Hak Nego Ulang Kepemilikan Master Rekaman Setelah 25 tahun
Sebelum bicara kepemilikan master rekaman, beberapa tahun belakangan banyak lagu lama dari dekade-dekade terdahulu yang tiba-tiba populer kembali di masyarakat. Contohnya di tahun 2019, lagu yang dirilis tahun 2002, “Berharap Tak Berpisah” yang dinyanyikan Reza Artamevia menjadi anthem klub-klub malam di banyak kota di Indonesia. Lalu ada juga beberapa lagu lama dari era 2000an awal ciptaan Melly Goeslaw yang mendapatkan kesempatan hidup kedua melalui platform TikTok.
“Wah enak tuh Reza sama Melly tiba-tiba bisa mendapat uang kaget karena lagunya tiba-tiba viral”. Mungkin itu sekilas anggapan banyak orang jika melihat kasus lagu lama naik kembali. Tapi pada kenyataan tidak seindah bayangan banyak orang. Hingga kini masih banyak musisi yang masih belum bisa hidup dari karya rekamannya. Denny Chasmala yang menulis lagu “Berharap Tak Berpisah” hingga kini belum bisa hidup dari royalti lagu-lagu ciptaannya. Bahkan ia terpaksa harus menjual barangnya saat pandemi baru melanda di tahun 2020.
Pada kenyataan tidak seindah bayangan banyak orang. Hingga kini masih banyak musisi yang masih belum bisa hidup dari karya rekamannya.
Kalau berbicara royalti musik walaupun aturannya sudah diatur dalam UU Hak Cipta dan peraturan pelaksananya juga baru keluar tahun 2021 tapi pada prakteknya di lapangan masih banyak aspek dari hulu ke hilir yang menjadi persoalan di industri musik Indonesia. Di hilir persoalan pemungutan dan pendistribusian royalti masih banyak tersendat. Sementara di hulu, banyak perjanjian kerjasama antara label musik dan musisi yang masih belum berimbang.
Salah satu contoh perjanjian kerjasama yang tidak berimbang tersebut ketika label musik yang biasanya menjadi pemodal rekaman (berperan sebagai pemilik master rekaman), menawarkan sistem beli putus kepada musisi yang bersangkutan. Artinya musisi akan mendapatkan uang saat perjanjian tersebut ditandatangani sebagai imbalan pembelian namun akibatnya semua keuntungan yang dihasilkan oleh rekaman tersebut di masa mendatang sepenuhnya akan masuk ke kantung label musik sebagai pemilik master rekaman. Jadi jika lagu atau albumnya meledak di kemudian hari atau di kondisi sekarang tiba-tiba lagu jadi viral seperti Reza dan Melly, penulis lagu atau musisi yang bersangkutan tidak akan mendapatkan uang tambahan dari label atau pemilik master. Menurut pengakuan beberapa musisi senior, kalau ada lagu atau album meledak di era 70an-90an, alih-alih mendapat royalti biasanya label akan memberikan imbalan atau bonus berupa aset bergerak seperti mobil.
Salah satu contoh perjanjian kerjasama yang tidak berimbang tersebut ketika label musik yang biasanya menjadi pemodal rekaman (berperan sebagai pemilik master rekaman), menawarkan sistem beli putus kepada musisi yang bersangkutan.
Praktik jual putus dalam perjanjian antara label dan musisi ini lumrah terjadi khususnya di periode 70an hingga 90an dan mungkin masih berlanjut hingga sekarang. Karena banyaknya perjanjian beli putus saat kontrak rekaman akhirnya pada UU Hak Cipta tahun 2014 ditambahkan pasal mengenai reversionary rights yang mengatur bahwa musisi memiliki hak untuk nego ulang dengan label atau pemilik master jika dahulu mereka melakukan perjanjian kerjasama beli putus atau juga dalam perjanjiannya tidak ada batas waktu. Dengan reversionary rights pihak label dan musisi dapat duduk bersama dan mengevaluasi nilai hak cipta terhadap master tersebut berdasarkan perkembangannya. Jadi misalnya di tahun ke dua puluh sebuah lagu viral di media sosial maka fenomena tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan saat negosiasi ulang dengan label saat master rekaman menginjak tahun kedua puluh lima.
Mengapa baru 25 tahun musisi baru berhak nego ulang? Karena menurut UU Hak Cipta, pemilik master rekaman berhak mengeksploitasi atau memperdagangkan lagu selama kurun waktu 50 tahun. Jadi paling tidak dengan reversionary rights, musisi masih bisa menikmati royalti yang layak dari hasil karyanya selama 25 tahun setelahnya.
UU Hak Cipta tahun 2014 ditambahkan pasal mengenai reversionary rights yang mengatur bahwa musisi memiliki hak untuk nego ulang dengan label atau pemilik master jika dahulu mereka melakukan perjanjian kerjasama beli putus atau juga dalam perjanjiannya tidak ada batas waktu
Karena reversionary rights baru ada di UU hak cipta terbaru di 2014 jadi wajar jika banyak musisi yang belum mengetahui keberadaan pasal ini. Namun ketika beberapa kalangan baru memulai sosialisasi ke banyak musisi, salah satu label tertua di Indonesia, Musica malah ingin menghapuskan pasal ini pada UU hak cipta. Tentunya tuntutan tersebut dihadang oleh para musisi yang tergabung di beberapa asosiasi antara lain AMPLI (Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia) yang diketuai Indra Lesmana, FESMI (Federasi Serikat Musisi Indonesia) yang diketuai oleh Candra Darusman, PAMMPI (Persatuan Artis Musik Melayu-Dangdut Indonesia) yang diketuai Rhoma Irama dan juga ARDI (Anugrah Royalti Dangdut Indonesia) yang diketuai oleh Ikke Nurjanah.
Amat disayangkan langkah awal yang baik yang dimulai oleh Musica terhadap reversionary rights sekarang ini malah ingin dihentikan oleh mereka sendiri.
Sebenarnya Musica di tahun 2018 sudah menerapkan reversionary rights untuk karya-karya dari Candra Darusman yang usia rekamannya sudah lebih dari 25 tahun. Akibat dari perjanjian baru itu album-album lama dari Candra Darusman yang sebelumnya sudah tidak tersedia di pasaran dapat diproduksi dan dijual kembali. Candra Darusman juga telah menulis seluk beluk mengenai reversionary rights pada salah satu bab di buku Perjalanan Sebuah Lagu. Jadi amat disayangkan langkah awal yang baik yang dimulai oleh Musica terhadap reversionary rights sekarang ini malah ingin dihentikan oleh mereka sendiri.
Tahun 2022 ini banyak sekali album-album Indonesia populer yang menginjak usia 25 tahun. Sepanjang 25 tahun terakhir, lagu-lagu dari banyak album pada daftar tersebut sudah banyak dieksploitasi oleh pemilik master rekaman dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Jadi wajar kan kalau para penulis atau musisi yang telah melahirkan karya-karya tersebut perlu mendapatkan hak ekonomi secara lebih pantas? Karena itu reversionary rights adalah pintu gerbang musisi mendapatkan kesempatan kedua untuk menikmati keuntungan ekonomi dari karya yang telah mereka ciptakan.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …