Di Balik Panggung Pestapora 2023

Sep 27, 2023

Pestapora 2023 selesai diselenggarakan akhir pekan kemarin, tepatnya pada tanggal 22 hingga 24 September. Masih bertempat di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta, festival sempat menyampaikan bahwa total ada 97 ribu lembar tiket yang terjual. Sebuah data yang rasanya benar adanya, merujuk pada fakta bahwa selama tiga hari tersebut lokasi penyelenggaraan penuh sesak dengan kepala.

Ribuan kepala tersebut tersebar di panggung-panggung yang berdiri dengan gemerlapnya masing-masing, mulai dari Pestapora IM3, Hingar Bingar, Pop Up Stage, Pecapowa, Alternative Stage, Gegap Gempita, Riang Gembira, Klab Klub, Boss Stage, Yes No Klub, Double Deck bersama total 224 nama penampil selama tiga hari.

Gegap Gempita Stage merupakan satu dari sekian perubahan yang dilakukan Pestapora tahun ini. Letaknya berada di dalam hall D-2, diisi oleh nama-nama pembawa banyak massa macam Lyodra, Pamungkas, Nadin Amizah, Project Pop, hingga Raisa.

Perubahan yang signifikan terjadi di lorong penghubung antara area bundaran dengan area Pestapora IM3. Tahun ini para booth tenant pakaian tidak ditempatkan di tengah jalan lagi, belajar dari penyelenggaraan tahun lalu yang menyebabkan menumpuknya penonton akibat akses jalan yang sempit dan lebarnya booth tenant.

Memanfaatkan privilege kartu pengenal kategori talent berkat kerja ganda bersama unit indie rock asal Bogor di hari pertama, saya berkesempatan untuk menelusuri lebih jauh festival di belakang panggung dan juga area green room, tempat di mana semua penampil tumpah ruah mempersiapkan diri sebelum tampil dan tentu saja, beristirahat sembari berinteraksi satu sama lain.

__

Koil adalah nama pertama yang membuka festival, tepat di hari Jumat pukul 15.30. Penampilan mereka berselang dua hari setelah proyek kolaborasi bersama .Feast rilis.

“Panas dan menyenangkan, buat kita enggak masalah main di jam berapa juga, penontonnya juga enak, panitianya enak, semuanya serba baik,” pungkas Otong saat ditemui di backstage.

Koil buka Pestapora 2023 / Dok. Raka Dewangkara

Masih dalam konteks membuka festival, Black Horses juga melakukan hal serupa di Riang Gembira. Sang kuartet merupakan pemenang dari kompetisi Pemanasan Pestapora bersama sebuah merk rokok, yang mana pengumumannya baru dilakukan di tanggal 20 September lalu. Praktis, persiapan mereka terbilang singkat untuk tampil di festival.

“Kita gercep sih ya [tertawa]. Langsung diumumin, kita langsung jalan, yang penting gas terus dan kita juga all out, enjoy banget harus memberikan yang terbaik dan maksimal,” sambut Oscario, sang vokalis mewakili band.

Black Horses lalui perjalanan panjang menuju Pestapora 2023 / Dok. Raka Dewangkara

Berjalan ke area Alternative Stage, beberapa momen mencuri perhatian. Di hari Jumat, penampil datang dari berbagai daerah. Sebut saja Kanekuro (Bali), Rrag (Bogor), Moongazing and Her (Medan), Milledenials (Bali), hingga Rrag dan Swellow (Bogor).

Kurasi dilakukan khusus oleh Microgram Entertainment, yang di tahun ini kembali dipercaya untuk bertanggung jawab penuh atas deretan aksi di panggung tersebut. Mewakii Microgram, Dwi Lukita menyampaikan bahwa kurasi berangkat dari penglihatan mereka kepada nama-nama tersebut yang dirasa mempunyai semangat yang sama dengan Microgram.

“Caranya sama kayak tahun lalu, yang kita lihat energinya bagus yang maksudnya sangat subjektif sekaligus objektif gitu. Bedanya ya kalau tahun lalu spesifik (band/musisi) Bandung, tahun ini kita ngelebarin scope-nya dari berbagai latar asal domisili,” terang Dwi.

Salah satu nama muda dari Bogor, Rrag tampil di Alternative Stage dengan hati yang berdebar. Beralasan jelas, karena ini merupakan kali pertama mereka mentas di sebuah festival di Jakarta. Meski begitu, tampak rasa deg-degan mereka hilang berkat penuhnya penonton yang memadati luas area panggung yang tidak besar-besar amat, penuh dengan keringat dan antusias yang tinggi.

“Tadi di jalan deg-degan dikit tapi seru lah, ramai juga ternyata gak nyangka,” tutur Arafat ‘Acil’ Zawaid, vokalis serta gitaris Rrag sembari tertawa.

Rrag isi perut di green room / Dok. Raka Dewangkara

Menjelang sore, kemeriahan Alternative Stage tak kunjung surut, malah semakin padat berkat mereka yang menanti aksi dari Lair, unit musik asal Jatiwangi yang turut menggandeng Monica Hapsari untuk berkolaborasi di nomor “Setan Dolbon”.

Kembali ke green room, gelap yang berganti terang menjadi penanda makin ramainya ruangan tersebut. Terlihat beberapa wajah familiar, juga wajah-wajah yang tampak nervous. Beberapa mempersiapkan busana, menulis daftar lagu yang akan dibawakan, hingga mengantri untuk makan malam di penghujung ruangan.

Bagi Bedchamber dan Milledenials, Pestapora masuk dalam rangkaian dari tur mereka. Nama pertama bakal melangsungkan turnya dalam waktu dekat ini, sementara nama kedua sudah berada di jalan sejak akhir Agustus.

Excited pastinya, sudah bertahun-tahun gak tur, ada pandemi juga, jadi banyak plan-plan berhamburan, enggak sabar sih,” sambut Ratta Bill dari Bedchamber mengenai tur Capa City Tour yang nantinya siap melewati Semarang, Surabaya, hingga Malang.

Dengan rasa penasaran, saya menyambangi Gegap Gempita Stage, area panggung terbaru dari Pestapora. Kebetulan, Pamungkas sedang menjadi nama yang tampil saat itu. Secara singkat, lebarnya panggung dan luasnya area memang merupakan tantangan tersendiri, mulai dari segi penampilan hingga tata suara. Bukan kendala yang berarti bagi Pamungkas, karena ia berhasil menaklukan Gegap Gempita Stage dengan gegap gempita.

Kemeriahan berlanjut untuk kolaborasi Efek Rumah Kaca dengan Barasuara. Pada masanya, kolaborasi ini sempat menjadi buah bibir di tahun 2015 dan 2016, hingga akhirnya kembali bersama di panggung di Pestapora 2023.

Sementara penutup hari adalah Noah di panggung paling besar, Pestapora IM3. Gimmick logo Peterpan yang mereka luncurkan beberapa hari sebelum aksi ternyata hanya menjadi ajang nostalgia semata dengan lagu, bukan dengan para personel terdahulu. Namun fakta di lapangan menjawab semuanya, kehadiran Ariel dan kawan-kawan tetap menjadi yang paling dinanti.

Hari kedua saya berfestival dimulai dengan perbincangan singkat bersama Mika Tobing (The Rang-Rangs), Pasya Julianti (The Upstairs), dan Jimi Multhazam (The Upstairs, Morfem, Jimi Jazz). Nama terakhir yang disebut sempat bercerita mengenai Pijar, sang anak yang di malam hari akan berkolaborasi bersama The Jansen.

Jimi dan Pasya / Dok. Raka Dewangkara

Seperti festival-festival tiga hari yang sudah-sudah, pengunjung di hari kedua selalu membludak jauh lebih ramai ketimbang hari pertama. Melihat jadwal, rasanya penonton bakal dibawa bernostalgia kembali ke tahun 2010-2015 saat beberapa nama sedang dalam masa jayanya, meliputi Thirteen, Sweet As Revenge, Summerlane, hingga Vierratale.

Pergantian ‘manajemen’ Alternative Stage hari kedua. Giliran Paguyuban Crowd Surf (PCS) yang menjadi penanggung jawab dari aksi-aksi di sana. Jika Microgram mengurasi penampil dari aspek semangat yang sama, maka PCS secara spesifik membawa nama-nama dari luar pulau Jawa, disatukan dengan beberapa dari Jabodetabek. Mereka adalah Huminoid (Manado), Creve, Ouverte! (Balikpapan), Peach (Medan), hingga Brunobauer (Surabaya), Amerta, Dekadenz, Godplant, Rekah, dan Tarrkam.

“Pemilihan berdasarkan ke-BM-an anak-anak saja, yaitu ngundang band-band luar pulau Jawa. Akhirnya terpilih Balikpapan, Manado, dan Medan, dan di Jawa sendiri Jabodetabek dan Surabaya. Jadi enggak ada ciri khusus sendiri, untungnya di Pespor sendiri ngefasilitasin itu,” terang Robby yang kerap dipanggil Robonggo.

Robonggo di depan Alternative Stage / Dok. Raka Dewangkara

Rasa grogi juga mengampiri Indra, bassist Brunobauer. Sama seperti Rrag, Pestapora menjadi kesempatan pertama bagi mereka untuk unjuk gigi di festival musik ibu kota. “Senang sih karena banyak audiens baru yang belum pernah aku liat. Cuman agak nervous saja karena main pertama kali (di Jakarta),” sahut Indra.

Niat hati ingin menyaksikan Frau, apa daya yang terlihat hanyalah antrian mengular di depan area Pecapowa. Rasanya Frau berhak untuk mendapatkan panggung yang lebih besar lagi, mungkin di Klab Klub atau bahkan Yes No Klub.

Antrian panjang di depan Pecapowa Stage untuk menyaksikan Frau / Dok. Raka Dewangkara

Jelang Maghrib di green room, Tristan Juliano tengah sibuk menghabiskan isi piringnya. Personel Mantra Vutura dan Lomba Sihir tersebut dijadwalkan naik ke panggung bersama Kevin Aprilio, sang kakak serta Addie MS, sang Ayah dan puluhan musisi lain di Twilite Orchestra. Selang beberapa saat, akhirnya kolaborasi itu terjadi di Pestapora IM3.

Tristan sesaat sebelum tampil bersama Addie MS dan Kevin Aprilio / Dok. Raka Dewangkara

Sebelum memperkenalkan Tristan dan Kevin, Addie MS memberikan kabar penyelenggaraan A Family Simphony Concert, konser keluarga yang juga melibatkan sang Ibu, Memes serta Lomba Sihir, Mantra Vutura, dan Vierratale di Oktober mendatang.

“Saya waktu lagi latihan ini ngobrol sama mereka, eh sekali-kali kita sepanggung daripada kita sendiri-sendiri,” ujar Addie MS.

Satu aksi di hari kedua yang juga berkesan adalah Rebellion Rose di Hingar Bingar. Mereka membawa spanduk besar yang membentang dari ujung ke ujung panggung bertuliskan “Hanya cinta yang dapat tumbuh di sini”.

Lagi-lagi nostalgia menjadi sajian utama yang tidak ada habisnya. Goodnight Electric adalah salah satu pelakunya di hari kedua. Mereka tampil dengan set album Love and Turbo Action, lengkap dengan seragam biru kompak percis dengan wujud mereka belasan tahun lalu. Di awal aksi, mereka tampil dengan formasi lawas ditambah Priscilla Jamail, tidak lama setelahnya disusul kehadiran Vincent Rompies dan Andi Hans.

Fenomena band-band besar yang diberikan jadwal tampil siang hari bolong juga terjadi di Pestapora. MALIQ & D’Essentials adalah contohnya. Mereka mengajak semua penonton di depan panggung untuk bernyanyi saat jam masih menunjukkan pukul 2 siang, di mana matahari Kemayoran masih bersinar ganas di atas kepala.

Kiki Ucup mampir ke tenda MALIQ / Dok. Raka Dewangkara

Di antara penonton, terlihat wajah familiar seperti Bilal Indrajaya dan Vega Antares yang kebetulan tampil di hari yang sama.

Bilal Indrajaya dan Vega Antares menyaksikan MALIQ / Dok. Raka Dewangkara

Masih di sore hari, tiba-tiba muncul pawai dari tiga maskot yang berkeliling di sekitar area festival. Maskot-maskot tersebut dimiliki oleh Feel Koplo, Dongker, serta Greenpeace yang memang berkolaborasi dengan Pestapora. Pawai tersebut hadir beberapa saat sebelum El Karmoya memainkan format Mariachi di depan Alternative Stage.

Selain melakukan ragam aktivasi, booth Greenpeace sempat membawa Reruntuh untuk tampil dalam format minimalis. Sebuah pertunjukan yang menenangkan di antara keriuhan sana-sini.

Ibu-ibu dari Jatiwangi yang tergabung dalam payung Mother Bank menjadi pusat perhatian di green room. Lengkap dengan kostum berwarna pink, banyak di antara mereka yang meminta foto hingga berbincang. Mother Bank sendiri tampil di Yes No Klub, diiringi oleh beberapa personel dari Lair yang merupakan teman sedaerah.

Mother Bank, unit musik asal Jatiwangi yang dihuni oleh Ibu-ibu / Dok. Raka Dewangkara

Secara bergantian, berbagai konsep kolaborasi menghiasi festival. Mulai dari Fourtwnty bersama Jason Ranti dan Fiersa Besari hingga Seringai bersama Burgerkill. “Ini untuk Eben,” ujar Arian di atas panggung diiringi visual yang menampilkan wajah mendiang beserta teks ‘selamanya’.

Berkat menyaksikan aksi dadakan yang terjadi di festival internasional beberapa bulan lalu, saya memilih untuk meninggalkan Sheila On 7 yang rasanya merupakan keputusan fatal karena mereka memainkan lagu-lagu langka macam “Tetang Hidup” hingga “Berai”. Penyesalan lain adalah kenapa saya tidak tinggal cukup lama di green room. Jika saya tinggal lebih lama, saya bisa menyaksikan dua band yang bertengkar perkara lauk di nasi padang.

Bukan akibat aksi pertengkaran, hanya salah satu personel band asal Jakarta yang tepar / Dok. Raka Dewangkara

Terlepas dari segala pro dan kontra yang terjadi di media sosial, Pestapora berhasil berkembang lebih jauh dari edisi perdananya dan tidak menutup kemungkinan akan perkembangan lainnya di masa depan.

Pamungkas jajal Gegap Gempita Stage / Dok. Raka Dewangkara

Dari Jatiwangi, Lair unjuk gigi bersama Monica Hapsari / Dok. Raka Dewangkara

Rebellion Rose / Dok. Raka Dewangkara

Addie MS dan Twilite Orchestra bersama Tristan Juliano dan Kevin Aprilio / Dok. Raka Dewangkara

Format lawas penuh nostalgia dari GE / Dok. Raka Dewangkara

Pawai maskot di sore hari / Dok. Raka Dewangkara

El Karmoya di antara pengunjung yang hilir mudik / Dok. Raka Dewangkara

Reruntuh tampil minimalis di booth Greenpeace / Dok. Raka Dewangkara

Arian ‘Seringai’ dan Ronald ‘Burgerkill’ / Dok. Raka Dewangkara


 

Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."

Eksplor konten lain Pophariini

5 Alasan rumahsakit Enggak Bubar

Dalam perhelatan Kabar Bahagia: 30 Tahun Perjalanan rumahsakit beberapa waktu lalu, kami sempat bertemu dan berbincang dengan para personel rumahsakit di balik panggung hari Sabtu (14/12) di Bali United Studio, Jakarta Barat. Selain membahas …

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …