Ferry Dermawan: “Joyland Festival secara Mood Itu Laidback”
Joyland Festival siap memasuki tahun keempat penyelenggaraan. Setelah tiga kali diadakan di Senayan, akhirnya penyelenggara memutuskan berpindah lokasi dari tengah kota ke tempat yang menurut pencarian Google biasa dipakai untuk acara pernikahan, yaitu Taman Bhagawan, Jl. Nusa Dua, Kuta Selatan.
Kilas balik ke tahun-tahun sebelumnya. Joyland Festival sendiri pernah menghadirkan Pure Saturday, BRNDLS, Bangkutaman, L’alphalpha, Efek Rumah Kaca, Dialog Dini Hari, The Trees & The Wild, Polka Wars, Tigapagi, Angsa & Serigala, Eva Celia, Ardhito Pramono, Mad Madmen, Duara dan masih banyak lagi.
Adapun band yang kami pantau tidak pernah absen dari panggung Joyland sejak tahun pertama adalah White Shoes & The Couples Company. Mereka kabarnya di Joyland Bali akan membawakan materi album 2020. Kemudian nama lain yang rasanya patut disimak, Danilla dengan bekal album teranyar POP SEBLAY.
Di dua tahun pertamanya, penyelenggara mengatasnamakan diri G Production dan kini berubah menjadi Plainsong Live. Namun, sosok di balik Joyland Festival itu sendiri masih orang yang sama, yaitu Ferry Dermawan. Kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengannya (15/03).
Sebelum Joyland Festival Bali bergulir tanggal 25, 26, dan 27 Maret 2022, mari simak percakapan di bawah ini.
Bagaimana perjalanan Ferry sampai akhirnya sukses membuat Joyland Festival?
Joyland Festival pertama kali digelar tahun 2012 di Taman Krida Loka, Senayan. Baru ingat kemarin ini pas lagi ngobrol sama teman-teman. Awalnya, si Joyland ada di konser kolaborasi Djakartamosphere (Djaksphere), yang kita bikin sekitar tahun 2009 – 2012.
Di tahun 2011, kolaborasi Djaksphere yang diadakan di Tennis Indoor Senayan. Di luarnya itu kita manfaatkan untuk satu panggung yang kita namain Joyland Stage. Mereka yang tampil di situ yang enggak ikut kolaborasi di dalam. Ternyata dari situ sih kita mulainya, Joyland Stage di Djaksphere.
Waktu itu banyak band dengan rilisan baru yang menarik. Tapi, saya pikir supaya enggak cuma kolaborasi, apa yang menjadi menu pembukanya. Sementara kolaborasi yang jadi menu utamanya. Makanya di 2012, kita bikin jadi satu festival sendiri. Sebenarnya dari 2012 sudah direncanakan secara konsep, ada dua panggung, ada talks juga, muterin film, kurang lebih sama.
Apakah Ferry juga bermusik? Atau memang bekerja di dunia musik selama ini?
Enggak ada background sekolah musik atau musisi. Memang tertarik sama musik tapi awalnya coba-coba dulu. Ternyata keriweuhan dalam mempersiapkan satu pertunjukan menarik gitu. Tertarik di situ. Kita memulainya dari konser kolaborasi Djakartamosphere. Jadi, banyak sekali percakapan-percakapan antar musisi. Kita kan yang mempertemukan mereka waktu itu, musisi yang kita anggap legend sama musisi yang aktif hari itu.
Kayak contohnya mendengar percakapan antara Pure Saturday dengan almarhum Mas Yockie (Yockie Suryoprayogo-red). Itu kan pandangan kita selalu merasa ada gap antara musisi yang aktif hari ini sama musisi yang senior dan kita anggap legend. Pas mereka ketemu obrolannya seru. Kebanyakan sih seru, tapi ada juga yang garing. Ada yang memang asyik dengan dunianya masing-masing. Yang kayak gitu-gitu sih yang bikin kita tertarik di dalam mempersiapkan konsernya. Sisanya memang kayak nagih gitu. Ngebayangin konser atau festival dengan venue seperti ini, mencoba mewujudkan.
Terus di dalam persiapannya ketemu macam-macam, bisa kendala tapi kan bisa jadi enggak ya. Kalau kita meresponsnya apa, bisa jadi kejutan baru. Yang kayak gitu-gitu. Sampai akhirnya kita udah di hari pertunjukan, tetap masih banyak yang kurang juga sih. Oh nanti next edisi kita mau coba yang kayak gini, mau coba kayak gitu. Kayak enggak ada ujungnya, ketagihan saja.
Bagaimana dipertemukan orang-orang saat Joyland Festival pertama kali diadakan?
Kalau untuk tim dari awal, bareng-bareng yang itu saja. Partner dari awal tuh memang sama Lintang, dulu pacaran sekarang sih sudah menikah. Dia yang urusan yang membentuk tim di internal, berhubungan dengan internal juga. Tapi memang waktu itu pas kita memulai Djakartmosphere bareng si Kiki (Kiki Aulia Ucup, red) karena waktu itu satu kampus. Jarang kuliah bareng, main doang pergi ke gig. Dia waktu itu kerja di Demajors, jadi suka megang band juga. Suka nonton.
Terus ya ngebayangin saja, ini ketemu ini di dalam satu konser bisa jadi apa ya dan mencoba mewujudkan. Itu berkembang saja sih. Waktu itu memang mikirnya di Djakartamosphere, karena konser kolaborasinya enggak pengin mengulang lineup-nya. Sedangkan waktu itu juga ngerasa kayak pertunjukan masih belum terlalu banyak. Mungkin kalau bisa dilihat dari di industrinya itu pemainnya gitu ya, vendor-vendornya saja waktu itu, kebanyakan mereka juga sebenarnya mereka vendor pertunjukan teater.
Jadi, waktu dulu kita mulai dibanding hari ini jauh banget. Hari ini tuh sudah kayak “Wah teknologinya sudah jauh lebih maju untuk si industrinya”. Waktu itu bikin Joyland memang pengin, kayaknya kita memang kekurangan festival karena waktu itu kebanyakan festival yang besar-besar di era itu. Kalau enggak festival yang besar kayak Rockin’ Land atau Java Jazz Festival. Ada juga JakCloth panggung musiknya lumayan banyak cuma itu kan enggak bisa dibilang festival musik.
Nah, kita tuh buat band-band yang kita senang. Kayak jarang kesempatan buat mempertemukan mereka di satu acara musik yang lumayan ramai lineup-nya yang bisa kita bilang festival. Kalau pun ada, kita masih merasa kurang sih. Waktu itu begitu.
“Festival musik yang ideal menurut kita, selain bisa merekam momen hari ini tapi bisa juga punya sifat yang inklusif. Bisa merangkul banyak komunitas, juga bisa menginspirasi ke depannya.”
Menurut Ferry seperti apa festival musik yang seharusnya? Apa saja yang perlu diperhatikan dalam sebuah festival musik?
Mungkin ini bisa macam-macam. Tapi kalau yang saat ini yang mungkin ideal bisa merekam momen hari ini. Hari ini tuh ada pergerakan apa saja sih dan musik-musik seperti apa saja sih yang mungkin perlu di-highlight.
Makanya, pemilihan itu bisa jadi sangat personal bagi setiap masing-masing festival musik. Harusnya begitu ya. Festival musik yang ideal menurut kita, selain bisa merekam momen hari ini tapi bisa juga punya sifat yang inklusif. Bisa merangkul banyak komunitas, juga bisa menginspirasi ke depannya. Idealnya jadi banyak orang yang pengin bikin (festival) juga. Kan yang nanti senang band dan penontonnya tuh karena satu festival saja enggak akan cukup sih untuk mengakomodir segitu banyak band yang lagi berkembang. Apalagi se-Indonesia ya, pulau segitu banyak, kota segitu banyak.
Apa kepuasan secara personal ketika membuat Joyland Festival ini sendiri?
Banyak banget sih ya. Kita bikin festival juga ada rasa pengin, kayak gue tuh pengin undang ini deh, gue pengin nonton dia di acara gue deh. Ada rasa gitunya. Apalagi kepuasannya tuh bisa ada, gue tuh pengin di festival gue ada dia, dia, dia, dia, dia yang dari berbagai genre karena selera kita kecil kemungkinannya yang hanya itu aja. Pasti genrenya bisa ke mana-mana. Ya itu sih kepuasannya bisa ngundang ini dan itu di satu acara.
Apakah selama ini semua ide bisa terealisasi dengan baik dan yang membedakan dengan festival musik lainnya yang enggak kalah meriah?
Kita sih ngebayanginnya Joyland tuh festival yang secara mood itu laidback. Laidback tuh kita bisa dapat mood itu gimana sih. Cari venue yang mendukung itu. Makanya dari 2019 itu pas ketemu Lapangan Panahan itu, sudah itu doang. Mau dikasih rekomendasi tempat lain, yang ini susah harus persyaratannya banyak. Enggak mau, sudah pokoknya itu. Kalau enggak di situ, ya enggak usah. Begitu juga dengan ini (Joyland Bali), kemarin kita mau bikin mau bikin susah tapi kepikiran kayaknya bikin di Bali tuh bisa dapat nuansa itu juga tuh yang laidback.
Mungkin juga bisa lebih fresh karena kita ke Bali tuh rasanya begitu sampe Bali kan rasanya sudah beda. Begitu ketemu venue itu. Nah, ini Joyland banget nih. Ini Joyland banget plus ini bisa jadi pembeda sama Joyland Jakarta karena posisinya juga di pinggir pantai. Pandangan mata kita tuh waktu yang 2019, memang kota banget kan gedung-gedung karena di tengah kota. Kalau ini sejauh mata memandangnya tuh sudah pantai, taman-taman gitu, rumput. Sudah dapat mood-nya sudah di situ. Ngejar mood-nya itu dulu.
Walaupun sebenarnya pantai bukan Bali aja yang punya. Apa pertimbangan memnbuat Joyland di Bali?
Pertama karena Bali itu kayak destinasi wisata. Kayak buat kita yang di Jakarta memang kayaknya paling gampang entah mau liburan sendiri, mau ajak keluarga atau bareng sama teman-teman ke Bali sudah kayak gampang saja gitu untuk ke sana dapat suasana macam-macam. Terus secara teknis produksi, infrastrukturnya tuh siap. Vendor-vendor yang produksi untuk pertunjukan grade A, banyak juga di Bali tanpa perlu mendatangkan dari Jakarta karena di Bali sudah banyak banget event internasional, mau konser atau apapun. Infrastrukturnya sudah terbentuk dibanding entah pantai daerah mana gitu ya. Di sana ada bandara internasionalnya enggak untuk penonton dari macam-macam gitu, misalkan. Terus vendornya gimana, ada enggak vendor yang enggak harus dari luar kota tersebut atau misalkan dari luar kota tapi akses menuju sananya gimana. Kalau di Bali kan semua sudah ada.
Oiya, kenapa tahun ini enggak ada lineup internasional?
Tahun ini enggak bisa karena waktu itu terkendala masa karantina. Jadi kalau kita nge-booked international artist itu kan enggak bisa mepet. Minimal paling dekat itu mungkin 3 bulan. Dan mereka biasanya mau ke luar itu kalau tur. Jadi sekali jalan, katakanlah, 10 hari mereka dapat berapa titik, empat kah atau lima. Tapi di masa yang enggak pasti ini, mereka (band) rugi banyak. Salah satu (alasannya) harus karantina di Indonesia. Apalagi waktu itu kita sebenarnya persiapan mulai dari sekitar November 2021. Jadi, mau ngomongin ke Februari juga. Waktu itu karantina masih 7 hari kalau enggak salah. Begitu di Januari, eh iya sempat jadi 10 hari. Terus banyak ketidakpastian. Sudah gitu biayanya juga lumayan ya, satu orang itu biayanya lumayan tinggi. Belum lagi saat mereka balik ke negaranya juga ada beberapa yang harus karantina lagi dengan biaya yang enggak kecil. Jadi secara hitungan enggak memungkinkan, secara waktu juga enggak mendukung. Jadi ya sudah kita putusin enggak usah ada international artist dulu.
Joyland Bali ini kabarnya cukup singkat ya persiapannya?
Lumayan, dari November. Pengin-penginnya tuh dari Oktober 2021 sudah ngeganggu banget. Tapi sebenarnya baru benar-benar kayak jalan berhitung dan nge-draft proposal tuh dari awal November 2021.
Bagaimana Joyland menentukan tema untuk menyajikan sesuatu yang berbeda di setiap gelaran?
Memang yang mau kita highlight itu sebenarnya area-areanya ya. Kita ada 5 – 6. Si Joyland Stage itu main stage-nya. Terus ada area kita namakan Lily Pad, ini untuk second stage-nya yang kita kolaborasi gitu dengan satu komunitas atau satu kelompok musik untuk sama-sama mikirin milih gitu mau menampilkan apa dan siapa ya di stage ini. Kayak 2019 lalu bareng teman-teman dari Efek Rumah Kaca. Terus yang kali ini kita bareng komunitas di Bali yang kita anggap lagi aktif terus juga punya gagasan yang menarik buat kita yaitu Ravepasar, culture club DJ-nya yang lumayan progressive di Bali.
Terus ada stand up comedy, 2019 lalu kita jalan bareng Soleh Solihun, kali ini bareng sama Stand Up Indo. Lalu film outdoor cinema, waktu itu kita ajak Anggun (Anggun Priambodo -sutradara) yang kurasi filmnya. Tahun ini sama Alexander Matius (Mamat) karena dia memang programmer beberapa festival (film). Ya pengin saja kerja bareng. Itu juga salah satu yang gue senangin. Bisa milih gitu, mau kolaborasi sama siapa nih, mau kerja sama siapa. Jadi, selalu dapat hal-hal baru.
Lalu ada juga area workshop. Kalau waktu itu memang kita khususkan karena kita pengin ngebentuk workshop itu buat anak-anak atau keluarga karena waktu itu kita pengin festival ini bisa untuk semua kalangan. Enggak cuma yang dewasa soalnya kita nih pada berkeluarga, sudah pada punya anak-anak. Enggak pengin juga ninggalin anak-anak di rumah terus kita senang-senang. Kita pengin juga ngajak mereka ke festival. Paling enggak dia tau dulu deh, “Oh ini ada kelompok musik yang formatnya begini. Ada kelompok musik yang nampilinnya begini”. Pengin ngenalin lah. Senang juga kalau bisa ajak dia ke festival musik pertamanya. Jadi terekam dikenalin karena kita anggap di sini banyak festival yang enggak bisa diakses sama anak-anak. Entah karena sponsor, mesti 18+. Wah sayang banget, padahal pengin ajak dia nonton band favorit orang tuanya. Itu yang area workshop. Tapi kali ini yang di Joyland Bali workshop-nya ini kita mau banyakin. Jadi, ada sekitar hampir 10 workshop selama tiga hari nanti. Jadi bisa ngajak anak-anaknya. Ada market, F&B.
Bagaimana proses yang dilakukan tim kurasi artis Joyland Festival untuk tampil di Bali?
Kalau tahun ini aku ngobrolnya tuh bareng sama Kiki Ucup plus sama Ichsan yang mewakili Ravepasar. Sebenarnya tuh karena kita tuh butuh ngobrol saja. Butuh think thank saja untuk saling ngasih argumentasi. Mungkin sebenarnya juga aku sudah tau mau mainin siapa. Cuma ya butuh masukan-masukan dari teman atau orang yang dipercaya saja.
Ada kriteria tertentu enggak manggung di Joyland? Misalnya harus punya album.
Kalau untuk kriteria pribadi pasti begitu. Dari sekian banyak artis gitu ya. Kita harus nge-highlights headliner. Siapa headliner-nya nih, Kalau aku masih agak-agak konservatif. Memang harus ada pertimbangan, sudah berapa lama dia berkarya, sudah punya album berapa. Walaupun banyak juga yang enggak. Kadang ada beberapa kelompok musik yang sebenarnya belum punya full album, tapi sekarang di mana-mana juga udah jadi headline di festival atau acara. Itu prevensif pribadi.
Beberapa nama kembali tampil. Kalau dari lineup tahun ini ada enggak yang paling ditunggu untuk menontonnya?
Bukan hanya pengin nonton ya. Tapi ada rasa ingin ngajak orang yuk rame-rame harus nonton Senyawa di Joyland Fest kali ini karena bisa dibilang ya enggak tau ya. Ini mungkin juga festival. Mereka kan jarang main di festival di Indonesia. Pengin aja banyak orang yang nonton Senyawa karena live-nya tuh bagus buat gue pribadi.
Cerita pengalaman terbaik mendatangi festival musik di dalam maupun luar negeri?
Festival di luar yang menarik mungkin pertama harus dari lokasi dulu ya. Cuma belum semua disamperin. Tapi kalau yang paling dirasa nyaman, Laneway Festival di Singapore yang background-nya gedung. Secara mood-nya memang senang kayak begitu, lineup-nya apalagi bikin iri.
“ngomongin 2022, kayaknya pertengahan tahun ke belakang sampai akhir tahun bakalan banyak banget (festival)”
Bagaimana pendapat Ferry tentang experience sound. Apakah Joyland memerhatikan soal itu?
Kalau sekarang sih produksi yang bisa mendukung itu sudah sangat mungkin. Kayaknya sekarang sudah OK banget sih. Tinggal gimana bandnya. Secara produksi sekarang semua festival yang digarap serius pasti kita tau pemilihan vendornya juga benar karena dia pengin mempresentasikan audio maupun visualnya juga sebaik mungkin. Tinggal gimana bandnya saja tuh. Bisa menawarkan itu apa enggak. Tapi secara kemampuan sih sudah bagus-bagus kok. Banyak band sudah pada serius ngegarap itu karena kan sudah jadi mata pencaharian utama ya di Indonesia. Manggung itu untuk musisi.
Ada enggak sisi positif dari sikon pandemi. Hal-hal yang rasanya tidak akan kejadian kalau bukan karena pandemi?
Yang aku rasain sih pandemi jadi lebih banyak mendengarkan album musik. Kadang tuh kita ngedengarin album ini gitu, hari ini, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Rasanya bisa dapat beda lagi. Beda rasa, beda ya waktu dengarin pertama kali album ini sama setelah puluhan atau ratusan kali. Kalau aku sih selama pandemi jadi lebih banyak mendengarkan album. Bahkan secara ini, penginnya tuh memang setiap sebelum kerja setiap hari ngedengarin satu dua album dulu, piringan hitam. Biar ngerasa tenang saja gitu di-set di-0 (nol) dulu gitu.
Enggak tau ya kalau dari musisi juga seru-seru ya banyak yang memang mutusin untuk memang break saja dulu. Enggak mau ngapa-ngapain gitu, enggak mau merasa terpaksa. Tapi banyak juga yang justru terpanggil gitu pengin, kayak orang kan ada kebutuhan gitu ya. Musisi gitu ada kayaknya butuh nih butuh dikeluarin nih jadi lagu. Ya, kadang kalau sudah banyak ngedengarin gitu-gitu kan. Kita sebagai promotor tuh gatal juga. Album ini live-nya kayak gimana ya. Ada rasa gitunya.
Bagaimana perjalanan memperjuangkan Joyland Festival ini sampai akhirnya bisa menetapkan tanggal untuk diadakan secara offline?
Memang, kondisi yang serba enggak pasti ini. Kita juga harus. Biasanya kalau punya plan tuh enggak bisa satu. Memang harus dua sampai tiga, dan harus sebisa mungkin mau adaptasi karena sebentar berubah sebentar berubah. Sama ya punya keyakinan yang memang sudah yakin. Sudah cukup teguh belum keyakinannya karena kayak kita ngontak band juga kan. Banyak yang, memang sudah bisa. Pertanyaan itu, memang sudah bisa bikin konser?
Dari Desember lalu, kita buat Februari. Oh, iya mau kita coba. Memang kita sudah menyiapkan segala sesuatunya. Sudah mengukur segala risiko, menyiapkan logistik karena kan kita mau nge-booked juga. Kita mau kontrak dan sudah ada down payment. Kalau menurut kita sih komitmen kita kan sebagai promotor memang harus. Memang kerjaan ini risikonya gede. Kayaknya semua promotor menyadari itu. Mereka juga tahu dan siap rugi. Apalagi kondisi kayak gini. Kemungkinan ruginya gede banget.
” Gue yakin promotor-promotor lain semua juga sudah pada manasin mesin, hidupin kereta buat ngegas.”
Kenyataannya sampai tadi siang kita baru ngurus ngelanjutin update perizinan. Izinnya udah OK. Tahapannya kan jadi berlapis dibanding sebelum pandemi. Memang jadinya bolak-balik, lempar-lempar. Yang ini sudah keluar, kita konfirmasi ke Satgas lagi. Kita balik lagi, rekomendasi naik dari Polsek, Polres, Polda. Satgasnya juga berlapis-lapis dari kecamatan, kelurahan, baru ke Satgas Balinya.
Jadi makin banyak pintu yang harus kita datangi dan itu ngejelasin satu-satu dengan yang latar belakang mereka memang yang mungkin enggak pernah ke festival. Sebelum pandemi saja mungkin enggak pernah ke festival. Terus pandemi gini ditakut-takutin kayak festival tuh kayak yang menyeramkan buat mereka penularan.
Gue yakin juga promotor-promotor lain semua juga sudah pada manasin mesin, hidupin kereta buat ngegas. Terbukti kan kayak kemarin, dua minggu terakhir saja banyak banget acara yang akhirnya announced. Tiba-tiba saja gitu band pada banyak manggung di akhir Maret ini. Bikin konser tuh sedikit lebih kecil risikonya. Jadi lebih bisa satu dua band OK jalan lebih gampang gerak. Kalau festival emang lumayan repot ya.
Positifnya juga yang kita dapat saat korespondesi dengan pihak-pihak yang punya wewenang mengeluarkan izin juga mereka tuh yang positifnya memang pengin cepat-cepat ngebalikin Bali supaya banyak. Setahun ini mungkin Bali berharap sama turis domestik ya. Begitu kita share pembeli tiket kita gitu. Nih yang mayoritas itu kayak 80% dari luar Bali lho. Utamanya dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, terus dari Pulau Sumatera juga macam-macam, Sumatera Utara, Riau, dari Sumatera Barat. Kalimantan juga seperti itu, Samarinda dan Pontianak. Sulawesi ada dari Palu dan Makassar. Papua juga ada, Papua dan Papua Baratnya. Dan angka itu lumayan puluhan. Misalnya dari Papua kita kaget, sampai hari ini ada 71 pembeli tiket dari Papua dan Papua Barat. Mereka tuh kan datang beli tiket pesawat, di sini juga pasti nyari hotel kan 3 sampai 4 malam. Mereka juga ngeluarin banyak uang tuh di Bali. Kita ada posisi tawar itu sih buat mereka, menarik lah di mata mereka.
Terakhir, menurut Mas Ferry bagaimana ramalan tentang festival musik setelah masa pandemi ini berakhir?
Nah, kalau kita ngomongin 2022, kayaknya pertengahan tahun ke belakang sampai akhir tahun bakalan banyak banget (festival musik) karena kita ngeliat dari apa yang sudah terjadi di Eropa dan Amerika. Kayak musisi sana, Amerika sudah asyik sendiri saja. Mereka nyari tur di US saja dulu. Sudah pasti ya kayak pembeli tiket Joyland saja kita shocked. Kayak belum ada 12 jam, kuota presale 1 kita sudah penuh. Gila segitu kangennya.
Itu bukan, enggak murah juga sebenarnya. Ada masih harus beli tiket pesawat atau jalur darat lah kalau dari luar Bali karena pembeli tiket Bali tuh baru banyak itu kayak 1-2 minggu terakhir ini. Dua minggu pertama tuh memang dari tetap tuh top 4-nya dari luar Bali. Orang luar Bali yang memang mau ke sana.
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Sambut Album Perdana, Southeast Rilis Single By My Side
Band R&B asal Tangerang bernama Southeast resmi merilis single dalam tajuk “By My Side” hari Rabu (13/11). Dalam single ini, mereka mengadaptasi musik yang lebih up-beat dibandingkan karya sebelumnya. Southeast beranggotakan Fuad …
Perantaranya Luncurkan Single 1983 sebagai Tanda Cinta untuk Ayah
Setelah merilis single “This Song” pada 2022 lalu, Perantaranya asal Jakarta Utara kembali hadir dengan single baru “1983” (08/11). Kami berkesempatan untuk berbincang mengenai perjalanan terbentuknya band ini hingga kisah yang melatarbelakangi karya terbaru …