Digdaya 40Th Album Fariz RM – Panggung Perak
Terlalu banyak lagu keren dari katalog Fariz RM, kita bisa punya favorit yang bergantian diputar dengan rotasi tinggi. Belakangan ini saya lagi banyak mendengarkan “Sehari”, lagu ketiga di album fenomenal Panggung Perak yang dirilis 41 tahun lalu.
Ketika diputar pada senja, menuju gelap di kota kecil, Leiden, Belanda, tempat saya menetap sekarang, “Sehari” memberikan rasa yang “sangat Fariz RM”; ada sofistikasi, ada bintang-bintang di malam-malam kosmopolitan, tapi sekaligus ada perasaan yang personal, bahkan kadang mendekati rasa kesendirian, di balik kemeriahan bunyi-bunyian yang berkelas.
Pagi hari, saat diputar kembali, “Sehari” bahkan bisa mendatangi kegalauan melankoli, dengan udara sejuk yang dihirup, menatap jendela dan melihat orang-orang mulai berlalu lalang, muda dan tua, beberapa mengayuh sepeda.
Lagu “Sehari” memberikan rasa yang “sangat Fariz RM”; ada sofistikasi, ada bintang-bintang di malam-malam kosmopolitan, tapi sekaligus ada perasaan yang personal, bahkan kadang mendekati rasa kesendirian, di balik kemeriahan bunyi-bunyian yang berkelas.
Wiwiek Lismani sebelumnya dikenal saat tampil di album Dasa Tembang Tercantik LCLR Prambors 1980, berduet dengan Bagoes A. Ariyanto dalam lagu “Maheswara”. Selain hadir di album Panggung Perak, Wiwiek juga turut mengisi vokal untuk proyek Fariz RM lainnya, bersama kelompok musik TRANSS, di album Hotel San Vicente, yang juga dirilis pada 1981.
Diajaknya Wiwiek Lismani di album Panggung Perak terasa wajar secara timeline, tapi sungguh vokalnya berpengaruh pada rasa “Sehari”. Tak berselang lama, bersama Sky Record, Wiwiek sendiri kemudian merilis album solonya, Suara dan Doa.
Hadirnya penyanyi lainnya di album Panggung Perak adalah cover version Chaseiro, “Dunia Dibatas Senja”, di mana Fariz RM berduet bersama Candra Darusman, sang pengarang lagu itu.
Fariz RM meminta Candra Darusman untuk berduet memainkan lagu yang baru edar “Dunia Dibatas Senja”. Kita bisa membayangkan “iklim respect”, mengagumi karya teman, dan kedekatan mereka sebagai “sesama musisi gelombang baru” saat itu
Chaseiro adalah kelompok musik jazz/bossa nova/pop yang didirikan pada akhir 1970an, nama band itu diambil dari gabungan nama depan para personilnya: Candra Darusman (vokal, keyboard), Helmi Indrakesuma (vokal), Aswin Sastrowardoyo (vokal, gitar), Edwin Hudioro (flute), Irwan B. Indrakesuma (vokal), Rizali Indrakesuma (vokal, bass), Omen Norman Sonisontani (vokal)—
Rizali dan Omen juga merupakan personil Orkes Moral (OM) Pancaran Sinar Petromaks. Lagu “Dunia Dibatas Senja” terdapat pada album ketiga Chaseiro, Vol.3, yang dirilis juga pada 1981.
Menarik sekali Fariz RM meminta Candra Darusman untuk mengizinkannya memainkan lagu yang baru edar “Dunia Dibatas Senja”, dengan menyanyikannya berduet. Kita bisa membayangkan “iklim respect”, mengagumi karya teman, dan kedekatan mereka sebagai “sesama musisi gelombang baru” pada saat itu. Dan memang “Dunia Dibatas Senja” sangat cocok dimainkan Fariz RM—Candra bernyanyi di verse satu lalu Fariz menyambar verse dua—untuk album Panggung Perak yang berkilau.
Favorit lainnya dari Fariz RM dalam Panggung Perak adalah “Sendiri Malam Ini”: dari sound effect dan hentakan pada intro, juga tentunya interlude-nya yang total keren, salah satu yang paling menawan dari yang pernah direkam Fariz RM
“Bersatulah kita dalam mencoba merubah dunia yang ada di sekitar dirimu”, tulis Candra pada refrain yang dinyanyikan bersama.
Favorit lainnya dari Fariz RM dalam Panggung Perak adalah “Sendiri Malam Ini”: dari sound effect dan hentakan pada intro, juga tentunya interlude-nya yang total keren, salah satu yang paling menawan dari yang pernah direkam Fariz RM, solo synthesizer berkelana, lalu kembali ke refreinnya yang mengajak sing a long dalam romantisme baru, bahkan bila saya masih sempat terbersit merebus mie untuk brunch karena roti dari sarapan sudah mulai tidak mengganjal akibat angin yang cukup dingin dan kopi hitam telah tandas secangkir. Lalu outro lagu itu bagaikan melepaskan sejuta balon warna-warni ke angkasa, terus ke hampa udara.
Fariz RM memang fantastis! Panggung Perak merupakan kelanjutan dari kiprah sebelumnya, Sakura, yang telah membuat banyak orang menoleh—Fariz memainkan segala instrumen musik di album itu; menghasilkan pop yang berkelas, disko untuk anak muda, dan lirik-lirik yang tidak layu—maka kaum muda telah mendapatkan porsi untuknya dari musik Indonesia.
Fariz RM memang fantastis! Ia memainkan segala instrumen musik di album itu; menghasilkan pop yang berkelas, disko untuk anak muda, dan lirik-lirik yang tidak layu
Musik Fariz juga imajinasi identitas, bunyi yang dekat dengan malam kemilau kota besar, kemajuan, kebaruan, sesuatu yang “hip”, apa pun itu, bahkan telah terjadi jauh sebelum menulis lagu “Barcelona” dan merilis album Living in the Western World pada 1988 yang sungguh menghadirkan cuaca di Spanyol, Eropa, Belum lagi, secara penampilan Fariz juga tampan dan modis. Serasa tidak ada yang kurang dari Fariz RM dalam menghidupi sisa 1970an, ketika ia masih sangat muda dan telah begitu menunjukkan potensi saat bersekolah di SMA 3 Jakarta, hingga mengawali 1980an dan menggenapkan maha karya.
Pada Panggung Perak, selain bernyanyi, Fariz RM kembali beratraksi dengan merekam segenap bunyi: piano elektrik, synthesizer, bass & sring ensemble, bas/synths bass, gitar, drum/perkusi, hingga efek suara. Fariz memang multi-instrumentalis—semua diborong!
Secara waktu pembuatan, Panggung Perak berdekatan dengan perekaman album Hotel San Vicente dari kelompok musik Transs di mana Fariz RM tergabung di sana. Maka kita mendapatkan nama-nama personil Transs turut mengisi di album Panggung Perak: Uce Hudioro bermain drum untuk lagu “Sendiri Malam Ini”, Jundi Karjadi mengisi synthesizer pada lagu “Penawar Rindu” dan “Panggung Perak”, Wibi AK mengisi perkusi pada lagu “Penawar Rindu” dan “Panggung Perak”, Dhandung SSS mengisi perkusi pada lagu “Sandra Ameido” dan vokal latar, Erwin Gutama mengisi bas pada “Dunia Dibatas Senja”, hingga Hafil Perdanakusumah mengisi flute pada lagu “Diantara Kata”.
Selain itu, album ini juga menampilkan permainan organ/Hammond dari Farina Tadjoedin, Dino Baloeweel menulis lagu “Awal Kisah”, dan Omar Hidayat menyumbang lirik.
Album ini direkam di studio Gelora Seni dan Tala & Co. Jakarta, kemudian diedarkan oleh label yang terbilang baru pada saat itu, Akurama Records.
Dari album Panggung Perak, dua lagu yang kerap dihadirkan kembali pada sejumlah album kompilasi Fariz RM adalah “Sandra Ameido” dan “Diantara Kata”. Mereka adalah lagu pertama dan kedua sisi A di kasetnya, sepertinya memang “lagu gacoan” untuk menarik minat calon pembeli yang mencoba mendengarkan di toko kaset.
Ya, saat itu kaset di toko memang bisa dicoba, jadi lagu pertama dan kedua di sisi A strategis menjadi penentu sebagai kesan pertama para calon pembeli.
“Sandra Ameido” dan “Diantara Kata” memang dua pop yang mumpuni.
Dari intro hingga bagian akhir lagu “Sandra Ameido” bahkan menampilkan atraksi canggih dan kemampuan bermusik yang tinggi, sementara Akurama Records sampai membuat video musik “Diantara Kata” (meskipun rekaman versi lebih baru), lengkap dengan lirik, dan dipublikasikan di halaman YouTube-nya pada November 2014.
Namun semua seharusnya sepakat bahwa lagu paling babon adalah yang berjudul sama dengan nama albumnya. “Panggung Perak”. Sebuah autobiografi yang berjalan sekitar seperapat jam dengan berbagai bagian lagu. Inilah “Bohemian Rhapsody versi Fariz RM”. Inilah lagu yang paling bertanggungjawab menjadikan Panggung Perak memiliki posisinya yang tersendiri pada katalog Fariz RM dan album rekaman musik Indonesia, sepanjang masa.
Kemegahan musik berkumandang, lalu terdengar tangis bayi dan ibunda Fariz sendiri, Anneke Rustam Munaf yang membacakan narasi…
Waktu itu, masih sekitar tahun 1959. saat hadir dirinya di antara sekian banyak peranan yang telah ada. Menjelang kancah hidup semata sebagai jiwa, raga, cita dan cipta yang baru.
“Panggung Perak”. Sebuah autobiografi yang berjalan sekitar seperapat jam dengan berbagai bagian lagu. Inilah “Bohemian Rhapsody versi Fariz RM”
Ia dilahirkan sebagai putra yang ketiga dari tiga orang bersaudara. Cita rasa dan bakatnya akan musik sudah terjalin sejak masa kecilnya. Masih jelas dalam ingatan ketika suatu hari ia bertanya pada ibunya tercinta.
“Bu, apakah suatu saat nanti saya juga akan pandai bermain piano?”
“Ya, tentu,” jawab ibunya. “Kau pun akan pandai kelak apabila kau mau rajin belajar.”
Demikianlah, maka, ia pun mulai belajar musik secara teratur dan bersungguh-sungguh.
Sejarah dirinya mencatat mengawali kharismanya di kemudian hari. Bimbingan keluarga banyak mempengaruhi karier hidup yang dijalaninya. Namun apa yang didapatkannya kemudian? Ah, tidak seperti impian dan bayang-bayangnya yang terbingkai sekian lama.
Dunia musik yang dijalaninya ternyata penuh diselimuti kepalsuan, dengki, iri hati, bahkan keserakahan diri. Terlebih lagi justru hal ini berlangsung di sekitar kerabat dan sahabat-sahabatnya sendiri.
Masyarakat dan situasinya menuntut dirinya dalam gemerlapan dan kemilau seorang bintang, Tapi pribadinya mengharap yang lain, yang biasa saja, sebagaimana dirinya bermula. Sungguh suatu kedamaian yang pasti.
Sampai pada suatu saat, mungkin pula hari ini, manakala ia berkaca dalam diri seraya berkata, “Diriku hanyalah manusia biasa. Tak lebih dari yang lain. Pun tiada kurang dari insan yang lainnya. Bahwa sesungguhnya aku hidup dalam khayal dan drama. Sebuah panggung perak.”
Lalu nada-nada piano mengalir dan Fariz mulai bernyanyi kisah kehidupannya. Di lagu ini Fariz mengajak “partner in crime”-nya yang banyak berperan pada album sebelumnya, Sakura, untuk turut menulis lirik. Ya, jagoan kita, Jimmy Paais turut menulis!
Dari ketenangan renungan di awal, “Panggung Perak” bergerak menjadi festive, sampai bas datang mencabik-cabik dunia yang meriah, musik kembali melandai diikuti dinamika barunya, atraksi ala prog rock yang semakin menjadi-jadi. Pada petualangan piano berikutnya, Fariz bahkan menutupnya menyentuh sekali, lalu drum datang lagi mengajak musik bertualang jauh, jauh sekali, cahaya menyala dan tepuk tangan di ujungnya.
Lagu “Panggung Perak” terlalu klasik untuk dilupakan. Lagu yang paling signifikan membedakan album ketiga Panggung Perak dengan album-album Fariz RM lainnya. Usianya 41 tahun kini, mari kita putar sekali lagi.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Fraksi Penemu Sepeda Bercerita tentang Hobi di Single Gocapan
Setelah merilis single “Olahgaya” 2023 lalu, Fraksi Penemu Sepeda asal Bogor resmi meluncurkan karya terbaru berupa single dalam tajuk “Gocapan” hari Rabu (23/10). Lagu ini menceritakan serunya pengalaman bersepeda sambil mencari sarapan pagi. …
Beltigs Asal Bandung Menandai Kemunculan Lewat Single Pelican Cove
Bandung kembali melahirkan band baru yang menamakan diri mereka Beltigs. Band ini menandai kemunculan mereka dengan menghadirkan single perdana “Pelican Cove” hari Kamis (07/11). Beltigs beranggotakan Naufal ‘Domon’ Azhari (gitar), Ferdy Destrian …