Gempuran Dangdut Ambyar dan Biduan Laki-laki

Jun 2, 2023
Dangdut ambyar

Menyaksikan dangdut di layar televisi, ponsel pintar, ataupun panggung hiburan adalah hal yang lazim dilakukan oleh penggemar musik dangdut di Indonesia. Tiga medium tersebut menjadi cara termutakhir dalam mengakses dangdut kini.

Televisi dengan pelbagai konser dan kompetisi bernyanyi dangdutnya, seperti Dangdut Academy, Liga Dangdut, Kontes Dangdut Indonesia (KDI), Bintang Pantura, Koplo Superstar, dan lainnya. Ponsel pintar dengan pelbagai platform seperti: YouTube, Spotify, Joox, TikTok, Instagram, dan lain sebagainya; untuk mendengar dan menikmati lagu baru hingga konser daring.

Apalagi ketika Covid-19 melanda di tahun 2020, Dangdut menjadi salah satu genre musik yang menyajikan pelbagai hiburan secara daring. Pun dengan panggung hiburan yang termanifestasi pada konser dan festival musik yang melibatkan para biduan dan Orkes Melayu.

Menyaksikan dangdut di layar televisi, ponsel pintar, ataupun panggung hiburan adalah hal yang lazim dilakukan oleh penggemar musik dangdut di Indonesia

Namun tatapan penonton tidak hanya tertuju pada legenda dangdut, seperti Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, Rita Sugiarto, dan seterusnya; atau generasi emas Dangdut Koplo, seperti Inul Daratista, Trio Macan, Ratna Antika, Via Vallen, juga Nella Kharisma, melainkan biduanita dengan wajah-wajah baru, mulai dari Happy Asmara, Yeni Inka, Vita Alvia, Dian Anic, Lala Widy, Woro Widowati, dan lain sebagainya.

Yang menarik, para biduan laki-laki turut berhasil mencuri perhatian publik dangdut tanah air dalam waktu lima tahun belakangan. Bersama para biduan pria, seperti: Denny Caknan, Ndarboy Genk, Guyon Waton, Pendhoza, NDX Aka, OM Wawes, Aftershine, Hendra Kumbrara, dan lainnya, penonton diajak untuk melepaskan jengah dan patah. Lagu-lagu patah hati, atau yang dibahasakan kini sebagai ambyar, mulai dari “Kartonoyono Medot Janji” karangan Denny Caknan “Kudu Nangis” karangan Ndarboy, serta lagu sejenis menjadi cara penonton melampiaskan kesedihan mereka melalui musik.

Lagu patah hati para biduan laki-laki ini digemari dan ditonton jutaan kali di YouTube, semisal hits pertama Denny Caknan, “Kartonyono Medot Janji” telah ditonton 258.530.161 kali, lagu yang dipopulerkan oleh Ndarboy, “Mendong Tanpo Udan” telah ditonton 74.396.088 kali (per 29 Desember 2022). Lagu-lagu sejenis pun lumrah digunakan pada kompetisi bernyanyi dangdut di televisi maupun panggung hiburan di manapun berada.

Ambyar adalah keadaan suatu hal yang pecah berkeping-keping atau hancur berantakan. Pada konteks ini, ambyar kerap ditautkan pada keadaan patah hati. Terma ini terafiliasi pada lagu dari mendiang Didi Kempot

Kehadiran laki-laki sebagai biduan tentu dapat dimaknai biasa saja, anggap saja sebagai dinamika industri musik. Namun jika menilik perjalanan dangdut, maka kehadiran biduan laki-laki di masa kini perlu diselisik. Pasalnya kehadiran mereka tidak hanya sebatas soal representasi, melainkan hal yang lebih subtil, yakni membuat patah hati dan menangis itu tidak lagi tabu untuk laki-laki yang dikonstruksikan tak boleh menangis karena diputus cinta atau diduakan karena kalah harta.

Laki-laki Kok Nangis?

Ambyar adalah keadaan suatu hal yang pecah berkeping-keping atau hancur berantakan. Pada konteks ini, ambyar kerap ditautkan pada keadaan patah hati. Terma ini terafiliasi pada lagu dari mendiang Didi Kempot. Sejak kembali populernya Didi Kempot tahun 2019-an, lagu-lagu bertema ambyar tidak lagi asing di telinga pendengar. Pernyataan The King of Broken Heart, Didi Kempot, “Sakit hati ya dijogeti”, seakan menjadi rumus dan jalan keluar. Pun sejak saat itu, hampir semua lagu dangdut masa kini menyoal patah hati sebagai sumber nestapa.

Jika lagu ini beredar ketika Harmoko, Menteri Penerangan di zaman Sukarno, menjabat, niscaya lagu-lagu bertema ambyar ini dianggap cengeng dan dilarang siar. Bagi Harmoko, lagu cengeng mengganggu semangat warga dan menghambat pembangunan Orde Baru. Ketika itu, lagu hits “Hati yang Luka” karangan Obbie Messakh yang dinyanyikan Betharia Sonata kena imbas. Pun lagu sejenis juga bernasib sama, dilarang!

Pasalnya kehadiran mereka tidak hanya sebatas soal representasi, melainkan hal yang lebih subtil, yakni membuat patah hati dan menangis itu tidak lagi tabu untuk laki-laki

Kini tentu berbeda, di mana demokrasi mengakomodasi kebebasan. Dampak runtuhnya Orde Baru, lagu-lagu mendayu dan cengeng pun tersiar kembali. Dangdut menangkap peluang itu dengan gemilang, bahkan nyaris seluruh lagu dangdut pasca Orde baru hingga kini bertema cinta. Sejak meledaknya lagu “Sayang”, yang kali pertama dibawakan oleh OM Wawes di tahun 2012, yang kemudian diberi rap oleh NDX Aka beberapa tahun setelahnya, dan meledak di pasaran ketika dibawakan oleh Via Vallen pada tahun 2017, lagu patah hati semakin dominan.

Karena semakin diminati, banyak lagu dengan tema serupa tercipta, mulai dari “Bojo Galak”, “Korban Janji”, “Ojo Nangis”, hingga yang tengah naik daun belakangan, “Ojo Dibanding-bandingke”. Hal yang menarik, banyak lagu ciptaan baru tersebut justru diciptakan dan dinyanyikan oleh para biduan laki-laki.

Lantas poin dari biduan laki-laki yang bernyanyi tentu bukan untuk memberi kredit terhadap hadirnya kembali posisi laki-laki di industri dangdut, melainkan lagu patah hati ini justru menunjukkan dimensi laki-laki yang lebih nyata dan erat dengan keseharian. Stigma pria sebagai figur kuat yang anti menangis tentu konstruksi patriarki. Namun, apa yang bisa dilakukan jika impitan ekonomi membuat cinta kita patah di tengah jalan? Apa yang sistem patriarki bisa perbuat jika perbedaan kelas membuat cinta kita bertepuk sebelah tangan? Selagi menangis menjadi tabu untuk laki-laki, maka melalui lagu ambyar, mereka dapat mencurahkan apa yang sepantasnya diungkapkan tetapi terhalang karena gengsi.

Lagu-lagu patah hati, atau yang dibahasakan kini sebagai ambyar, mulai dari “Kartonoyono Medot Janji” karangan Denny Caknan “Kudu Nangis” karangan Ndarboy, serta lagu sejenis menjadi cara penonton melampiaskan kesedihan mereka melalui musik

Menurut hemat saya, melalui lagu ambyar, laki-laki justru dapat merayakan kelaki-lakiannya dengan utuh. Di mana seseorang bisa menangis karena patah dan bangkit setelahnya, tak hanya menahan dan [selalu] berpura-pura untuk baik-baik saja.

Biduan kok laki-laki?

Tidak kurang nama biduan laki-laki di dunia dangdut dari masa ke masa, mulai dari A. Rafiq, Rhoma Irama, Meggy Z, Jaja Mihardja, Alam, Nazar, Fildan, dan lain sebagainya. Di era 1970-2000-an, laki-laki dan perempuan berbagi panggung dangdut bersama. Semisal era Rhoma Irama dan Elvy Sukaesih sebagai raja dan ratu dangdut. Pun di era yang sama, terdapat Meggy Z, Mansur S, Jaja Mihardja, Rita Sugiarto, Evie Tamala, dan lain sebagainya.

Namun pasca fenomena Inul Daratista di tahun 2003, orientasi biduan menjadi lekat dengan perempuan. Banyak biduan perempuan muncul setelahnya, mulai dari Annisa Bahar juga anaknya Juwita Bahar, Dewi Persik juga Sazkia Gothik, maupun Trio Macan serta Duo Serigala. Alih-alih hanya bernyanyi, mereka juga dikenal dengan goyang khas, mulai dari goyang gergaji, goyang itik, hingga goyang dribel.

Yang menarik, para biduan laki-laki turut berhasil mencuri perhatian publik dangdut tanah air dalam waktu lima tahun belakangan. Bersama Denny Caknan, Ndarboy Genk, Guyon Waton dan lainnya, penonton diajak untuk melepaskan jengah dan patah hati

Di saat itu, ada beberapa biduan laki-laki, seperti Thomas Djorghi, Saiful Jamil, Alam, dan lain seterusnya. Namun perhatian penonton tertuju pada biduan perempuan dengan ragam goyangnya. Alhasil tidak jarang biduan laki-laki hanya menjadi teman duet atau bahkan diminta turun oleh penonton. Hal ini kiranya turut dikemukakan oleh salah satu biduan pria dari OM Wawes, Gaseng. Di mana ia sempat diminta turun oleh penonton ketika ia pentas dangdut dari panggung ke panggung pada tahun 2015 (lihat Raditya, 2020).

Dalam lima tahun belakangan kini berbeda, begitu banyak biduan laki-laki bernyanyi di panggung dangdut. Wajah-wajah baru, seperti Denny Caknan, Daru Ndarboy Genk, Bagus Guyon Waton, Hasan Aftershine, Gaseng OM Wawes, Hendra Kumbara, dan lain sebagainya lazim menghiasi layar hingga panggung dangdut tak hanya lokal, tetapi juga nasional. Mereka tidak lagi diminta turun, melainkan dinanti untuk menyanyikan lagu demi lagu ambyar.

Tak hanya berhenti sampai mereka, banyak generasi baru band dangdut dengan biduan laki-laki yang muncul di Yogyakarta. Pada percakapan dengan salah satu personel band dangdut di Yogyakarta, OM Wawes sekaligus pemilik Royal Rumble Studio, Tony Kurniawan mengungkapkan bahwa terdapat lebih dari 74 grup baru yang siap bersaing di industri musik dangdut Yogyakarta, maupun Indonesia (Festival Kebudayaan Yogyakarta, 2021). Lebih dari setengah jumlah grup tersebut beranggota biduan laki-laki. Alhasil biduan pria berlipat ganda dan siap meramaikan pasar musik dangdut Jawa dan Indonesia.

Lantas, apa yang dapat kita semai dari hal ini? Tentu kita patut mengapresiasi jumlah generasi muda yang mengakses dangdut, baik sebagai musisi atau penggemar. Hal ini memupuk kepercayaan jika tak perlu merisaukan regenerasi dangdut ke depan. Sementara itu, tentang biduan laki-laki. Bagi saya, kehadiran biduan pria ini jelas memberi contoh agar penonton pria juga dapat mengekspresikan kesedihannya. Di mana mereka tidak hanya dapat bernyanyi bersama, tetapi juga berjoget mengikuti irama, hingga menangis sambil terpejam mata. Tiada rasa malu untuk mengekspresikannya, karena patah hati semalam tidak kunjung lega, sementara esok hari hidup harus tetap terjaga, dan dangdut jadi obatnya.

Referensi

Raditya, Michael H.B. (2020). OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar. Yogyakarta: Yayasan Kajian Musik Laras.

Festival Kebudayaan Yogyakarta. (2021, 27 Oktober). Di Balik Tirai Panggung Dangdut. [Video]. YouTube. https://youtu.be/GSlY4tQ7q5U

Penulis
Michael HB Raditya
Peneliti musik di LARAS-Studies of Music in Society. Pendiri Pusat Kajian Dangdut (www.dangdutstudies.com). Pimpinan orkes dangdut, O.M. Jarang Pulang. Buku terbarunya bertajuk: OM Wawes: Babat Alas Dangdut Anyar (2020). Salah satu tulisan dangdutnya diterbitkan oleh Routledge, pada buku Made in Nusantara: Studies in Popular Music (2021).

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …