KaleidosPOP 2020: Wawancara Romantic Echoes
Menarik bagaimana di tengah pandemi dan musik Indonesia yang masih bergema isu kesehatan mental, sebuah album kemudian dirilis dan hanya membicarakan soal rasa, asmara serta hal-hal sekitarnya dalam balutan musik pop yang cerdas. Ia menyebut dirinya dengan nama Romantic Echoes.
Adalah Muhammad Fadel Alfredo alias J. (Jakjek) Alfredo, yang biasa dipanggil dengan Jakjek. Vokalis dari trio garage rock revival asal Medan, Pijar yang memutuskan hijrah dari Medan ke Jakarta. Setelah sangat produktif sejak terbentuk di 2013, Pijar rajin merilis mini album setiap tahun, hingga album soundtrack, di tahun 2020 akhirnya Jakjek memutuskan untuk keluar sejenak dari musik rock, dan mencoba mengeksplor sisi musik pop pada dirinya dengan merilis proyek solo. Dan mengambil pengaruh dari Dewa, Chrisye dan tentu saja musik pop itu sendiri.
Jakjek adalah pria pertengahan 20an dengan gaya fesyen yang eksentrik. Baik di Pijar maupun Romantic Echoes. Di proyek terbarunya, ia memilih gaya fesyen yang jauh berbeda dari di Pijar. Dengan kutek hitam yang mewarnai semua jarinya ia datang siang itu ke kantor Pop Hari Ini memakai kalung besi yang menjuntai di atas kausnya. Dan memakai jaket kulit bikers yang beberapa sudutnya dihiasi gambar-gambar yang ia buat sendiri. Ditambah aksesoris khas punk berupa rantai besi kecil yang ia sematkan di bahu melingkari area ketiak jaket kulit hitamnya. Bagi saya gaya itu mengingatkan pada sosok dalam film robot Jepang 80an, Retsu Ichijouji alias si polisi luar angkasa Gavan.
Underrated singer/songwriter mungkin layak disematkan pada pria ini yang melepas album solo perdananya di tengah era pandemi. Bahkan melangkahi unit trio garage rock-nya sendiri Pijar, yang sudah tujuh tahun berkipirah, tapi urung merilis album penuh. Meskipun secara sangat produktif malah konsisten dan aktif merilis mini album. Bayangkan dua tahun terakhir, trio ini bisa merilis 2 mini album tiap tahunnya.
Produktif dan konsistentsi itu juga terjadi pada dirinya sebagai seniman yang serba bisa. Sejak dengan Pijar ia mengerjakan hampir semua materi promosinya. Dari menulis lagu, membuat artwork, logo type, desain untuk merchandise, hingga menyutradarai video musiknya sendiri. Tidak heran bila kini kita bisa menikmati Romantic Echoes dalam satu bingkai besar audio, visual beserta video secara utuh.
Simak obrolan Pop Hari Ini dengan pria penggemar berat film yang gemar bergaya fesyen eksentrik ini di sebuah sore di ruang kantor Pop Hari Ini tentang debut albumnya yang berhasil duduk di berbagai daftar album terbaik 2020, salah satunya di Pop Hari Ini.
Jadi kenapa merilis proyek solo album penuh Romantic Echoes?
Jadi ada situasi dimana gue mungkin terlalu bablas kali ya di Pijar. Jadi ketika Pijar sedang ngeproduksi terus EP, singel dan segala macam, gue eksplor terus tuh. Bikinnya diginiin, digituin. Makin lama makin gue takut ilang nih karakter Pijar-nya. Karena meski anak-anak si Aul sama si Ican nurut-nurut aja, tapi mereka tetap aja di ruang mereka.
Menurut gue, kalau dipaksain terus hasilnya kaya EP terakhir Pijar (Perpetual, 2019). Yang menurut gue udah mulai rada slow untuk ukuran Pijar. Gue akhirnya mikir, wah kayaknya udah harus nih gue buat satu project untuk ngelampiasin isi hati gue mulai dari sound, sampai lirik-lirik yang nggak bisa gue keluarin di Pijar. Lengkap sama cerita-cerita dan segala macamnya.
Kebetulan emang Pijar lagi nyantai juga. Si Ican nya (gitaris Pijar. red) juga bikin proyek Waltz Dialog dan solonya, Turbo Kidz. Aul (drummer. red) juga lagi asik dengan coffee shop-nya juga. Jadi Pijar- nya masih tetap ter-cover. Nah yang lainnya biarin aja dulu, berkeliaran.
Romantic Echoes terdengar berbeda, lebih nge-pop, memang ada batasan ya di Pijar?
Bukan pop juga sih. Gue selalu bilang semua karya gue tuh pop sih. Pop yang gue maksud itu apa ya..
Lebih romantis mungkin?
Iya bisa kayak gitu kali yah. Sementara di Pijar isinya lebih happy, lebih bicara seputar drugs dan hal-hal surealis gitu kan. Bicara seputar efek-efek acid atau segala macam gitu, dan alien dan segala hal yang di luar realita kan. Pengalaman-pengalaman seru aja. Sedangkan Romantic Echoes lebih mendayu. Gue ngebayangin musik Pijar tuh didengarkan sambil bersenang-senang, holiday gitu. Untuk Romantic Echoes bisa didengerin sambil tidur deh.
Kenapa pakai nama Romantic Echoes bukan J. Alfredo?
Gue tuh sebenarnya orang yang sangat terpengaruh dengan idola gue. Bisa dibilang sampai sekarang dengan umur segini, masih kayak anak bocah yang ketika ngeliat idola gue ngapain, gue akan juga melakukannya. Gue tipe orang kayak gitu. Awalnya sih liat Damon Albarn (Blur) bikin proyek namanya Gorillaz, band virtual dengan temannya. Trus dia nggak pakai nama dia. Gue langsung mikir, seru juga sih.
Gue agak malas kalau kesannya terlalu solois banget. Misalnya kayak Michael Jackson. Dengar namanya aja bebannya benar-benar jatuh ke dia banget. Gue mau Romantic Echoes orang bisa ngeliat, sama lah kayak halnya kayak Gorillaz. Gue nggak cuma liat Damon di situ tapi gue ngeliat yang lain-lainnya juga. Satu kelompok band utuh. Bukan perorangan. Keren kan kalau kaya gitu.
Nah akhirnya tercetuslah Romantic Echoes. Meskipun awalnya penginnya pake nama Gema Romantis. Tapi kok perasaan, aduh namanya jelek banget nih. Ya udah deh Romantic Echoes. Selesai. Meskipun kemudian ternyata belakangan baru sadar kalau nama Gaung Romantis lebih keren. Kenapa ngga itu aja ya? Tapi ya udah telat deh (tertawa)
Sebelumnya Pijar rajin merilis EP, sebagai Romantic Echoes sempat bikin mini album dengan Oslo Ibrahim, elo memang seproduktif itu menulis dan bikin lagu?
Gue termasuk menggebu-gebu kalau mengerjakan hal yang disuka. Mood gue tuh gampang terbangun gara-gara nonton film. Jadi kalau abis nonton gue bisa cerita-cerita banyak apa aja ketika abis nonton fllm. Ngga tau ya gue ngerasa kehidupan cinta gue baik-baik aja. Nggak ada sesuatu yang bisa diumbar, nggak ada sesuatu yang ‘wah lo harus dengar kehidupan cerita cinta nih’. Gak sekeren itu sih kehidupan cinta gue. Drama juga nggak ada. Gue orangnya realistis aja.
Tapi yang bisa buat gue bercerita itu adalah film. Gue bisa bercerita mungkin tentang kehidupan-kehidupan rumah tangga atau tentang seorang anak yang sayang dengan orangtuanya. Pemicunya adalah film dan bisa semudah itu. Dan kalau untuk mini album bareng Oslo, waktu diajakin kolab gue langsung mau tapi syaratnya bukan bikin lagu bareng. Tapi lagu sendiri-sendiri. Makanya dua lagu dia, dua lagu gue (tertawa).
Apa tiga film kesukaan elo ?
Gue tuh suka nonton film berulang-ulang. Bisa berulang-ulang banget. Sampe memicu ide. Pertama, Big Fish. Kedua, The Godfather tentang drama keluarganya. Ketiga, gue suka banget sama film Yes Man, Jim Carey sama Zooey Deschanel.
Di Romantic Echoes ada yang dari film juga?
Di Romantic Echoes tuh gue banyak terinspirasi dari tulisan-tulisan kayak WS Rendra. Puisi tuh menurut gue bisa banyak banget artinya, ya kayak lagu. Mungkin gue baca puisinya si ini, gue bisa dalam banget padahal sebenarnya nggak sedalam itu. Kalau baca buku ya so so. Gue lebih suka novel, buku-buku fantasi. Kalau yang berhubungan sama hati, kayaknya lebih puisi gue. Puisi sama ya filsafat-filsafat tapi nggak into banget juga. Cuma di luarnya doang bisa jadi. Tapi gue mungkin yang ngegali terus.
Contohnya, bait lirik “dibunuh sepi”. Gue bisa panjang banget tuh. Kenapa sih sampai dibunuh sepi? Dibunuh sepi sebenarnya gue dapat gue sendiri tapi gue ngeliat dari Chairil Anwar. Kalau Chairil Anwar itu kan kata-katanya udah begitu kan. Gue juga bisa dibilang, banyak terinspirasilah dengan puisi-puisi mereka yang di zaman itu dengan kata-kata yang menurut gue gokil sih. Di setiap katanya gue selalu nyari arti dan persamaannya dan lawannya. Menurut gue gila banget bisa sampai kayak gitu. Kebanyakan sih gue obrak-abrik lagi dengan gaya gue, dengan mood gue. Akhirnya gue kebanyakan pakai istilah-istilah itu di Romantic Echoes.
Gue ngasih denger Ahmad Dhani lagu “Menutup Mata Untuk Melihat Dunia” yang durasinya 9 menit. Selama itu dia diem aja menyimak, nggak ada ngomong sama sekali
Siapa di keluarga besar yang berjasa buat perkembangan musik lo?
Dulu gue punya Opung (Kakek), dia tuh doktor filsafat yang dapat gelarnya juga dari Amerika langsung. Selama gue masih kecil, gue tuh nggak ngeh ternyata ada perpustakan punya dia yang lengkap dan ada di rumah gue sendiri. Akhirnya ketika gue mulai gede dan dia sudah meninggal, gue baru ngeh. Kenapa gue dulu waktu dia masih hidup gue nggak banyak bertukar pikiran sama dia ya. Gue yakin dia pasti banyak mau menyampaikan sesuatu sama gue.
Terus gue banyak ngabisin waktu baca-baca di perpustakaannya dia. Udah ga perlu ke toko buku itu. Karena di rumah gue ada banyak buku yang udah the best menurut gue. Secara ga langsung Opung ngaruh banget ke penulisan lirik gue. Lagu “Rindu Membawa” gue ciptakan untuk dia. Lagu Romantic Echoes yang panjangnya cuma dua menit.
Terus juga ada Om gue. Dia salah satu personil band Purgatory. Pada saat itu teman-teman gue nggak ada yang punya kemewahan kayak gue. Gue mungkin beruntung banget, di rumahnya vinyl dan CD-nya banyak. Walaupun kebanyakan lebih ke hard rock dan metal. Om gue kan ga tinggal di Medan kan, karena Purgatory di Jakarta. Kalau balik ke Medan sering banget nyekokin musik musik baru.
Tapi baru pas gue SMA, gue ketemu band The Strokes. Dah selesai tuh. Fase musik metal-nya selesai. Baru gue ketemu sama yang baru kerasa, ini gue banget.
Band yang berpengaruh buat elo?
The Strokes, Blur, satu laginya susah banget sih sebenarnya. Dewa lah era Once. Terutama album Bintang Lima
Ada musisi lokal yang berpengaruh buat Romantic Echoes?
Sedikit banyak Guruh Soekarnoputra. Terus Yockie dengan segala macam karyanya. Kalau yang paling populernya, Dewa. Dewa tuh lumayan buat gue ‘anjinglah bisa ada yah yang kaya gini’. Apalagi kemarin gue ketemu Ahmad Dhani kan. Gue kayak star struck gitu. Gue ngasih denger lagu “Menutup Mata Untuk Melihat Dunia” yang durasinya sembilan menit sama dia. Selama itu diem aja tuh menyimak, nggak ada ngomong sama sekali. Diam aja.
Taunya dia komentar “Liriknya bagus. ini kamu sendiri yang buat? Dengan segala macam orkestra, aransemen, dinamika dan lain-lainnya? Masa sih! Nggak percaya aku rekkk”. (menirukan ucapan Ahmad Dhani kepadanya)
Gue di situ ngeliatnya, anjing! Lagu gue yang panjang banget ini didengar sama idola gue. Terus dari situ kita lumayan ngobrol banyak sih, mulai dari segi teknis, segi sound, segi lirik gitu, dan so far dia kayak senang lah. “Seneng gue masih bisa dengar musik-musik kayak gini sekarang gini senanglah”. Dia bilang kayak gitu.
Lo ngerasa seromantis itu memakai nama Romantic Echoes berdasarkan apa?
Sebenernya harapan sih. Gue tuh berharap ngebawa hal itu menjadi romantis. Kalau ditelaah tuh isi liriknya di album ini nggak ada yang romantis-romantis banget sebenarnya. Kebanyakan malah kecewa. Hal-hal sedih dan kecewa. Tapi gue berharap itu menjadi romantis. Jangan sampe tenggelam di situ. Itu sih misi gue. Nah, Romantic Echoes datang untuk meromantiskan itu, meromantiskan kenangan buruk itu.
Soal lirik, yang paling dirasa pencapaian terbaik atau prosesnya terlama ada di lagu apa?
Lagu “Persembahan Dari Masa Lalu”. Itu sebenarnya inspirasinya dari orang gila waktu gue masih SD. Nama orang gilanya, Mamang. Tapi ini konsep doang ya. Jadi Mamang itu, dulu waktu gue masih SD, di jalan, dia sering ngelemparin gue dan temen-temen pake batu. Trus dia kaya nyesel gitu, dan ngomong ke diri sendiri “Kau jangan gitu”. Monolog kayak Smeagol gitu (karakter dari Lord of the Ring. Red). Wah keren juga. Sendiri tapi ngomong berdua gitu.
Akhirnya gue dapat konsep tuh di lagu “Persembahan Dari Masa Lalu” yang sebenernya adalah monolog. Lirik awalnya “Dan semua kujalani penuh salah, berilah sekali lagi rasa percaya. Mungkin kah kumiliki yang dahulu pernah ada. Yang lalu biarlah berlalu”. Ini dia tuh ngomong sama dirinya sendiri yang satu lagi. “Apakah itu kecewa yang kau rasakan? Dengarkanlah, ini dengerin sumpahku yah akan kupastikan. Aku ingin kau tau hatiku hanya untukmu. Kau nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu. Yang lalu biarlah berlalu”. Jadi pada akhirnya hati kita, diri kita sendiri yang maafin diri kita.
Romantic Echoes datang untuk meromantiskan kenangan buruk itu
Misalnya kita dulu kayak, mungkin segila apa kita dulu. Hati kita pasti maafin diri kita. Gue mikirnya gitu. Baru terakhirnya kayak “Amarah, ku dibunuh malam, dicumbu kecewa, maafkanlah hati”. Ini kayak penyesalan gitu. “Kekasih lupakan sejenak”, ‘Kekasih ini’ sebenarnya adalah ditujukan ke Allah. Jadi kayak “Kekasih, lupakan sejenak semua yang terjadi maafkanlah diri”
Jadi kayak perumpamaan gue tuh kayak rasa penyesalan seorang manusia dalam perjalanannya dan tetap dimaafkan sama dirinya sendiri. Seharusnya dia nyoba ngomonglah sama yang di atas. Lagu itu menurut gue ngerangkainya lumayan ribet.
Ada di album ini yang susah dapatin notasi vokalnya?
Di Romantic Echoes nggak ada. Di Pijar lumayan banyak. Serunya di Romantic Echoes gue kayak lebih luwes gitu ketimbang di Pijar. Kayak lebih banyak dapat ilmu yang trus gue terapin di sini. Gue nggak tau, nanti mungkin pada saat si Pijar akan bikin album lagi gue mungkin bisa lebih eksplor lagi.
Gue suka banget sih ngulik antara kesinambungan satu dan lainnya. Kaya dari notasi vokal dan lirik. Menurut gue di situ seninya bermusik. Apapun itu sih, mulai dari drum ke bass, mulai dari gitar ke vokal. Kalau bass sama drum nggak berkesinambungan pasti kita dengarnya kurang enak.
Kalau Romantic Echoes ramuannya selalu yang gue banget. Lirik-lirik gue sebenarnya nggak yang gimana-gimana banget. Tapi gue selalu suka sama detail aransemen dan dinamika dari segi musik. Karena kalau jadi tuh satu kesatuan bakal perfect. Mungkin gue akan minder ya, kalau ada pembahasan bedah lirik lagu gue. Karena lirik gue dari yang ribet banget selalu gue sederhanain banget. Jadi kuncinya tetap notasi. Notasi tuh nomor satu antara setrumnya lirik sama ke mana notasi yang kita buat, arah nyanyinya nadanya. Nggak bisa gampangan menurut gue.
Kalau lagu Indonesia yang paling sempurna menurut lo notasi dan liriknya?
Lagu “Melati Suci” nya Guruh Soekarno Putra. Terbaik itu.
Lo kan memproduseri album perdana ini. Tertarik jadi produser nggak ke depannya?
Nggak sih tapi kalau diminta gue mau. Apa yah, gue nggak mau bawa musik gue ke orang lain. Kalau gue nge-produce kan otomatis gue bawa apa yang gue suka untuk mereka misalnya, sound. Gue kurang suka itu. Kalau mereka datang terus minta, gue hayuk.
Lo mengerjakan artwork, desain, dan video klip semua sendiri seperti di Pijar?
Iya. Bedanya kalau di Pijar kan tim, kalau Romantic Echoes berantemnya sama diri sendiri. Gue nggak bisa ngedenger masukan dari orang, kecuali misalnya lagu udah jadi lo mau komentar apa itu terserah lo. Tapi ketika lagu belum jadi, lo nambahin, gue nggak bisa.
Ceritain tentang konsep cover Romantic Echoes
Ini gambar yang gue lukis sendiri. Udah ada dari zaman Pijar dulu cuma belum sempurna. Itu sebenarnya tentang The Pied Piper. Cerita dongeng Eropa tentang pengusir wabah tikus. Jadi ada satu wabah tikus di satu kota, dia datang ke situ dia main suling. Tikusnya ikut sama dia semua. Abis itu dibuang tikusnya ke jurang. Sampai terakhirnya, kalau nggak salah dia dijelek-jelekin lah sama warga sekitar situ. Abis itu dia main suling untuk bawa seluruh warga di situ. Abis itu seluruh warganya dicampakkin sama dia ke jurang.
Gue dapatnya di situ. Pas banget tuh ide The Pied Piper. Tapi di sini bedanya gue sebagai penghibur orang. Ada gambar tiga perempuan itu sebagai perwakilannya. Terus ada Ican sama Aul di belakang lagi naik perahu. Fokusnya ke mereka bertiga. Ceritanya gue main musik, si Aul sama Ican mancing. Tempatnya tenang banget. Mereka nih (cewek tiga) dihiburlah.
Bicara fesyen, gimana konsep fesyen elo di Romantic Echoes dan Pijar yang kayanya berbeda jauh?
Emang dibedain. Untuk Romantic Echoes gue sempet terpengaruh pas nonton live- nya Nick Cave and the Bad Seeds. Manggung ake jas semua. Keren banget. Trus main musiknya barock pop, orkestra gitu. Sampe ada yang main kerincingan doang dari awal sampe beres. Konsep visual Romantic Echoes sebenarnya konsepnya mafia-mafia yang ngeband kali ya. Mungkin orang yang abis ngebunuh orang, ngeband yuk. Gitu sih konsepnya.
Kapan menyadari kalau gaya fashion dan musik itu elemen yang tidak terpisahkan?
Dari SMA kali ya ketika gue udah ngeband. Mulai dari gue suka sama Blink 182. Kayak ngeliat Travis (drummer Blink 182 .red) tuh berambut mohawk dan pake celana 3/4. Pas ketika gue ketemu lagi misalnya sama yang lain gitu, oh gayanya lain lagi. Emang berarti berkesinambungan, emang udah jadi satu kesatuan musik dan fesyennya. Kan sama pertanyaanya kayak ‘Mana yang duluan fashion atau musik?’. Kalau anak fashion mungkin jawabnya fashion. Kalau misalnya dia main musik, mungkin jawabnya musik.
Seberapa banyak orang yang merhatiin kalau lo punya fesyen statement tersendiri?
Gue lumayan banyak dapat perhatian justru dari pendengar Pijar. Mereka malah justru suka sama gayanya dulu pas lihat Pijar manggung. Baru sama musiknya. Karena orang dengar nama Pijar tuh mikirnya adalah ‘Pijar tuh musiknya kayak folk senja gitu yah?’. Ada beberapa orang yang malas soalnya (tertawa). Penting juga ya sebuah nama.
Lo dari drummer lalu vokalis. Sebenarnya makna jadi penyanyi buat lo apa?
Kalau makna jadi seorang penyanyi tuh ditambahin seorang penulis lirik yah. Gue mungkin ingin berarti aja. Maknanya mungkin menjadi sesuatu bagi orang-orang contohnya lo bermakna bagi hidup orang. Lo bukan cuma sebatas lo bikin lirik, nyiptain musik bagus, misi lo selesai. Bukan seberapa banyak orang yang dengerin lagu gue, tapi seberapa berartinya karya gue untuk mereka. Gue lebih ke situ sih.
Kapan sadar kalau ternyata suara lo bagus?
Di Pijar saat album Ekstase. Karena dulu gue pas mau nyanyi, Aul tuh salah satu orang yang paling benci kalau gue nyanyi. Karena dia kenalnya gue drumer dulu. Aul juga sering bilang “Kalau mau bikin band, ya nyari vokalis yang bener vokalis. Jangan drummer jadi vokalis”. Gue sendiri yang ngeyakinin ‘Percaya deh’. Ya udah akhirnya gue bikin Pijar.
Ada momen juga Noh Salleh yang sempet nonton Pijar komentar pas gue lagi check sound. Dia nanya, “Itu pake efek apa bro?”. Padahal ngga ada pake efek apa-apa. Di situ gue langsung nangkep. Trus ketika gue nyanyi sama Rendy (Nidji/Steve-Smith. produser Pijar) dia juga muji “Wah suara lo kayak ada reverb-nya sendiri yah”. Di situ gue langsung nyadar dan ngulik lagi karakter vokal gue itu.
Waktu dibilang Aul nggak usah nyanyi, apa lo sempat latihan nyanyi terus?
Nggak. Gue sama sekali nggak latihan. Bahkan sampai sekarang nggak pernah latihan karena bandnya (Pijar) gue yang buat. Jadi ya gue cuek aja bertahan jadi vokalis (tertawa).
Apa yang elo dapet ketika bernyanyi di Romantic Echoes?
Gue banyak banget eksperimen, eksplor gitu. Album ini kan semuanya home recording. Vokal, gitar dan segala macam sampai ada beberapa track drum. Itu segala macam hal lah gue coba termasu tae vokal. Ada lagu yang nyantai, gue nyanyi sambil duduk. Ternyata beda posisi beda hasil. Kalau take vokal profesional pasti nggak bisa karena kalau nyanyi pasti harus berdiri. Nah gue di album Romantic Echoes ada yang sambil tiduran. Malah lebih dapat feelnya. Seru juga. Kalau di Pijar kan ngga bisa sebebas itu. Ada produsernya, ada vocal director-nya.
Apa respon orang mendengar lo bernyanyi lagu-lagu yang lebih ngepop di Romantic Echoes?
Awalnya pengin banget vokal gue bisa terdengar halus dan dekat sama pendengar. Tapi ternyata dari komentar di media sosial dan Youtube responnya positif dan macem-macem. Sampe ada yang bilang “wah ini titisan Chrisye” (tertawa).
Gue seneng-seneng aja. Ya karena reference gue emang ke situ. Berarti gue berhasil ngulik cara Chrisye nyanyi waktu pada saat itu. Meskipun ampe sekarang masih gue kulik juga.
Gue juga sering dibanding-bandingin sama Noh Salleh (vokalis indie Malaysia) sama Ade Paloh (band Sore). Dibilang “kayak Paloh pop nih”. Ya gue terima aja lah karena emang Sore tuh soundtrack gue SMA juga. Ngefans banget lah. Tapi sejujurnya gue nyiptain album ini nggak ada sama sekali ke arah situ. Tapi kalau misalnya lo notice ke situ ya mungkin alam bawah sadar gue yang bawa gue ke situ. Bikin tarikannya vokalnya terdengr mirip.
Apa pencapain tertinggi yang didapat dari Romantic Echoes?
Kepuasan batinnya sih lumayan banget. Alhamdullahnya sejauh ini Romantic Echoes dapet banyak pujian. Rata-rata pada bilang “wah satu album enak semua ya”. Happy sih rasanya. Jadi mungkin, walaupun ngga dapet panggung, gue happy happy aja karena batin udah puas.
Gue nyiptain musik untuk diri sendir dan orang banyak. Dua-duanya berhasil terpuaskan tuh. Untuk diri sendiri terpuaskan karena udah puas sama musik gue. Yang kedua feedback orang banyak yang juga positif. Nilai plusnya di situ. Gue kadang bingungkan masak gue ke sini. Masak fase gue selanjutnya musik seperti ini sih ketika udah menjadi satu kesatuan ya albumnya. Tapi gue percaya ini fase yang harus gue lewati harus begini. Gue nggak menutup kemungkinan, tiba-tiba di depan Romantic Echoes menjadi rock. Gue nggak itu, bunglon juga. Ibaratnya, album keduanya Romantic Echoes gue jamin pasti beda banget.
Elo memilih bicara hal simpel tentang asmara dan rasa. Pendapat lo tentang tema mental health di musik kita?
Kalau ngomongin itu sebenarnya pasti semua orang juga ngerasain dan punya cerita masing-masing. Tapi gue memilih nggak mau berlarut-larut di situ. Gue rasa karena social media, yang bikin orang gampang berbagi jadinya makin banyak. Kalau dibilang jenuh, pasti jenuh sih. Tapi gue milih ga mau berlarut-larut di situ.
Pijar apa kabarnya?
Baik. Cuma tadinya bayangan gue tahun 2020 si Romantic Echoes akan maksimal promo dan manggung gitu. Di akhir tahun beres deh. Itu yang ada di dalam pikiran gue. Jadi tahun 2021 gue udah bisa seru-seruan lagi sama Pijar. Tapi ya kondisinya begini gimana ya (tertawa)
Setelah tujuh tahun, sekian rilisan album dan video musik serta manggung di panggung-panggung besar gimana elo ngelihat pencapaian Pijar sekarang?
Dari awal kita bareng berempat. Ekspetasi kita tuh sebenarnya pada saat dibentuk di Medan tahun 2013 nggak ada yang muluk-muluk. Kita bikin EP (album mini) aja dulu. Bikin EP tuh dulu di Medan susah banget. Band Medan punya EP tuh hampir nggak mungkin. Karena mindset- nya kalau di Medan nge-band itu ya untuk waktu senggang. Pada saat umur lo tiba, lo harus kerja ya lo tinggalin band. Udah selesai.
Fase itu begitu terus tuh. Sampai akhirnya ke Pijar. Gue nggak mau begitu. Gue pengen setelah bikin EP setidaknya, orang Makasar, orang Palembang, orang Bandung, orang dari luar Medan tau ada band dari Medan bernama Pijar. Itu doang sebenarnya misi utama gue. Jadi kalau sekarang ditanya pencapaian sejauh mana. Sudah terlaksanakan.
Dari album mini pertamanya Pijar, The Sound Of Youth”, Exposure, Ekstase, Lunar Biru, EP soundtrack “Antologi Rasa”, abis itu gue pribadi udah mulai ngerasa gue ‘ngebawa’ Pijar terlalu jauh. Kebetulan Ican pada saat yang kemarin lagi lumayan sama seleranya. Yang kita suka lumayan mirip. Tapi akhirnya gue sadar bahwasanya di EP terakhir, Perpetual (2019) si Pijar ituu bukan begini. Akhirnya kita mutusin selesai yang EP terakhir ya udah kita nyantai-nyantai aja dulu. Kalau ada live, ada manggung yang cocok harganya kenapa nggak.
Sebenarnya kami lagi asik sama mainan masing-masing. Gue dengan Romantic Echoes, si Ican sama Waltz Dialog dan Turbo Kidz-nya, si Aul lagi jadi barista di kedainya. Gue nggak mau buat Pijar jadi gue banget. Maunya Pijar kayak dulu lagi. Seandainya bikin album kayak Exposure lagi. Itu karakter aslinya Pijar tuh begitu, garage rock revival sebenernya. Bukan musik pop tropis atau gimana gitu. Makanya akhirnya gue bikinlah Romantic Echoes.
Ada beban ngga sih dengan nama besar Pijar di belakang Romantic Echoes?
Gue termasuk takut. Soalnya si Pijarnya itu, apa ya? Gue nggak bilang ‘udah keren’. tapi image nya udah baik di mata orang. Gue nggak mau buat orang jadi ilfeel. Tapi balik lagi, gue nggak yang “Anjing kalau gue buat kayak gini, fans di Pijar jadi males”. Tapi lebih penting buat gue ini sejauh mana seorang Jakjek bisa eksplor. Eksplor di sisi sound, lirik, musik dan lain-lain. Trus bonusnya lagi orang-orang yang udah suka Pijar dari dulu ternyata suka juga. Begitu juga yang baru mengenal gue sebagai Romantic Echoes bukan Pijar. Jadi senang sejauh ini tinggal manggungnya aja (tertawa)
Romantic Echoes nggak ambisius?
Iya. Bisa jadi malah lebih ambisius. Bukan daripada Pijar. Pijar ambisius juga. Balik lagi, di fase umur gue segini gue Romantic Echoes gue pengin apa yah. Ada musik pop lagi seperti ini, itu yang gue pengenin.
Apa pertimbangan merilis singel “Menutup Mata Untuk Melihat Dunia” belakangan, terpisah dari album?
Gue butuh sesuatu di album gue setelah dirilis. Tadinya mau dimasukin langsung 13 lagu total. Tapi karena ngga ada panggung di tahun ini, dijadikanlah si lagu ini “cerita tersendiri” sebagai penutup album, tapi terpisah dari album utamanya. Lagunya soalnya 9 menit! Sayang kalau ngga dapet perhatian khusus. Tapi yang jelas lagu ini juga akan termuat di CD Romantic Echoes nanti.
Sebagai orang Medan yang hijrah ke Jakarta lo menganjurkan musisi Medan untuk hijrah ke Jakarta?
Sebenarnya dulu salah satu misinya Pijar itu menjadi jembatan untuk orang-orang tau akan keberadaan musik-musik Medan. Contohnya Pullo (band post-punk Medan) main di Jakarta dan Arian (Seringai) jadi tau. Trus band-band lain juga. Ya gue nggak dengan sombong juga bilang kalau itu karena gue sih. Tapi setidaknya misi gue berhasil.
Lo menganjurkan musisi Medan hijrah ke Jakarta?
Tergantung apa yang mereka cari. Kalau misalnya yang mereka cari adalah sama seperti yang gue cari ya bisa. Tapi menurut gue sekarang ini di 2020 ini udah beda banget eranya. Padahal baru lima tahun yang lalu sejak gue pindah dari Medan. Jadi kalau ditanya gitu sekarang gue ngerasa jawabannya adalah ya dan tidak.
____
Artikel Terkait
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- KALEIDOSPOP 2024
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Rangkuman Tur MALIQ & D’Essentials Can Machines Fall In Love? di 5 Kota
Setelah menggelar Can Machines Fall in Love? Exhibition tanggal 7 Mei-9 Juni 2024 di Melting Pot, GF, ASHTA District 8, Jakarta Selatan, MALIQ & D’Essentials melanjutkan perjalanan dengan menggelar tur musik perdana dalam rangka …
5 Lagu Rock Indonesia Pilihan Coldiac
Coldiac menyelesaikan rangkaian tur The Garden Session hari Kamis, 12 Desember 2024 di Lucy in the Sky SCBD, Jakarta Selatan. Tur ini secara keseluruhan singgah di 7 kota termasuk Balikpapan, Samarinda, Medan, Solo, Bandung, …