Elly Kasim, Diva Permata Minang Yang Telah Berpulang

Sep 2, 2021
Elly Kasim Diva Minang

Sekitar sepuluh tahun lalu, ketika ledakan piringan hitam di teman-teman bunyinya terus menggoda, pertahanan jebol, dan saya mulai membelinya, itulah masa pertama kalinya saya mendengarkan rekaman Elly Kasim permata Minang ini dalam wujud aslinya, meskipun nama besarnya tentu sangat dekat dan selalu terdengar.

Agak lupa mendapatkannya di mana, apakah Jalan Surabaya atau lantai bawah tanah Blok M Square, Jakarta, album itu berjudul Elly Kasim Dengan Gajanja Jang Tersendiri, di mana Elly bernyanyi bersama Orkes Arsianti dibawah pimpinan Adrianto. Album itu dirilis oleh Irama Records, perusahaan rekaman musik pertama di Indonesia yang didirikan pada 1951 oleh Mas Yos alias Suryo Karsono.

Album yang saya dapatkan itu adalah rilisan 1966. Kondisinya, baik plat maupun sampulnya, masih bagus sekali. Lupa dulu saya tebus dengan rupiah berapa, yang jelas hari itu piringan hitam Indonesia sudah semakin “ada hargaya”.

Saat jarum turntable diletakkan, disambut dengan lagu pembuka “Si Nona”. Sejak itu saya langsung tekun menyimaknya, sembari membaca liner notes yang tertera di sampul belakangnya, ditulis oleh Mamon Sigarlaki, untuk mendapatkan gambaran pertama akan Elly Kasim (selain sampul albumnya yang menampilkan foto hitam putih dari wajah sampai bahu).

Namanja singkat sekali. Orangnja pendiam dan sederhana, tapi peramah pada waktunja, seakan-akan dia tidak sadar akan kemampuannja jang tjukup mengagumkan. Suaranja lantang dan tjukup dinamis. Dengan beberapa tjiri itulah, disamping pembawaannja jang kadang2 lintjah, kadang2 penuh perasaan menurut tjorak dan isi lagu jang dibawakannja, biduan kita ELLY KASIM dengan mudah menempatkan diri sebagai seorang penjanji jang tenar dan sangat digemari masjarakat pentjinta njanjian hiburan populer.

Ja, siapa jang tidak kenal suara ELLY KASIM? Dari bentuk suara dan pembawaannja sadja sudah dengan mudah dapat kita kenali njanjian ELLY.

Sedjak njanjian2nja diiringi orkes ,,Kumbang Tjari” pimpinan Nuskan Sjarif, dengan siapa dia pertama kali muntjul dalam rekaman2 piringan hitam, ELLY KASIM sudah mempunjai gaja jang tersendiri.

Kalau diwaktu itu suaranja hanja terdengar dalam lagu2 daerah Minang, maka belakangan ini suara ELLY banjak terdengar membawakan lagu2 Indonesia lainnja dengan penjadjian jang baik pula seperti dalam lagu2 jang sudah tjukup terkenal, a.l. ,,Asmara Dara”, ,,Tjita Bahagia”, ,,Bertemu Kasih”, dsb. jang terdapat dalam piringan hitam IRAMA lainnja. 

Njanjian ELLY KASIM memang sudah banjak direkam dan diedarkan oleh IRAMA dan mendapat sambutan jang hangat pula dari masjarakat pembeli piringan hitam.

Dalam LP ini IRAMA berhasil mengumpulkan 12 buah lagu2 pilihan jang chusus dinjanjikan oleh ELLY KASIM dengan bermatjam-matjam tjorak dan irama, dan semuanja dengan tjara chas ,,Elly Kasim”.

Diiringi orkes ,,Arsianti” pimpinan Adrianto ELLY KASIM membawakan lagu untuk anda dengan berkesan sekali, terutama lagu ,,Si Nona” tjiptaan Sjamsu Arifin, sebuah lagu jang berasal dari daerah Minang jang dibawakannja dengan penuh kesegaran dan kelintjahan.

Dia dapat mentjotjokkan suara dengan gajanja sedemikian rupa, sehingga mendjadi suatu perpaduan jang amat dinamis jang membikin tiap pendengar merasa puas dan gemar akan njanjiannja.

Hal ini dapat anda temui pula dalam lagu2 lainnja seperti ,,Mufdiah”, ,,Terpaut Di Djokja”, ,,Djumpa Pertama”, ,,Furry”, ,,Peujeum Bandung”, ,,Abak Djo Amak”, ,,Ranuangkanlah” dsb., dalam sadjian2 mana dapat kita akui kemampuannja sebagai biduan kelas berat dengan keteguhan suara dan tehnik pembawaan jang mengagumkan.

Membaca liner notes itu sembari lagu-lagu terus berjalan, dari side A ke side B, dan menemukan keindahan dan kejutan berjalan serasi. Di antara Minang terselip Sunda. Sementara lagu “Pergi Kuliah” karangan Zakarya, cukup dengan durasi 1 menit dan 57 detik, mendatangkan nostalgia bunga-bunga di kampus, dengan lokasi cerita Universitas Indonesia di Jalan Salemba.

Sejak menyimpannya di rumah, jika ada saudara datang berkunjung, saya putar album ini. Terlebih bagi orang-orang tua kami dari Sumatera Barat, reaksinya selalu sangat positif, berseru lantang dengan mata berbinar-binar,”Elly Kasim!”

Elly Kasim lahir dengan nama Ellimar di Tiku, Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 27 September 1944. Elly aktif berkarir sejak 1961, terus bergulir dari tahun ke tahun, dekade ke dekade. Rekaman dan berbagai kegiatan panggung Elly Kasim selalu terdengar di segala zaman.

Pada 2017 Elly Kasim bahkan sempat menggelar konser bertajuk Menjulang Bintang, memperingati 57 tahun Elly Kasim berkarya di dunia hiburan. Konser itu diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan menghadirkan sejumlah bintang tamu: Titiek Puspa, B3, Judika, dan Rancak Voice.

Banyak sumber mengatakan Elly merekam hingga kurang lebih 100 album. Lagu yang pertama kali dinyanyikannya adalah “Mayang Taurai”. Sementara pertemuan berikutnya dengan rekaman suara Elly Kasim pada saya terjadi dalam wujud album Gumarang ’71, Bapisah Bukannjo Batjarai yang dirilis pada 1971 oleh P’rindu Records.

Album ini merupakan kelanjutan perjalanan Orkes Gumarang dengan perombakan personil dan juga memodifikasi gaya musik mereka. Dari 12 lagu di sana, Elly menyanyikan empat di antaranya: “Angku Doto”, “Bapisah”, “Gasiang Tangkurak”,  dan “Tarak Tatjin”.

Sejak debut rekamannya, Orkes Gumarang memanglah suara favorit, baik bagi mereka yang dahulu memutarnya di masa album-album tersebut dirilis maupun bagi generasi jauh setelahnya yang menemukan harta karun berkilau di sana. Dengan fakta itu pun, lagu “Gasiang Tangkurak”,  Elly Kasim sebagai vokalis utama di sana, terdengar istimewa bahkan bagi mereka yang mendengarkan indie rock secara akut (judul lagu itu telah memberi pertanda).

Tapi asal Elly Kasim yang sesungguhnya bukanlah dari Orkes Gumarang, melainkan Orkes Kumbang Tjari pimpinan Nuskan Sjarif.

Nuskan Sjarif pernah menyampaikan maksud untuk bergabung dengan Orkes Gumarang, namun demi melihat potensi musikalnya, Nuskan justru disarankan untuk membentuk orkesnya sendiri. Maka terbentuklah Orkes Kumbang Tjari pada 1961 dengan duo ujung tombak “berbahaya”: Nuskan Sjarif dan Elly Kasim. Keduanya tampil menjadi penyanyi,

Pada mulanya, nama orkes mereka adalah Ganto Sori, kemudian berganti menjadi Ganto Rio, hingga akhirnya menjadi Orkes Kumbang Tjari. Seperti halnya Orkes Gumarang, Orkes Kumbang Tjari pun memulai mengibarkan nama mereka dengan menjadi orkes radio, lalu tampil di berbagai tempat dan kesempatan: taman-taman hiburan dan pesta-pesta.

Elly Kasim sungguh biduanita bersuara amboy, sementara Nuskan Sjarif pula menjadi pahlawan gitar yang memainkan solo-solo mahsyurnya. Tradisi bersyair Minang telah bertemu Pop, Rock and Roll, Cha-Cha, dan lebih dari yang terbayangkan. Musik ini biasa dinamakan sebagai Minang Modern. Kiprah mereka sukses gemilang, masyarakat dari mana-mana di Indonesia menerima dengan tangan dan hati terbuka.

Ch. Hasmanan menggambarkan posisi dan estetika kelompok ini begitu terangnya pada liner notes piringan hitam Orkes Kumbang Tjari rilisan Irama…

 ,,Kumbang Tjari” bukanlah orkes pertama diibukota jang membawakan lagu2 dari daerah Minangkabau. Sebelumnja kita telah mengenal ,,Gumarang” dan ,,Kinantan” serta ,,Teruna Ria”.

,,Seharusnja sebagai pendatang paling belakangan ,,Kumbang Tjari” akan lebih sempit tempat bergeraknja kalau diingat bahwa pendahulu2nja itu telah melakukan tugas pelopor mereka dengan baik, mempopulerkan lagu2 daerah asal mereka itu. Tapi kenjataan adalah sebaliknja. ,,Kumbang Tjari” malah sekaligus dapat merebut tempat utama jang sedjadjar dengan ,,Gumarang” dan ,,Teruna Ria” dan dalam waktu jang amat singkat pula. Bagaimana menerangkan ini?

Pertama-tama: kita harus ingat bahwa pada pengudjung tahun2 1950-an popularitas lagu2 minang sudah sangat menipis, setelah tadinja mentjapai puntjak kegemilangan dengan meratanja kemashuran beberapa hit seperti ,,Ajam Den Lapeh” dari ,,Gumarang” dan ,,Sinandi-nandi” dari ,,Teruna Ria”. Nah, pada saat itulah ,,Kumbang Tjari” lahir, tampil selaku ahli waris dan penjambung keturunan jang sjah, adik bungsu jang direstui oleh saudara2 tuanja dan segenap penggemar mereka.

Kedua dan sebetulnja ini lebih utama: sebagai orkes baru jang masih harus berdjuang memenangkan simpati dan popularitas, menarik sekali nafas dan penghajatan jang diberikan ,,Kumbang Tjari” terhadap lagu2nja. Hidangan2 mereka terasa masih dekat sekali kepada tjara lagu2 rakjat asli Minang dibawakan. Petikan2 gitar Nuskan Sjarif sering mengingatkan orang akan bunji alat2 musik asli minang seperti talempong, rebab dan suling. Demikian pula tjara lagu2nja dinjanjikan. Tambah lagi kalimat lagu2 tsb., betapapun telah diubah serba baru, tetaplah phrase2 jang masih murni dan telah djadi pusaka turun menurun. Pendek kata: terasa sekali betapa untuk hampir setiap hidangannja, ,,Kumbang Tjari” telah melakukan penelitian (research) tjukup mendalam dan bersungguh-sungguh perihal asal-usul, tjorak, tradisi, pantun dan amsal2nja jang asli dll. Dengan demikian timbullah kesan bahwa lagu2 tadi masih sangat kuat sekali berurat akar dibumi asalnja, Minangkabau. Modernisasi jang diperlukan hanjalah mengenai iramanja, djalan untuk itu telah dirintis oleh orkes2 terdahulu tadi. Tapi satu keistimewaan jang agak menondjol dari ,,Kumbang Tjari” ialah ketjerdikan mereka mempergunakan sentimentalitas kerinduan akan tanah asal suku minang, lalu djuga humor2 segar dan aktuil dalam sjair2nja. 

Bersama Orkes Kumbang Tjari, nama Elly Kasim dikenal luas. Sesuai dengan yang ditulis oleh Ch. Hasmanan, dengan mendengarkan musik mereka, sentimentalitas dan kenangan akan kampung di Sumatera Barat begitu menyentuh para pendengar yang berada di rantau. Hal yang terus berlangsung hingga karir solo Elly Kasim kemudian.

Nama Elly Kasim begitu lekat bagi “urang awak”, masyarakat Minangkabau di perantauan. Di Jakarta, dari tahun ke tahun, Elly Kasim kerap menjadi bintang tamu bila diadakan beragam kegiatan pertemuan para perantau dari Minang. Dan bila “uni kita” ini telah benyanyi, pecahlah suasana dengan segenap kegembiraan dan haru.

Berbagai biduan lagu Minang modern mewarnai kancah musik Indonesia, namun tak berlebihan bila Elly Kasim adalah salah satu top of mind paling abadi. Ketika tersiar kabar Elly Kasim meninggal dunia, 25 Agustus 2021 silam, pada umur 76 tahun, tersentaklah duka cita yang mendalam.

Bersama kemajuan dan kemerataan informasi, Elly Kasim rasa-rasanya bukan hanya “milik” orang-orang tua kita dari Sumatera Barat saja. Bahkan dahulu pun begitu: suara Elly Kasim bisa dinikmati mereka dari suku apa saja. Terlebih hari ini, anak-anak muda mengikuti dan mempelajari jejak musiknya, mendengarkannya di internet, memburu piringan hitamnya, bahkan dari berbagai belahan dunia, dan mendapatkan keindahan yang tinggi.

Katalog Elly Kasim sang diva permata Minang ini begitu banyaknya, hingga seolah tak habis mengumpulkan dan menemukan kejutan-kejutan “baru” darinya, begitu pula bila mendengar ulang rekaman suaranya, bahkan ketika kini sang legenda telah mendahului kita.

Innalillahi wa innailaihi rojiun.

Selamat berpulang, Elly Kasim.

 

 


 

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

Rekomendasi 9 Musisi Padang yang Wajib Didengar

Di tengah gempuran algoritma sosial media, skena musik independen Padang sepertinya tidak pernah kehabisan bibit baru yang berkembang

5 Musisi yang Wajib Ditonton di Hammersonic Festival 2024

Festival tahunan yang selalu dinanti para pecinta musik keras sudah di depan mata. Jika 2023 lalu berhasil menghadirkan nama-nama internasional seperti Slipknot, Watain, dan Black Flag, Hammersonic Festival kali ini masih punya amunisi untuk …