Evolusi Produser Musik: Karakter, Makna Popularitas, dan Masa Depan
Sebelum bicara soal produser musik, belakangan ini, terdapat sebuah pertanyaan yang kerap kali menghantui benak dan pikiran saya: apakah saya mencintai musik? Tentu saja, saya sejujur-jujurnya dan setulus-tulusnya mencintai musik. Bukan pernyataan yang berlebihan bahwa musik senantiasa menyelamatkan hidup saya, terutama ketika saya sedang melalui peristiwa hidup yang kurang menyenangkan. Ditambah lagi, kini musik telah menjadi semacam kotak kenangan tersendiri bagi saya. Setiap kali saya mendengarkan keseluruhan album Fetch the Bolt Cutters(2021) oleh Fiona Apple, saya akan selalu teringat akan babak awal wabah COVID-19 yang perlahan merengkuh Pulau Jawa.
Terlepas dari itu, saya rasa saya perlu menambahkan bahwa cinta saya untuk musik bukanlah cinta yang buta.
Saya memahami betul bahwa karya musik tidak jauh berbeda dengan produk manufaktur yang kemudian dipasarkan dan diperjualbelikan untuk konsumsi skala retail. Sebuah karya musik tidak lahir dari kombinasi puitis antara guyuran hujan dan pena di atas kertas. Tidak ada sihir atau keajaiban romansa di balik penggarapan sebuah karya musik. Bila boleh meminjam pepatah klasik dari belahan bumi Barat: it takes a village.
Tidak ada yang menyangkal bahwa Ed Sheeran adalah salah seorang songwriter terbaik di generasinya, tapi apakah “Thinking Out Loud” tetap sanggup menjadi balada romansa yang fenomenal tanpa asistensi produksi Jake Gosling? Apakah “Rumpang”, yang merupakan salah satu mahakarya terbaik Nadin Amizah sejauh ini, sanggup beroleh status ‘mahakarya’ tanpa sentuhan produksi imajinatif dari seorang Ibnu Dian? Pertanyaan terakhir sekaligus pertanyaan paling penting: apakah para penggemar Ed Sheeran dan Nadin Amizah pernah mendengar nama Jake Gosling dan Ibnu Dian?
Setidaknya, bila mengacu pada Kamus Besar Oxford, produser musik didefinisikan sebagai “seseorang yang mengelola penggarapan sebuah karya musik.” Bila sang artis berperan sebagai aktor utama, maka sang produser berperan sebagai sutradara. Bila sang artis diibaratkan sebagai panglima jenderal di garda terdepan, maka sang produser diibaratkan sebagai konsuler kepercayaan sang panglima jenderal. Memang realitanya, terdapat beberapa contoh yang membuktikan bahwa sang artis sanggup menjadi panglima jenderal sekaligus konsuler kepercayaan—semisalnya Morning Phase (2014), yang ditulis, dinyanyikan, dan diproduseri sepenuhnya oleh Beck. Akan tetapi, satu lagi realita yang patut dicamkan: tidak semua artis di luar sana memiliki kapabilitas dan kapasitas seorang Beck. Lagipula, rasa-rasanya tidak ada yang keberatan sekiranya ARMY mengetahui bahwa “Butter” tidak ditulis dan diproduseri sendiri oleh ketujuh personil BTS, betul?
Bila sang artis berperan sebagai aktor utama, maka sang produser berperan sebagai sutradara. Bila sang artis diibaratkan sebagai panglima jenderal di garda terdepan, maka sang produser diibaratkan sebagai konsuler kepercayaan sang panglima jenderal
Bila sebuah karya musik berhasil menjadi pondasi romansa antara sang artis dan penggemarnya, bukankah tidak adil bila sang artis yang sepenuhnya beroleh apresiasi? Dinamika ini tidak jauh berbeda dengan alegori pasangan suami istri yang menyampaikan pidato syukur kepada siapa pun itu yang menjodohkan mereka berdua. Impian hanya akan menjadi angan-angan tanpa didukung dengan visi. Artis memiliki tanggung jawab untuk terus bermimpi. Di sisi lain, produser memiliki tanggung jawab untuk membentuk sebuah visi.
Sepanjang kurang lebih satu bulan terakhir, saya berkesempatan untuk menjalin percakapan yang mendalam dengan empat produser dengan usia, pengalaman, dan latar belakang yang berbeda satu dengan yang lainnya: Aldi Nada Permana, Ari Renaldi, Michael Juan, dan Eky Rizkani.
Terkenal di kalangan musisi sebagai salah seorang produser paling versatile sepanjang satu dekade terakhir, portofolio Aldi Nada telah mencakup ranah musik pop (Afgan, JAZ), jazz (Ardhito Pramono), chamber pop (Gamaliel), surf-rock (The Panturas), dan indie pop (Polka Wars). Dua puluh tahun melalang buana di industri musik Indonesia, Ari Renaldi telah menggawangi modern icons seperti Tulus, Yura Yunita, dan Raisa. Digadang sebagai hitmaker masa depan, Michael Juan telah membuktikan dirinya sebagai produser muda yang sanggup mencetak lagu populer di era streaming untuk Brisia Jodie, Mahen, Mahalini Raharja, dan Nuca. Eky Rizkani berhasil melahirkan debut yang eksepsional sebagai produser tunggal untuk EP terbaru Nadin Amizah.
Mereka berempat telah melalui perjalanan mereka masing-masing dan memetik pelajaran hidup (dan karir) yang beraneka-ragam—sebagai seorang produser, visioner, dan—for better or worse—sosok tanpa nama.
Banyak jalan menuju Roma (atau setidaknya, kursi produser)
Bila diperhatikan, rasa-rasanya tidak pernah ada iklan lowongan pekerjaan di surat kabar atau media sosial untuk posisi seorang produser. Artinya, setidaknya di industri musik Indonesia, dibutuhkan solusi out-of-the-box untuk memulai karir sebagai seorang produser musik.
Aldi Nada Permana telah membangun karir sebagai seorang produser sejak tahun 2011—dengan awal yang bisa dibilang cukup tradisional. “Ada seseorang yang punya kenalan dengan banyak label, dan [dengan bantuan dia] saya kirim CD demo ke label-label ini,” beber Aldi Nada. Tidak lama kemudian, salah satu CD demo tersebut menarik perhatian seorang artis pria yang sedang bersinar di kala itu, yakni Afgan. Aldi Nada pun diberi kesempatan untuk menggarap karya musik pertamanya sebagai seorang produser: “Tanpa Bahasa”, yang kemudian menjadi bagian dari album ketiga Afgan yang bertajuk L1ve to Love, Love to L1ve(2013). “Sempat ada pertanyaan dari dalam hati: apakah saya qualified untuk mengerjakan karya ini? [Memang] ada perasaan tidak enak dan [kekhawatiran] tidak sesuai harapan,” ucap Aldi Nada disertai gelak tawa.
Berbeda dengan Aldi Nada, Ari Renaldi beroleh kesempatan menjadi seorang produser berkat petualangannya sebagai seorang musisi dan accompanist. Semasa kuliah, Ari kerap menjadi session drummer untuk artis-artis populer di era awal 2000-an seperti Project Pop, Rio Febrian, dan almarhum Glenn Fredly. Dia pun kemudian beroleh kesempatan menjadi produser untuk penggarapan album kedua dan ketiga Mocca, yakni Friends (2004) dan Colours (2007). “Dulu definisi ‘produser’ masih rancu. Produser masih dianggap sebagai penyandang dana, padahal produser itu bertanggung jawab atas proses kreatif sebuah rekaman,” kenang Ari. Dia berpendapat bahwa chemistry dan kepercayaan yang terjalin antara dia dan Mocca adalah berkat kesamaan latar belakang. “Kita kurang lebih sepermainan juga. Kita punya banyak mutual friends juga. Kita masih satu ‘angkatan’, jadi bisa nyambung,” ujarnya.
Setidaknya di industri musik Indonesia, dibutuhkan solusi out-of-the-box untuk memulai karir sebagai seorang produser musik.
Memasuki era 2010-an, Ari Renaldi kerap kali membantu menggarap karya musik Tulus. Ari berpendapat bahwa “kadang-kadang musik bisa mempersatukan. Kadang apa yang saya bikin klop buat mereka, dan apa yang mereka bikin cocok dengan saya. Istilahnya, dia punya badan, dan saya yang bikin bajunya. Menurut dia, saya bisa bikin ‘baju’ yang pas buat dia.” Seiring bertambahnya usia, Ari mengakui bahwa generation gapbukanlah sesuatu yang patut disangkal. “Justru karena ada generation gap ini, di situ saya merasa kalau saya yang harus belajar. Untuk talent yang kebetulan sedang saya produseri, saya ingin mereka muncul sebagai diri mereka sendiri,” tambahnya.
Michael Juan dan Eky Rizkani—mewakili generasi produser muda yang sedang emerging di era modern ini—berhasil merintis karir mereka berkat dukungan kemajuan teknologi di industri musik Indonesia, terutama streaming platform. Meskipun Michael Juan adalah kakak dari rising star Brisia Jodie, kontribusinya untuk lagu-lagu populer “Seandainya” dan “Menunggu Jadi Pacarmu” yang mendorong Universal Music Indonesia untuk memberikan kepercayaan lebih. Hingga akhir bulan Juli 2021, kedua lagu tersebut telah meraup total play kumulatif sebesar 20.723.899 di Spotify. “Awalnya kelihatannya Universal memang ragu, tapi begitu mereka melihat hasilnya, yah, mereka akhirnya percaya juga [sama saya],” imbuhnya. “Setelah itu, saya malah disuruh masukin lagu melulu!”
Angka di atas masih belum menyamai garapan Michael berikutnya: “Kisahku”, pop ballad Brisia Jodie yang meraup lebih dari 29 juta play di Spotify dan mengganjarnya nominasi Karya Produksi Terbaik Terbaik dan Pencipta Lagu Pop Terbaik di ajang AMI Awards 2020—bukan prestasi main-main dari seorang produser pemula. “Proses penggarapan ‘Kisahku’ itu sederhana banget. Saya suka mancing-mancing nada, lalu kalau ada nada yang Brisia suka, dia akan tambahkan liriknya. Kita bikin versi mentahnya pakai handphone, lalu kita coba kasih ke Universal,” terangnya. Khusus untuk “Kisahku”, peracikan aransemen dibantu oleh Tohpati—seorang songwriter dan gitaris yang telah melegenda di blantika musik jazz Indonesia.
“Saya amat, sangat belajar banyak dari Tohpati,” lanjut Michael. “Dia menjadi salah satu tokoh panutan saya juga. Lagunya Tohpati itu rumit banget, tapi giliran dia menggarap musik pop, dia bisa menahan egonya. Itu yang saya pelajari dari Tohpati. Saya belajar kalau skill boleh dikejar setinggi-tingginya—selama kita juga bisa menurunkan ego kita.”
Disusul dengan dua garapan orisinil berikutnya (“Cinta Kau Dimana” dan “Ku Ingin Memilikimu”), nama Michael Juan pun resmi tercantum pada separuh daftar lagu yang mengisi album perdana Brisia Jodie.
Berbeda dengan ketiga produser di atas, perjalanan karir Eky Rizkani—masih berusia 23 tahun dan kini mengenyam pendidikan S-1 Ilmu Kedokteran di Universitas Indonesia—sebagai seorang produser bisa dibilang sebuah kecelakaan. Karya musik independen yang diunggahnya di streaming platform—menggunakan nama panggung Reruntuh—berhasil menarik perhatian seorang Nadin Amizah, yang kemudian mengajaknya untuk memproduseri keseluruhan EP terbarunya Kalah Bertaruh (2021). “Saya sama sekali enggak punya angan-angan menjadi produser. Makanya, saya kaget waktu Nadin ngajakin saya,” bebernya. “Kalau enggak salah, Nadin reach out di bulan Januari 2021. Dia dengar karya saya sebagai Reruntuh dan dia kemudian pengen saya nge-produce EP dia selanjutnya. Dia sempat kesulitan nyari saya soalnya waktu itu saya deactivate Instagram saya,” kekehnya.
Sebagai karya ‘resmi’ pertama Eky sebagai seorang produser untuk artis lain, dia mengakui bahwa “bagian terberat adalah proses merasakan karya musik yang ditulis Nadin. Cara berempati dengan karyanya, [dalam artian] saya mencoba menemukan bagian dari diri saya yang terwakilkan oleh lagu tersebut.”
Karakter dan kriteria
Melalui percakapan saya dengan keempat produser ini, saya mendapati bahwa sama seperti seorang artis, maka seorang produser juga memiliki karakter dan kriteria mereka masing-masing dalam mengerjakan sebuah proyek.
Meskipun belum genap setahun perjalanan Eky sebagai seorang produser, dia mulai menemukan apa yang menjadi karakter atau ciri khasnya sebagai seorang produser. “Buat saya, yang paling penting adalah kita punya keresahan yang sama,” tawanya. “Saya harus bisa merasakan apa yang sang artis rasakan, walaupun kecil banget. Saya harus bisa memahami mengapa artis itu ingin menciptakan karya ini.”
Eky juga mengungkapkan bahwa dia bukan tipe produser yang sanggup menciptakan karya musik secara spontan. “Saya enggak bisa jamming,” ucapnya. “Saya belajar bahwa yang paling penting [dalam penggarapan karya musik] adalah kita bisa ngobrol aja! Biar kita bisa saling connect. Memang butuh banyak energi itu, but that’s what works.” Prinsip tersebut juga membangun preferensi Eky untuk bekerja bersama singer-songwriter dan bukan ‘sekedar’ singer. “Saya selalu tertarik dengan sesuatu yang sifatnya personal,” imbuhnya.
Michael Juan menyikapi karakter dan kriteria yang dianutnya melalui lensa yang lebih bersifat teknis. “Artis enggak perlu punya vokal berteknik tinggi, tapi saya suka vokal yang berkarakter,” lugasnya. Di samping itu, portofolio Michael sejauh ini mengindikasikan kecenderungan untuk menggarap karya musik dengan atmosfer yang galau—pengamatan yang Michael sambut dengan gelak tawa. “Saya cuma pengen bikin sesuatu yang sederhana, tapi enggak receh. Tapi saya terkenalnya karena lagu galau, sih. Kayak waktu saya kerja bareng Mahen, kita berdua itu ‘sad boy’. Saya cocok sama Mahen karena kita berdua sama-sama ‘sad boy’!”
Bagaimana jika publik dan industri mengecap Michael sebagai “produser musik galau”? “Enggak masalah, sih,” jawabnya santai. “Soalnya saya dulu pernah bikin caption di Instagram: “CEO Lagu Galau Indonesia”. Saya bisa bikin lagu gembira, tapi [memang] rata-rata yang order ke saya adalah lagu galau.”
Apakah sebuah lagu harus setidaknya mencapai satu juta play di Spotify?
Di lain pihak, Aldi Nada cenderung memposisikan dirinya sebagai produser yang open-minded berkat latar belakang pendidikannya sebagai lulusan S-1 Pendidikan Seni Musik di Universitas Pendidikan Indonesia. “Justru karena dicetak menjadi guru, kita harus bisa bikin segala macam. Dengan segala keterbatasan, kesempatan untuk belajar segala macam jenis musik terbuka luas. Waktu saya kuliah, saya suka gabung sama anak gamelan, sama anak musik klasik, sama anak big band dan jazz, dan banyak lagi.” ucapnya bangga.
Ketika berhadapan dengan seorang artis, Aldi Nada meyakini bahwa untuk bisa bekerja sama dengan mulus, “hal paling krusial adalah bagaimana cara berkomunikasi. Setiap artis punya cara berkomunikasi dan menyampaikan ide yang berbeda-beda. Tapi bila setidaknya saya bisa memahami sang artis, apa pun jenis musiknya, saya percaya diri saya bisa kerjakan.” Dia juga berprinsip bahwa kemampuan vokal sang artis tidak pernah menjadi masalah. “Selama komunikasi kita nyambung dan artisnya punya visi juga, justru itulah yang langka,” tambahnya. “Ketika dia bisa mengeluarkan karakternya, kemampuan teknis seperti vokal itu menjadi nomor dua.”
Sebagai salah satu figur paling senior di profesinya, Ari belajar dari pengalaman bahwa skill seorang artis merupakan persyaratan paling mendasar. “Kalau produser lain, mungkin mereka bisa bekerja dengan artis yang talentanya biasa tapi sanggup menjual. Tapi buat saya, saya bukan di kubu di situ. Terlepas dari itu, saya paham bahwa ini adalah showbiz,” terangnya.
Memasuki dekade baru, tampaknya sosok Ari Renaldi hendak berencana ‘menggebrak’ reputasinya sebagai produser artis pop Top 40 ketika dia memutuskan untuk memproduseri “Irama Laot Teduh” dan “Bulan Yang Baik” untuk musisi art pop Sal Priadi. Ketika kedua lagu ini didengar sambil menutup mata, rasa-rasanya tidak ada yang sanggup menyangka bahwa nama Ari terbubuh pada kedua lagu tersebut.
“Situasi ketika album terdiri dari tiga lead single dan sisanya filler itu memang ada. Tapi kembali lagi, semua tergantung label yang bersangkutan.”
Ari pun mengungkapkan bahwa ‘gebrakan’ bersama Sal Priadi tersebut terinspirasi dari “kentalnya individualitas” artis yang bersangkutan. “Ini juga adalah wilayah tertentu yang mungkin belum pernah saya coba. Tapi kalau dipikir lagi, Tulus, Yura Yunita, dan Mocca berakar dari indie juga,” imbuhnya. “Kita bikin karya, bukannya template.”
Dilema seorang hitmaker
Memasuki era streaming, kebanyakan portofolio Ari mencapai setidaknya satu juta play di Spotify. Akan tetapi, apakah sosok Ari Renaldi melihat dirinya sendiri sebagai seorang hitmaker? “Saya tidak menargetkan bikin hit, tapi saya berusaha bikin yang terbaik dari suatu lagu yang kebetulan dipercayakan kepada saya untuk di-produce. Bila kebetulan lagu itu menjadi hit, saya bersyukur,” jawabnya.
Ari juga menambahkan bahwa terlepas dari respon publik terhadap karya yang diproduserinya, “minimal saya tidak malu dengan lagunya. Saya berusaha setidaknya saya suka dengan lagunya. Itulah pride seorang produser.”
Sebagai salah seorang hitmaker muda di era streaming ini, Michael memiliki perspektif tersendiri mengenai bagaimana cara meracik karya musik yang berhasil secara komersiil.
“Terdapat perbedaan antara lagu yang enak dan lagu yang booming,” bebernya. “Lagu yang booming atau yang mudah diterima masyarakat adalah lagu yang banyak elemen pengulangannya. Dari kata sampai nada, banyak pengulangannya. Misalkan, untuk lagu ‘Kisahku’, liriknya ‘Cukup aku rasakan ini / Cukup aku rasakan ini.’ Liriknya diulang-ulang, kan? Jadinya meracun. Di sisi lain, lagu yang enak belum tentu booming karena kurang meracun.”
Apakah sebuah lagu harus setidaknya mencapai satu juta play di Spotify? Jawab Michael: “Pasti tetap ada keinginan agar lagu kita didengar banyak orang. Agar lagu kita di-cover juga oleh orang lain dan itu menjadi kebanggaan juga. Akan tetapi, enggak usah dipikirkan lagunya harus dapat berapa play. Berkaryalah sebaik-baiknya dan seindah-indahnya.”
Terlepas dari popularitas Kalah Bertaruh, Eky tidak memandang dirinya sebagai seorang hitmaker. “Dulu saya memang sempat kepikiran banget, apalagi karena Spotify selalu menunjukkan jumlah play. Tapi, setiap kali saya merasa resah, saya coba menempatkan diri saya di posisi musisi yang saya kagumi, misalnya Ade Paloh dari band Sore dan Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca,” tutur Eky.
Eky secara spesifik mengagumi dampak album Efek Rumah Kaca yang bertajuk Sinestesia (2015) yang, menurutnya, lebih dari sekedar popularitas. “Kalau Cholil memikirkan angka streaming, kayaknya dia enggak akan bikin album dengan lagu-lagu berdurasi panjang seperti itu. Tapi buat saya, album dia membuat kehidupan banyak orang menjadi lebih indah. Dan menjadi kontribusi yang gokil,” pujinya.
“Orang-orang di dalam industri sudah banyak mengerti [mengenai profesi ini], tapi masih berproses.”
Aldi Nada, secara mengejutkan, melontarkan argumen yang lain dari pada yang lain. Menurutnya, faktor utama yang menjadikan karya musik sebagai sebuah hit bukanlah kepiawaian produser di balik layar, melainkan sang artis dan lagu itu sendiri. “Produksi itu bisa diubah-ubah, bisa diganti-ganti,” ringkasnya santai. “Tapi kalo lagunya oke dan penyanyinya oke, itu yang berbanding lurus dengan views [YouTube].”
Evolusi dan apresiasi
Ari telah menyaksikan secara langsung evolusi profesi yang ditekuninya dari dekade 2000-an, 2010-an, hingga sekarang. Perbedaan paling signifikan yang dia rasakan adalah independensi sang artis. “Kalau dulu, terutama di era 2000-an, kita masih perlu studio rekaman yang proper. Selain itu, mixing dianggap sebagai bagian dari proses rekaman. Dari situ, perlahan-lahan berubah. Artis mulai bereksperimen dan muncul ide-ide yang tidak terbayangkan sebelumnya. Karena informasi banyak tersedia, artis belajar banyak teknik baru,” jelasnya.
Proses penggarapan sebuah album juga telah banyak berubah, namun Ari menekankan bahwa semua “tergantung pada mindset label yang bersangkutan.” Dia pernah menyaksikan penggarapan album yang sifatnya cenderung sekedar formalitas belaka, berpendapat bahwa “sayang aja keluar banyak dana hanya biar album itu ada. Tapi memang attitude itu sempat ada. Situasi ketika album terdiri dari tiga lead single dan sisanya filler itu memang ada. Tapi kembali lagi, semua tergantung label yang bersangkutan.”
Setelah satu dekade penuh menjalani profesinya, Aldi Nada mengamati bahwa “semakin ke sini, artis itu semakin paham tugas seorang produser. Semakin ke sini, artis menganggap produser itu sebagai seorang partner. Tapi di awal-awal, tidak seperti itu.” Di samping apresiasi sang artis, Aldi Nada berpendapat bahwa apresiasi publik terhadap karyanya “sudah cukup lumayan, meski pun masih kurang. Tapi sudah cukup lumayan. Mereka mulai melihat song credit dan mulai ada obrolan, ‘Oh, dia yang produserin ini juga, kan?’ Tapi biasanya itu anak-anak milenial. Generasi streaming.”
Khususnya bagi para produser muda seperti Michael dan Eky, masih tersimpan dahaga untuk keluar dari bayang-bayang tanpa nama untuk menjadi bintang utama di atas panggung. “Saya bakal rilis single juga—kali ini sebagai artis solo,” ungkap Michael. “Bentuk karyanya juga agak berbeda dengan karya yang saya bikin untuk artis lain karena kali ini, yang akan menyanyikan lagu ini adalah saya sendiri. Tapi lagunya tetap mellow,” kekehnya. Tampaknya Michael mencoba mengikuti cetak biru FINNEAS—kakak Billie Eilish sekaligus produser pemenang Grammy Awards yang masih berambisi memahat karir solonya sendiri.
Eky juga berencana untuk menggarap album solonya sebagai Reruntuh. “Saya mau mengerjakan albumnya sampai selesai, baru kemudian memikirkan mengenai label,” bebernya.
Pada akhirnya, saya rasa ucapan Ari Renaldi yang satu ini berhasil merangkum evolusi profesi produser di industri musik Indonesia secara keseluruhan: “Orang-orang di dalam industri sudah banyak mengerti [mengenai profesi ini], tapi masih berproses.”
Bila saya coba simpulkan secara kritis, mungkin memang membutuhkan “proses” yang cukup lama untuk industri musik Indonesia dan masyarakat umum untuk memberikan apresiasi yang pantas bagi Aldi Nada Permana, Ari Renaldi, Michael Juan, dan Eky Rizkani. Namun, apakah mustahil? Tentu saja tidak. Mungkin sepuluh atau dua puluh tahun silam, banyak insan Tanah Air ini yang bermimpi menjadi the next Celine Dion. Akan tetapi, terhitung dari dekade ini hingga dua puluh tahun lagi, mungkin banyak dari mereka yang mulai tergerak untuk menjadi the next David Foster. Entah menjadi artis atau menjadi produser, keduanya adalah ambisi yang sama-sama gemilang.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …