Elephant Kind – Superblue

Apr 7, 2023

Jika diingat kembali, saya lumayan mengikuti sepak terjang Elephant Kind. Mulai dari perkenalan melalui videoklip “Oh Well” yang masih menampilkan sosok John Paul Patton, perdana menyaksikan mereka di gelaran Music Gallery 2016 dan melewati fase bongkar pasang personel, hingga rutin mengunjungi nomor “I Believe In You” dan “Modern Romance Dreaming (Lonely)” sebagai teman berkendara.

Berangkat dari momen-momen tersebut, maka saya cukup antusias ketika mereka mengabarkan tengah menggarap sebuah mini album terbaru berjudul Superblue yang merupakan sebuah kisah lanjutan dari hijrahnya mereka ke London di tahun 2022 silam.

Akan seperti apakah bentuk terbaru dari musik mereka setelah pindah ke sana? Apakah akan terjadi perubahan drastis dalam konteks eksplorasi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mampir di kepala saya, apa lagi setelah mereka merilis single “Rockstar” sebagai pembuka rangkaian menuju Superblue.

Tanpa basa-basi, “Rockstar” langsung memperdengarkan lirik nyentrik khas Elephant Kind. “Pack ‘er up, we’re moving to Bali”, nyanyi Bam Mastro. Ingatan saya langsung dibawa kembali ke album The Greatest Ever, kala mereka dengan nyeleneh menceritakan tentang magis dari Pondok Indah Mall dalam single “Pleaser”.

Dalam sekali putar, saya bisa ambil kesimpulan awal jika Superblue akan penuh dengan lagu-lagu yang jauh dari kata organik. Penuh dengan keterlibatan instrumen elektronik, sebagaimana yang “Rockstar” tampilkan.

Rasa antusias saya kembali berlanjut ketika giliran “Love As” yang selanjutnya dirilis oleh Elephant Kind, single terakhir menuju bentuk keseluruhan dari Superblue. Cukup berbeda dengan “Rockstar”, saya bisa bilang kalau “Love As” merupakan single yang anthemic. Hook yang langsung menonjok, lirik yang mudah dicerna, musik yang lebih ‘goyang’ dari single sebelumnya, menjadi tiga aspek dari konteks anthemic tersebut.

Jika “Rockstar” dengan liriknya membawa saya nostalgia ke era The Greatest Ever, maka “Love As” menarik saya lebih jauh lagi. Ada beberapa bagian yang mengingatkan akan musik dari Tears For Fears, yang mungkin juga memang dijadikan salah satu referensi oleh Elephant Kind, dan itu adalah hal yang berhasil bagi saya.

 

Jadi, bagaimana keseluruhan dari Superblue? Terus terang, hanya “Lately” yang mencuri perhatian. Dua lagu lainnya, “Feelings” dan “Nowhere” belum menyangkut secara berkesan di telinga saya. Kekuatan keduanya belum di level yang sama dengan “Rockstar” dan “Love As” yang langsung menyangkut dalam sekali putaran mendengar.

Bicara “Lately”, lagu tersebut terdengar mengedepankan kekuatan vokal dari Bam yang tidak perlu diragukan lagi, juga dengan pelafalan lirik-lirik berbahasa Inggris yang fasih nan khatam. Mirip-mirip dengan “Love As”, “Lately” juga punya beberapa bagian yang seakan mengajak para pendengarnya untuk turut menganggukan kepala bersama.

Di lagu ini, saya juga merasa bahwa Tame Impala menjadi salah satu referensi mereka. Beberapa liukan dan ketukan yang dibawa oleh instrumen-instrumen elektronik macam synthesizer di “Lately” menjadi alasan mengapa saya merasa mendengar referensi-referensi dari materi-materi Tame Impala di sana.

Terasa ada benang merah kesedihan dan kemurungan yang disajikan oleh Elephant Kind dalam mini album ini. Dalam rilisan persnya, mereka memang mengakui hal tersebut. Bagaimana ragam momen yang terjadi dan dilalui oleh para personel selama masa pandemi menjadi latar belakangnya, yang akhirnya terangkai dalam lima lagu di Superblue.

Penempatan urutan lagu di Superblue juga menjadi satu aspek yang dilakukan oleh Elephant Kind dengan cermat. Mereka membawa pendengarnya untuk mengikuti alur yang disajikan, mulai dari “Rockstar” yang membuka dengan mid tempo, melambat di “Fellings”, hingga menutup keseluruhannya di “Nowhere” yang kembali enerjik namun tetap dalam kemasan musik yang terdengar sedih dan murung.

Kembali ke beberapa paragraf di atas, pada akhirnya Superblue menyajikan keseluruhan lagu yang kental dengan keterlibatan instrumen elektronik dan jauh dari kata organik. Sebuah eksplorasi bermusik yang bagi saya cukup menarik untuk dilakukan oleh Elephant Kind. Masih ada rasa nostalgia serta karakter khas dari materi-materi sebelumnya, namun kini dengan pembaruan yang cukup berkesan.

Masih terasa ‘kentang’, memang. Saya rasa Superblue masih bisa ditambah satu atau dua lagu lagi. Namun, rasanya bisa terbayarkan ketika nantinya Elephant Kind kembali mentas di Indonesia, atau juga dengan kelanjutan eksplorasi mereka ini dalam bentuk album penuh terbaru.


 

Penulis
Raka Dewangkara
"Bergegas terburu dan tergesa, menjadi hafalan di luar kepala."

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …