“Hidup Untuk Bermusik, Bermusik Untuk Hidup” Oleh Dochi Sadega
Halo, saya Dochi Sadega, mungkin kamu pernah dengar band saya, Pee Wee Gaskins, unit Pop Punk 5 personil yang pertama terbentuk di tahun 2007. Kami berasal dari komunitas lalu sedikit demi sedikit menemukan jalan kami ke panggung lebih besar, dari gigs, ke televisi, ke festival internasional, salah satunya 2012 di Summer Sonic Jepang. Tahun ini adalah tahun ke-14 kami sebagai band yang sejak rilis album pertama tidak pernah ada pergantian personil.
Dari Pee Wee Gaskins saya bisa masuk ke beberapa pintu yang sebelumnya nggak pernah kepikiran bisa diketuk, apalagi dipersilahkan masuk. Dari pembicara seminar membahas sepak terjang di dunia musik, sampai ke aula kampus berbicara tentang bisnis yang saya bangun; Sunday Sunday Co dan yang terbaru One Triple Nine shoes. Semua berawal dari kesukaan saya akan musik.
Harusnya di tahun ini kami menyiapkan album terakhir
Setahun lalu, 2 kasus Covid-19 muncul di Indonesia, tepatnya di Depok. “Covid pertama di Depok? Hmmm konspirasi…” Haha, tidak, kita bukan mau bahas konspirasi di sini, tapi bahas apa yang terjadi selama pandemi, dari sudut pandang saya. 2020 harusnya tahun terakhir Pee Wee Gaskins sebelum kami putuskan untuk hiatus. Harusnya di tahun ini kami menyiapkan album terakhir, merangkai tour farewell show, dan hiatus sampai waktu yang belum ditetapkan. Tapi pandemi terjadi. Beberapa show (terhitung 17 termasuk beberapa seminar bisnis atau talkshow) dibatalkan atau ditunda sampai tidak tahu kapan.
Ladang pekerjaan kami adalah salah satu yang paling terasa terdampak; ekosistem pertunjukan live music, mulai dari vendor rental alat, kru dan teknisi panggung yang mengandalkan ladang ini terpaksa kehilangan pekerjaan. Semua mencoba bertahan dengan semua kemampuan.
Pandemi membuat saya punya banyak waktu luang untuk berkaca dan belajar hal baru yang sebelumnya tidak punya waktu untuk belajar, seperti cara membuat kopi dalgona atau yang paling basic sebagai musisi adalah belajar recording mandiri di rumah. Sebuah skill yang selama ini diremehkan karena biasanya bisa mengandalkan orang lain.
bicara musik tidak bisa sebatas ngomongin band, ada ekosistem di dalam sana,
Sayangnya rekan seband tidak punya semangat yang sama, atau larut dalam kesibukan masing-masing sehingga untuk praktek tidak bisa. Akhirnya saya mengajak beberapa teman yang sama-sama lagi belajar recording dan membuat project bernama Distant Neighbors. Pada akhirnya kami merilis lima lagu dalam dua bulan selama masa pandemi. Ini investasi. Ilmu ini kelak akan berguna ketika pandemi berakhir, pikir saya. Selain ilmu, pelan-pelan alat recording makin lengkap, mulai dari soundcard, speaker, dan perintilan lainnya jadi semakin mumpuni. Thanks to koleksi sneakers yang satu satu dilego. Akhirnya toko offline Sunday Sunday Co bertambah fungsi, karena pengunjung terus berkurang tapi space-nya lumayan besar sehingga sebagian ruang bisa jadi studio rekaman untuk anak-anak pada ngumpul dan workshop bikin tabungan lagu baru.
Bulan April, pemasukan semakin sedikit. Musik yang biasa jadi sumber penghasilan saat ini tidak bisa menghidupi. Tapi bicara musik tidak bisa sebatas ngomongin band, ada ekosistem di dalam sana, seperti yang tadi udah saya bahas. Salah satu variabel pendukung Musik adalah komunitas. Di waktu senggang gue mengajak Joe (Summerlane) yang sebelumnya gue ajak untuk Distant Neighbors untuk membuat konten yang diberi Judul UPIL, akronim dari Ulas Pop Punk Independent Lokal, di mana kami discovering unit Pop Punk lokal dari berbagai daerah, me-react-nya sambil nonton videoklipnya dan ngobrol bareng salah satu personilnya.
Di satu episode bahkan kami undang bandnya untuk akustikan. Ternyata responnya bagus, banyak sekali anak-anak yang rekomendasi band jagoan mereka dari kotanya masing-masing, dan banyak juga yang bagus-bagus. Konsep ini lalu lewat agency dijual ke brand, dan kami dikontrak untuk bikin 10 episode, tapi dengan nama yang berbeda (tentu saja, mana ada brand yang mau kontennya namanya UPIL, dan kegiatannya disebut NGUPIL) karena brand rokok, namanya jadi menyesuaikan, konten ini lalu diberi judul UDUT; Ulas Dunia Underground Terkini, dan kegiatannya disebut NGUDUT.
Kami tak hanya mengulas Pop Punk, tapi juga Hard Core, Death Metal, Punk Rock, semua dibantu narasumber agar tetap relevan dengan musik yang dibahas. Stevi Item jadi narasumber Death Metal, Aca Straight Answer membahas Hard Core, Buluk Superglad membahas Punk Rock, dsb. Bisa dibilang, musik lagi lah yang membuat saya tetap bertahan, walaupun dengan bentuk yang lain.
Angin sejuk di era pandemi bagi musisi adalah virtual concert atau virtual show, dengan lingkungan yang lebih terkontrol dengan segala protokol kesehatan. Bagaimana dengan cost-nya? Dari segi musisi apakah bayarannya lebih besar? Dan kenapa? Gue coba urai sesuai pengalaman gue ya. Jawabannya: lebih mahal. Virtual concert berbeda dengan show reguler, di mana band naik panggung, bawain lagu sesuai setlist, interaksi dengan penonton, selesai, turun panggung, then you get paid.
Virtual show berarti publish materi manggung di youtube/website brand yang mensponsori, jadi ada perhitungan biaya publishing; berapa lama materi ini tayang? 3 minggu? 3 bulan? 3 tahun? Perhitungannya beda. Untuk band yang bernaung di bawah label besar ini adalah variabel yang harus dipikirkan. Lalu secara teknis, untuk virtual show setelah merekam satu lagu harus monitoring lagi, aman atau nggak audio broadcast-nya, kalau tidak aman ya diulang lagi. Pernah di salah satu virtual show setelah beberapa hari baru diinfo ternyata suara drum bocor di mic vokal, jadi harus take ulang lagi vokalnya aja. It’s a whole different process. Show reguler 45-55 menit selesai, virtual concert bisa makan waktu seharian. Belum lagi tidak ada real crowd yang bertukar energi tiap lagu. Which kind of suck for a pop punk band.
Desember 2020, penghujung tahun dan belum ada cahaya di ujung pandemi, kebijakan masih tidak konsisten yang akhirnya menyebabkan jurisdiksi pemerintah tidak sampai di rumah. Istri yang menentukan boleh atau tidaknya melakukan kegiatan, bertemu siapa, di mana, jadi setiap ada kerjaan harus mendapat lampu hijau dulu dari ‘kapolda’ (baca: Kepala Polisi Dapur). Semakin ke sini circle yang kena Covid-19 makin dekat, sampai ke teman dekat dan sepupu sendiri. Ada yang tanpa gejala, ada yang meninggal.
Hari ini, semacam ada mixed feelings berada di tengah gembar-gembor #KangenEvent, bahkan saya pernah berada di posisi di mana saya dijadikan salah satu pembicara di sebuah room Clubhouse yang isinya dr. Tirta, Sandiaga Uno, Wishnutama, Prabu Revolusi, dll yang tengah membahas betapa rindunya kita sama event offline, dengan real audience.
Mungkin keadaannya lebih mudah dibayangkan kalau saja band saya bukan band yang sejatinya bisa dinikmati tanpa adrenalin, pertukaran energi dan berbagi keringat antara band dan audiens yang menyanyikan kembali lirik demi lirik dengan lantang.
Hari ini, semacam ada mixed feelings berada di tengah gembar-gembor #KangenEvent
Lebih mudah dibayangkan bila bisa dinikmati secara berjarak, bahkan duduk manis di kursi masing-masing dan jauh dari barikade pemisah panggung dan penonton. Apakah jadi harus adaptasi jadi band yang bisa dibawakan versi akustik untuk meredam energi liarnya? Belum lagi variabel lain yang harus diperhitungkan. Menurut protokol, salah satu syarat bisa diadakan pertunjukan adalah dengan test swab antigen terlebih dahulu, menurut saya akhirnya akan ada seleksi alam untuk band yang bisa tetap survive dan merasakan nikmatnya event seperti back in the days.
Sekadar info, harga untuk swab test sudah 200 ribuan sendiri, belum lagi tiket dan spending lainnya. Berapa normalnya fans Pee Wee Gaskins rela mengeluarkan uang untuk menonton konser? 50rb saja sepertinya sudah lumayan. Belum lagi pertimbangan ketika pulang dari event balik lagi, saya masuk jurisdiksi yang tidak terjamah pemerintah, harus berhadapan dengan ibu Kapolda dan anak yang tidur satu kasur.
Saya mau sedikit bercerita pengalaman “protokol”. Suatu hari di bulan Desember, ketika kami satu keluarga kabur sebentar dari Jakarta untuk mengasingkan diri ke Bali sambil mencari sekolah untuk si kecil, saya dapat tawaran mengisi acara karaoke di sebuah coffee shop outdoor di Denpasar. Tentunya saya ijin dulu ke istri dan istri meng-iya- kan dengan syarat: masker selalu dipakai. Sebuah syarat yang terlihat mudah, saya sudah terbiasa memakai masker, apalagi sudah terbiasa nyetir mobilpun tetap pakai masker. Singkat cerita, acara di mulai, seperti out of place rasanya, yang memakai masker hanya segelintir orang. “Ah, nanti juga pas main masker tetep dipake, nggak masalah lah”, tapi seperti kena sihir, di mana energi penonton menggebu-gebu, dengan hentakan irama musik Pop Punk yang dimainkan di speaker berkekuatan penuh, dengan sedikit alkohol di dalam darah, rasanya seperti berada di dunia di mana virus itu hanya mitos yang akan kalah sama fluktuasi endorfin.
Tanpa sadar, maskerpun terlepas, dan saya tersiar ke rentetan beberapa story orang-orang yang terlibat di event itu. Tentunya, Ibu Kapolda telah menunggu dengan segala redam amuknya. Dan rasa bersalah itu sampai sekarang masih terasa. Saya sudah membawa resiko pulang ke rumah.
bagi saya, musik bukan lagi tentang manggung
Keadaan ini yang akhirnya memacu kami sebagai pekerja seni, yang biasa hidup dari musik dan bermusik untuk hidup, untuk terus berinovasi membuat alternatif hiburan lain, mengisi kekosongan pemasukan dari live shows. Membuat konten mandiri, bikin lagu baru untuk tabungan, penjualan merchandise, dan kerjasama dengan beberapa brand yang masih bersinergi dengan musik.
Bagi saya, musik bukan lagi tentang manggung. Tentu saya kangen event, tapi saat ini harus mencari wajah baru agar tetap bisa menjadikan musik sebagai medium untuk aspirasi. Untuk memberikan inspirasi.
Balik lagi menilik judul: hidup untuk bermusik, artinya salah syarat untuk masih bisa bermusik adalah karena masih hidup, dan bagaimana cara bertahan hidup? Dengan musik. It’s a full circle. Hidup untuk bermusik, bermusik untuk hidup.
Selamat hari musik nasional 2021.
_____
Dochi Sadega adalah musisi, personil dari unit pop punk Pee Wee Gaskins. Bersama bandnya, ia telah merilis banyak rekaman album hingga hari ini. Di luar itu, ia pemilik dari brand Sunday Sunday Co dan One Triple Nine shoes.
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Daftar Label Musik Independen dari Berbagai Kota di Indonesia 2024
Berbicara tentang label musik tentu bukan hal yang asing lagi bagi siapa pun yang berkecimpung di industri ini. Mengingat kembali band-band yang lekat dengan label raksasa sebagai naungan, sebut saja Dewa 19 saat awal …
Wawancara Eksklusif Kossy Ng dan Dimas Ario Spotify: Edukasi Stream dan Musik Berbayar Masih Jadi Tantangan Besar
Saat menentukan apa saja yang ingin diangkat untuk KaleidosPOP 2024, tim redaksi Pophariini langsung berpikir soal keberadaan platform streaming musik yang menjadi salah satu tolok ukur kesuksesan perjalanan band dan musisi di era ini. …