Karya The Panturas Selama Era Virtual
Terkadang pengadopsian unsur virtual sulit buat diimplementasikan oleh sebuah grup musik. Karena itu, wajar kalo ternyata nggak semua grup musik yang lo kenal punya presence yang baik secara virtual di era kayak sekarang ini. Tapi kalo hal itu berhasil, sebenernya banyak banget keuntungan yang bisa didapatkan.
The Panturas adalah salah satu band yang selalu mencoba untuk bisa tetap berkarya saat diterjang cobaan pandemi. Berbagai hal udah mereka lakukan untuk terus berada di garda terdepan kancah indie lokal selama periode tersebut. Mulai dari rilis album sampai bikin split single, The Panturas membuktikan kalo mereka adalah unit musik yang bisa tetap produktif menghasilkan karya sebagaimana formula kegiatan sebuah band pada umumnya. Tapi selain itu, mereka juga percaya kalo pengadopsian kegiatan virtual merupakan sebuah keharusan di masa-masa sulit seperti dua tahun terakhir ini.
“Kita baru aja rilis album di bulan Oktober kemarin. Selain itu kita bikin satu video virtual live session untuk showcase album; terus satu video klip, Tafsir Mistik; terus video lirik, Balada Semburan Naga; sama keluarin split single 7-inch. Sebenernya walaupun dengan segala keterbatasan, kita masih tetep berkarya lah. Cuman manggungnya aja yang nggak ada.”
—The Panturas.
Minimnya panggung yang diadakan secara fisik pada beberapa tahun belakangan ini memang dialami oleh hampir semua musisi karena pembatasan-pembatasan yang ada. Karena itu, metode virtual sebagai substitusi untuk pengalaman performa live merupakan opsi yang jadi pilihan berbagai band—termasuk The Panturas sendiri. Tapi selain itu juga, ada hal lain yang terpengaruh oleh unsur virtual yang muncul di kehidupan mereka sehari-hari—yaitu proses kreatif mereka dalam berkarya.
“Jadi lebih efektif juga sih di beberapa sektor. Kayak misalkan penentuan kreatif mau bikin apa gitu kadang-kadang tinggal video meeting bisa selesai sih. Yang kurang paling durasi kita ketemunya, karena sekarang kondisinya dua orang di Jakarta dan dua orang di Bandung.”
—The Panturas.
Sebagai band yang lahir di area Jatinangor pada 2015 lalu di saat mereka sama-sama berdomisili di satu daerah, relokasi para personilnya tentu punya pengaruh tersendiri dalam perkembangan The Panturas. Apalagi, ketika mereka harus masuk dapur rekaman untuk sebuah karya. Persis kayak yang terjadi dalam proses pembuatan album terakhir mereka yang berjudul ‘Ombak Banyu Asmara’ yang baru dirilis tahun lalu.
“Kalo rekaman album kita masih ketemu dengan curi-curi waktu. Sebelum terpisahkan jarak dan isolasi, dulu (waktu) rekaman kita selalu hadir (semua). Tapi kalo sekarang mulai sebagian-sebagian aja. Sama kalo mixing dulu pasti ditongkrongin, kalo sekarang online secara virtual.”
—The Panturas.
Transisi perkembangan The Panturas dengan metode virtual terbilang cukup membuahkan hasil dalam beberapa aspek. Selain beberapa proses kreatif di dalam kinerja The Panturas sendiri, para personilnya yang dulunya kurang bisa mengoperasikan software musik sekarang pun jadi mahir menggunakan tools tersebut untuk kepentingan pertukaran ide secara virtual—kayak misalnya drafting ide awal dari sebuah lagu. Hal itu tentunya nggak cuma menguntungkan dalam proses kerja band, tapi juga menguntungkan secara individu.
Di samping itu, The Panturas juga bisa dibilang cukup terbuka dalam menyambut kesempatan-kesempatan interaksi virtual. Mulai dari sering main virtual gig, bikin konten video bareng, sampai online listening session dengan para pendengarnya. Menurut mereka, metode itu adalah salah satu hal yang membuat keberlangsungan band tetap terjaga. Apalagi khususnya dalam hal gig virtual, The Panturas berpendapat kalo keputusan mereka mengambil tawaran-tawaran yang datang juga punya pengaruh kepada orang-orang yang membantu The Panturas yang tentunya terpengaruh karena transisi masa virtual ini.
“The Panturas juga (isinya) nggak cuma personilnya, di belakangnya ada additional player dan tim produksi yang butuh kerja juga. Jadi kita nggak mau egois juga dengan nggak ngambil gig virtual.”
—The Panturas.
Selebihnya, The Panturas juga berpendapat kalo metode-metode virtual yang udah berjalan tetap harus ada di masa mendatang. Walaupun kembalinya acara dengan kehadiran fisik yang dinanti-nantikan udah mulai muncul, tapi mereka percaya kalo integrasi secara hybrid antar keduanya merupakan opsi yang tepat dan sangat berpotensi baik.
Kalo lo mau tau lebih banyak lagi karya-karya musisi yang seru di dunia virtual penuh imajinasi tanpa batas, buruan klik di sini!
Eksplor konten lain Pophariini
- #hidupdarimusik
- Advertorial
- AllAheadTheMusic
- Baca Juga
- Bising Kota
- Esai Bising Kota
- Essay
- Feature
- Good Live
- IDGAF 2022
- Interview
- Irama Kotak Suara
- KaleidosPOP 2021
- KALEIDOSPOP 2022
- KALEIDOSPOP 2023
- Kolom Kampus
- Kritik Musik Pophariini
- MUSIK POP
- Musisi Menulis
- New Music
- News
- Papparappop
- PHI Eksklusif
- PHI Spesial
- PHI TIPS
- POP LIFE
- Review
- Sehidup Semusik
- Special
- Special Video
- Uncategorized
- Videos
- Virus Corona
- Webinar
Solois Asal Binjai, Palep Angkat Kisah Masa Lalu di Single Kedua
Solois asal Binjai, Sumatera Utara bernama Palep resmi merilis single kedua bertajuk “You Still Call My Baby” hari Sabtu (30/11). Lagu ini bercerita tentang seseorang yang terjebak di situasi yang tidak bisa melupakan semua …
High No Man Menghadirkan Karya Reggae Dub yang Berbeda
Proyek reggae dub asal Tuban, Jawa Timur bernama High No Man resmi meluncurkan maxi-single bertajuk More High yang berisikan 2 lagu yaitu “Beat Down Babylon” dan lagu yang berjudul sama dengan maxi-single. Materi ini …