbalas melodi. Menurut Budjana, makna dari “SmaraRindu” adalah “kerinduan akan persatuan, kedamaian, dan kenyamanan dalam berbagai hal.” Namun ketika lagu ini ditautkan pada persoalan politik, Dewa Budjana menolak untuk mengategorikannya. Ia justru lebih menginginkan jika lagu ini bertaut dengan kehidupan masyarakat secara umum. Di mana persoalan “saling mendengar”, “satu harmoni”, “selaras dan sehati”, menjadi premis utama dalam bermasyarakat, bersosial, dan dari situ kita baru bisa membicarakan persatuan antar sesama.

Selain tentang makna lagu, ada dua bagian menarik lainnya dalam lagu, yakni ketika Dewa Budjana dan Rhoma Irama melakukan unisono; serta ketika mereka berbalas melodi. Pertama, unisono. Secara letak, unisono berada pada bagian awal, setelah kedua bait dinyanyikan; dan pada bagian setelah melodi, sebelum kedua bait dinyanyikan. Unisonomemang tidak memiliki tautan khusus pada lagu-lagu dangdut Rhoma Irama, maka itu membawa Rhoma Irama pada sesi unisono menjadi menarik untuk diperhatikan.

Jika menyelisik lagu Rhoma, salah satu lagu Rhoma Irama yang memiliki [seperti] unisono suara vokal antara pemain adalah “Mirasantika”, khususnya pada bagian “ya, ya, ya” antara pemain dan penari latarnya; atau bagian “tak, tak, tak, tak…” yang dinyanyikan oleh Rhoma bersamaan dengan bunyi tak dari kendang. Unisono yang berbeda dengan unisono musik jazz kebanyakan.

Sementara pada lagu “SmaraRindu”, unisono menempati posisi yang eksplisit, tegas, dan pas. Nada pada bagian unisono mudah diingat, semacam memberi ingatan akan dangdut, tetapi juga mengartikulasikan musik jazz—seperti teknik vokal bersenandung persis dengan nada yang bersamaan dimainkan instrumen tertentu. Pada bagian ini, tidak hanya Rhoma, Dewa Budjana pun ikut bernyanyi; dan jika dipertunjukkan secara live, pun saya yakin penonton akan ikut

Kedua, berbalas melodi. Momen ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu. Pasalnya sejak pertama mendengar, lagu ini memang tidak memiliki konotasi musik dangdut, melainkan musik jazz fusion seperti proyek-proyek Dewa Budjana lainnya—semisal “Hyang Giri”. Apalagi nama Dewa Budjana menjadi nama kolaborator pertama dari proyek ini. Namun ada yang menarik pada sesi melodi, di mana bagian pertama justru menjadi kesempatan Rhoma Irama untuk unjuk gigi.

Rhoma menggunakan efek gitar dambaannya, efek distorsi. Sebenarnya tak ada beda dengan teknik permainan Rhoma biasanya. Namun yang membedakan, sesi melodi Rhoma Irama tidak diiringi oleh musik di zona nyamannya, dangdut. Maka itu, sedari awal ia memainkan gitarnya, saya justru melihat ia bak gitaris rock. Hal ini turut mengingatkan saya pada tulisan William H. Frederick[ii] yang mengulas bagaimana unsur rock masuk di dalam dangdut garapan Rhoma Irama. Dalam sesi melodinya, kesan musik rock terasa lebih kuat daripada musik dangdut. Saya jadi berpikir, jika Dangdut ditanggalkan dari sang raja, mungkin memang bersama rocklah Rhoma Irama akan berkelana.

Pada bar kedua, Shadu dengan bassnya memainkan intro lagu Rhoma dan Soneta yang bertajuk “Santai”. Tentu kesan Dangdut terasa menonjol ketimbang bagian lainnya. Pun di antara pukulan drum dari Virgil, terdengar seperti ketukan tabla. Menurut hemat saya, di momen inilah puncak dari perpaduan genre antara jazz fusion, rock, dan dangdut pada lagu ini terjadi. Apalagi, Dewa Budjana juga mewarnai dengan nada kromatik pada melodi lagu “Santai”, sungguh menyenangkan mendengarkannya.

Alih-alih usai, setelah itu mereka kembali berbalas melodi. Di dalam video clip, visualnya sungguh menarik di mana mereka saling berhadapan, memainkan nada demi nada di antara fret demi fret-nya. Rhoma Irama dengan efek distorsinya, sementara Dewa Budjana dengan pelbagai teknik gitar jazz-nya. Tiada lain, berbalas melodi ini membuat lagu semakin kaya akan nada, warna suara, dan harmoni. Bagi saya momen ini telah memberi rasa pada lagu terbaru mereka. Ya, beginilah jadinya jika dua satria bergitar bertemu.

 

Karya [Gitar] tak ‘Berujung’

Satu-satunya persamaan di antara Rhoma Irama dan Dewa Budjana adalah jenis gitar yang digunakan, yakni gitar buntung (headless guitar). Namun dari kolaborasi kedua gitar buntung ini justru membuat eksplorasi yang tak berujung. Kendati berbeda genre, mereka dapat bertemu di persimpangan bernama kolaborasi. Dari situ, pertemuan mereka memunculkan harmoni, persis dengan bagaimana makna lagu disematkan.

Tidak hanya itu, melalui karya ini, pendengar mendapat banyak kejutan; semisal sisi musisi atau gitaris dari Rhoma Irama yang tak banyak disorot. Di banyak karyanya, Rhoma Irama memang bernyanyi dan bermain melodi, tetapi di lagu ini, Rhoma Irama mendapat porsi yang lebih banyak dan eksploratif. Kejutan lainnya adalah kemampuan Dewa Budjana menyusun lirik. Tentu kemampuan Budjana dalam meramu musik tak perlu diragukan, tetapi siapa yang tahu kemampuannya dalam merangkai kata. Maka dengan “SmaraRindu”, daya ungkap Budjana melalui kata sebagai responsnya terhadap fenomena sekitar tak bisa dianggap remeh.

Satu-satunya persamaan di antara Rhoma Irama dan Dewa Budjana adalah jenis gitar yang digunakan, yakni gitar buntung (headless guitar). Namun dari kolaborasi kedua gitar buntung ini justru membuat eksplorasi yang tak berujung

Karya ini juga menjadi tak berujung karena porsi kedua kolaborator yang sama kuatnya. Tadinya saya mengira jika Dewa Budjanalah yang akan dominan sebagaimana empunya proyek, atau sebaliknya, Rhoma Iramalah yang akan lebih mencuri perhatian—oleh karena perasaan pakewuh dari Dewa terhadap senior atau sebaliknya ia menjadi kolaborator pasif. Apalagi Rhoma justru menyerahkan pembuatan lirik pada Dewa Budjana.

Namun dugaan itu pudar dengan sendirinya ketika mendengar mereka beradu melodi. Bagi saya, ‘percakapan’ mereka sebenarnya ada di bagian tersebut. Pasalnya mereka tidak hanya membunyikan nada, tetapi mereka saling mendengar, saling bertaut mencipta harmoni. Membuat “SmaraRindu” tak hanya menjadi lagu, melainkan menjadi ruang artikulasi jika lintas genre dapat dilakukan dengan tidak hanya sekadar kata cukup, tetapi juga cakap.

Pun saya juga menjadi tertarik dengan perkataan Rhoma Irama ketika ditanya posisinya di dalam lagu. Rhoma berkata, ‘Ini lagu beliau. Saya cuma numpang nyanyi’, di sebelahnya, Dewa Budjana hanya tersenyum. Ia tampak merendah dan ingin memberikan panggung sepenuhnya kepada Dewa Budjana. Walau sang gitaris GIGI juga melakukan hal yang sama sebaliknya. Namun di balik itu semua, di balik puja dan puji ketika konferensi pers atau komen atas lagu di YouTube, saya ingin mengutip Rhoma Irama untuk menggaris bawahi kolaborasi ini—sekaligus menutup artikel ini. Rhoma Irama mengatakan,

“Keterlibatan saya adalah sebagai satu pengalaman musik yang baru, pengalaman itu memperkaya khazanah pemikiran saya sebagai musisi. Maka ini buat saya sebagai suatu peluang dan satu kehormatan yang sangat baik, sehingga saya bisa melihat berbagai macam genre dan jenis musik. Dan tentunya sebagai musisi kita harus selalu berusaha dan berusaha untuk terus berkreasi. Karena, musik itu tidak ada batasnya, sampai kiamat pun musik ini akan terus berkembang, dan orang bisa terus berpeluang untuk mengembangkan musik itu sendiri.”[iii]

[i] Terma ‘semacam’ ditulis mengingat setiap genre memiliki struktur lagu yang berbeda satu sama lain. Pada musik pop juga dangdut, verse menjadi bagian sebelum reff. Namun di banyak genre lain yang tidak terpaku pada struktur tersebut. Namun verse saya sematkan untuk memberikan ilustrasi atau gambaran yang lebih mudah untuk memahami alur musik.

[ii] Frederick, William H. 1982. Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture. Indonesia 34, pp.103-130). https://ecommons.cornell.edu/handle/1813/53747

[iii] Cetak tebal dari penulis

Penulis
Michael HB Raditya
Peneliti musik di LARAS-Studies of Music in Society. Pendiri Pusat Kajian Dangdut (www.dangdutstudies.com). Pimpinan orkes dangdut, O.M. Jarang Pulang. Buku terbarunya bertajuk: OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020). Salah satu tulisan dangdutnya diterbitkan oleh Routledge, pada buku Made in Nusantara: Studies in Popular Music (2021).
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Wmyartawan
Wmyartawan
1 year ago

Esai yang sangat berkelas, secakap dan seenak lagu SmaraRindu. Luar biasa.

Eksplor konten lain Pophariini

Catatan dari Trendy Taipei, Melihat Pesona Indonesia dari Konferensi Musik Asia di Taiwan

Tiga tahun ini pula saya melihat kancah musik Indonesia dari lensa yang berbeda: sebagai primadona yang bikin penasaran se-Asia.

5 Musisi Indonesia Favorit Sri Hanuraga

Festival Jazz Gunung Ijen berlangsung hari Sabtu, 17 Agustus 2024 di Taman Terakota Gandrung, Banyuwangi, bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-79 Republik Indonesia. Dengan tema “Merdekanya Jazz, Merdekanya Indonesia”, festival ini menghadirkan Indra Lesmana …