Jason Ranti – Jalan Ninja

Apr 18, 2022

Adalah fakta yang tak mungkin disanggah, bahwa selain Space Oddity dan Ziggy Stardust, magnum opus yang patut dicatat dalam perjalanan emas David Bowie adalah karyanya yang dijuluki Berlin Trilogy, di dalamnya tercakup tiga album yang terdiri dari Low (1977), Heroes (1977)  dan Lodger (1979).

Tiga album di trilogi Berlin memperlihatkan pergeseran musik Bowie secara artistik sebagai respons dari pengaruh lingkungan tempat ia menghabiskan ‘residensi’ atau lawatannya, yaitu di Jerman Barat, Perancis dan Swiss dari Los Angeles antara 76-79 demi mengurangi ketergantunganya dengan narkoba. Beberapa pengaruh eksperimental Krautrock terlukis jeli di sini, pola-pola drum repetitif dan mood-mood ambient yang mungkin fans Bowie belum pernah mendengar sebelumnya di tahun-tahun tersebut.

Toni Visconti adalah orang yang bertanggung jawab atas pengaruh sound-sound baru dari album-album Bowie. Toni yang pernah membidani banyak album dari Bowie dan T-Rex ini memang sudah menjadi ‘tangan emas’ terhadap apapun yang dihasilnya seniman ini selama bertahun-tahun.

Trilogi Berlin mungkin adalah contoh dari sekian banyak album ‘residensi’ yang dibuat musisi ketika ia melawat ke satu tempat di luar lingkungan tempat ia tinggal. Di Indonesia, mungkin contoh terbaik dari karya residensi ini ada pada Indra Lesmana. Lawatan Indra ke dua negara menghasilkan mahakarya yang luar biasa. Di Australia, ia merilis Children of Fantasy (1981) dan No Standing, rilis setahun sesudahnya. Sementara Di Amerika, ia merilis For Earth and Heaven (1986). Fast forward, Indra Lesmana pindah dari Jakarta ke Bali di tahun 2014, di sana ia melahirkan beberapa album seperti Stars, Surya Sewana dan Sleepless Nights.

Kasus yang mungkin sama ada pada Pongki Barata, yang pindah ke Bali dari Jakarta sejak 2016 produktif merilis beberapa album dan mini album: Season, Love Treasure, The Blue Trilogy, Selaras, Demo, Live dan Unreleased serta beberapa buah single dan karya-karya baru yang akan dirilis di tahun ini. Meski menurut saya Pongki bukan masuk kategori karya residensi, mengingat ia sepertinya telah for good di Bali, namun menilik kecenderungan betapa lingkungan baru mempengaruhi penciptaan karya, Pongki masuk dalam hitungan, tak terkecuali Om Bagus dan proyek Jalan Tengah-nya yang belum lama ini merilis debut albumnya, Garis Putih.

Hari ini, Jason Ranti nampaknya meneruskan estafet, melanjutkan pola residensi ini lewat albumnya, Jalan Ninja. Materi album yang sebagian besar direkam ketika Jeje melakukan lawatannya ke Pulau Dewata. Berkunjung ke padepokan PTC (Pohon Tua Creatorium), ia merekam materinya di Stone Deaf Studio di Canggu.

Meski tak terlalu dalam seperti Trilogi Berlin, ada beberapa perubahan yang jelas terlukis di Jalan Ninja dibandingkan dengan dua album Jeje sebelumnya. Segenap eksperimentasi tergelintir jelas, baik dalam hal tehnik permainan, songwriting dan aransemen musik  yang berkembang lebih dinamis, tertata dengan baik.

Dan ya, meski bukan terhitung long time producer (Saya juga lupa apakah Jeje pernah memakai produser untuk album-albumnya selama ini), namun tanpa harus menjadi Visconti, Sosok Dadang Pranoto, menjadi penting dalam perjalanan baru Jason Ranti di album ini. Kemampuan Dadang untuk masuk dalam lubuk hati sang seniman, menikam setiap pemikiran, menyobek-nyobek kegilaannya dan memuntahkan jeroan-jeroan keren di album ini patut diacungi jempol. Entah apa jadinya Jalan Ninja tanpa sosok musisi berambut gimbal ini.

Beberapa pendekatan menarik tercipta di lingkungan baru Jeje. Munculnya mood-mood ambient di setiap petikan gitar dan cukilan perkusi penuh hasrat di dua track awal, aransemen band yang gagah berkat suara snare Palel yang cantik di lagu “Kadang Jakarta Jadi Ungu”, koor yang manis di “Manhattan – Blok M”, rapal Afrika seksi Lyta Lautner di “Penawar Rasa Ngambek (Baru)”, dan anjrit! saya dibuat terpukau dengan tarian pedal steel, banjo dan bas betot di “Variasi Lanjutan” (saya menyebutnya “Variasi Pink” versi ejaan musik yang disempurnakan). Geser sedikit, ada pola Lou Reed via “Walk On The Wild Side” yang terlukis manis di “Di Bawah Jembatan Kuning”, sedotan-sedotan harmonika digeber cantik oleh sang maestro Hari Pochang, phew!

Dan ya, meski album ini direkam dengan sangat rapih, tentunya Dadang sebagai produser tetap menyisakan ruang untuk ‘gaya bebas’ Jeje dalam lagu yang berdurasi hampir duapuluh satu menit bertajuk “Mini Album”. Ibarat masuk studio kemudian ditinggal pergi, ini adalah satu dari bagaimana pendengar pada akhirnya bisa ‘menelanjangi’ Jeje secara utuh, beberapa kesalahan lirik ada di sana, kesalahan gitar ada di sana, tapi ya tentu saja bukan sebuah hal yang patut diperdebatkan alias bodo amat, mungkin saja bagian dari aksen eksperimental yang ia grafirkan. Untuk pendengar awam, mungkin butuh berkali-kali untuk memahami apa sebetulnya yang ia ceritakan di “Mini Album”.

Jalan Ninja juga menyisakan dua lagu “Pelajaran Bercinta (Pelajaran Pertama” dan “Sabda Tiang Listrik” yang direkam di studio Ear Space, Pamulang. Ini lantas menjawab kecurigaan saya akan masuknya suara Endah di sana yang terpikir pertama kali apakah gitaris Endah ‘N Rhesa itu juga terbang ke Bali.

Meski dua lagu ini sangat nyaman di telinga, namun lagu ini menurut saya justru sedikit menodai konsep (jika diamini) album residensi ini secara lengkap, tapi ya tak apalah, pada akhirnya album adalah album. Saya pun berharap setelah Jalan Ninja ini, rekaman-rekaman Jeje bisa lebih dinamis tanpa harus menjadi Dylan going’ electric tahun ’65 atau menjadi lembek seperti Iwan Fals di era 2000-an.


Penulis
Wahyu Acum Nugroho
Wahyu “Acum” Nugroho Musisi; redaktur pelaksana di Pophariini, penulis buku #Gilavinyl. Menempuh studi bidang Ornitologi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menjadi kontributor beberapa media seperti Maximum RocknRoll, Matabaca, dan sempat menjabat redaktur pelaksana di Trax Magazine. Waktu luang dihabiskannya bersama bangkutaman, band yang 'mengutuknya' sampai membuat beberapa album.

Eksplor konten lain Pophariini

Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota

Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …

5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac 

Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …