Indonesia Raya: Lagu Terlarang, Lagu Kebangsaan

Aug 12, 2021
Indonesia Raya

Terbujur sakit di tempat tidur, W.R. Supratman sang komponis Indonesia Raya meninggalkan pesan:

Nasibkoe soedah begini.
Inilah yang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda.
Biarlah saja meninggal, saja ichlas.
Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan tjarakoe, dengan biolakoe
Saja jakin, Indonesia pasti Merdeka

Beberapa hari setelahnya, tepatnya pada 17 Agustus 1938, W.R Supratman wafat dalam usia 35 tahun di rumah Jl Mangga 21, Tambaksari, Surabaya. Komponis itu meninggalkan gubahan-gubahan yang hingga kini masih terus dikumandangkan, di antaranya “Dari Barat ke Timur” (yang kemudian diubah dan diberi judul “Dari Sabang Sampai Merauke”), “Ibu Kita Kartini”, hingga lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Wage Rudolf Supratman lahir pada 19 Maret 1903 di Dusun Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Purworejo, Jawa Tengah. Supratman adalah anak ketujuh dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, seorang tentara KNIL Belanda. Ibunya bernama Siti Senen. Nama Wage pemberian ibunya, sedangkan Supratman dari ayahnya.

Tiga bulan setelah lahir, Supratman tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Cimahi. Pada 1912, ibunya meninggal dunia. Dua tahun kemudian, Supratman tinggal di Makassar bersama kakak sulungnya, Roekijem dan suaminya, Willem van Eldick. Kakak iparnya yang menambahkan nama Rudolf pada Wage Supratman, agar Supratman bisa bersekolah di Europese Lagere School dan statusnya disamakan dengan murid-murid Belanda.

W.R Supratman meninggalkan gubahan-gubahan di antaranya “Dari Barat ke Timur” (“Dari Sabang Sampai Merauke”), “Ibu Kita Kartini”, hingga lagu kebangsaan “Indonesia Raya”

Di Makassar, Supratman mulai belajar bermain gitar dan biola dari kakak iparnya, bahkan mendapatkan hadiah biola. Pada usia 17 tahun, Supratman dan kakak iparnya mendirikan band jazz bernama Black and White.  Berama band-nya, Supratman sering bermain di gedung Societeit Makassar, sambil ia juga menjadi guru bantu di Sekolah Angka Dua.

Setelah sempat berkerja sebagai juru tulis di sebuah firma dagang, Supratman kemudian menjadi juru tulis di kantor advokat Firma Schulten. Di kantor pengacara ini, Supratman mendapat bacaan berbagai surat kabar yang sebagiannya dikelola kalangan pejuang. Tulisan-tulisan itu memberikan kesadaran, membangkitkan jiwa kebangsaan Supratman, hingga mulai terlibat dalam rapat-rapat pergerakan.

Pada 1924, Supratman kembali ke Jawa, sempat tinggal sebentar di rumah kakaknya di Surabaya, kemudian pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan surat kabar Kaoem Muda.

Dari Bandung, Supratman pindah ke Jakarta, bekerja di biro pers Alpena, kemudian di surat kabar Sin Po.  Selama menjadi wartawan di Jakarta, pergaulan Supratman dengan tokoh-tokoh pergerakan bertambah intens. Semakin tumbuh mekar semangat kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan.

Sebagai seorang pemusik sekaligus penulis, dengan kesadaran, atmosfer pergaulan, dan suasana jiwa seperti itu, lahirlah lagu demi lagu dengan semangat gerakan kebangsaan. Notasi dari gesekan biola, lirik dari goresan pena.

Suatu hari, Supratman membaca artikel dalam Majalah Timbul, mendapatkan kata-kata “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!”

Selama menjadi wartawan di Jakarta, pergaulan Supratman dengan tokoh-tokoh pergerakan bertambah intens. Semakin tumbuh mekar semangat kebangsaan dan cita-cita kemerdekaan

Kalimat itu mengusiknya, hingga akhirnya lahirlah magnum opus, lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Lagu “Indonesia Raya” sesungguhnya memiliki lirik lebih panjang dari syair yang biasa kita hafal dan nyanyikan. Belakangan, lirik utuh 3 stanza “Indonesia Raya” semakin diperkenalkan. Berikut syairnya

 

Indonesia Raya

I
Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah neg’riku
Bangsaku, rakyatku, semuanya

Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

II
Indonesia tanah yang mulia
Tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berada
Untuk s’lama-lamanya

Indonesia tanah pusaka
P’saka kita semuanya
Marilah kita mendo’a
Indonesia bahagia

Suburlah tanahnya
Suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya

Sadarlah hatinya
Sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya

III

Indonesia tanah yang suci
Tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri
N’jaga ibu sejati

Indonesia tanah berseri
Tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji
Indonesia abadi

S’lamatlah rakyatnya
S’lamatlah putranya
Pulaunya, lautnya, semuanya

Majulah neg’rinya
Majulah pandunya
Untuk Indonesia Raya

 

Ref:

Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Tanahku, neg’riku yang kucinta

Indonesia Raya
Merdeka, merdeka
Hiduplah Indonesia Raya

 

***

 

Sebagai orang Indonesia yang hidup jauh dari masa pergerakan dengan cita-cita kemerdekaaan, ternyata saya mendapatkan bermacam-macam rasa dari mendengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Mungkin pengalaman kolektif terkini dari haru mendengarkan “Indonesia Raya”, meskipun terjadi di rumah masing-masing, adalah pada saat seremoni penyerahan medali emas bagi pasangan ganda putri bulu tangkis Indonesia, Apriyani Rahayu dan Greysia Polii pada ajang Olimpiade Tokyo 2020, 2021.

Wage Rudolf Supratman wafat pada 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka, namun gubahannya masih terus menggugah

Usai pertandingan, para pasangan peraih medali berdiri di podium. Bendera dinaikkan. Apriyani Rahayu dan Greysia Polii memberi penghormatan. Lagu kebangsaan dikumandangkan.

Air mata mulai mengalir di pipi saya.

“Kamu nangis, ya?’

Ketahuan, deh, sama istri. Tapi, saya tahu, di luar sana banyak juga yang terharu hingga hangat mata, beberapa mengabarkan via media sosialnya.

Wage Rudolf Supratman wafat pada 17 Agustus 1938, tepat tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka. Hidupnya pun terpaut jauh dari peristiwa olimpiade hari ini, namun gubahannya masih terus menggugah. Lagu itu masih terus bisa menjadi identitas akan siapa diri kita.

Tapi mendengarkan “Indonesia Raya” tak melulu berdampak seharu itu. Pada upacara bendera setiap Senin saat sekolah dahulu (disinyalir peraturan wajib mengadakan upacara bendera di sekolah adalah sejak 1 Juni 1974), ketika panas pagi menjemur kulit, seragam, dan topi, kala tiba pada pengibaran bendera sambil bernyanyi bersama-sama lagu “Indonesia Raya”, kadang tak nyata keharuan sama sekali. Lagu “Indonesia Raya” serasa rutinitas upacara saja yang pasti ada dalam rangkaian acara.

Bayangkan betapa berbedanya suasana jiwa yang meliputi para pemuda perwakilan dari berbagai daerah dan golongan di Indonesia yang berkumpul pada Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 yang melahirkan keputusan kongres yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Semangat persatuan untuk meraih cita-cita kebangsaan. Sampai hari ini kita mengingat butirnya:

Pertama: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua: Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

 Dalam kongres ini, untuk pertama kalinya dikumandangkan secara langsung alunan “Indonesia Raya” secara instrumentalia, saat itu masih berjudul “Indonesia”, dimainkan dengan biola oleh penciptanya, W.R. Supratman. Lagu sengaja tak dinyanyikan untuk menyamarkan liriknya yang terbilang subversif kala itu, terutama pada bagian “merdeka, merdeka”.

Bila “Indonesia Raya” dinyanyikan syairnya, dikhawatirkan  bisa dijadikan alasan aparat kolonial Hindia Belanda untuk membubarkan acara kongres.

Pada 10 November 1928, surat kabar Sin Po memuat partitur dan syair lagu “Indonesia Raya”, menjadi media cetak pertama yang menyebarkannya. Dalam terbitan tersebut, lirik Indonesia Raya hanya ditampilkan satu stanza dan bagian refrain “Indonesia Raya… merdeka, merdeka” diubah menjadi “Indonesia Raya… mulia… mulia..”, karena kata “merdeka” dianggap berbahaya.

Lagu sengaja tak dinyanyikan untuk menyamarkan liriknya yang terbilang subversif kala itu, terutama pada bagian “merdeka, merdeka”.

Pada Desember 1928, teks “Indonesia Raya” pertama kali dinyanyikan saat pembubaran panitia Kongres Pemuda II. Lagu dinyanyikan secara koor dengan iringan biola Supratman. Sejak itu, lagu ini menjadi populer di kalangan pemuda, mengobarkan semangat perjuangan.  Judul lagu “Indonesia” pun diubah menjadi “Indonesia Raya”.

Pada 1929, saat pembukaan Kongres Partai Nasional Indonesia, lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan dan ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Sukarno meminta para hadirin berdiri sebagai penghormatan saat lagu dinyanyikan.

Kepopuleran “Indonesia Raya” yang mengobarkan semangat kemerdekaan para pemuda membuat berang pemerintah Hindia Belanda. Akibat lagu yang diciptakannya itu, W.R. Supratman senantiasa diintai polisi Hindia Belanda. Tidak hanya itu, buku roman karangan W.R. Supratman, “Perawan Desa” kemudian juga disita dan dimusnahkan. Buku “Perawan Desa” adalah fiksi berlatar kritik terhadap penjajahan.

Pada 1930 pemerintah Hindia Belanda melarang rakyat Indonesia menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia itu di depan umum.

 

***

 

Jauh dari masa kolonial Hindia Belanda , suatu hari di Jakarta pada awal 2000an, di depan beberapa anak muda eksentrik, David Tarigan yang bertugas sebagai DJ suka-suka, memasang plat tujuh inchi “Indonesia Raya” sebagai pembuka playlist-nya yang kerap memutar lagu-lagu Indonesia lama. Hari itu adalah kali pertama saya melihat piringan hitam yang berisi lagu kebangsaan kita.

Hingga kini, keberadaan rekaman itu serasa misteri. Hampir semua dari kita, belum pernah mendengar versi rekaman “Indonesia Raya” dengan suara W.R. Supratman menyanyikannya.

Sampulnya bergambar peta Indonesia, logo perusahaan rekaman Lokananta di pojok kanan atas, dan teks “Indonesia Raja” ditulis dengan huruf sambung. Di dalam piringan hitam itu termuat rekaman “Indonesia Raya” versi intrumentalia oleh Orkes Cosmopolitan dengan pimpinan Jos Cleber.

Saat lagu berbunyi, sambil masih terngiang akan sampul rekaman itu, saya mendapatkan rasa “Indonesia Raya” yang lain. Rekaman lagu itu jadi memiliki sisi “pusaka yang keren”, atau unik, semacam cinderamata dari negara kami sendiri, Indonesia.

Ternyata, piringan hitam tersebut, yang direkam dan diedarkan pada dekade 1950an, bukanlah versi pertama kali “Indonesia Raya” direkam. Pada 1927, W.R Supratman merekam “Indonesia Raya” bersama Yo Kim Tjan, pemilik Toko Populaire di Pasar Baroe, Jakarta. Banyak sumber mengatakan, lagu “Indonesia Raya” direkam dalam dua versi. Pertama, dimainkan dalam aransemen instrumentalia orkes keroncong.  Kedua, dalam bentuk rekaman berupa suara Supratman dan permainan biolanya.

Hingga kini, keberadaan rekaman itu serasa misteri. Hampir semua dari kita, belum pernah mendengar versi rekaman “Indonesia Raya” dengan suara W.R. Supratman menyanyikannya.

 

***

 

Pada periode 1933-1937, W.R. Supratman berpindah-pindah tempat dari Jakarta ke Cimahi, lalu ke Pemalang, hingga kemudian ke Surabaya dalam keadaan sakit.

W.R. Supratman kemudian ditangkap pada 7 Agustus 1938, di studio Radio NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep), Surabaya, karena lagu ciptaanya “Matahari Terbit” yang dinyanyikan pandu-pandu KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia) di radio tersebut, dianggap sebagai wujud simpati terhadap Kekaisaran Jepang. Supratman kemudian dilepas setelah Belanda tidak dapat menemukan bukti bahwa dirinya bersimpati kepada Jepang.

Tubuh komponis besar kita sudah semakin melemah hingga tak lama kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.

Pada 1942, Jepang resmi menduduki Indonesia, dan kembali muncul larangan menyanyikan “Indonesia Raya”.

Kemudian, pada akhirnya kita semua tahu, pada 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Sampai hari ini, lagu terlarang itu, lagu kebangsaan Indonesia karya cipta W.R. Supratman, terus dikumandangkan. Terdengar abadi.

 

W.R. Supratman / Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Wage_Rudolf_Supratman.jpg

 


Catatan redaksi: ditulis dari berbagai sumber dan telah melalui pengecekan silang data.
Sumber:

Wikipedia: Indonesia Raya 

Wikipedia: WR Supratman

Wikipedia: Sin Po 

Wikipedia: Kongres Pemuda

Kompaspedia: Kongres Pemuda Pertama 1926 

Irama Nusantara: Indonesia Raya (Various)

Kompasiana: Ke Mana Raibnya Master Piringan Hitam Lagu Indonesia Raya 1927?

Kebudayaan.kemdikbud.go.id: Mengenal Sang Pencipta Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman 

Kebudayaan.kemdikbud.go.id: Ternyata, Salinan Rekaman Lagu Indonesia Raya Tersimpan di Tangerang 

Wikipedia: Yo Kim Tjan

Kompas.com: Sejarah Lagu Indonesia Raya 

Kompas.com: Lirik lagu Indonesia Raya Tiga Stanza

Kompas.com : 92 Tahun Lalu, Saat Lagu Indonesia Raya Kali Pertama Dilantunkan 

Kompaspedia: Mengurai Kisah Lagu “Indonesia Raya”   

Kompaspedia: Sumpah Pemuda dan Kongres Pemuda Kedua

Museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id : Mengulik Biografi Sang Pencipta Indonesia Raya, Wage Roedolf Soepratman

Wartakota.tribunnews.com: Di Kongres Pemuda Pertama Kali WR Supratman Iringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dengan Biola

www.suara.com: Lirik Lagu Indonesia Raya dan Sejarahnya 

tirto.id: Lagu Indonesia Raya, Makna dan Lirik Lengkap 3 Stanza 

Historia.id: Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya

Intisari.grid.id: W.R. Supratman, Wartawan yang Berjuang dengan Biolanya

Kbr.id: W.R. Supratman: Menjadikan Musik sebagai Alat Penghasut dan Pemersatu

www.merdeka.com: Jadi Tokoh Berpengaruh Sumpah Pemuda, Ini 4 Fakta W.R Supratman yang Jarang Diketahui

News.detik.com: Sumah Pemuda dan “Indonesia Raya”

Youtube Berita Satu: Perjalanan Hidup WR Supratman 

Youtube Metro TV: Melawan Lupa – Kisah Indonesia Raya

Youtube TvOneNews: W.R. Supratman dan Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia | Indonesia Dalam Peristiwa

Youtube Net News: Rumah Masa kecil WR Soepratman di Purworejo, Jawa Tengah 

Youtube Channel Vian Den Bosch: Hilangnya master piringan hitam lagu Indonesia Raya 1927 Ciptaan Pak Wage Rudolf Supratman

Youtube Channel D’Jeka Grafis: Rekaman Asli Piringan Hitam Produksi Pertama lagu Indonesia Raya

Ruang Audio: Fakta Tentang W.R. Supratman

 


 

Penulis
Harlan Boer
Lahir 9 Mei 1977. Sekarang bekerja di sebuah digital advertising agency di Jakarta. Sempat jadi anak band, diantaranya keyboardist The Upstairs dan vokalis C’mon Lennon. Sempat jadi manager band Efek Rumah Kaca. Suka menulis, aneka formatnya . Masih suka dan sempat merilis rekaman karya musiknya yaitu Sakit Generik (2012) Jajan Rock (2013), Sentuhan Minimal (2013) dan Kopi Kaleng (2016)

Eksplor konten lain Pophariini

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …

CARAKA Suarakan Berbagai Emosi di Album Terbaru NALURI

Unit pop asal Tegal, CARAKA resmi luncurkan album bertajuk NALURI (15/12). Melalui sesi wawancara yang berlangsung pada Senin (16/12), CARAKA membagikan perjalanan band dan hal yang melatarbelakangi rilisan terbarunya.     CARAKA merupakan band …