Dinamika Skena Musik Medan

Nov 23, 2021
Bising Kota Skena Medan

Menurut saya, salah satu  cara untuk membaca skena musik di satu kota adalah melalui album kompilasinya. Termasuk skena musik Medan.

Kilas balik sedikit, tahun 2005, saat itu saya masih di bangku SMA. Tren musik emo tengah merebak, rambut poni lempar dan My Chemical Romance. Setiap tahunnya, sekolah saya selalu mengadakan pensi. Di panggung musik, semua band yang tampil berlomba untuk memamerkan skill-nya dengan memainkan lagu yang sulit. Kecuali satu band, The Oinx.

Mereka memainkan melodic punk, tidak banyak skill di sana, namun penampilan mereka mampu memicu crowd untuk moshing, slam dance, dan sing along sepanjang set mereka.

Pengalaman pertama saya moshing pun terjadi saat menonton The Oinx. Sejak saat itu, saya, sebagai junior, mulai ikut nongkrong bersama mereka. Saya ikut menonton menonton kemanapun mereka manggung, yang akhirnya membawa saya sampai ke skena musik underground Medan.

Tahun 1996-2001, Gedung Kapendam jadi melting pot skena musik underground Medan. Puluhan acara musik digelar di sana. Pelopornya adalah komunitas Inalum Brotherhood. Sekumpulan anak muda pecinta musik punk yang akhirnya bergerak dan menggelar acara sendiri. Acara pertama mereka bertajuk Punk Revolution, lokasinya di sebuah studio tari.

Acara berikutnya bertajuk Medan Underground, lokasinya pindah ke Gedung Kapendam. Format acaranya, dalam satu hari menampilkan band berbagai genre, mulai dari siang sampai malam. Menggunakan sistem kolektifan dan undian nomor, ada sekitar 20 band yang tampil. Acaranya digelar berkala, dua atau tiga bulan sekali.

Dari dinamika yang terjadi di era tersebut, lahirlah sebuah album kompilasi bertajuk Indie Label Total. Album yang menggambarkan apa yang terjadi di skena musik underground Medan pada saat itu. Band-band yang ikut di dalam kompilasi sangat beragam, mulai dari punk, hardcore, sampai britpop.

Pada akhirnya Gedung Kapendam tidak bisa digunakan lagi untuk menggelar acara musik, anak-anak yang terlibat atau mengalami era tersebut kemudian menyebar dan membentuk tongkrongan atau komunitas baru. Gairah bermusik yang masih tinggi, mendorong mereka untuk mencari ruang alternatif baru.

Seiring dengan semakin banyaknya studio musik rental , dan tren distro/clothing, gelombang baru skena musik underground Medan dimulai. Ada dua pergerakan yang cukup signifikan pada saat itu, Fateful/Kolektif Youth yang lebih dominan dengan musik hardcore/punk dan Studio Kirana dengan British sound.

Mereka menemukan ruang alternatif baru untuk menggelar acara, di Gedung Aek Mual dan Garuda Plaza Hotel. Masing-masing juga merilis album kompilasi, Ten 2 Fight (Minorleft Records), dan Let’s Push Thing Forward (Huria! Records). The Oinx ikut di dalam kompilasi Let’s Push Thing Forward. Saya sendiri membeli dua album tersebut, dan akhirnya mulai rajin datang ke acara mereka. Gig yang intim, semangat kolektif setiap band dan apresiasi penonton di setiap acara mungkin sudah pudar di era acara musik bersponsor sekarang ini.

Gelombang baru ini kemudian memicu lahirnya tongkrongan atau komunitas baru. Mereka pun mencari ruang alternatifnya sendiri, menggelar acara musik sendiri, skena musik underground Medan pada saat itu penuh dengan acara musik di setiap akhir pekan. Album kompilasi Hip Hop Tanpa Tembok, Melodic To Medan dan Madafaka Records dengan semua rilisannya jadi salah satu artefak penanda era tersebut.

Saya yang saat itu sedang semangat-semangatnya juga ikut meramaikan dinamika di dalam skena, saya ikut jadi bagian dari Wavezine, bikin acara sendiri (Basement Skena), merilis album kompilasi Aisle#1 (Hujan! records), sampai akhirnya semangat itu memudar dan saya mulai jarang datang ke acara lagi.

Gelombang berikutnya kembali muncul, ruang alternatif baru muncul, mulai dari Terminal Futsal, Pitu Room, dan 74 Live Space (Kedai Boogie). Berbagai acara digelar di sana, band-band lama mulai vakum, namun band-band baru terus bermunculan. Skena musik underground medan terus bergerak, dengan gejolak, dinamika dan siklusnya sendiri, walaupun tidak begitu terekspos sampai ke pulau Jawa.

Mungkin tidak adil juga kalau harus membandingkan dengan kondisi skena musik di pulau Jawa. Karena pusat industri musik ada di sana, dari hulu sampai ke hilir.

Meskipun begitu, band Medan yang bisa mencuri perhatian dari luar Medan juga ada, mulai dari tampil sebagai line up di festival musik nasional, dirilis oleh record label dari pulau Jawa, sampai tur ke Malaysia dan Singapura. Ada Suarasama, Hello Benji and The Cobra, Pullo, Djin, Disobey, Fingerprint, Madafaka Records, Jere Fundamental, Nartok. Ada juga Pijar dan proyek vokalisnya, Romantic Echoes dan Rio Riezky/Oslo Ibrahim yang saat ini sudah hijrah ke Jakarta.

Pertanyaan apakah harus pindah ke pulau Jawa jawabannya mungkin berbeda-beda untuk setiap orang. Saya sendiri berharap ke depan mungkin harus lebih banyak orang yang terlibat di balik bayar, baik dari media, label, organizer, yang ikut meramaikan skena musik underground Medan. Harus bergerak lebih gesit lagi, manfaatkan kekuatan internet, dan perluas jejaring.

Tambahan. Untuk mengenal lebih jauh skena Medan ada beberapa rilisan favorit saya yang bisa jadi rujukan:

Let’s Push Things Forward (2005) – Various Artists
Glow In Transparancy Aurora (2010) – Korine Conception
This Is Curse (2011) – No One Cares
 A Dark Belief (2019) – Pullo
Waalaikumshalom (2020) – Liberty Gong
Moonstruck (2020) – Beetleflux
Dao (2021) – Nartok

Honorable mention: Arsip Sinar Pagi (2020) – Various Artists.


Fandi Abdullah – Mulai ikut meramaikan skena musik di Medan sejak tahun 2008, sempat menulis zine, jadi gig organizer, bikin kompilasi, sampai akhirnya vakum. Saat ini ikut kembali meramaikan skena musik di Medan dengan membantu band Vintage Glasses, dan Beetleflux | IG: @fandiabdullah

Eksplor konten lain Pophariini

Menengok Gegap Gempita Ekosistem Musik ‘Pinggiran’ di Kulon Progo

Pinggiran, pelosok, dan jauh, sepertinya tiga kata itu mewakili Kulon Progo. Biasanya, diksi-diksi tersebut muncul dari orang-orang yang tinggal di pusat kota, pokoknya yang banyak gedung-gedung dan keramaian. Diakui atau tidak, Kulon Progo memang …

Perspektif Pekerja Seni di Single Kolaborasi Laze, A. Nayaka, dan K3bi

“Rela Pergi” menjadi single kolaborasi perdana antara Laze, A. Nayaka, dan K3bi via Sandpaper Records (29/11).      Tertulis dalam siaran pers bahwa proyek yang diinisiasi sejak pertengahan 2024—usai Laze merilis DIGDAYA dan sebelum …